“Yusril Yusuf”, yusril@rocketmail.com
Kyushu University, Fukuoka, Jepang
Pertanyaan :
Ada beberapa karya siswa Indonesia yang tidak kembali ke tanah air setelah menyelesaikan studi, walaupun mereka telah menandatangani perjanjian ikatan dinas. Alasan untuk tidak kembali ke tanah air bermacam-macam. Bagaimana hukumnya menurut Islam ?
Jawaban :
Sebagaimana telah dikemukakan dalam Suara Muhammadiyah beberapa waktu yang lalu (No. 2 Th. 89 16-31 Januari 2004), bahwa dalam Bahasa Arab perjanjian terjemahnya العَهْدُ (al-‘ahdu) atau العَقْدُ (al-‘aqdu). Dalam Bahasa Indonesia kata perjanjian sering pula disebut dengan perikatan, seperti dalam hukum perdata ada bagian yang disebut dengan hukum perjanjian yang sering pula disebut dengan hukum perikatan.
Dengan menandatangani perjanjian berarti seseorang telah menyetujui isi perjanjian itu, baik yang berupa menerima hak maupun melaksanakan kewajiban. Adalah sangat tidak adil jika seseorang hanya mau menerima hak tanpa mau melaksanakan kewajiban yang telah disetujui. Sementara di pihak lain yang telah melaksanakan kewajiban, tidak menerima hak semestinya diterima. Yang demikian ini jelas dapat dipandang sebagai tindakan yang memadlaratkan pihak lain. Islam secara tegas melarang perbuatan yang memadlaratkan. Dalam hadits ditegaskan:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنْ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ (رواه ابن ماجة)
Artinya: “Dari ‘Ubadah ibnu Shamit, bahwa Rasulullah SAW menetapkan tidak boleh berbuat kemadlaratan dan tidak boleh membalas kemadlaratan.” (HR. Ibnu Majah).
Dengan demikian, maka tindak ketidakadilan itu merupakan tindakan yang telah melanggar batas-batas atau hukum-hukum yang ditetapkan agama. Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa orang yang melanggar hukum-hukum yang ditetapkan Allah termasuk orang dzalim. Allah berfirman:
وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (البقرة:229)
Artinya: “Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (QS. Al-baqarah:229).
Lebih jauh dalam Al-Qur’an dinyatakan:
وَمَأْوَاهُمُ النَّارُ وَبِئْسَ مَثْوَى الظَّالِمِينَ (آل عمران:151)
Artinya: “Tempat kembali mereka ialah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang dzalim.” (QS. Ali Imran:151).
Secara tegas larangan berlaku dzalim ini disebutkan dalam hadits qudsi, sebagai berikut:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا يَرْوِيهِ عَنِ رَبِّهِ قَالَ يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا (رواه مسلم)
Artinya: “Dari Abu Dzar r.a., dari Nabi SAW, tentang sesuatu yang diriwayatkan dari Tuhannya, Tuhan berfirman: Wahai hambaKu, sungguh Aku haramkan kedzaliman pada diriKu; dan Aku jadikan kedzaliman itu sesuatu yang haram di antara kamu, maka janganlah kamu sekalian saling berbuat dzalim.” (HR. Muslim).
Untuk menjauhi dari perbuatan dzalim akibat menyalahi janji, maka wajib bagi orang yang berjanji untuk memenuhi janjinya. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ (المائدة:1)
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (QS. Al-Maidah:1).
Yang dimakud dengan aqad (perjanjian), mencakup janji prasetya hamba kepada Allah, dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. Firman Allah SWT:
وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولاً (الإسراء:34)
Artinya: “Penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung-jawabannya.” (QS. Al-Isra`:34).
Dalam hadits disebutkan, bahwa orang yang tidak menepati janjinya, termasuk salah satu tanda kemunafikan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ (متفق عليه)
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a., berkata: Rasulullah SAW bersabda: Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu: apabila berkata ia dusta, apabila berjanji ia tidak menepati janjinya, dan apabila dipercaya ia berkhianat.” (Muttafaq ‘alaih).
Sehubungan dengan pertanyaan saudara, maka dapat kami kemukakan bahwa jika dengan perjanjian ikatan dinas itu, pihak yang memberi ikatan dinas telah menunaikan kewajibannya, yakni telah membayar biaya karya siswa dan kewajiban-kewajiban lain (jika ada), dan dalam perjanjian itu dicantumkan apabila telah selesai studi peserta siswa harus kembali ke tanah air untuk mendarmabaktikan ilmu yang diperoleh, maka peserta karya siswa harus memenuhi kewajibannya yaitu kembali ke tanah air untuk mendarma-baktikan ilmunya. Kalau tidak, berarti ia telah iagkar janji atau tidak menepati janjinya. Jika pihak yang memberi ikatan dinas adalah pemerintah, yang dimaksudkan adalah untuk kepentingan atau kemaslahatan rakyat, maka dengan ingkar janjinya itu, sesungguhnya yang dirugikan adalah rakyat.
Sekali lagi kami sampaikan, bahwa Islam tidak membenarkan tindakan yang memadlaratkan atau merugikan, apalagi yang dirugikan masyarakat banyak. Hal ini dikecualikan kalau dalam perjanjian yang telah disepakati itu, secara jelas disebutkan tentang kebolehan setelah selesai studi, karya siswa boleh tidak kembali ke tanah air. Namun Al-Qur’an mengajarkan agar orang yang menuntut dan mendalami ilmu agama sampai ke luar daerah atau negerinya, agar kembali ke daerah atau negeri asalnya untuk mendarmabaktikan ilmunya kepada masyarakat. Allah berfirman:
فَلَوْلاَ نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (التوبة:122)
Artinya: “Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya agar mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah:122).
Setiap muslim diwajibkan menuntut ilmu, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Ath-Thabrani dari Ibnu Mas’ud r.a., yaitu:
طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَي كُلِّ مُسْلِمٍ
Artinya: “Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap orang Islam.”
Maka mengacu kepada ayat di atas, orang yang telah menuntut ilmu yang sangat dibutuhkan untuk kemajuan masyarakatnya, seharusnya merasa dituntut oleh ajaran agamanya untuk mengabdikan ilmunya untuk kemajuan masyarakatnya, apalagi jika ia merasa telah dibantu atau dibiayai oleh Pemerintah dengan uang rakyat. *dw)
0 Comments:
Posting Komentar
Silahkan di tanyakan