KEDUDUKAN IBU TIRI DALAM ISLAM
Penanya:
Ny. Listiani, Banjarnegara, Jawa Tengah
Pertanyaan:
Pada tayangan televisi, sering ditayangkan keserakahan ibu tiri, yang kehadirannya selalu dicurigai oleh keluarga suami, seakan-akan mereka ingin menguasai harta si suami. Di mana Islam menempatkan kedudukan seorang ibu tiri?
Jawaban:
Tayangan keserakahan ibu tiri di televisi kiranya tidak dapat dijadikan ukuran terhadap citra ibu tiri pada umumnya. Boleh jadi masih banyak ibu tiri yang berperilaku baik yang mencerminkan perilaku istri yang shalihah, yang menyayangi anak tirinya bagaikan anak kandungnya dan menjalin hubungan baik (silaturrahim) dengan keluarga suaminya. Demikian pula keluarga suami menjalin sikap yang bersahabat dengannya.
Namun saying perilaku ibu tiri yang baik, nyaris tidak pernah ditayangkan di televisi. Kami sangat optimis jika ada atau bahkan sering ditayangkan perilaku ibu tiri yang baik, demikian pula keluarga suaminya yang sangat bersahabat itu, akan menjadi sebagian dari upaya pendidikan kepada masyarakat, yakni menjadi tauladan bagi istri yang kebetulan menjadi ibu tiri dan keluarga suaminya serta masyarakat pada umumnya. Pada gilirannya diharapkan dapat mengurangi citra serakah seorang ibu tiri dan sikap curiga keluarga suaminya.
Sikap serakah pada hakekatnya adalah ingin memiliki sesuatu yang bukan haknya, atau dengan kata lain memiliki sesuatu dengan cara yang batil. Islam mengajarkan agar para pemeluknya tidak memiliki sikap dan berperilaku serakah. Allah SWT berfirman:
وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ ... [البقرة (2): 188].
Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil …” [QS. al-Baqarah (2): 188].
Demikian pula Islam melarang mencurigai orang lain bersikap atau berperilaku yang tidak baik, atau berburuk sangka terhadap orang lain. Dalam al-Qur’an disebutkan:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ. [الحجرات (49): 12].
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.” [QS. al-Hujurat (49): 12].
Dalam al-Hadits diterangkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ. [رواه البخاري ومسلم].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah saw bersabda: Hindarilah olehmu berprasangka (yang tidak baik), sesungguhnya prasangka itu sedusta-dusta berita.” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Demikianlah sekedar ajaran Islam tentang serakah dan sikap curiga, sedangkan tentang kedudukan ibu tiri dalam keluarga kami jelaskan di bawah ini.
Ibu tiri yang masih terikat perkawinan dari suaminya pada hakikatnya adalah istri dari suaminya dan kedudukannya sama dengan kedudukan seorang istri. Hal ini berarti bahwa hak dan kewajibannya sama dengan hak dan kewajiban seorang istri terhadap suaminya. Hak dan kewajiban suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga diatur sedemikian rupa oleh ajaran Islam yang tertuang dalam al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah saw.
Dengan demikian, seandainya suatu rumah tangga Muslim mengikuti ajaran agama Islam yang berhubungan rumah tangga dengan benar sesuai dengan petunjuk Allah SWT dan Rasul-Nya, niscaya apa yang ditayangkan pada televisi itu tidak akan terjadi. Seandainya terjadi juga pada suatu keluarga Muslim, mungkin disebabkan sebagian atau salah seorang anggota keluarga seperti suami, istri, anak-anak, orang tua, saudara-saudara dan sebagainya tidak faham atau tidak mau melaksanakan ajaran Islam dalam mengatur rumah tangga karena ada suatu kepentingan diri mereka dalam rumah tangga itu.
Dalam ajaran Islam diatur hak-hak istri sebagai berikut:
1. Istri berhak mendapat nafakah yang wajar dari suaminya, sesuai dengan kesanggupan suami dan diambilkan dari harta suami. Allah SWT berfirman:
... وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ ... [البقرة (2): 233].
Artinya: “ … dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian …” [QS. al-Baqarah (2): 233].
2. Istri berhak memperoleh tempat tinggal yang layak dari suaminya. Allah SWT berfirman:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلاَ تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولاَتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى. [الطلاق (65): 6].
Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” [QS. ath-Thalaq (65): 6].
Dan hadits-hadits:
عَنْ جَابِرٍ فِي حَدِيْثِ الْحَجِّ بِطُوْلِهِ قَالَ فِي ذِكْرِ النَّاسِ: وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ... [أخرجه مسلم].
Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir - pada hadits haji wada‘ yang panjang - bersabda Rasulullah saw yang berkaitan dengan istri: Kewajiban atasmu (suami-suami) memberi nafakah dan pakaian untuk istri-istrimu menurut yang patut …”. [HR. Muslim].
عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ مَا حَقُّ زَوْجِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ تُطْعِمُهَا إِذَا أَكَلْتَ وَتَكْسُوهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ. [رواه أحمد والنسائى وأبو داود وابن ماجه وعلق البخاري بعضه].
Artinya: “Diriwayatkan dari Hakim bin Muawiyah dari bapaknya, ia berkata: Aku pernah bertanya: Ya Rasulullah apa kewajiban kita terhadap istri kita? Rasulullah saw bersabda: Memberinya makan apabila engkau makan, memberinya pakaian apabila engkau berpakaian, jangan engkau pukul wajahnya, jangan engkau menghinanya, dan jangan kamu usir dia kecuali ia masih tetap dalam rumahmu.” [HR. Ahmad, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan sebagian mereka menghubungkannya dengan al-Bukhari].
3. Istri berhak mendapat pergaulan dan perlakuan yang baik dari suaminya. Allah SWT berfirman:
... وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا. [النسآء (4): 19].
Artinya: “ … dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” [QS. an-Nisa’ (4): 19].
4. Istri berhak diperlakukan secara adil, jika suami mempunyai istri lebih dari satu. Allah SWT berfirman:
... فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا. [النسآء (4): 3].
Artinya: “ … kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” [QS. an-Nisa’ (4): 3].
5. Istri berhak mendapat mut‘ah (pemberian karena pernah menjadi istri) dari suami, jika ia dicerai. Allah SWT berfirman:
وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ. [البقرة (2): 241].
Artinya: “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut`ah menurut yang ma`ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa.” [QS. al-Baqarah (2): 241].
6. Istri berhak memperoleh warisan dari harta suami, jika suaminya meninggal dunia. Allah SWT berfirman:
... وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ... [النسآء (4): 12].
Artinya: “… para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu …” [QS. an-Nisa’ (4): 12].
Demikianlah ajaran Islam mengatur hak-hak dan kewajiban suami istri dalam hidup berumah tangga, sehingga jika setiap anggota rumah tangga mengikuti dan melaksanakan dengan baik niscaya akan terbentuklah rumah tangga yang bahagia dan sakinah.
Dalam pada itu ada pesan-pesan moral yang tersirat pada firman Allah SWT yang mengatur hubungan anak tiri dengan bapak tiri dan ibu tiri, yaitu:
1. Dengan terjadinya akad nikah yang sah antara seorang laki-laki yang mempunyai putra dengan seorang perempuan, maka putra dari laki-laki itu menjadi mahram (tidak boleh kawin) untuk selama-lamanya dari perempuan itu (ibu tiri), walaupun si ibu tiri telah bercerai dengan laki-laki itu (bapak si anak). Allah SWT berfirman:
وَلاَ تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلاً. [النسآء (4): 22].
Artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” [QS. an-Nisa’ (4): 22].
2. Jika terjadi akad nikah yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang janda yang mempunyai anak perempuan, maka anak perempuan dari janda itu menjadi mahram untuk selama-lamanya dari laki-laki itu, setelah terjadi hubungan seksual antara laki-laki (suami) dengan janda yang telah menjadi istrinya itu(ba‘da dukhul), walaupun laki-laki itu telah bercerai dengan janda itu. Allah SWT berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ ... ... ... وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ ... [النسآء (4): 23].
Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; … … … anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; …” [QS. an-Nisa’ (4): 23].
Dari ayat-ayat di atas dapat difahami bahwa dengan terjadinya akad nikah yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang salah seorang atau keduanya telah mempunyai anak, maka pada saat itu telah terjadi suatu peristiwa hukum yang berlaku bagi kedua pasangan yang telah melakukan akad nikah dan anak-anak mereka. Peristiwa hukum itu ialah telah terjadi tahrim mu‘abbad (larangan atau halangan perkawinan untuk selama-lamanya) antara bapak dengan anak tirinya yang perempuan jika bapak dengan istrinya (ibu anak tiri) ba‘da dukhul (telah berhubungan seksual) dan antara ibu dengan anak laki-laki dari suaminya. Larangan atau halangan perkawinan ini adalah larangan atau halangan yang tetap untuk selama-lamanya walaupun nanti pada suatu saat terjadi perceraian antara si bapak tiri (suami) dan ibu anak tiri (istri).
Dalam peristiwa ini tersirat suatu pesan moral kepada semua anggota keluarga bahwa telah terjadi perubahan status hukum pada keluarga mereka, yaitu masing-masing mereka telah menjadi anggota keluarga dari bapak dan ibu mereka. Sebagai anggota keluarga yang baik mereka harus berusaha untuk menciptakan kerukunan, kebersamaan dengan melakukan musyawarah dalam keluarga sebagaimana petunjuk yang terdapat pada surat ath-Thalaq ayat 6 di atas. Mereka harus yakin bahwa Allah dan Rasul-Nya memberi tuntunan yang lengkap dalam membina hidup berkeluarga. Dengan demikian tidak ada lagi anggota keluarga yang merasa disisihkan oleh anggota keluarga yang lain.
Dalam pada itu, Negara kita yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Undang-undang No. 1 tahun 1974, kemudian dijabarkan oleh Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 154 tahun 1991, tentang pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 tahun 1991 agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia di bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Pada Kompilasi Hukum Islam itu ada pasal-pasal yang mengatur hak dan kewajiban anggota keluarga dalam rumah tangga yang terdapat pada:
1. Bab XII, tentang Hak dan Kewajiban Suami Istri, terdiri atas 8 pasal.
2. Bab XIII, tentang kekayaan dalam Perkawinan, terdiri atas 13 pasal.
3. Bab XIV, tentang Pemeliharaan Anak, terdiri atas 9 pasal.
4. Bab XV, tentang Perwalian terdiri atas 6 pasal, dan seterusnya.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ajaran Islam mengatur kehidupan keluarga dan menjaga serta melindungi hak-hak setiap anggota keluarga, seperti bapak, ibu, termasuk di dalamnya ibu tiri, anak-anak dan sebagainya. Hal serupa juga di atur dalam undang-undang dan peraturan yang berlaku di negara kita, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dalam kehidupan keluarga. Hanya saja ajaran Islam dan undang-undang dan peraturan itu belum dipahami dan dilaksanakan oleh sebagian besar masyarakat, khususnya masyarakat kaum Muslimin. Karena itu adalah tugas kita bersama untuk memasyarakatkannya. Sehubungan dengan itu janganlah ibu penanya terlalu terpengaruh oleh tayangan televisi itu, demikian pula dari sikap orang lain terhadap ibu tiri seperti yang ibu gambarkan itu. Dari segi positifnya, pihak televisi yang menayangkan pengalaman sebagian ibu tiri itu mungkin mengharapkan agar peristiwa itu menjadi peringatan dan pengajaran bagi kita. *km)
0 Comments:
Posting Komentar
Silahkan di tanyakan