"kemal pasa", k_pasa03@yahoo.com
Pertanyaan :
Bolehkah melaksanakan perkawinan seorang perempuan dengan seorang laki-laki yang bapak keduanya saudara sekandung, yaitu seayah dan seibu ?
Jawaban :
Tidak ditemukan nash-nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih lagi maqbul) yang dapat dijadikan alasan tidak membolehkannya.
Ada ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih lagi maqbul yang menerangkan perempuan-peremupuan yang tidak boleh kawin dengan seorang laki-laki (mahram), seperti yang diterangkan oleh ayat-ayat Al-Qur’an, yaitu ayat-ayat 3, 22, 23, dan 24 surat An-Nisa`, ayat-ayat 228, 230, 234, dan 235 surat Al-Baqarah, ayat 3 surat An-Nur, hadits dari Abu Hurairah, hadits dari Hamzah, dan sebagainya.
Agar lebih jelas, pada uraian selanjutnya akan kami kutipkan nash-nash yang relevan dengan pertanyaan di atas. Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa`:
وَلاَ تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلاً (22) حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (23) وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلاَّ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ … (24)
Artinya: “Dan janganlah kamu kawini perempuan-perempuan yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji, dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan yang ditempuh. Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusukanmu, saudara perempuan sepesusuanmu, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu) dan menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, Dan (diharamkan bagimu mengawini) perempuan-perempuan yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki. (Allah menetapkan hukum ini) sebagai ketentuan-Nya, dan dihalalkan bagimu selain yang demikian ….” (QS. An-Nisa`:22,23,24)
Jika hubungan mahram yang disebutkan pada ayat-ayat di atas disusun secara sistematis, maka hubungan mahram itu dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mahram yang termasuk tahrim mu’abbad dan mahram yang termasuk tahrim muwaqqat. Tahrim mu’abbad ialah halangan perkawinan seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk selama-lamanya. Sedang tahrim muwaqqat ialah halangan perkawinan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam waktu-waktu tertentu saja. Bila keadaan yang menghalangi perkawinan antara keduanya hilang, pada saat itu mereka boleh melakukan perkawinan. Seperti seorang laki-laki dengan istri orang lain. Selama perempuan itu terikat dengan suaminya (tidak bercerai), maka selama itu pula perempuan itu tidak boleh kawin dengan laki-laki lain. Jika mereka telah bercerai dan habis iddahnya, perempuan itu boleh kawin dengan laki-laki lain. Demikian seterusnya.
Yang termasuk mahram yang tahrimnya mu’abbad ialah:
1. Karena hubungan keturunan (lin-nasab), sebagai tersebut pada ayat 23 surat An-Nisa` di atas, yaitu:
a. Ibu, ibu dari ibu, ibu dari bapak, dan seterusnya ke atas.
b. Anak perempuan, cucu perempuan, dan seterusnya ke bawah.
c. Saudara perempuan sekandung, seayah, dan seibu.
d. Saudara ayah yang perempuan.
e. Saudara ibu yang perempuan.
f. Anak perempuan dari saudara laki-laki.
g. Anak perempuan dari saudara perempuan.
2. Karena susuan (lir-radha’ah), ialah:
a. Ibu-ibu yang menyusukan.
b. Saudara perempuan sepesusuan.
Sehubungan dengan hadits mengenai permintaan Hamzah (paman Nabi saw) agar Nabi saw mengawini putrinya, makaNabi saw menjawab:
إِنَّهَا لاَ تَحِلُّ لِي إِنَّهَا ابْنَةُ أَخِي مِنَ الرَّضَاعَةِ وَيَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ (رواه البخاري و مسلم)
“Sesungguhnya perempuan itu (putri Hamzah) saudaraku sepesusuan, haram karena sepesusuan adalah apa yang haram karena nasab” (HR. Bukhari dan Muslim), maka para ulama berbeda pendapat.
Pendapat pertama menyatakan bahwa yang haram karena susuan itu hanyalah dua macam saja, yaitu ibu yang menyusukan dan dan saudara perempuan sepesusuan. Mereka beralasan dengan firman Allah SWT yang terdapat pada ayat 24 surat An-Nisa`, yang artinya: “… dan dihalalkan bagimu selain yang demikian …” (yang tersebut pada ayat 22, 23, 24 surat An-Nisa` di atas).
Pendapat kedua menyatakan bahwa hadits Hamzah adalah hadits shahih, karena itu dapat menjelaskan dan menambah keterangan yang telah diterangkan oleh Al-Qur’an. Kata “maa yahrumu minan nasab” (apa yang haram karena nasab) harus dihubungkan dengan tujuh macam yang haram karena nasab yang disebutkan di atas, sehingga yang termasuk yang haram karena susuan menjadi:
a. Bekas istri istri dari suami ibu yang menyusukan.
b. Anak-anak perempuandari suami ibu yang menyusukan.
c. Saudara-saudara perempuan sepesusuan.
d. Saudara-saudara perempuan dari suami dari ibu yang menyusukan.
e. Saudara-saudara perempuan dari ibu yang menyusukan.
f. Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki sepesusuan.
g. Anak-anak perempuan dari saudara perempuan sepesusuan.
3. Karena perkawinan (lil-mushaharah), yaitu:
a. Bekas istri (janda) ayah (baca ayat 22 surat An-Nisa` di atas).
b. Ibu-ibu dari istrimu (mertua) (baca ayat 23 surat An-Nisa` di atas).
c. Bekas istri (janda) dari anak kandungmu (baca ayat 23 surat An-Nisa` di atas).
d. Anak-anak perempau dari istrimu (anak tiri) dari istri yang telah dicampuri (baca ayat 23 surat An-Nisa` di atas).
Yang termasuk mahram yang tahrimnya muwaqqat ialah:
1. Istri orang lain (al-muhshanaat), sebagai tersebut pada ayat 24 surat An-Nisa`.
2. Mengumpulkan sebagai istri (memadu):
a. Dua orang atau lebih wanita yang bersaudara (wa an tajma’uu bainal ukhtain)
b. Mengumpulkan sebagai istri seorang perempuan dengan saudara ayahnya yang perempuan dan seorang perempuan dengan saudara ibunya yang perempuan, berdasarkan hadits:
عَنِ أَبِي هُرَيْرَةَ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَبَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا (رواه البخاري و مسلم)
“Dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi saw melarang (laki-laki) mengumpulkan (sebagai istri) seorang perempuan dengan saudara perempuan bapaknya dan seorang perempuan dengan saudara perempuan ibunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Seorang laki-laki yang telah mempunyai istri empat orang, maka semua perempuan menjadi mahramnya. Allah SWT berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا (النساء:3)
“Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu sukai: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa`:3)
4. Seorang laki-laki telah mentalak istrinya tiga kali, sejak itu bekas istrinya itu menjadi mahramnya, kecuali bila bekas istrinya itu telah kawin dengan laki-laki lain kemudian bercerai dan habis iddahnya. Allah SWT berfirman:
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (البقرة:230)
“Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya, hingga ia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami dan bekas isteri yang telah bercerai tiga kali) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada orang-orang yang mau mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:230)
5. Perempuan-perempuan dalam masa iddah.
a. Perempuan dalam iddah dan ia masih mengalami masa haidh. Ia dilarang kawin dengan laki-laki lain dalam iddahnya itu, kecuali ia dalam iddah talak raj’i dan yang rujuk itu adalah bekas suaminya. Allah SWT berfirman:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوءٍ وَلاَ يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَ بُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاَحًا … (البقرة:228)
“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru`. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suami mereka berhak merujuknya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah.” (QS. Al-Baqarah:228)
b. Perempuan dalam masa iddah karena suaminya meninggal dunia. Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ … (البقرة:234)
“Orang-orang yang meninggal di antara kamu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menahan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis `iddahnya, tidak ada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut …” (QS. Al-Baqarah:234)
6. Perempuan-perempuan musyrik. Dilarang seorang laki-laki mukmin kawin dengan perempuan musyrik, demikian pula dilarang perempuan mukminat kawin dengan laki-laki musyrik, hingga mereka beriman. Allah SWT berfirman:
وَلاَ تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ … (البقرة:221)
“Dan janganlah kamu nikahi perempuan-perempuan musyrik, sebelum mereka beriman, sesungguhnya perempuan budak yang mu'minat lebih baik dari perempuan musyrik walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan laki-laki musyrik (dengan perempuan mu'minat), sebelum mereka beriman, sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari laki-laki musyrik walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.” (QS. Al-Baqarah:221)
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menikahi perempuan pezina dan perempuan yang sedang ihram. Perbedaan pendapat menikahi perempuan pezina disebabkan perbedaan pendapat dalam menafsirkan ayat 3 surat An-Nur, sedang tentang perempuan yang sedang ihram, karena perbedaan pendapat dalam menilai hadits dari Ibnu Abbas dan hadits dari Maimunah.
Demikian pula tentang wanita yang bercerai dengan suaminya dengan proses sumpah, seperti pada ila`, zhihar, li’an. Apakah suami boleh kawin dengan bekas istrinya kembali tanpa melanggar sumpahnya lebih dahulu atau akad nikah boleh dilakukan setelah suami melanggar sumpahnya lebih dahulu. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.
Dalam masalah ini, Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpendapat:
1. Wanita pezina adalah mahram bagi laki-laki muslim, kecuali bila ia telah taubat.
2. Wanita yang sedang melakukan ihram haram dikawini.
3. Semua perceraian yang dilaksanakan dengan proses sumpah, maka perkawinan kembali dapat dilakukan setelah bekas suami melanggar sumpahnya dengan membayar kifarat.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa perkawinan seorang laki-laki dan seorang perempuan saudara sepupu dengan arti kedua ayahnya saudara sekandung tidak dilarang, dengan arti bahwa keduanya tidak mempunyai hubungan mahram. *(km)
0 Comments:
Posting Komentar
Silahkan di tanyakan