HUKUM TAQLID, DOA IFTITAH DAN SHALAWAT KHUTBAH JUM'AT
Penanya:
Nyakmat, Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Kauman,
Pisang, Labuhan Haji, NAD
(disidangkan pada tanggal 13 Januari 2006)
Pertanyaan:
1. Pengertian taqlid, hukumnya serta beramal dengan taqlid
2. Apa benar orang yang selama hidupnya terus menerus membaca doa iftitah “Allahumma baa‘id …” dianggap taqlid?
3. Kenapa bacaan shalawat dalam khutbah Jum‘at yang dimuat pada Majalah Suara Muhammadiyah tidak sama dengan bacaan shalawat yang tertulis dalam HPT?
Jawaban:
1. Tentang Taqlid
a. Pengertian Taqlid
Kata “Taqlid” adalah kata dalam bahasa Arab, yang berasal dari kata تَقْلِيْدٌ (taqlid), yaitu: قَلَّدَ (qallada), يُقَلِّْدُ (yuqallidu), تَقْلِيْدًا (taqliidan). Artinya bermacam-macam tergantung kepada letak dan pemakaiannya dalam kalimat. Adakalanya kata “taqlid” berarti “menghiasi”, “meniru”, “menyerahkan”, “mengikuti” dan sebagainya.
Para ulama Ushul mendefinisikan taqlid: “menerima perkataan (pendapat) orang, padahal engkau tidak mengetahui darimana sumber atau dasar perkataan (pendapat) itu”. Para ulama yang lain seperti al-Ghazali, asy-Syaukani, ash-Shan‘ani dan ulama yang lain juga membuat definisi taqlid, namun isi dan maksudnya sama dengan definisi yang dibuat oleh ulama Ushul, sekalipun kalimatnya berbeda. Demikian pula dengan definisi yang dibuat oleh Muhammad Rasyid Ridla dalam Tafsir al-Manar, yaitu: “mengikuti pendapat orang-orang yang dianggap terhormat atau orang yang dipercayai tentang suatu hukum agama Islam tanpa meneliti lebih dahulu benar salahnya, baik buruknya serta manfaat atau mudlarat dari hukum itu”.
Dalam menjalani dan menempuh kehidupan dunia ini Allah Swt memberikan petunjuk kepada manusia yang termuat dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Orang yang mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya adalah orang-orang yang beriman, sedang orang yang tidak mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya adalah orang-orang yang kafir. Allah Swt berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَطِيْعُوْا اللهَ وَأَطِيْعُوْا الرَّسُولَ وَلاَ تُبْطِلُوْا أَعْمَالَكُمْ. [محمد (47): 33].
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ta'atlah kepada Allah dan ta'atlah kepada rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.” [Muhammad (47): 33].
قُلْ أَطِيْعُوْا اللهَ وَأَطِيْعُوْا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِيْنَ. [آل عمران (3): 32].
Artinya: “Katakanlah: Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” [Ali 'Imran (3): 32].
وَأَطِيْعُوْا اللهَ وَرَسُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. [الأنفال (8): 1].
Artinya: “… dan ta'atlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.” [al-Anfal (8): 1].
Taat kepada Allah ialah mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya yang termuat dalam al-Qur’an dan taat kepada Rasul-Nya ialah mengikuti petunjuk Nabi Muhammad saw, berupa perkataan, perbuatan dan taqrirnya yang diyakini berasal dari beliau, yang disebut “Sunnah Maqbulah”. Kenapa Majelis Tarjih dan Tajdid menggunakan “sunnah maqbulah”?
Sebagaimana diketahui bahwa perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi Muhammad saw (as-Sunnah), baru ditulis dan dibukukan setelah lebih dari seratus tahun beliau meninggal dunia. Selama seratus tahun lebih itu as-Sunnah berada dalam hafalan kaum muslimin yaitu para sahabat, tabi‘in, tabi‘it tabi‘in dan atba‘ at-tabi‘it tabi‘in. As-Sunnah yang dihafal oleh sahabat disampaikan kepada tabi‘in dan mereka menghafalnya, demikian pula para tabi‘in menyampaikan kepada tabi‘it tabi‘in, kemudian kepada atba‘ at-tabi‘it tabi‘in dan yang terakhir diterima oleh para perawi hadits dan membukukannya. Para perawi itu sebelum membukukannya meneliti setiap para penyampai dan penerima as-Sunnah itu. Setelah diteliti ternyata ada para penyampai dan penerima as-Sunnah itu yang dapat dipercaya dan ada yang tidak dapat dipercaya, ada yang kuat atau baik hafalannya dan ada pula yang lemah dan sebagainya. Lalu para perawi membuat ranking as-Sunnah, sehingga as-Sunnah itu bertingkat-tingkat, ada yang shahih, ada yang hasan, ada yang dla‘if dan sebagainya. Pada umumnya para ulama tidak menerima sunnah yang dla‘if (lemah), kecuali asy-Syafi‘i yang menggunakannya untuk fadla’ilul a‘mal (amalan-amalan utama). Majelis Tarjih dan Tajdid pada umumnya menerima as-Sunnah yang shahih dan hasan dengan syarat tidak berlawanan dengan nash (al-Qur’an dan as-Sunnah) yang lebih kuat daripadanya. As-Sunnah yang seperti ini disebut “sunnah maqbulah”.
Berdasarkan uraian di atas maka taqlid menurut Majelis Tarjih dan Tajdid ialah: “mengikuti perkataan atau pendapat orang (seperti ulama, syekh, kiyai atau pemimpin) tentang suatu hukum Islam tanpa meneliti lebih dahulu apakah perkataan atau pendapat itu ada dasarnya atau tidak dalam al-Qur’an dan sunnah maqbulah”. Jika ada dasarnya maka perkataan dan pendapat itu dapat diterima dan diamalkan, sebaliknya jika tidak ada dasarnya, sedang yang mengatakan atau yang berpendapat tetap mengatakan bahwa itu adalah ajaran Islam, maka pendapat yang demikian termasuk bid‘ah. Orang yang berbuat bid‘ah adalah orang yang telah menyediakan semasa ia hidup tempat duduk dalam neraka nanti. Hal ini berdasarkan:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ. [رواه البخاري ومسلم].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi saw beliau bersabda: Barangsiapa yang berdusta atasku, maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya dalam neraka.” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Pada saat ini banyak terdapat di Indonesia perguruan Tinggi Islam, baik pemerintah maupun swasta, seperti UIN, STAIN dan sebagainya, sehingga tidaklah sukar untuk menentukan apakah pendapat seseorang itu ada dasarnya atau tidak ada dasarnya, dengan mengadakan pembahasan mendalam pada suatu seminar atau diskusi. Dengan demikian taqlid dan bid‘ah itu semakin berkurang terdapat dalam nasyarakat Islam. Demikian pula para ustadz, para kiyai, para da‘i hendaknya menyampaikan kepada masyarakat yang berhubungan dengan ajaran Islam, yang benar-benar ada dasarnya.
b. Hukum Taqlid
Dari ayat al-Qur’an dan Sunnah Maqbulah di atas dapat diambil kesimpulan bahwa taqlid itu tercela hukumnya. Bagi orang yang belum tahu apa-apa tentang ajaran Islam, dan kaum muslimin yang belum sanggup mencari dasar suatu hukum yang disampaikan kepadanya, maka hal itu bukanlah taqlid, dan hendaklah ia menanyakan kepada orang yang lebih tahu.
2. Tentang hukum membaca doa Iftitah: “Allahumma baa‘id …”
Sampai saat ini Majelis Tarjih dan Tajdid belum menemukan ayat al-Qur’an atau Sunnah Maqbulah yang menyatakan bahwa orang yang terus membaca “Allahumma baa‘id …” dalam selama hidupnya dianggap telah melakukan bid’ah. Karena itu mungkin sebaliknya bahwa orang yang mengatakan demikianlah yang telah berbuat bid’ah. Menurut hasil penelitian kami bahwa ada dua macam doa iftitah yang diajarkan Rasulullah saw yang dibaca setelah takbiratul ihram pada setiap mengerjakan shalat, dengan arti bahwa salah satu dari dua doa iftitah itu boleh dibaca dalam shalat. Kedua doa itu ialah “Allahumma baa‘id …” dan “Wajjahtu wajhiya …”.
Doa iftitah “Allahumma baa‘id …” berdasarkan:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَبَّرَ فِي الصَّلاَةِ سَكَتَ هُنَيْمَةً قَبْلَ يَقْرَأُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ بِأَبِى أَنْتَ وَأُمِّى أَرَأَيْتَ سُكُوْتَكَ بَيْنَ التَّكْبِيْرِ وَالقِرَاءَةِ مَا تَقُوْلُ قَالَ أَقُوْلُ اللَهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِى وَبَيْنَ خَطَايَاىَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ اللَهُمَّ نَقِّنِى مِنَ اْلخَطَايَا كَمَا يُنَقِّى الثَّوبُ الاَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ اللَهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَاىَ بِالمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ. [رواه البخارى ومسلم وأصحاب السنن إلا الترمذى].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, adalah Rasulullah saw setelah mengucapkan takbiratul ihram dalam shalat diam sebentar sebelum membaca al-Fatihah. Lalu aku bertanya: Ya Rasulullah, Demi bapakku, engkau dan ibuku, apa yang engkau baca ketika engkau diam antara takbiratul ihram dan membaca al-Fatihah? Rasulullah saw menjawab: Aku membaca:
اللَهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِى وَبَيْنَ خَطَايَاىَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ اللَهُمَّ نَقِّنِى مِنَ اْلخَطَايَا كَمَا يُنَقِّى الثَّوبُ الاَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ اللَهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَاىَ بِالمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ.
Artinya: Ya Allah, jauhkanlah antaraku dan antara segala kesalahanku sebagaimana Kau telah jauhkan antara Timur dan Barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan sebagaimana dibersihkannya pakaian putih dari kotoran. Ya Allah, cucilah segala kesalahanku dengan air, salju dan air hujan beku.” [HR. al-Bukhari, Muslim dan penyusun Kitab-kitab Sunan kecuali at-Tirmudzi].
Doa iftitah “Wajjahtu wajhiya …” berdasarkan:
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ كَبَّرَ ثُمَّ قَالَ وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَ الاَرْضَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا اَنَا مِنَ المُشْرَكِيْن اِنَّ صَلاَتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى ِللهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَبِذَالِكَ اُمِرْتُ وَاَنَا مِنَ المُسْلِمِيْنَ اللَهُمَّ اَنْتَ المَلِكُ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اَنْتَ اَنْتَ رَبِّى وَاَنَا عَبْدُكَ ظَلَمْتُ نَفْسِى وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِى فَاغْفِرْلِى ذُنُوبِى جَمِيْعًا لاَيَغْفِرُ الذَُنُوبَ اِلاَّ اَنْتَ وَاهْدِنِى لِاَحْسَنِ اْلأَخْلاَقِ لاَيَهْدِى لِاَحْسَنِهَا اِلاَّ اَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا اِلاَّ اَنْتَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيكَ وَالخَيْرُ كُلُّهُ فِى يَدَيكَ وَالشَّرُّ لَيْسَ اِلَيْكَ اَنَا بِكَ وَاِلَيكَ تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ اَسْتَغْفِرُكَ وَاَتَوبُ اِلَيكَ. [رواه أحمد ومسلم والترمذى وأبو داود وغيرهم].
Artinya: “Diriwayatkan dari Ali, ia berkata: Rasulullah saw apabila berdiri untuk shalat lalu bertakbiratul ihram, kemudian mengucapkan:
وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَ الاَرْضَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا اَنَا مِنَ المُشْرَكِيْن اِنَّ صَلاَتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى ِللهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَبِذَالِكَ اُمِرْتُ وَاَنَا مِنَ المُسْلِمِيْنَ اللَهُمَّ اَنْتَ المَلِكُ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اَنْتَ اَنْتَ رَبِّى وَاَنَا عَبْدُكَ ظَلَمْتُ نَفْسِى وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِى فَاغْفِرْلِى ذُنُوبِى جَمِيْعًا لاَيَغْفِرُ الذَُنُوبَ اِلاَّ اَنْتَ وَاهْدِنِى لِاَحْسَنِ اْلأَخْلاَقِ لاَيَهْدِى لِاَحْسَنِهَا اِلاَّ اَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا اِلاَّ اَنْتَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيكَ وَالخَيْرُ كُلُّهُ فِى يَدَيكَ وَالشَّرُّ لَيْسَ اِلَيْكَ اَنَا بِكَ وَاِلَيكَ تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ اَسْتَغْفِرُكَ وَاَتَوبُ اِلَيكَ.
Artinya: Aku hadapkan wajahku kepada Yang menciptakan langit dan bumi dengan tunduk dan menyerahkan diri dan tiadalah aku termasuk golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku untuk Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya dan sebab demikian itu aku diperintah dan aku termasuk orang-orang yang menyerahkan diri (kepada-Nya). Wahai Allah, hanya Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan selain Engkau, hanya Engkau Tuhanku sedang aku adalah hamba-Mu, aku telah menganiaya diriku sendiri dan aku akui dosa-dosaku, karena itu ampunilah seluruh dosaku, sesungguhnya hanya Engkau sajalah yang mengampuni dosa, bimbinglah aku kepada akhlaq yang baik, hanya Engkaulah yang dapat membimbingku kepada akhlaq yang baik, jauhkanlah aku dari akhlaq yang buruk dan hanya Engkaulah yang dapat menjauhkan aku dari akhlaq yang buruk itu. Aku penuhi panggilan-Mu dan aku gembira dengan memenuhi perintah-Mu, semua kebaikan berada dalam kekuasaan-Mu, sedangkan kejahatan itu tidak dapat (mendekatkan diri) kepada Engkau, aku hanya dapat hidup dengan-Mu dan hanya akan kembali kepada-Mu. Maha Berkah Engkau dan Maha Tinggi, aku mohon ampun kepada Engkau dan aku mohon taubat kepada Engkau” [HR. Ahmad, Muslim, at-Tirmudzi, Abu Dawud dan lain-lain].
Sekalipun kedua doa iftitah itu boleh dibaca salah satunya dalam shalat, namun ada yang perlu direnungkan dan dipertimbangkan dalam mengamalkannya, yaitu:
a. Dasar dari kedua doa iftitah itu adalah Sunnah Maqbulah, karenanya Majelis Tarjih dan Tajdid memberikan kewenangan kepada kaum muslimin untuk memilih doa mana yang akan mereka baca, atau mereka boleh membaca keduanya secara bergantian.
b. Doa iftitah “Allahumma baa‘id …” lebih pendek dibanding doa iftitah “Wajjahtu wajhiya …”. Doa iftitah “Allahumma baa‘id …” dimulai dengan kalimat “Allahumma baa‘id ” dan diakhiri dengan “bil-ma'i wats-tsalji wal-barad”, sedang doa iftitah “Wajjahtu wajhiya …” dimulai dengan kalimat “Wajjahtu wajhiya” dan diakhiri dengan kalimat “astaghfiruka wa atuubu ilaik”.
c. Jika ingin mengikuti sunnah Rasulullah saw, tentu kita harus membaca doa iftitah itu secara lengkap, tidak setengah-setengah.
d. Sekalipun kedua doa iftitah itu berdasarkan Sunnah Maqbulah, jika ditinjau dari segi perawi, maka doa iftitah “Allahumma baa‘id …” lebih kuat daripada doa iftitah “Wajjahtu wajhiya …”, karena doa iftitah “Allahumma baa‘id …” diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu Majah, sedangkan doa iftitah “Wajjahtu wajhiya …” diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, at-Tirmudzi, Abu Dawud dan yang lain.
Selanjutnya kami serahkan kepada penanya untuk menetapkan pendapatnya berdasarkan keterangan di atas.
3. Tentang bacaan shalawat dalam Khutbah Shalat Jum’at
Allah Swt menyuruh kaum muslimin agar selalu membaca shalawat untuk Nabi Muhammad saw agar beliau selalu diberi rahmat oleh Allah Swt, berdasarkan firman-Nya:
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوأ عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيْمًا. [الأحزاب (33): 56].
Artinya: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [QS. al-Ahzab (33): 56].
Perintah yang terkandung pada ayat di atas adalah umum, dengan arti tidak diterangkan kapan membacanya, apa lafadznya. Karena itu kaum muslimin membacanya kapan mereka inginkan dan mengutamakan membacanya dalam melaksanakan ibadah, seperti dalam khutbah Jum’at. Demikian pula halnya dengan lafadz yang akan dibaca, kaum muslimin ada yang menyusunnya sendiri, namun isi dari lafadz itu hendaklah memanjatkan doa untuk Rasulullah sebagaimana yang dimaksud oleh ayat di atas.
Mengenai bacaan shalawat dalam shalat memang Rasulullah saw memberikan tuntunannya, berdasarkan hadits:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى لَيْلَى قَالَ لَقِبَنِي كَعْبُ بْنُ عُجْرَةَ فَقَالَ أَلاَ أُهْدِى لَكَ هَدِيَّةً سَمِعْتُهَا مِنَ النَّبِيِّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ بَلَى فَأَهْدِهَا لِى فَقَالَ سَأَلْنَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ الصَّلاَةُ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْبَيْتِ فَإِنَّ اللهَ قَدْ عَلَّمَنَا كَيْفَ نُسَلِّمُ عَلَيْكُمْ قَالَ قُوْلُوْا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى اِبْرَاهِيمَ وَ عَلَى آلِ اِبْرَاهِيمَ اِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى اِبْرَاهِيمَ اِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ. [رواه البخارى ومسلم].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abi Laila, ia berkata: Aku bertemu dengan Ka’ab bin ‘Ujrah, ia berkata: Maukah engkau aku beri hadiah yang aku dengar dari Nabi saw? Aku berkata: Baiklah, berikanlah kepadaku. Maka ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah saw: Ya Rasulullah, bagaimana bacaan shalawat atasmu Ahlul Bait? Maka sesungguhnya Allah telah mengajarkan kepada kami bagaimana mengucapkan salam atasmu. Beliau berkata: Katakanlah:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى اِبْرَاهِيمَ وَ عَلَى آلِ اِبْرَاهِيمَ اِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى اِبْرَاهِيمَ اِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.
Artinya: Ya Allah, limpahkanlah rahmat-Mu atas Muhammad dan atas keluarganya, sebagaimana Engkau telah melimpahkan rahmat atas Ibrahim dan atas keluarganya. Sungguh Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah limpahkanlah berkah-Mu atas Muhammad dan atas keluarga Muhammad sebagaimana yang telah Engkau limpahkan atas Ibrahim dan keluarganya, sungguh Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
Pada sunnah maqbulah yang lain, setelah kalimat “wa ‘alaa aali Ibraahiim” tidak terdapat kalimat “innaka hamiidun majiid”, langsung disebut kalimat “Allaahumma baarik ‘alaa Muhammad …” sampai akhir. Hal ini berarti kedua lafadz shalawat itu boleh dibaca dalam shalat.
Tentu saja membaca shalawat atas Nabi saw di luar shalat seperti yang telah diajarkannya itu adalah lebih baik, sedang bacaan shalawat dalam khutbah Jum’at tidak diharuskan seperti bacaan shalawat dalam shalat. Namun yang paling baik dibaca adalah seperti bacaan shalawat dalam shalat.
Wallahu a‘lam bish-shawab. *km)
0 Comments:
Posting Komentar
Silahkan di tanyakan