Jumat, 20 Oktober 2023

FATWA TENTANG PEMANFAATAN BENDA WAKAF

Loading

 


FATWA TENTANG PEMANFAATAN BENDA WAKAF

(Tanggapan Atas Permasalahan

Majelis Wakaf dan Kehartabendaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah)

 

Permasalahan :

Tanah-tanah wakaf yang telah diwakafkan kepada Persyarikatan Muhammadiyah, tidak semua dapat terpenuhi apa yang diamanatkan oleh pewakif di atas tanah tersebut, sehingga tanah wakaf tersebut tidak dimanfaatkan/terlantar. Sehubungan dengan hal tersebut, dimohon Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam membuat fatwa tentang hukum tanah yang sudah diwakafkan, tapi ditelantarkan/belum dimanfaatkan, apakah berdosa atau melanggar aturan agama.

 

Tanggapan :

Essensi dalam perwakafan adalah :

حَبْسُ مَالٍ يُمْكِنُ اِنْتِفَاعُهُ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ

Artinya : Menahan suatu benda sehingga memungkinkan untuk diambil manfaatnya dengan masih tetap zat (materi) bendanya. (Wahbah az-Zuhailī, al-Washāyā wal Waqfu fīl Fiqhil Islāmī, Dārul Fikr, Damaskus, tt., hal. 154).

Dengan rumusan di atas, maka terhadap benda wakaf harus :

1.      Dijaga keberadaan, keselamatan, dan kelestariannya.

Harta wakaf adalah harta yang pemilikannya menjadi hal Allah. Terhadap harta milik Allah ini, Umar ibnul Khaththab pernah berfatwa:

إِنِّي أَنْزَلْتُ نَفْسِي مِنْ مَالِ اللهِ مِنْزِلَةَ وَالِيِ الْيَتِيْمِ

Artinya: “Sungguh saya menempatkan diri saya terhadap harta Allah sebagai kedudukan wali seorang anak yatim.” (‘Abdurrahmān as-Suyūthī, al-Asybāh wan-Nazhā’ir fil Fūrū‘, Dārul Fikri, tt, hal. 83)

Terhadap harta anak yatim Islam mengajarkan untuk dijaga secara baik dan tidak melakukan tindakan terhadap harta tersebut, kecuali menguntungkan bagi anak yatim tersebut. Dalam al-Qur’ān disebutkan:

وَلاَ تَقْرَبُوْا مَالَ اْليَتِيْمِ إِلاَّ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ (المائدة: 152)

Artinya: “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa.” (QS. Al-Māidah, 5:152)

Dari ayat di atas dapat dipahamkan bahwa adanya ketentuan tidak boleh melakukan tindakan terhadap harta anak yatim yang dapat berakibat merugikan, bahkan sebaliknya harus yang dapat mendatangkan keuntungan. Demikian halnya terhadap harta wakaf – sebagai harta milik Allah – tidak boleh melakukan tindakan baik secara aktif maupun pasif, misalnya dengan tidak melakukan pengurusan, sehingga berakibat hilang atau berkurangnya benda wakaf.

Bahkan terhadap benda wakaf, pada dasarnya tidak boleh dipindahkan pemilikannya kepada seseorang atau sekelompok orang tertentu. Dalam hadits riwayat dari Ibnu ‘Umar r.a. ditegaskan:

... أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلاَ يُوْرَثُ وَلاَ يُوْهَبُ (متفق عليه)

Artinya: “(Benda yang diwakafkan) tidak boleh dijual, diwariskan, dan dihibahkan.” (Muttafaq ‘Alaih)

Sebagai langkah kongkrit untuk menjaga benda wakaf yang berujud tanah, maka terhadap tanah wakaf yang belum bersertifikat wakaf, hendaknya segera diurus penerbitan sertifikatnya.

2.      Dimanfaatkan seoptimal mungkin

Dalam pemanfaatan benda wakaf, adakalanya telah ditentukan oleh wakif, misalnya untuk masjid, rumah sakit, sekolah, dan sebagainya. Jika wakif dalam ikrar wakaf telah menetapkan tujuan dalam pemanfaatan benda yang diwakafkan, maka pada dasarnya bagi nadzir tidak ada pilihan lain kecuali harus mewujudkan yang ditentukan oleh wakif. Dalam qā‘idah fiqhiyyah disebutkan:

شَرْطُ اْلوَاقِفِ كَنَصِّ الشَّارِعِ

Artinya: “Syarat yang ditetapkan oleh wakif kedudukannya sama dengan ketetapan syara‘.”

Dari kaidah di atas dapat dipahami bahwa kewajiban mentaati persyaratan yang telah ditetapkan oleh wakif sama dengan kewajiban mentaati ketetapan Allah. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan tujuan wakaf yang diikrarkan oleh wakif, kurang bahkan dipandang tidak menyentuh kepentingan umat di saat dan di tempat tanah wakaf itu berada. Keadaan seperti ini dapat berakibat tanah wakaf tidak dapat dimanfaatkan bahkan mungkin menjadi terlantar. Sebagai sontoh, dalam suatu lingkungan masyarakat muslim telah dibangun masjid yang cukup representatif bagi kegiatan ibadah dan social keagamaan; kemudian diwakafkan sebidang tanah untuk pembangunan masjid. Maka jika dibangun masjid diduga keras tidak akan makmur atau kurang bermanfaat bagi masyarakat setempat. Dengan demikian pembangunan masjid di atas tanah wakaf ini dapat dinilai sebagai tindakan yang mubadzir.

Dalam pada itu, jika tanah wakaf tersebut tidak dibangun masjid, dan tanpa digunakan untuk apapun, akan berarti menelantarkan atau menyia-nyiakan harta. Padahal dalam masyarakat tersebut membutuhkan tanah untuk keperluan lain yang mendesak, seperti untuk pendirian balai pengobatan / rumah sakit, gedung sekolah, dan lain-lain yang sejenis.

Dalam hal ini, Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam berpendapat: Perubahan tujuan wakaf dari yang ditetapkan oleh wakif kepada tujuan lain yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dapat dibenarkan, mengingat:

a.       Firman Allah:

... وَلاَ تُبَذِّرْ تَبْذِيْرًا. إِنَّ اْلمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْا إِخْوَانَ الشَّيَاطِيْنِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُوْرًا (الإسراء: 26-27)

Artinya: “… Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. al-Isrā’, 17:26-27)

b.      Hadits

إِنَّ اللهَ كَرِهَ لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ اْلمَالِ

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak menyukai kamu (karena) berita konon kabarnya, banyak ‘ngeyel’ dan menyia-nyiakan harta.” (HR.)

c.       Qā‘idah Fiqhiyyah

الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ اْلمَحْظُوْرَاتِ

Artinya: “Keadaan darurat dapat membolehkan yang dilarang.”

d.      Dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) disebutkan:

حِفْظًا لِلْمَصْلَحَةِ

Artinya: “Menjaga kemaslahatan.”

Adakalanya pula dalam ikrar wakaf pihak wakif tidak menentukan tujuan pemanfaatan harta yang diwakafkan. Dalam hal ini, nadzir lebih luwes (fleksibel) dalam memanfaatkan harta wakaf tersebut. Sungguhpun demikian, dalam pemanfaatan harta wakaf tersebut harus diupayakan yang paling maslahah bagi umat. Dalam qā‘idah fiqhiyyah disebutkan:

تَصَرُّفُ اْلإِمَامُ عَلَي الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ الرَّاجِحَةِ

Artinya: “Tindakan pemimpin terhadap rakyatnya harus relevan dengan kemaslahatan yang terkuat.”

Untuk mewujudkan tujuan dalam pemanfaatan benda wakaf, baik yang telah ditentukan oleh wakif maupun yang dipandang paling ideal bagi kemaslahatan umat, tidak tertutup kemungkinan terdapat kendala sehingga sulit atau pada suatu waktu belum memungkinkan untuk diwujudkan. Kendala ini bisa jadi sangat kompleks, seperti keterbatasan dana, keterbatasan kemampuan, atau faktor-faktor eksternal yang tidak mudah diatasi dan barangkali juga membutuhkan waktu untuk diproses.

Jika terjadi demikian, yang harus dilakukan adalah sejauh yang mungkin dapat diusahakan. Dalam al-Qur’ān disebutkan:

فَاتَّقُوْا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ (التغابن: 16)

Artinya: “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. at-Taghābun, 64:16)

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ (البقرة:286)

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakan dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS. al-Baqarah, 2:286)

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hendaknya dilakukan upaya semaksimal mungkin untuk memanfaatkan benda wakaf sesuai dengan ketentuan-ketentuan syari‘ah; dan jika telah dilakukan sedemikian itu, insya Allah akan diberikan pahala atas amal usaha yang dilakukan. Dengan kata lain, jika telah dilakukan upaya semaksimal mungkin untuk menjaga dan memanfaatkan harta wakaf, insya Allah tidak berdosa.

 

0 Comments:

Posting Komentar

Silahkan di tanyakan