Riyadhus Shalihin – Imam Nawawi * |
Bab 27. Mengagungkan Kehormatan Kaum Muslimin Dan Uraian Tentang Hak-hak Mereka Serta Kasih Sayang Dan Belas Kasihan Kepada Mereka
قال اللَّه تعالى: { ومن يعظم حرمات اللَّه فهو خير له عند ربه }
Allah Ta'ala berfirman: "Dan barangsiapa yang mengagungkan peraturan suci dari Allah, maka itulah yang lebih baik baginya di sisi Tuhannya." (al-Haj: 30)
وقال تعالى: { ومن يعظم شعائر اللَّه فإنها من تقوى القلوب }
Allah Ta'ala berfirman pula: "Dan barangsiapa yang mengagungkan tanda-tanda suci -yakni agama Allah, maka sesungguhnya perbuatan sedemikian itu adalah karena ketaqwaan hati." (al-Haj: 32)
وقال تعالى: { واخفض جناحك للمؤمنين }
Lagi Allah Ta'ala berfirman: Dan tundukkanlah sayapmu -bersikap sopan santunlah- terhadap kaum mu'minin" (al-Hijr: 88)
وقال تعالى: { من قتل نفساً تغير نفس أو فساد في الأرض فكأنما قتل الناس جميعاً، ومن أحياها فكأنما أحيا الناس جميعاً }
Allah Ta'ala juga berfirman: "Barangsiapa yang membunuh seorang manusia bukan karena sebagai hukuman membunuh orang atau dengan sebab membuat kerusakan di bumi, merampok dan lain-lain, maka ia seolah-olah membunuh manusia seluruhnya dan barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya." (al-Maidah: 32)
وعن أَبي موسى رضي اللَّه عنه قال : قال رسول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : «الْمُؤْمنُ للْمُؤْمِن كَالْبُنْيَانِ يَشدُّ بعْضُهُ بَعْضاً » وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِه . متفق عليه
223. Dari Abu Musa radhiyallahu anhu, katanya: "Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: "Seorang mu'min terhadap mu'min yang lain itu adalah sebagai bangunan yang sebagiannya mengokohkan kepada bagian yang lainnya," dan beliau shalallahu alaihi wasalam menjalinkan antara jari-jarinya -perumpamaan karena saking dekatnya hubungan setiap mu'min, bagai jari yang satu dengan jari lainnya." (Muttafaq 'alaih)
Keterangan:
Dalam menguraikan Hadis di atas, Imam al-Qurthubi berkata sebagai berikut: "Apa yang disabdakan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasalam itu adalah sebagai suatu tamsil perumpamaan yang isi kandungannya adalah menganjurkan dengan sekeras-kerasnya agar seorang mu'min itu selalu memberikan pertolongan kepada sesama mu'minnya, baik pertolongan apapun sifatnya (asal bukan yang ditujukan untuk sesuatu kemungkaran). Ini adalah suatu perintah yang dikokohkan yang tidak boleh tidak, pasti kita laksanakan. Perumpamaan yang dimaksudkan itu adalah sebagai suatu bangunan yang tidak mungkin sempurna dan tidak akan berhasil dapat dimanfaatkan atau digunakan, melainkan wajiblah yang sebagian dari bangunan itu saling kokoh mengokohkan dan erat-erat saling pegang memegang dengan bagian yang lain. Jikalau tidak demikian, maka bagian-bagian dari bangunan itu pasti berantakan sendiri-sendiri dan musnahlah apa yang dengan susah payah didirikan. Begitulah semestinya kaum muslimin dan mu'minin antara yang seorang dengan yang lain, antara yang sekelompok dengan yang lain, antara yang satu bangsa dengan yang lain. Masing-masing tidak dapat berdiri sendiri, baik dalam urusan keduniaan, keagamaan dan keakhiratan, melainkan dengan saling tolong-menolong, bantu-membantu serta kokoh mengokohkan. Manakala hal-hal tersebut di atas tidak dilaksanakan baik-baik, maka jangan diharapkan munculnya keunggulan dan kemenangan, bahkan sebaliknya yang akan terjadi, yakni kelemahan seluruh umat Islam, tidak dapat mencapai kemaslahatan yang sesempurna-sempurnanya, tidak kuasa pula melawan musuh-musuhnya ataupun menolak bahaya apapun yang menimpa tubuh kaum Muslimin secara keseluruhan. Semua itu mengakibatkan tidak sempurnanya ketertiban dalam urusan kehidupan duniawiyah, juga urusan diniyah (keagamaan) dan ukhrawiyah. Malahan yang pasti akan ditemui ialah kemusnahan, malapetaka yang bertubi-tubi serta bencana yang tiada habis-habisnya.
وعنه قال : قال رسول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : « مَن مَرَّ فِي شَيْءٍ مِنْ مَسَاجِدِنَا ، أَوْ أَسْوَاقِنَا، ومَعَه نَبْلٌ فَلْيُمْسِكْ ، أَوْ لِيَقْبِضْ عَلَى نِصالِهَا بِكفِّهِ أَنْ يُصِيب أَحَداً مِنَ الْمُسْلِمِينَ مِنْهَا بِشَيْءٍ » متفق عليه
224. Dari Abu Musa radhiyallahu anhu juga, katanya: "Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: "Barangsiapa yang berjalan di sesuatu tempat dari masjid-masjid kita atau pasar-pasar kita sedang ia membawa anak-anak panah, maka hendaklah memegang atau menutupi ujung-ujungnya dengan tapak tangannya, sebab dikuatirkan akan mengenai seorang dari kaum Muslimin dengan sesuatu yang dibawanya tadi." (Muttafaq 'alaih)
وعن النُّعْمَانِ بنِ بشِيرٍ رضي اللَّه عنهما قال : قال رسولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: « مثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وتَرَاحُمِهِمْ وتَعاطُفِهِمْ ، مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَداعَى لهُ سائِرُ الْجسدِ بالسهَرِ والْحُمَّى » متفقٌ عليه
225. Dari an-Nu'man bin Basyir radhiallahu 'anhuma, katanya: "Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: "Perumpamaan kaum Mu'minin dalam hal saling sayang menyayangi, saling kasih mengasihi dan saling iba-mengibai itu adalah bagaikan sesosok tubuh. Jikalau salah satu anggota dari tubuh itu ada yang merasa sakit, maka tertarik pula seluruh tubuh -karena ikut merasakan sakitnya- dengan berjaga -tidak tidur- serta merasa panas." (Muttafaq 'alaih)
وعن أَبي هُريْرَةَ رضي اللَّه عنه قال : قبَّل النَّبِيُّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم الْحسنَ ابن عَليٍّ رضي اللَّه عنهما ، وَعِنْدَهُ الأَقْرعُ بْنُ حَابِسٍ ، فقال الأَقْرَعُ : إِنَّ لِي عَشرةً مِنَ الْولَدِ ما قَبَّلتُ مِنْهُمْ أَحداً فنَظَر إِلَيْهِ رسولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم فقال : «مَن لا يَرْحمْ لا يُرْحَمْ» متفقٌ عليه
226. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, katanya: "Nabi shalallahu alaihi wasalam mencium al-Hasan bin Ali radhiallahu 'anhuma dan di dekat beliau shalallahu alaihi wasalam itu ada seorang bernama al-Aqra' bin Habis, lalu al-Aqra' berkata: "Saya ini mempunyai sepuluh orang anak, belum pernah saya mencium seorangpun dari mereka itu." Rasulullah shalallahu alaihi wasalam lalu memperhatikan orang itu, kemudian bersabda: "Barangsiapa yang tidak menaruh belas kasihan -kepada sesamanya, maka tidak dibelas kasihani -oleh Allah." (Muttafaq 'alaih)
وعن عائشةَ رضي اللَّه عنها قالت : قدِم ناسٌ مِن الأَعْرابِ عَلَى رسول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم، فقالوا : أَتُقبِّلونَ صِبيْانَكُمْ ؟ فقال : « نَعَمْ » قالوا : لَكِنَّا واللَّه ما نُقَبِّلُ ، فقال رسولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : « أَوَ أَمْلِكُ إِنْ كَانَ اللَّه نَزعَ مِنْ قُلُوبِكُمْ الرَّحمَةَ» متفقٌ عليه
227. Dari Aisyah radhiallahu 'anha, katanya: "Ada beberapa orang dari kalangan A'rab -Arab pedalaman- datang kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasalam, lalu mereka berkata: "Adakah Tuan suka mencium anak-anak Tuan?" Beliau shalallahu alaihi wasalam menjawab: "Ya." Mereka berkata: "Tetapi kita semua ini, demi Allah tidak pernah mencium anak-anak itu." Kemudian Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: "Adakah saya dapat mencegah sekiranya Allah telah mencabut sifat belas kasihan itu dari hatimu semua?" (Muttafaq 'alaih)
وعن جرير بن عبد اللَّه رضي اللَّه عنه قال : قال رسول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : « مَنْ لا يرْحَم النَّاس لا يرْحمْهُ اللَّه » متفقٌ عليه
228. Dari Jarir bin Abdullah, radhiyallahu anhu, katanya: "Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: "Barangsiapa yang tidak menaruh belas kasihan kepada sesama manusia, maka Allah juga tidak menaruh belas kasihan padanya." (Muttafaq 'alaih)
وعن أَبي هُريرةَ رضي اللَّه عنه ، أَنَّ رسولَ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قال : « إِذا صلى أَحدُكُمْ للنَّاسِ فلْيُخَفِّفْ ، فَإِنَّ فِيهِمْ الضَّعِيفَ وَالسقيمَ والْكَبِيرَ . وإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ فَلْيطَوِّل ما شَاءَ » متفقٌ عليه. وفي روايةٍ : « وذَا الْحاجَةِ »
229. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: "Jikalau seorang dari engkau semua bershalat menjadi imamnya orang banyak, maka hendaklah meringankannya, sebab di kalangan para makmum itu ada orang lemah, ada orang sakit dan ada pula yang berusia tua. Tetapi jikalau bershalat sendirian -munfarid, maka hendaklah memperpanjangkan shalatnya itu sekehendak hatinya." (Muttafaq 'alaih) Dalam riwayat lain disebutkan: "Di kalangan makmum itu juga ada orang yang mempunyai keperluan -yang hendak segera diselesaikan."
وعن عائشة رضي اللَّه عنها قَالَتْ : إِنْ كَان رسولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم لَيدعُ الْعَمَلَ ، وهُوَ يحِبُّ أَنَ يَعْملَ بِهِ ، خَشْيةَ أَنْ يَعْمَلَ بِهِ النَّاسُ فيُفْرَضَ عَلَيْهِمْ » متفقٌ عليه
230. Dari Aisyah radhiallahu 'anha, katanya: "Sesungguhnya saja Rasulullah shalallahu alaihi wasalam itu niscaya meninggalkan -tidak melakukan- suatu amalan, sedangkan beliau amat suka mengerjakan amalan itu dan ditinggalkannya tadi adalah karena takut kalau orang-orang akan mengamalkan itu, sehingga akan menyebabkan diwajibkannya amalan tersebut atas mereka." (Muttafaq 'alaih)
وعنْهَا رضي اللَّه عنها قالَتْ : نَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم عَن الْوِصال رَحْمةً لهُمْ ، فقالوا: إِنَّكَ تُواصلُ ؟ قال : « إِنِّي لَسْتُ كَهَيئَتِكُمْ إِنِّي أَبِيتُ يُطْعِمُني رَبِّي ويَسْقِيني » متفقٌ عليه مَعناهُ : يجعَلُ فيَّ قُوَّةَ مَنْ أَكَلَ وَشَرَبَ
231. Dari Aisyah radhiallahu 'anha juga, katanya: "Nabi shalallahu alaihi wasalam melarang para sahabat melakukan puasa wishal -tidak berbuka dalam malam hari puasa-, sehingga dua hari puasa dijadikan satu dan terus berpuasa saja. Larangan ini adalah karena belas-kasihan kepada mereka. Para sahabat bertanya: "Sesungguhnya Tuan sendiri suka berpuasa wishal." Beliau shalallahu alaihi wasalam bersabda: "Sesungguhnya saya ini tidaklah seperti keadaanmu semua, karena sesungguhnya saya ini diberi makan serta minum oleh Tuhanku." (Muttafaq 'alaih) Artinya ialah: Saya itu diberi kekuatan seperti orang yang makan dan minum.
وعن أَبي قَتادَةَ الْحارِثِ بنِ ربْعي رضي اللَّه عنه قال : قال رسول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : «إِنِّي لأَقُومُ إِلَى الصَّلاةِ ، وَأُرِيدُ أَنْ أُطَوِّل فِيها ، فَأَسْمعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ ، فَأَتَجوَّزَ فِي صلاتِي كَرَاهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ » رواه البخاري
232. Dari Abu Qatadah yaitu al-Harits bin Rib'i radhiyallahu anhu katanya: "Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: "Sesungguhnya saya berdiri untuk bershalat dan saya bermaksud hendak memperpanjangkannya, kemudian saya mendengar tangisnya seorang anak kecil, lalu saya peringankan shalatku itu karena saya tidak suka membuat kesukaran kepada ibunya." (Riwayat Bukhari)
وعن جُنْدِبِ بن عبد اللَّه رضي اللَّه عنه قال: قال رسولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم:«منْ صَلَّى صَلاةَ الصُّبحِ فَهُوَ فِي ذِمةِ اللَّه فَلا يطْلُبنَّكُمْ اللَّهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ ، فَإِنَّهُ منْ يَطْلُبْهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ يُدرِكْه ، ثُمَّ يكُبُّهُ عَلَى وجْهِهِ في نَارِ جَهَنَّم » رواه مسلم
233. Dari Jundub bin Abdullah radhiyallahu anhu, katanya: "Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: "Barangsiapa yang bershalat Subuh, maka ia adalah di dalam tanggungan Allah, maka itu janganlah sampai Allah itu menuntut kepadamu semua dengan sesuatu dari tanggunganNya -maksudnya jangan sampai mengerjakan kemaksiatan, jangan sampai meninggalkan shalat Subuh, juga shalat-shalat fardhu yang lain, apalagi kalau ditambah dengan mengerjakan berbagai kemungkaran, kemaksiatan dan lain-lain lagi,[23] sebab kalau demikian, maka lenyaplah ikatan janji untuk memberikan tanggungan keamanan dan lain-lain antara engkau dengan Tuhanmu itu." Sebab sesungguhnya barangsiapa yang dituntut oleh Allah dari sesuatu tanggunganNya, tentu akan dicapainya -yakni tidak mungkin terlepas- kemudian Allah akan melemparkannya atas mukanya dalam neraka Jahanam." (Riwayat Muslim)
Keterangan:
Uraian yang tertera di atas itu adalah penafsiran menurut Imam at-Thayyibi. Ada pendapat lain dari sebagian para alim ulama menyatakan bahwa maksud hadits itu ialah: Jangan sampai kamu semua mengerjakan sesuatu yang sifatnya sebagai gangguan kepada orang yang selalu mengerjakan shalat subuh itu dan dengan sendirinya juga shalat-shalat fardhu yang lain, sekalipun gangguan itu tampaknya remeh atau tidak berarti. Dalam hadits lain yang juga diriwayatkan oleh Imam Muslim ialah bahwa yang dikerjakan itu adalah shalat Subuh dengan berjamaah.
Dari kedua macam pendapat di atas, kita dapat menarik kesimpulan, yaitu:
a. Seruan keras kepada kita sekalian kaum Muslimin, agar jangan sekali-kali kita meninggalkan atau melalaikan shalat lima waktu, agar kita senantiasa memperoleh rahmat Allah Ta'ala dan tiada seorangpun yang berani mengganggu kita, karena Allah telah memberikan jaminan sedemikian itu kepada kita.
b. Kita yang sudah mengenal kepada seorang yang keadaan dan sifatnya sebagaimana di atas, jangan sekali-kali kita ganggu, baik dengan lisan atau perbuatan, dengan sengaja atau tidak, juga secara senda-gurau atau tidak. Ringkasnya orang tersebut wajib kita hormati, kita muliakan dan kita ikut melindungi keselamatannya dari perbuatan orang lain yang hendak mengganggunya, sebab ia telah berada dalam jaminan Allah Ta'ala dan menjadi tanggunganNya, untuk mendapatkan ketenteraman, keselamatan dan kesejahteraan.
c. Orang yang berani mengganggu orang sebagaimana di atas itu, berarti menghina pada jaminan atau dzimmah Allah Ta'ala yang telah diberikan kepadanya dan oleh sebab itu maka patutlah apabila dilemparkan saja nanti di akhirat dalam neraka dalam keadaan tertelungkup yakni mukanya di bawah.
Betapa besar meresapnya hadits di atas itu dalam kalbu kaum Muslimin, dapatlah kami kutipkan sebagian keterangan yang ditulis oleh Imam as-Sya'rani dalam kitab al-Haudh, demikian intisarinya: "Di zaman Bani Umayyah memerintah kaum Muslimin, yaitu sepeninggalnya Khulafa' Rasyidin, ada seorang gubernur yang diangkat oleh mereka untuk memerintahdan mengamankan daerah Kufah dan sekitarnya. Gubernur tersebut bernama al-Hajjaj yang terkenal kejam, zalim dan bengis. Banyak alim-ulama yang ia bunuh secara teraniaya atau perintahnya. Namun demikian, manakala ada orang yang dicurigai hendak melawan atau menggulingkan kekuasaan dinasti Umayyah dan orang itu sudah menghadap di mukanya sesudah dipanggil, biasanya al-Hajjaj bertanya kepadanya: "Apakah Anda tadi bershalat Subuh?" Jika dijawab: "Ya," maka orang yang hendak dipenggal lehernya itu dilepaskan kembali. Al-Hajjaj amat takut sekali terlaknat atau mendapatkan azab Allah, sebab ia tentunya juga pernah membaca atau mendengar hadits sebagaimana yang tersebut di atas itu." Kufah kini masuk Republik Irak.
وعن ابن عمر رضي اللَّه عنهما أَنَّ رسول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قال : « المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ ، لا يظْلِمُه ، ولا يُسْلِمهُ ، منْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حاجتِهِ ، ومَنْ فَرَّج عنْ مُسْلِمٍ كُرْبةً فَرَّجَ اللَّهُ عنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يوْمَ الْقِيامَةِ ، ومَنْ ستر مُسْلِماً سَتَرهُ اللَّهُ يَوْم الْقِيَامَةِ » متفقٌ عليه
234. Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma bahwasanya Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: "Seorang Muslim adalah saudaranya orang Muslim lainnya. Janganlah ia menganiayanya, jangan pula menyerahkannya kepada musuhnya. "Barangsiapa memberi pertolongan akan hajat saudaranya, maka Allah selalu menolongnya dalam hajatnya. Dan barangsiapa memberi kelapangan kepada seorang Muslim dari sesuatu kesusahan, maka Allah akan melapangkan orang itu dari sesuatu kesusahan dari sekian banyak kesusahan pada hari kiamat. Dan barangsiapa menutupi cela seorang Muslim, maka Allah akan menutupi cela orang itu pada hari kiamat." (Muttafaq 'alaih)
وعن أَبي هريرة رضي اللَّه عنه قال : قال رسول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : «المُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِم لا يخُونُه ولا يكْذِبُهُ ولا يخْذُلُهُ ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حرامٌ عِرْضُهُ ومالُه ودمُهُ التَّقْوَى هَاهُنا ، بِحسْبِ امْرِىءٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخاهُ المسلم» رواه الترمذيُّ وقال : حديث حسن
235. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, katanya: "Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: "Seorang Muslim adalah saudaranya orang Muslim yang lain. Janganlah ia berkhianat kepada saudaranya itu dan jangan pula mendustainya, juga jangan menghinakannya -juga enggan memberikan pertolongan padanya bila diperlukan. Setiap Muslim terhadap Muslim lainnya itu adalah haram kehormatannya -tidak boleh dinodai, haram hartanya -tidak boleh dirampas- dan haram darahnya -tidak boleh dibunuh tanpa dasar kebenaran. Ketaqwaan itu di sini -dalam hati. Cukuplah seorang itu menjadi orang jelek, jikalau ia menghinakan saudaranya yang sama Muslimnya." Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan.
وعنه قال : قال رسول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : « لا تَحاسدُوا ولا تناجشُوا ولا تَباغَضُوا ولا تَدابرُوا ولا يبِعْ بعْضُكُمْ عَلَى بيْعِ بعْضٍ ، وكُونُوا عِبادَ اللَّه إِخْواناً. المُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِم لا يَظلِمُه ولا يَحْقِرُهُ ولا يَخْذُلُهُ . التَّقْوَى هَاهُنا ويُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مرَّاتٍ بِحسْبِ امْرِيءٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِر أَخاهُ المسلم . كُلَّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حرامٌ دمُهُ ومالُهُ وعِرْضُهُ » رواه مسلم .
236. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu pula, katanya: "Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: "Janganlah engkau semua hasad-menghasad, jangan pula kicuh-mengicuh, jangan benci-membenci, jangan seteru-menyeteru -saling bermusuhan- dan jangan pula setengah dari engkau semua itu menjual atas jualannya orang lain. Dan jadilah hamba Allah sebagai saudara. Seorang Muslim itu adalah saudara orang Muslim yang lain. Janganlah ia menganiaya saudaranya, jangan merendahkannya dan jangan menghinakannya -enggan memberikan pertolongan padanya. Ketaqwaan itu ada di sini -dan beliau menunjuk ke arah dadanya sampai tiga kali. Cukuplah seorang itu menjadi orang jelek, jikalau ia menghinakan saudaranya sesama Muslimnya. Setiap orang Muslim terhadap orang Muslim yang lain itu haram darahnya, hartanya dan kehormatannya." (Riwayat Muslim)
« النَّجَش » أَنْ يزِيدَ فِي ثَمنِ سلْعةٍ يُنَادِي عَلَيْهَا فِي السُّوقِ ونحْوهِ ، ولا رَغْبةَ لَه فِي شِرائهَا بَلْ يقْصِد أَنْ يَغُرَّ غَيْرهُ ، وهَذا حرامٌ . « والتَّدابُرُ » : أَنْ يُعرِض عنِ الإِنْسانِ ويهْجُرَهُ ويجعلَهُ كَالشَّيءِ الذي وراءَ الظهْر والدُّبُرِ
Annajsyu atau mengicuh ialah apabila seorang itu menambah harga sesuatu barang dagangan lebih dari yang diumumkan di pasar atau lain-lain sebagainya, sedangkan ia tidak ada keinginan hendak membelinya. Tetapi ia berbuat demikian itu semata-mata akan menipu orang lain saja. Perbuatan semacam ini haram hukumnya. Takabbur ialah jikalau seorang tidak menghiraukan orang lain, meninggalkan berbicara dengannya dan menganggap orang itu sebagai benda yang ada di belakang punggung atau duburnya.
Keterangan:
Ada beberapa kelakuan buruk yang diperhatikan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasalam agar kita semua menjauhinya. Di antaranya ialah:
1. Hasad, dengki atau iri hati.
2. Mengicuh ialah mengatakan pada seorang dengan harga tinggi atau mengatakan bahwa ia telah menawar sekian, tetapi belum diberikan. Padahal sebenarnya tidak dan berbuat sedemikian itu perlu menjerumuskan orang lain agar suka membeli dengan harga tinggi itu dan ia sendiri akan menerima sebagian keuntungan dari penjualannya itu nanti.
3. Benci membenci.
4. Seteru menyeteru (saling bermusuhan).
5. Menjual atas jualannya orang lain yakni seperti seorang pedagang yang berkata kepada seorang pembeli: "Jangan jadi beli di sana dan saya mempunyai barang yang mutunya lebih baik dan harganya lebih murah. Belilah kepada saya saja."
Demikian pula kalau ada seorang yang berkata kepada seorang pedagang: "jangan jadi dijual pada si A itu dan saya suka membeli itu dengan harga yang lebih tinggi dari penawarannya." Semua itu dilarang oleh beliau shalallahu alaihi wasalam Tidak lain kepentingannya agar kita sesama makhluk Allah ini dapat hidup rukun dan damai. Hal ini bukan hanya untuk digunakan antara seorang menghadapi orang lain, tetapi juga antara golongan dengan golongan lainnya, juga antara satu bangsa dengan bangsa lainnya. Kalau saja ini dilaksanakan, rasanya tidak perlu lagi membicarakan bagaimana perdamaian dunia dapat diciptakan, sebab masing-masing dapat menghormati yang lainnya. Jikalau ajaran di atas itu harus digunakan untuk umum, tanpa pandang bulu, kebangsaan, agama, faham pribadi dan lain-lain maka yang di bawah ini ditekankan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasalam, terutama sekali antara kita sesama umat Islam, yaitu seorang Muslim wajiblah menunjukkan sikap persaudaraan terhadap Muslim lainnya tanpa memandang golongannya, bermazhab atau tidaknya, kepartaiannya dan lain-lain lagi. Maka itu kita semua diperintah oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasalam jangan sampai melakukan:
a. Menganiaya, lebih-lebih merampas haknya.
b. Membiarkan kawannya, padahal memerlukan pertolongan, nasihat dan lain-lain sebagainya.
c. Mendustai.
d. Menghina.
Singkatnya semua itu wajib didasarkan kepada taqwallah yang ditunjukkan oleh beliau shalallahu alaihi wasalam bahwa letak taqwa itu bukan di bibir, bukan dengan pernyataan terbuka atau tertulis, bukan dengan ucapan yang kosong melompong, tetapi letaknya ialah di dalam hati lalu dicetuskan dalam tindakan yang nyata. Oleh sebab itu dianggap demikian pentingnya, sehingga beliau shalallahu alaihi wasalam mengucapkan taqwa tadi dengan menunjukkan letaknya yaitu di dalam dada atau hati dan itu diulanginya sampai tiga kali berturut-turut. Akhirnya Rasulullah shalallahu alaihi wasalam menegaskan bahwa seorang itu cukup disebut orang jahat kalau sampai menghinakan sesama Muslimnya dengan cara apapun juga seperti perkataan, isyarat tangan, cibiran bibir dan lain-lain ataupun dengan dalih atau alasan apapun. Juga antara seorang Muslim dengan Muslim lainnya itu sama sekali diharamkan mengalirkan darahnya, merampas haknya atau merusak kehormatannya. Kalau saja ajaran agama ini tidak dilaksanakan, mustahillah kalau umat Islam akan dapat merebut kejayaannya sebagaimana nenek moyangnya dahulu. Bukan mustahil lagi, tetapi yakin akan dapat diperoleh. Ada satu hal yang perlu dimaklumi, sehubungan dengan larangan yang berbunyi: "Jangan kamu semua menjual atas jualannya orang lain". Pertanyaannya ialah: Apakah menjual cara lelang itu haram? Jual lelang itu maksudnya ialah menunjukkan suatu benda lalu ditawarkan kepada orang banyak. Seorang menawar lalu ada yang menambah dengan harga lebih tinggi, orang lain lagi menambahnya pula. Demikian sampai tidak ada yang mengatasinya, kemudian benda itu diberikan kepada orang yang menawar dengan harga tertinggi. Hukum lelang itu dalam Islam diperbolehkan dan bukan haram, dengan berdasarkan suatu Hadis yang mengisahkan perbuatan Rasulullah shalallahu alaihi wasalam sendiri, yaitu: Suatu ketika datanglah seorang yang sedang dalam kesukaran hidup kepada Nabi shalallahu alaihi wasalam untuk meminta sesuatu kepadanya, tetapi beliau shalallahu alaihi wasalam menolaknya karena memang tidak ada yang dapat diberikan padanya. Orang itu mengatakan bahwa ia masih mempunyai dua benda yang dapat dijual, yaitu lapik pelana dan gelas minum. Keduanya dibawa ke tempat Nabi shalallahu alaihi wasalam lalu ditawarkan kepada sahabat-sahabatnya demikian: "Siapakah yang suka membeli lapik kuda dan gelas ini?" Kemudian ada seorang yang berkata: "Saya suka mengambil (membeli) kedua benda itu dengan harga sedirham. Beliau shalallahu alaihi wasalam lalu bersabda lagi: "Siapakah yang suka menambah dengan sedirham?" Orang-orang sama berdiam diri. Lalu beliau shalallahu alaihi wasalam bertanya lagi seperti di atas. Selanjutnya ada seorang yang berkata: "Saya suka mengambil (membeli) keduanya dengan harga dua dirham." Rasulullah lalu bersabda: "Kedua benda ini milikmu." Jadi cara jual beli lelangan bukannya termasuk larangan sebagaimana di atas. Maka hukumnya boleh dilakukan.
وعن أَنسٍ رضي اللَّه عنه عن النبي صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قال : « لا يُؤْمِنُ أَحدُكُمْ حتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ » متفقٌ عليه
237. Dari Anas radhiyallahu anhu dari Nabi shalallahu alaihi wasalam, sabdanya: "Tidaklah sempurna keimanan seorang dari engkau semua itu, sehingga ia mencintai untuk diterapkan kepada saudaranya sebagaimana ia mencintai kalau itu diterapkan untuk dirinya sendiri." (Muttafaq 'alaih)
وعنه قال : قال رسول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم : « انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِماً أَوْ مَظْلُوماً» فقَالَ رَجُلٌ: يَا رسول اللَّه أَنْصرهُ إِذَا كَانَ مَظلُوماً أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ ظَالِماً كَيْفَ أَنْصُرُهُ ؟ قال: « تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنعُهُ مِنَ الظُّلْمِ فَإِنَّ ذلِك نَصْرُهْ » رواه البخاري
238. Dari Anas radhiyallahu anhu juga, katanya: "Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: "Tolonglah saudaramu itu, baik ia sebagai orang yang menganiaya atau yang dianiaya." Ada seorang lelaki bertanya: "Ya Rasulullah, saya dapat menolongnya jikalau ia memang dianiaya. Tetapi bagaimanakah pendapat Tuan, jikalau ia sebagai orang yang menganiaya? Bagaimanakah cara saya menolongnya itu?" Beliau shalallahu alaihi wasalam menjawab: "Hendaklah ia engkau cegah atau engkau larang dari perbuatan penganiayaannya itu, sebab demikian itulah cara menolongnya." (Riwayat Bukhari)
وعن أَبي هريرة رضي اللَّه عنه أَنَّ رسول الَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قال : « حقُّ الْمُسْلمِِ عَلَى الْمُسْلِمِ خمسٌ : رَدُّ السَّلامِ ، وَعِيَادَةُ الْمرِيضَ ، واتِّبَاعُ الْجنَائِزِ ، وإِجابة الدَّعوةِ ، وتَشمِيت العْاطِسِ » متفق عليه .
239. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: "Haknya seorang Muslim terhadap orang Muslim yang lain itu ada lima perkara yaitu menjawab salam, meninjau yang sakit, mengikuti jenazahnya, mengabulkan undangannya dan bertasymit kepada yang bersin -yakni kalau seorang bersin dan mengucapkan Alhamdulillah, maka yang mendengar hendaklah mentasymitkan -mendoakan- dengan mengucapkan: Yarhamukallah, artinya: Semoga Allah merahmatimu, kemudian yang bersin itu menjawab: Yahdikumullah wa yushlihu balakum, artinya: Semoga Allah memberi petunjuk padamu dan memperbaiki hatimu." (Muttafaq 'alaih)
وفي رواية لمسلمٍ : « حق الْمُسْلمِ سِتٌّ : إِذا لقِيتَهُ فسلِّم عليْهِ ، وإِذَا دَعاكَ فَأَجبْهُ ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصحْ لهُ ، وإِذا عطَس فحمِد اللَّه فَشَمِّتْهُ . وَإِذَا مرِضَ فَعُدْهُ ، وَإِذَا ماتَ فاتْبعهُ».
Dalam riwayat Muslim disebutkan demikian: "Hak seorang Muslim terhadap orang Muslim lainnya itu ada enam perkara, yaitu jikalau engkau bertemu dengannya, maka berilah salam kepadanya, jikalau ia mengundangmu, maka kabulkanlah undangannya, jikalau ia meminta nasihat kepadamu, maka berilah ia nasihat, jikalau ia bersin kemudian mengucapkan Alhamdulillah, maka tasymitkanlah ia, jikalau ia sakit, tinjaulah ia dan jikalau ia meninggal dunia, maka ikutilah jenazahnya." (Riwayat Muslim)
وعن أَبي عُمارة الْبراءِ بنِ عازبٍ رضي اللَّه عنهما قال : أَمرنا رسولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم بِسبْعٍ : أَمرنَا بِعِيادة الْمرِيضِ ، وَاتِّبَاعِ الْجنازةِ ، وتَشْمِيتِ الْعاطِس ، وَإِبْرارِ الْمُقْسِمِ ، ونَصْرِ المظْلُومِ ، وَإِجابَةِ الدَّاعِي ، وإِفْشاءِ السَّلامِ . وَنَهانَا عَنْ خواتِيمَ أَوْ تَختُّمٍ بالذَّهبِ ، وَعنْ شُرْبٍ بالفَضَّةِ ، وعَنِ المياثِرِ الحُمْرِ ، وَعَنِ الْقَسِّيِّ ، وَعَنْ لُبْسِ الحَرِيرِ وَالإِسْتَبْرَقِ وَالدِّيبَاجِ . متفق عليه .
240. Dari Abu Umarah, yaitu al-Bara' bin 'Azib radhiallahu 'anhuma, katanya: "Rasulullah shalallahu alaihi wasalam menyuruh kita melakukan tujuh perkara dan melarang kita tujuh perkara pula. Kita semua diperintah meninjau orang sakit, mengikuti jenazah, mentasymitkan orang yang bersin, menuruti orang yang bersumpah -misalnya seorang berkata kepada kita: Demi Allah, hendaklah engkau begini, maka orang yang diminta melakukannya itu supaya meluluskan permintaannya, menolong orang yang dianiaya, mengabulkan undangan orang yang mengundang, serta menyebarkan salam -kepada orang yang sudah dikenal atau yang belum dikenal. Beliau shalallahu alaihi wasalam melarang kita mengenakan cincin yakni bercincin emas -untuk kaum lelaki-, minum dengan wadah yang terbuat dari perak, hiasan-hiasan sutera merah -ini kebiasaannya saja, jadi selain sutera merah dilarang pula untuk kaum lelaki, juga mengenakan baju sutera campur katun, lagi pula mengenakan sutera istabraq -sutera tebal- dan dibaj -umumnya sutera murni." (Muttafaq 'alaih)
وفي روايةٍ : وإِنْشَادِ الضَّالةِ فِي السَّبْعِ الأُولِ .
« المياثِرِ » بيَاء مُثَنَّاةٍ قبْلَ الأَلِفِ ، وَثَاء مثلثة بعْدَهَا ، وَهِيَ جمْعُ مَيْثِرةٍ ، وَهِي شَيْءٌ يتَّخَذُ مِنْ حرِيرٍ وَيُحْشَى قُطْناً أَوْ غَيْرَهُ ويُجْعلُ فِي السُّرُجِ وكُورِ الْبعِيرِ يجْلِسُ عَلَيْهِ الرَّاكِبُ «والقَسيُّ» بفتحِ القاف وكسر السينِ المهملة المشدَّدةِ : وَهِيَ ثِيَابٌ تُنْسَجُ مِنْ حَرِيرٍ وكَتَّانٍ مُخْتَلِطَيْنِ . « وإِنْشَادُ الضَّالَّةِ » : تَعرْيفُهَا
Dalam suatu riwayat disebutkan: "Diperintahkan pula mengumumkan benda yang hilang." Ini ditambahkan dalam golongan tujuh yang pertama yakni yang diperintahkan. Almayatsir, dengan ya' mutsannat [24]di bawah sebelumnya ada alifnya dan tsa' mutsallatsah sesudahnya, adalah jamak dari kata maitsarah. Artinya ialah sesuatu hiasan yang dibuat dari sutera dan di isi dengan kapuk ataupun lain-lainnya, lalu diletakkan di tempat kenaikan kuda atau tempat duduk di unta yang di situlah pengendaranya duduk. Alqassiy dengan fathah qafnya dan dikasrahkan sin muhmalah [25] yang disyaddah, artinya ialah pakaian yang dibuat sebagai tenunan dari sutera dan katun yang dicampurkan. Insyadudh-dhallah, yaitu mengumumkan sesuatu yang hilang, untuk dikembalikan kepada pemiliknya.
Catatan Kaki:
[23] Jadi yang sudah bershalat Subuh dan dengan sendirinya mengerjakan shalat fardhu lain-lain yang diwajibkan yaitu dengan Subuhnya sekali berjumlah lima waktu itu, jangan sampai berbual -berkata- suatu keburukan yang berupa apapun. Sebabnya ialah dengan berbuat keburukan yang bagaimanapun macamnya adalah sebagai suatu penghinaan pada shalatnya sendiri yang semestinya dapat mencegah segala kejahatan dan kemungkaran. Oleh sebab itu besar sekali siksaan Allah padanya, jika orang yang sudah bershalat itu masih juga berani melakukan hal-hal yang berdosa itu.
[24] "Mutsannat", artinya bertitik dua, adakalanya: Minfawqu (di atas lalu menjadi ta') dan adakalanya: Min tahtu (di bawafi lalu menjadi ya'). "Mutsailatsah", artinya bertitik tiga, sedang "Muwahhadah", artinya bertitik satu. Ini dua macam, jika di atas lalu menjadi ba' dan jika di bawah lalu menjadi nun.
[25] "Muhmalah", artinya dikosongkan, maksudnya tidak bertitik. Kebalikannya ialah "Mu'jamah," yaitu bertitik. "Musyaddadah," artinya disyaddahkan, sedang kebalikannya ialah "Mukhaffafah," artinya tidak disyaddahkan. Arti aslinya musyadadah itu di beratkan dan mukhaffafah itu diringankan.
0 Comments:
Posting Komentar
Silahkan di tanyakan