Jumat, 20 Oktober 2023

BACA USHOLI DAN QUNUT

Loading

 


Saudara Muhammad, Krapyak, Semarang Barat

 

 

Pertanyaan :

 

Pada tanggal 25 Desember 2003, saya mendengar ceramah dari seorang da’i dari Majelis Tarjih Wilayah, dia mengeluarkan pendapatnya antara lain ialah:

1.      Membaca ushalli adalah boleh.

2.      Bahwa hadits yang dipakai sebagai dasar qunut semuanya adalah shahih, dan Muhammadiyah memaknai doa qunut sebagai qunut nazilah.

Mohon penjelasan.

 

 

Jawaban :

 

Perlu diketahui bahwa orang yang paling mengetahui cara ibadah adalah Rasulullah saw., karena beliaulah yang diutus oleh Allah SWT untuk menyebarkan ajaran Islam. Maka cara ibadah yang tidak ada tuntunannya dari Allah dan Rasul-Nya tidak perlu diikuti.

Mengenai keharusan membaca ushalli untuk melafalkan niat, Muhammadiyah (Majelis Tarjih Muhammadiyah) tidak pernah menganjurkan, sebab tidak ada tuntunannya dari Rasulullah saw. Sebab yang dimaksudkan dengan niyyah ialah maksud hati atau kehendak hati. Kalau dikatakan bahwa melafalkan niat itu boleh saja, maka harus dapat menunjukkan dalilnya.

Di bawah ini kami kutipkan Putusan Tarjih:

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَقُلْ " اَللهُ أَكْبَرُ " مُخْلِصًا نِيَّتَكَ لِلَّهِ.

Artinya: “Bila kamu hendak menjalankan shalat, maka bacalah Allahu Akbar dengan ikhlas niatmu karena Allah.” Putusan ini berdasarkan dalil:

1.      Firman Allah

وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ (البينة: 5)

Artinya: “Dan tidaklah mereka diperintah melainkan supaya menyembah kepada Allah dengan ikhlas kepada-Nya dalam menjalankan agama.” (QS. al-Bayyinah: 5)

2.      Hadits Nabi saw.

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّـيَّاتِ (متفق عليه)

Artinya: “Sesungguhnya sahnya amal itu tergantung kepada niat.” (Muttafaq ‘Alaih)

Pada hadits tersebut hanya ditegaskan ‘tergantung kepada niat’, tidak ada ketentuan melafalkan niat. Karena niat itu adalah bagian ibadah, maka harus ada tuntunannya. Melafalkan niat jelas tidak ada tuntunannya.

 

Adapun mengenai qunut, di bawah ini kami kutipkan (ringkasan) dari Himpunan Putusan Tarjih (HPT) sebagai berikut:

1.      Bahwa qunut dengan arti berdiri lama untuk membaca dan berdoa di dalam shalat, itu masyru’ (ada tuntunannya).

2.      Tidak membenarkan adanya pengertian qiyam di atas dikhususkan untuk qunut shubuh yang sudah dikenal dan diperselisihkan hukumnya.

3.      Nabi saw. menjalankan qunut nazilah sampai Allah menurunkan ayat:

لَيْسَ لَكَ مِنَ اْلأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ (آل عمران: 128)

Artinya: “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengadzab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang dzalim.” (QS. Ali Imran: 128) (HPT: 367)

 

Penjelasan :

 

Qunut Shubuh

Di samping makna asli dari perkataan qunut yang berarti ‘tunduk kepada Allah dengan penuh kebaktian’, Muktamar dalam keputusannya menggunakan makna qunut yang berarti ‘berdiri lama dalam shalat dengan membaca ayat al-Qur’an dan doa sekehendak hati’, sebagaimana dapat diambil pengertian tersebut dari hadits:

أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُوْلُ الْقُنُوْتِ (رواه أحمد)

Artinya: “Shalat yang paling afdhal ialah qunut yang lama.” (HR. Ahmad) (HPT: 367)

Pada perkembangan sejarah fiqh, di masa lampau orang telah cenderung untuk memberi arti khusus pada apa yang dinamakan qunut, yakni: ‘berdiri sementara’ pada shalat shubuh sesudah ruku’ pada rakaat kedua dengan membaca:

اَللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيْمَنْ هَدَيْتَ الخ

Muktamar Tarjih tidak sependapat dengan pemahaman tersebut, berdasarkan pemikiran bahwa:

1.      Setelah diteliti kumpulan macam-macam hadits tentang qunut, maka Muktamar berpendapat bahwa qunut sebagai bagian daripada shalat, tidak khusus hanya diutamakan pada shalat shubuh.

2.      Bacaan:

اَللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيْمَنْ هَدَيْتَ الخ

dalam shalat shubuh itu, haditsnya tidak sah.

3.      Pengetrapan hadits riwayat Hasan tentang doa:

اَللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيْمَنْ هَدَيْتَ الخ

untuk khusus dalam qunut shubuh tidak dibenarkan. (HPT: 368)

 

Qunut Nazilah

Jelasnya bahwa Rasulullah saw. pada beberapa kesempatan telah mengerjakan qunut nazilah dalam hubungan penganiayaan orang kafir terhadap kelompok orang Islam. Dalam doa tersebut Rasulullah mohon dikutuknya mereka yang telah melakukan kejahatan dan dimohonkan pembalasan Allah terhadap mereka. Kemudian turunlah ayat:

لَيْسَ لَكَ مِنَ اْلأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ (آل عمران: 128)

Pemahaman yang timbul dari riwayat tersebut ialah:

1.      Bahwa qunut nazilah tidak lagi boleh diamalkan

2.      Boleh dikerjakan dengan tidak menggunakan kata kutukan dan permohonan pembalasan terhadap perorangan.

 

Qunut Witir

Hadits yang dijadikan alasan bagi qunut witir diperselisihkan oleh ahli-ahli hadits. Muktamar masih merasa memerlukan penelitian dan mempertimbangkan dasar perbedaan penilaian ahli-ahli hadits tersebut. Maka diambil keputusan tawaqquf untuk membahas pada lain kesempatan. *sd)

 

 

 

0 Comments:

Posting Komentar

Silahkan di tanyakan