ARBAIN HADITS KEDUA PULUH
MEMBUDAYAKAN SIFAT MALU
عَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بِنْ عَمْرٍو الأَنْصَارِي الْبَدْرِي رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى، إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
[رواه البخاري ]
Terjemah hadits / ترجمة الحديث :
Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr Al Anshary Al Badry radhiallahuanhu dia berkata: Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya ungkapan yang telah dikenal orang-orang dari ucapan nabi-nabi terdahulu adalah : Jika engkau tidak malu perbuatlah apa yang engkau suka (Riwayat Bukhori).
TakhriJ
ü Imam Al Bukhari dalam Jami’ush Shahih No. 3484, 6120, juga dalam Adabul Mufrad No. 597, 1316
ü Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 607
ü Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 7734, 7736, juga As Sunan Al Kubra No. 20576
ü Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 17131, 17139, 22399, 23302
ü Imam Ibnu Al Ju’di dalam Musnadnya No. 819
ü Imam Al Qudha’i dalam Musnad Asy Syihab No. 1153, 1154,1156
ü Imam Abu Daud Ath Thayalisi dalam Musnadnya No. 621, 655
ü Imam Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Musykilul Aatsar No.1327, 1328, 1329
ü Imam Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 20149
ü Imam Ibnu ‘Asakir dalam Al Mu’jam No. 582, 1197
Malu, Ajaran Para Nabi Yang Tak
Pernah Sirna
Ajaran para nabi, sejak nabi pertama hingga nabi terakhir, ada yang sudah sirna
dan ada yang tidak. Di antara ajaran yang tidak pernah sirna adalah rasa malu.
Hal ini menunjukkan bahwa rasa malu memiliki kedudukan yang sangat tinggi di
dalam agama. Oleh karena itu harus mendapat perhatian yang mendalam.
Jika Tak Punya Rasa Malu
Berbuatlah Sesukamu!
Ulama berbeda pendapat dalam memahami sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam: “berbuatlah sesukamu”, sebagian
memahami sebagai perintah dan sebagian yang lain memahami bukan sebagai perintah.
Ulama yang memahami sebagai perintah, menjelaskan bahwa jika sesuatu yang
hendak diperbuat tidak mendatangkan rasa malu maka lakukanlah sesuai dengan
yang diinginkan. Dan ulama yang memahami bukan sebagai perintah, ada dua
penjelasan yaitu:
1. Maknanya sebagai ancaman. Ancaman bagi yang tidak memiliki rasa malu yang berbuat memperturutkan hawa nafsunya.
2. Maknanya sebagai berita. Memberitakan barang siapa yang tidak memiliki rasa malu pasti akan berbuat sesuka hatinya.
3. Semua pendapat di atas memiliki kemungkinan benar.
URGENSI HADITS
Jika makna malu adalah mencegah dari melakukan sesuatu yang tercela, maka seruan untuk memiliki malu, pada dasarnya adalah seruan untuk mencegah segala maksiat dan kejahatan. Di samping itu rasa malu adalah ciri khas dari kebaikan, yang senantiasa diinginkan oleh manusia. Mereka melihat bahwa tidak memiliki rasa malu adalah kekurangan dan suatu aib.
Rasa malu juga merupakan bagian dari kesempurnaan iman. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi: “Malu adalah bagian dari keimanan.” Juga haditsnya yang lain: “Rasa malu selalu mendatangkan kebaikan.” (HR Bukhari dan Muslim)
Pada dasarnya, Islam dalam keseluruhan hukum dan ajarannya, adalah ajakan yang bertumpu pada kebaikan dan kebenaran. Juga merupakan seruan untuk meninggalkan segala hal yang tercela dan memalukan karena itulah, Imam Nawawi memilih hadits ini untuk ditempatkan dalam kitab Arba’in yang disusunnya.
Mengenai hadits ini beliau berkata, “Siklus hukum-hukum Islam berada dalam hadits ini.” Maksudnya perintah yang bermakna wajib atau sunah, orang akan malu untuk tidak melaksanakannya. Sedangkan larangan yang bermakna haram atau makruh, orang akan malu untuk melanggarnya. Sedangkan terhadap apa-apa yang dibolehkan [mubah] maka rasa malu karena melakukannya atau sebaliknya tidak ada masalah. Dengan demikian hadits ini mencakup lima hukum yang ada.”
KANDUNGAN HADITS
1. Warisan para Nabi.
Rasa malu adalah sumber akhlak yang terpuji, juga merupakan pendorong untuk
melakukan kebaikan dan meninggalkan kejahatan. Wajar jika ia merupakan
peninggalan nabi-nabi terdahulu. Yang tidak terhapus sebagaimana syariat yang
lain. Lalu terpelihara secara turun-temurun. Diwarisi para Nabi dari zaman ke
zaman hingga akhirnya sampai kepada umat Islam. Jika rasa malu adalah warisan
dari para nabi dan rasul, juga jelas-jelas disebutkan dalam al-Qur’an, maka
kita wajib memelihara rasa malu yang telah diberikan Allah kepada kita.
Menjadikannya akhlak, agar warisan para nabi tersebut tetap terpelihara dan
menghiasi kehidupan.
2. Pengertian hadits
Terdapat tiga versi penjabaran, ketika mengartikan hadits di atas:
a. Perintah, dalam hadits ini menunjukkan ancaman. Seakan Rasulullah saw.
bersabda: “Jika kalian tidak memiliki rasa malu maka lakukanlah sekehendakmu,
dan Allah swt. akan memberikan siksa yang pedih.” Perintah semacam ini terdapat
juga dalam al-Qur’an: “Berbuatlah sesuka hati kalian.” (Fushshilat: 41)
b. Perintah, dalam hadits ini berarti pemberitahuan. Seolah dadits di atas
memberitakan bahwa jika seseorang tidak memiliki rasa malu, ia akan melakukan
apa saja. karena yang bisa mencegah dari perbuatan keji adalah rasa malu. Tidak
heran jika rasa malu telah tiada, ia akan asyik dengan segala bentuk perbuatan
keji dan munkar.
c. Perintah, dalam hadits ini, menunjukkan ibahah [dibolehkan]. Artinya, jika
kalian tidak malu untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak dilarang oleh
syara’ maka lakukanlah. Karena pada prinsipnya, sesuatu yang tidak dilarang
oleh syara’ maka boleh dilakukan.
Namun demikian, yang paling shahih dari tiga pengertian di atas adalah
pengertian pertam. Meskipun Imam Nawawi lebih memilih pengertian ketiga dan
Ibnu Qutaibah memilih pengertian kedua.
3. Dua macam rasa malu.
a. Rasa malu pembawaan.
Yaitu rasa malu yang sudah dibawa manusia sejak lahir. Rasa malu ini bisa
membawa pemiliknya kepada akhlak yang mulia, yang diberikan Allah swt. pada
hamba-Nya. Jika rasa malu ini terus tumbuh dan berkembang, maka seseorang tidak
akan melakukan maksiat, perbuatan keji, dan berbagai perilaku yang menunjukkan
kerendahan akhlak. Karena itu, rasa malu merupakan sumber kebaikan dan salah
satu cabang dari keimanan. Rasulullah saw. bersabda: “Rasa malu adalah salah
satu cabang dari cabang-cabang keimanan.”
Rasulullah saw. sendiri lebih pemalu daripada seorang
gadis dalam pingitan.
Diriwayatkan bahwa Umar ra. berkata: “Barangsiapa yang merasa malu maka ia akan
bersembunyi. Barangsiapa yang bersembunyi maka akan berhati-hati, dan
barangsiapa yang hati-hati maka ia akan terjaga.”
b. Rasa malu yang diperoleh melalui usaha.
Yaitu rasa malu yang didapat seseorang setelah ia mengenal Allah swt.
mengetahui keagungan-Nya, kedekatan-Nya terhadap hamba-Nya, bahwa Allah swt.
senantiasa mengawasi hamba-hamban-Nya dan bahwa Allah swt. mengetahui apa yang
tampak dan apa yang tersembunyi, sekalipun dalam hati.
Seorang muslim yang berusaha mendapatkan “rasa malu” ini, akan dapat memperoleh
keimanan dan sikap ihsan yang paling tinggi derajatnya.
Rasa malu ini, juga bisa diperoleh setelah seorang hamba menyadari betapa besar nikmat Allah swt. dan meraswa bahwa ia masih teramat kurang dalam mensyukuri nikmat-nikmat tersebut.
Imam Ahmad dan Tirmidzi meriwayatkan secara marfu’ [bersumber dari Rasulullah saw.] bahwa Ibnu Mas’ud, “Merasa malu kepada Allah adalah dengan menjaga kepala dan apa yang dipikirkan, perut dan apa yang ada di dalamnya, dan selalu mengingat mati dan cobaan. Barangsiapa yang menghendaki akhirat maka ia akan meninggalkan perhiasan dunia. Dan siapapun yang melakukan hal tersebut maka ia telah memiliki rasa malu kepada Allah.”
Jika dalam diri manusia, tidak ada lagi rasa malu, baik yang bersifat bawaan maupun yang diusahakan, maka tidak ada lagi yang menghalanginya untuk melakukan perbuatan keji dan hina. Bahkan menjadi seperti orang yang tidak memiliki keimanan sama sekali, sehingga tidak ada bedanya dengan golongan setan.
4. Rasa malu yang tercela.
“Rasa malu” yang dapat menjadikan seseorang menghindari perbuatan keji adalah
akhlak yang terpuji, karena akan menambah sempurnanya iman dan tidak
mendatangkan satu perbuatan kecuali kebaikan. Namun rasa malu yang berlebihan
hingga membuat pemiliknya senantiasa dalam kekacauan dan kebingungan serta
menahan diri untuk berbuat sesuatu yang sepatutnya tidak perlu malu untuk
melakukannya, maka hal ii adalah akhlak yang tercela, karena ia merasa malu
bukan pada tempatnya.
Seorang ulama berkata: “Malu bukan pada tempatnya adalah
kelemahan.”
Hasan al-Bahsri berkata: “Malu ada dua macam: yang pertama adalah bagian dari
iman, dan yang kedua merupakan kelemahan.”
Bisyr bin Ka’b al-‘Adawi berkata kepada Imran bin Hushain
ra. “Kami mendapati dalam beberapa catatan, bahwa malu yang mendatangkan
ketenangan dan ketakwaan kepada Allah swt, dan ada yang mendatangkan
kelemahan.” Imran marah dan berkata; “Aku beritahukan kepadamu, apa yang
disabdakan oleh Rasulullah saw., lantas kamu berbeda pendapat.”
Pendapat yang benar adalah yang dikatakan oleh Imran ra. bahwa rasa malu yang
tertuang dalam sabda Rasulullah saw. adalah rasa malu yang menjadi pendorong
untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan. Adapun sikap meninggalkan
perintah Allah swt. atau perbuatan baik yang lain, bukanlah termasuk sifat malu
yang terpuji.
5. Malu bagi Muslimah
Wanita muslimah dihiasi oleh rasa malu. Mereka mendampingi laki-laki dalam
menjalani kehidupan dan mendidik anak-anak dengan fitrah kewanitaannya yang
masih bersih. Hal ini sebagaimana diisyaratkan Allah swt. dalam al-Qur’an,
ketika bercerita tentang salah satu putri Nabi Syu’aib yang diperintahkan untuk
memanggil Nabi Musa, “Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari wanita
itu, berjalan dengan malu-malu, ia berkata, “Sesungguhnya bapakku memanggil
kamu agar ia memberi balasan terhadap [kebaikan]mu memberi minum [ternak]
kami.” (al-Qashash: 25)
Puteri Syu’aib as. berjalan dengan penuh rasa iffah [kebersihan jiwa] ketika bertemu seorang laki-laki. Berjalan dengan penuh rasa malu dan jauh dari usaha untuk menarik perhatian. Meskipun demikian, ia tetap mampu menguasai diri dan menyampaikan apa yang harus disampaikan dengan jelas. Inilah rasa malu yang bersumber dari fitrah yang suci.
Seorang gadis yang anggun dan shalihah, secara fitrah akan merasa malu ketika bertemu dan berbicara dengan laki-laki. Akan tetapi karena kesucian dan keitiqamahannya ia tidak sanggup, ia berbicara jelas dan sebatas keperluan.
Adapun wanita yang senantiasa bersolek, pergi tanpa muhrim, bahkan bercampur baur dengan laki-laki yang bukan muhrimnya, tanpa ada keperluan yang dibolehkan secara syar’i, maka wanita seperti ini jelas bukan didikan al-Qur’an ataupun Islam. Mereka ini telah mengganti rasa malu dan ketaatan kepada Allah swt. dengan rasa tidak tahu malu, kemaksiatan, dan berbagai perbuatan keji. Dengan demikian mereka telah membantu terealisasinya keinginan musuh Allah swt untuk melakukan kerusakan.
6. Buah dari rasa malu.
Rasa malu akan membuahkan iffah [kesucian diri]. Maka barangsiapa yang memiliki
rasa malu, hingga dapat mengendalikan diri dari perbuatan buruk, berarti ia
telah menjaga kesucian dirinya. Rasa malu juga akan membuahkan sifat wafa’
[selalu menepati janji]. Ahnaf Ibnu Qais berkata: “Dua hal yang tidak akan
berpadu dalam diri seseorang: dusta dan harga diri. Sedangkan harga diri akan
melahirkan sifat shidiq [berkata benar], wafa’, malu dan ‘iffah.”
7. Lawan dari rasa malu.
Kebalikan dari rasa malu adalah tidak tahu malu. Ini adalah sifat tercela,
karena mendorong pemiliknya untuk melakukan kejahatan, tidak peduli dengan
segala cercaan, hingga ia melakukan segala kejahatannya dengan terang-terangan.
Rasulullah saw. bersabda: “Semua hambaku akan dimaafkan, kecuali orang yang melakukan maksiat dengan terang-terangan.”
Orang yang tidak memiliki rasa malu kepada Allah dan kepada sesama manusia, tidak akan jera dalam melakukan kejahatannya kecuali dengan hukuman yang tegas dan keras. Karena, ada sebagian orang yang memiliki rasa takut dan tidak memiliki rasa malu.
8. Tugas orang tua dan para pendidik
Orang tua dan para pendidik berkewajiban untuk menanamkan rasa malu secara
sungguh-sungguh. Untuk itu, hendaknya mereka menggunakan berbagai metode
pendidikan yang baik, seperti: mengawasi perilaku anak-anak dan segera
meluruskannya jika melihat perbuatan yang bertentangan dengan rasa malu,
memilihkan teman bermain yang baik, memilihkan buku-buku yang bermanfaat,
menjauhkan dari berbagai tontonan yang merusak, dan menjauhkan dari ucapan yang
tidak baik.
9. Rasa malu adalah kebaikan. Jadi semakin tebal rasa malu, maka semakin baik keimanannya, dan semakin sedikit rasa malu yang dimiliki, maka semakin sedikit kebaikannya.
10. Tidak perlu ada rasa malu, saat mengajarkan masalah-masalah agama dan saat mencari kebenaran. Allah swt. berfirman: “Dan Allah tidak malu [menerangkan] yang benar.” (al-Ahzab: 53)
0 Comments:
Posting Komentar
Silahkan di tanyakan