Saudara Udi el-Shin, Malang, Jawa Timur
Pertanyaan :
Dengan surat ini kami mohon perkenan bapak untuk membantu kami memberikan jawaban atas pertanyaan yang selama ini masih menjadi keraguan di hati, kami mengharap jawaban yang disertai dengan dasar hukumnya.
Pertanyaannya sebagai berikut:
1. Apa arti al-masih dalam kalimat ‘Isa al-Masih? Apa arti masihid-dajjal?
2. Bagaimana bunyi doa sujud sahwi, sujud syukur, dan sujud tilawah?
3. Sampai kapan batas waktu seorang musafir mempunyai hak untuk melakukan shalat jama’ qashar?
4. Bolehkah seseorang menjama’/mengqashar shalat apabila dia sedang mengikuti sidang/musyawarah/kegiatan yang sangat penting dan tidak bisa ditunda?
5. Bacaan apa yang dibaca pada saat-saat di sela-sela takbir pada shalat ‘Id?
Jawaban :
I. Arti al-Masih
Al-Masih berasal dari kata dasar مَسَحَ (masaha) – يَمْسَحُ (yamsahu) – مَسْحًا (mashan) yang berarti: mengusap; menghapus; menipu. Arti kata tersebut selalu berubah-ubah sesuai dengan konteksnya.
Menurut Rasyid Ridla dalam tafsirnya, kata اَلْمَسِيْحُ (al-Masih) adalah kata serapan dari bahasa ‘Ibrani, yaitu dari kata اَلْمَشِيْحَا (al-masyiha), memakai huruf ش (syin), yang artinya diusap. Kata tersebut merupakan nama gelar raja bagi mereka. Gelar tersebut dipergunakan oleh mereka, karena menurut tradisi mereka yang sudah berjalan berabad-abad, bahwa orang yang mempunyai kekuasaan (kerajaan), kepalanya diusap dengan minyak suci, dalam suatu upacara pelantikan. Maka mereka menyebut kerajaan dengan sebutan اَلْمَسْحُ (al-mash), dan menyebut raja dengan sebutan اَلْمَسِيْحُ (al-masih). Di kalangan mereka telah terkenal bahwa para Nabi mereka telah memberitakan bahwa akan datang seorang al-masih dari kalangan mereka, dan mereka berkeyakinan bahwa al-masih tersebut akan mengembalikan kekuasaan di bumi ini yang telah hilang. Maka setelah lahir Nabi Isa a.s. yang diberi gelar al-masih, mereka langsung beriman. Mereka berkeyakinan bahwa orang itulah yang pernah diberitakan oleh para Nabi. Nabi Isa memang seorang raja, tetapi yang dimaksudkan adalah raja ruhaniyah bukan raja jasadiyah. (Rasyid Ridla, III: 305)
Dalam surat Ali Imran, 3:45 disebutkan dengan perkataan al-Masih ‘Isa, bukan ‘Isa al-Masih.
إِذْ قَالَتِ الْمَلاَئِكَةُ يَا مَرْيَمُ إِنَّ اللهَ يُبَشِّرُكِ بِكَلِمَةٍ مِنْهُ اسْمُهُ الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ وَجِيهًا فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَمِنَ الْمُقَرَّبِينَ (آل عمران:45)
Artinya: “(Ingatlah), ketika Malaikat berkata: "Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih `Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).”
Jelaslah bahwa kata al-Masih pada Nabi ‘Isa adalah suatu nama gelar. Kalau di Yogyakarta dan sekitarnya, ada gelar Raden, Kanjeng, Kiai, dan sebagainya.
Adapun al-masih ad-dajjal, secara bahasa al-masih berarti penipu, sedang ad-dajjal berarti pembohong. Jumhur ulama mengartikannya dengan penjahat; orang yang berbuat kezaliman. Dalam hadits Nabi saw dilukiskan bahwa Dajjal adalah makhluk yang kejam dan menakutkan, bermata juling, bagaikan biji anggur yang mengapung. Tetapi dia tidak dapat masuk kota Madinah karena kota tersebut dijaga oleh para Malaikat. Karena kejahatannya, Nabi saw mohon perlindngan kepada Allah dari fitnah Dajjal pada setiap mengerjakan shalat. Adapun hadits-hadits yang mengungkapkan keadaan Dajjal antara lain ialah:
1- عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجِيءُ الدَّجَّالُ حَتَّى يَنْزِلَ فِي نَاحِيَةِ الْمَدِينَةِ ثُمَّ تَرْجُفُ الْمَدِينَةُ ثَلاَثَ رَجَفَاتٍ فَيَخْرُجُ إِلَيْهِ كُلُّ كَافِرٍ وَمُنَافِقٍ (أخرجه البخاري، 4: كتاب الفتن: 148)
Artinya: “Dari Anas bin Malik (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Nabi saw bersabda: Dajjal datang hingga turun di arah Madinah, kemudian Madinah menjadi goncang tiga kali, kemudian keluar kepadanya semua orang kafir dan orang munafiq.” (HR. al-Bukhariy, IV: Kitab al-Fitan: 148)
2- عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَعْوَرُ عَيْنِ الْيُمْنَى كَأَنَّهَا عِنَبَةٌ طَافِيَةٌ (أخرجه البخاري، 4: كتاب الفتن: 148)
Artinya: “Dari Ibnu Umar dari Nabi saw (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: Mata sebelah kanan juling, seperti buah anggur yang mengapung.” (HR. al-Bukhariy, IV: Kitab al-Fitan: 148)
3- عَنْ أَبِي بَكْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يَدْخُلُ الْمَدِينَةَ رُعْبُ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ وَلَهَا يَوْمَئِذٍ سَبْعَةُ أَبْوَابٍ عَلَى كُلِّ بَابٍ مَلَكَانِ (أخرجه البخاري، 4: كتاب الفتن: 148)
Artinya: “Dari Abi Bakrah dari Nabi saw (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: Kejahatan al-Masih ad-Dajjal tidak dapat masuk kota Madinah, pada waktu itu ada tujuh pintu, masing-masing dijaga oleh dua Malaikat.” (HR. al-Bukhariy, IV: Kitab al-Fitan: 148)
4- عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِي اللهُ عَنْهَا قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَعِيذُ فِي صَلاَتِهِ مِنْ فِتْنَةِ الدَّجَّالِ (أخرجه البخاري، 4: كتاب الفتن: 148)
Artinya: “Dari ‘Urwah (diriwayatkan bahwa) ‘Aisyah berkata: Saya mendengar Rasulullah saw mohon perlindungan kepada Allah dalam setiap shalatnya dari fitnah Dajjal.” (HR. al-Bukhariy, IV: Kitab al-Fitan: 148)
5- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَنْقَابِ الْمَدِينَةِ مَلاَئِكَةٌ لاَ يَدْخُلُهَا الطَّاعُونُ وَلاَ الدَّجَّالُ (أخرجه البخاري، 4: كتاب الفتن: 148)
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Pada semua penjuru Madinah ada malaikat yang menjaganya, tidakakan dimasuki bahaya tha’un dan dajjal.” (HR. al-Bukhariy, IV: Kitab al-Fitan: 148)
Berdasarkan hadits-hadits inilah para ulama berpendapat bahwa Dajjal memang ada, tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah Dajjal itu merupakan makhluk yang berjisim (berbentuk) ataukah hanya merupakan sifat kejahatan.
II. Doa sujud sahwi, sujud syukur, dan sujud tilawah
Setelah kami teliti di beberapa kitab hadits, hingga kini belum mendapatkan doa sujud sahwi dan doa sujud syukur secara khusus. Maka sementara kami berpendapat, ketika melakukan sujud sahwi dan sujud syukur sebaiknya membaca doa yang biasa dibaca pada waktu sujud dalam shalat. Sebab doa yang biasa digunakan pada kedua sujud tersebut, seperti subhaana man laa yanaamu wa laa yashu, adalah buatan ulama yang tidak ada sumbernya.
Adapun doa sujud tilawah ialah:
سَجَدَ وَجْهِيْ لِلَّذِيْ خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ
Artinya: “Wajahku sujud kepada Allah yang menciptakannya dan membentuknya, dan membuka pendengarannya dan penglihatannya dengan daya upaya dan kekuatan-Nya.” (HR. Ahmad dan Ash-habus Sunan, al-Hakim dan al-Baihaqiy, dan dinilai shahih oleh Ibnu as-Sakan). Al-Hakim menambahnya dengan:
فَتَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
Artinya: “Maha berkahlah Allah dan sebaik-baik pencipta.”
Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas diungkapkan sebagai berikut:
أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ فِي سُجُودِ التِّلاَوَةِ: اللَّهُمَّ اكْتُبْ لِي بِهَا عِنْدَكَ أَجْرًا وَضَعْ عَنِّي بِهَا وِزْرًا وَاجْعَلْهَا لِي عِنْدَكَ ذُخْرًا وَتَقَبَّلْهَا مِنِّي كَمَا تَقَبَّلْتَهَا مِنْ عَبْدِكَ دَاوُدَ (رواه الترمذي)
Artinya: “Bahwa Nabi saw dalam sujud tilawah membaca: Ya Allah, tulislah untukku bacaan al-Qur’an itu sebagai pahala di sisi-Mu, dan hilangkanlah dosaku dengan bacaan itu, dan jadikanlah bacaan tersebut bagiku sebagai simpanan di sisi-Mu, dan terimalah bacaanku, sebagaimana Engkau menerima dari hamba-Mu, Dawud.” (HR. at-Turmudzi, ash-Shan’aniy, 1960, I:211)
III. Menjama’/mengqashar shalat bagi musafir, dan bacaan di sela-sela takbir shalat Id
Para ulama berbeda pendapat tentang batas waktu qashar bagi musafir. Sebelum kami jelaskan, kami kutipkan lebih dahulu dalil-dalil dari hadits agar dapat dijadikan pegangan sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَقْصُرُ فَنَحْنُ إِذَا سَافَرْنَا تِسْعَةَ عَشَرَ قَصَرْنَا وَإِنْ زِدْنَا أَتْمَمْنَا (رواه البخاري، 1، كتاب الكسوف:129)
Artinya: “Dari Ibni Abbas r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Nabi saw tinggal di suatu daerah selama sembilan belas hari, selalu shalat qashar. Maka kami apabila bepergian selama sembilan belas hari selalu mengqashar shalat, dan apabila lebih, kami menyempurnakannya.” (HR. al-Bukhariy, I, Kitab al-Kusuf:129)
عَنِ يَحْيَى بْنِ إِسْحَاقَ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسًا يَقُولُ خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِنَ الْمَدِينَةِ إِلَى مَكَّةَ فَكَانَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى رَجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ قُلْتُ أَقَمْتُمْ بِمَكَّةَ شَيْئًا قَالَ أَقَمْنَا بِهَا عَشْرًا (رواه البخاري، 1، كتاب الكسوف:129)
Artinya: “Dari Yahya bin Ishaq (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Saya mendengar Anas berkata: Saya keluar bersama Nabi saw dari Madinah ke Makkah, kemudian beliau shalat dua rakaat, dua rakaat (dzuhur dan asar) hingga kami kembali ke Madinah. Saya bertanya: Apakah kamu tinggal di Makkah beberapa hari? Ia berkata: (kami tinggal di Makkah) selama sepuluh hari.” (HR. al-Bukhariy, I, Kitab al-Kusuf:129)
عَنْ يَحْيَى بْنِ إِسْحَاقَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْمَدِينَةِ إِلَى مَكَّةَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى رَجَعَ قُلْتُ كَمْ أَقَامَ بِمَكَّةَ قَالَ عَشْرًا (رواه مسلم، 1، كتاب صلاة المسافرين، 15/693 :309)
Artinya: “Dari Yahya bin Ishaq dari Anas bin Malik (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Kami keluar bersama Rasulullah saw dari Madinah ke Makkah, beliau shalat dua rakaat, dua rakaat, hingga kembali ke Madinah. Saya bertanya: berapa hari beliau tinggal di Makkah? Anas menjawab: sepuluh hari.” (HR. Muslim, I, Kitab Shalat al-Musafirin: No. 15/693:309)
Hadits pertama menjelaskan bahwa Nabi saw mengqashar dan menjama’ shalat di perjalanan selama 19 hari, kemudian para sahabat pun melakukannya. Tetapi apabila lebih dari 19 hari, mereka menyempurnakannya (tidak lagi mengqashar shalat). Hadits ini menunjukkan bahwa batas waktu paling lama adalah 19 hari.
Hadits kedua menunjukkan bahwa Nabi saw selalu mengqashar dan menjama’ shalat ketika tinggal di Makkah hingga 10 hari. Karena tidak lebih dari 19 hari, maka tidak dijelaskan penyempurnaannya. Adapun hadits ketiga memperkuat hadits sebelumnya.
Mengenai shalat jama’, para ulama tidak membatasi waktunya, sebab shalat jama’ dapat dilakukan sekalipun tidak dalam perjalanan, sebagaimana diungkapkan dalam hadits Nabi saw:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ (رواه مسلم، 1، كتاب صلاة المسافرين، 49/705)
Artinya: “Dari Ibni Abbas r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw shalat dzuhur dan asar secara jama’, dan juga maghrib dan isya’ secara jama’, tanpa karena takut dan bepergian.” (HR. Muslim, I, Kitab Shalat al-Musafirin: No. 49/705)
Berdasarkan hadits tersebut para ulama berpendapat bahwa menjama’ shalat karena sedang hajat adalah boleh, asalkan tidak dijadikan kebiasaan.
Adapun mengenai bacaan di sela-sela takbir pada shalat ‘Id, menurut penelitian kami, tidak ada tuntunannya. Wallahu a’lam bish-shawab. *sd)
0 Comments:
Posting Komentar
Silahkan di tanyakan