Belajar Lagi

Pelantikan Pemuda Muhammadiyah di pendopo Tuban

Foto disek karo senior

Acara Pelantikan Pemuda Muhammadiyah Kab. Tuban.

Akhir Diklat Kokam

Duklat Kokam dan SAR Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Tuban.

RAKERDA PDPM DI MERAKURAK

rAPAT KERJA PIMPINAN DAERAH PEMUDA MUHAMMADIYAH.

BAB PCPM PALANG

Perkaderan Pemuda Muhammadiyah Palang

tanpa judul

pemandangan

MEMBACA ADALAH KUNCI UNTUK MENGETAHUI DUNIA

Kadang kala menunggu itu membosankan, akan tetapi berbeda kalau menunggunya sambil baca-baca

PANDANGAN MATA

Pandangan mata kadang kala, melabuhi hal-hal yang sebenarnya

Selasa, 31 Oktober 2023

SHALAT IFTITAH, JADWAL WAKTU SHALAT, SAHUR DAN BERBUKA, SALAM DALAM SHALAT, ADZAN SUBUH TANPA TATSWIB DAN MENGAKHIRI KHUTBAH DENGAN SALAM

Loading

 


SHALAT IFTITAH, JADWAL WAKTU SHALAT, SAHUR DAN BERBUKA, SALAM DALAM SHALAT, ADZAN SUBUH TANPA TATSWIB DAN MENGAKHIRI KHUTBAH DENGAN SALAM


Penanya:

H. Daming, NBM. 788.866 di Makasar

(disidangkan pada hari Jum’at, 10 Shaffar 1427 H / 10 Maret 2006 M)

Pertanyaan:

Setelah membaca surat saudara yang cukup panjang, kiranya dapat kami ringkas dalam butir-butir pertanyaan sebagai berikut:

1.      Bagaimana tuntunan dalam melaksanakan shalat iftitah?.

2.   Bolehkah dalam menentukan waktu shalat dan waktu sahur serta berbuka puasa menggunakan Jadwal Sepanjang Masa yang dikeluarkan oleh Suara Muhammadiyah tahun 1973?

3.    Bagaimana hukum salam dalam mengakhiri shalat yang diucapkan dengan Assalamu 'alaikum wa rahmatullah tidak dilengkapi dengan wa barakatuh?

4.   Bagaimana tentang adzan subuh yang tidak menggunakan tatswib: ash-Shalatu khairun minan-naum?

5.      Apakah mengakhiri khutbah dengan salam sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw?

 

Jawaban:

1.      Pertanyaan saudara tentang tuntunan shalat iftitah, sesungguhnya sudah sering ditanyakan oleh pembaca Suara Muhammadiyah; dan kami pun dari Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah sudah memberikan jawabannya. Untuk itu kami persilakan saudara baca:

a.       Himpunan Putusan Tarjih Cetakan ke-3 Kitab Keputusan Tarjih Wiradesa tentang Shalat Tathawwu’ halaman 340 s.d. 355.

b.      Buku Tanya Jawab Agama Jilid I Cetakan ke-1 halaman 106-107

c.       Buku Tanya Jawab Agama Jilid III Cetakan ke-3 halaman 115 s.d. 124

d.      Buku Tanya Jawab Agama Jilid IV Cetakan ke-1 halaman 150 s.d. 152

e.       Buku Tanya Jawab Agama Jilid V Cetakan ke-1 halaman 62 s.d. 63

2.      Shalat fardlu dan puasa adalah di antara ibadah yang harus dilaksanakan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Melaksanakan shalat fardlu dan puasa di luar waktu yang telah ditetapkan pada dasarnya tidak dapat dibenarkan atau katakanlah shalat dan puasanya tidak sah. Oleh karena itu setiap muslim dituntut untuk mengetahui waktu-waktunya secara tepat. Waktu-waktu tersebut, dalam ayat-ayat al-Qur'an dan hadits-hadits diterangkan dengan ditandai adanya gejala-gejala alam, seperti terbit dan terbenam matahari, bayan-bayang benda yang terkena sinar matahari, munculnya mega merah dan sebagainya. Mengingat tanda-tanda alam tersebut tidak selalu tetap waktunya, maka perlu upaya untuk mencari ketepatan waktu tersebut. Satu di antaranya ialah dengan perhitungan atau hisab yang cermat dan tepat (akurat). Untuk itu, pada saat ini setiap tahun khususnya menjelang bulan Ramadlan dalam Suara Muhammadiyah dimuat Jadwal Imsakiyah Ramadlan. Untuk puasa Ramadlan 1426 H atau 2005 M yang lalu Jadwal Imsakiyah untuk Makassar (Sulawesi Selatan) dimuat dalam Suara Muhammadiyah Nomor 19 (1-15 Oktober 2005), Bagian Suplemen halaman 6. Dengan berpedoman kepada Jadwal Imsakiyah yang dikeluarkan per tahun itu akan lebih dijamin ketepatannya. Insya Allah.

3.      Memang dalam Himpunan Putusan Tarjih disebutkan: “Kemudian bersalamlah dengan berpaling ke kanan dan ke kiri, yang pertama sampai terlihat pipi kananmu dan yang kedua sampai terlihat pipi kirimu oleh orang yang di belakangmu sambil membaca: Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh” (Himpunan Putusan Tarjih, Kitab Shalat, halaman 81). Keputusan tersebut di dasarkan hadits-hadits:

عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: كُنْتُ اَرَى رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَلِّمُ عَنِ يَمِينِهِ وَعَنِ يَسَارِهِ حَتَّى اَرَى بَيَاضَ خَدِّهِ. [رواه مسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Amir Ibn Sa’d dari ayahnya, ia berkata: Saya melihat Rasulullah saw mengucap salam ke arah kanan dan ke arah kirinya, sampai kulihat putih pipinya.” [HR. Muslim].

عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ وَعَنْ شِمَالِهِ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ. [رواه أبو داود].

Artinya: “Diriwayatkan dari Wail Ibn Hujr, ia berkata: Saya shalat bersama Nabi saw, maka beliau mengucap salam ke kanan dengan membaca Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh dan ke kiri dengan membaca Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.” [HR. Abu Dawud].

Disebutkan pula dalam Shahih Ibnu Khuzaimah:

عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ خَذِّةِ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ وَعَنْ شِمَالِهِ حَتَّى يَبْدُوَ بَيَاضُ خَذِّةِ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ. [صحيح ابن خزيمة].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah, ia berkata: Adalah Rasulullah saw mengucapkan salam ke sebelah kanan sampai terlihat putih pipinya dengan membaca Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh dan ke sebelah kiri sampai terlihat putih pipinya dengan membaca Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.” [Shahih Ibnu Khuzaimah].

Selain hadits-hadits seperti yang telah disebutkan di atas, sesungguhnya tentang bacaan salam dalam mengakhiri shalat, ada pula hadits yang menerangkan bahwa bacaan salam tersebut adalah: Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi tanpa wa barakatuh, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits-hadits:

عَنْ ابْنِ مَسْعُوْدٍ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ خَدِّهِ. [رواه الخمسة وصححه الترمذى].

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud, bahwa Nabi saw mengucap salam ke kanan dan ke kiri dengan membaca Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi sampai kelihatan putih pipinya.” [HR. al-Khamsah dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi].

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ إِذَا كُنَّا صَلَّيْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْنَا السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ ... [رواه أحمد ومسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir Ibn Samurah, ia berkata: Jika kami shalat bersama Rasulullah saw, kami mengucapkan Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah, Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah ...” [HR. Ahmad dan Muslim].

Dengan memperhatikan hadits-hadits di atas, kami berpendapat bahwa boleh seseorang yang mengakhiri shalat dengan membaca Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi tanpa dilengkapi dengan bacaan wa barakatuh.

 

4.      Pertanyaan saudara tentang tatswib juga sering ditanyakan oleh pembaca Suara Muhammadiyah; dan kami juga telah memberikan jawabannya. Intinya, bacaan tatswib pada adzan shubuh adalah masyru' atau boleh dikerjakan. Silakan saudara periksa pada:

a.       Buku Tanya Jawab Agama Jilid I Cetakan ke-1 halaman 41-43

b.      Buku Tanya Jawab Agama Jilid IV Cetakan ke-1 halaman 53

 

5.      Sejauh yang kami ketahui salam dalam berkhutbah adalah di kala akan memulai, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا صَعِدَ اْلمِنْبَرَ سَلَّمَ. [رواه ابن ماجه].

Artinya:  “Diriwayatkan dari Jabir Ibn Abdullah ra., ia berkata: bahwa Nabi saw setelah naik mimbar selalu memberikan salam.” [HR. Ibnu Majah].  

Sementara itu, kami belum menemukan hadits yang menerangkan bahwa Nabi saw memberi salam di kala turun dari mimbar.

 

Wallahu a’lam bishshawab. *dw)

 

 

 

HUKUM PEMAKAIAN SAJADAH DI MASJID DAN HUKUM MENYIMPAN UANG KAS MUHAMMADIYAH DI BANK (BNI)

Loading

 


HUKUM PEMAKAIAN SAJADAH DI MASJID DAN HUKUM MENYIMPAN UANG KAS MUHAMMADIYAH DI BANK (BNI)


Penanya:

H. Tamrin Harahap dan Aziz Harahap, Ketua dan Sekretaris PRM Sibaruang

(disidangkan pada hari Jum’at, 24 Shaffar 1427 H / 24 Maret 2006 M)

 

Pertanyaan:

1.      Bagaimana hukumnya pemakaian sajadah (tempat shalat) di masjid?

2.      Bagaimana hukumnya menyimpan uang kas Muhammadiyah di bank (BNI)?


Jawaban:

1.      Untuk menjawab pertanyaan yang pertama, kami kemukakan beberapa hadits sebagai berikut:

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: إِنَّ أَبَا سَعِيْدٍ دَخَلَ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَهُ يُصَلِّى عَلَى حَصِيْرٍ. [رواه مسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir ra., ia berkata: Bahwa Abu Sa‘id masuk ke rumah Rasulullah saw, mendapatkan (melihat) beliau sedang shalat di atas tikar dan bersujud padanya.” [HR. Muslim].

عَنْ مَيْمُوْنَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى عَلَى اْلخُمْرَةِ. [رواه الجماعة إلا الترمذى].

Artinya: “Diriwayatkan dari Maimunah ra., ia berkata: Bahwa Rasulullah saw shalat di atas hamparan yang dibuat dari anyaman pelepah kurma.” [HR. al-Jama‘ah kecuali at-Tirmidzi].

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ يُخَالِطُنَا حَتَّى كَانَ يَقُولُ لِأَخِ لِى صَغِيْرٍ يَا أَبَا عُمَيْرَ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ فَقَالَ وَنُضِحَ بِسَاطٌ لَنَا فَصَلَّى عَلَيْهِ. [رواه الترمذى].

Artinya: “Diriwayatkan dari Anas Ibn Malik ra., ia berkata bahwa Rasulullah saw selalu bersama kami, sehingga pada suatu saat beliau berkata kepada adikku yang masih kecil; Wahai Abu ‘Umair, apa yang dilakukan oleh anak burung serindit? Anas berkata: Disiramlah hamparan permadani itu, kemudian beliau shalat di atasnya.” [HR. at-Tirmidzi].

Memperhatikan hadits-hadits yang ditulis di atas, kami berpendapat bahwa dibenarkan shalat di atas sajadah atau alas lain, sepanjang suci; baik untuk shalat di rumah maupun untuk shalat di masjid.

 

 

2.      Perlu diketahui bahwa pada saat ini BNI ada dua macam, yakni BNI konvensional yang dalam praktik perbankan menggunakan sistem bunga; dan BNI syariah yang dalam praktik perbankannya menggunakan sistem bagi hasil (mudlarabah). Boleh jadi yang saudara tanyakan atau dimaksudkan dalam pertanyaan tersebut adalah BNI konvensional. Terhadap penggunaan bank milik Pemerintah yang konvensional ini, dalam Muktamar Majelis Tarjih 1968 di Sidoarjo Jawa Timur, - dan sampai saat ini belum ada perubahan,- diputuskan: Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat. Kata musytabihat dalam pengertian bahasa ialah perkara (sesuatu) yang tidak jelas. Adapun menurut pengertian Syara’ ialah sebagaimana yang tersimpul dalam Hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Nu'man Ibn Basyir yang kesimpulannya sebagai berikut: Bahwasanya yang halal sudah jelas, demikian pula yang haram, yaitu telah dijelaskan oleh al-Qur’an maupun al-Hadits dengan nash-nash sharihnya. Misalnya, daging kambing halal dimakan dan daging babi haram dimakan. Selain yang telah ditentukan hukumnya dengan jelas itu, terdapat beberapa hal yang hukumnya tidak jelas bagi seseorang atau beberapa orang, apakah itu halal atau haram, sehingga dari mereka timbul ragu-ragu dan tidak dapat menentukan salah satu di antara dua macam hukum itu. Perkara yang masih meragukan dan tidak jelas hukumnya inilah yang disebut musytabihat.

Terhadap hal yang masih musytabihat atau masih diragukan hukumnya, Nabi Muhammad saw telah menganjurkan agar kita berlaku hati-hati dengan menghindari atau menjauhinya demi untuk menjaga kemurnian jiwa dalam pengabdian kita kepada Allah Swt. Hal ini dikecualikan manakala dalam rangka menjaga kemaslahatan kehidupan baik dalam urusan keduniaan maupun urusan keakhiratan tidak ada jalan lain atau nyaris tidak mungkin untuk dihindari, seperti di suatu daerah yang tidak atau belum ada lembaga keuangan seperti bank yang beroperasi dengan menggunakan sistem syariah. Namun pada saat ini lembaga keuangan syariah sudah berdiri di berbagai tempat, seperti BNI juga telah membuka kantor cabang BNI Syariah di berbagai daerah. Selain itu, di berbagai dareah juga telah berdiri Baitul Mal wat Tamwil (BMT).

Dengan memperhatikan keterangan di atas, hendaknya dana milik Muhammadiyah disimpan di lembaga keuangan yang beroperasi dengan menggunakan sistem syariah, misalnya BNI Syariah. Jika demikian, dana milik Muhammadiyah yang telah terlanjur disimpan di BNI konvensional dapat dipindahkan ke BNI Syariah yang terdekat yang telah ada, atau di lembaga keuangan syariah yang lain. Jika memang di daerah saudara belum ada lembaga keuangan syariah, maka tentunya masih dibolehkan menggunakan Bank konvensional milik Pemerintah, mengingat sebuah hadits:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ. [رواه أحمد وابن ماجه].

Artinya: “Tidak boleh membuat kemadlaratan pada diri sendiri dan tidak boleh membuat kemadlaratan pada orang lain.” [HR. Ahmad dan Ibnu Majah].

 

Dan kaidah ushul fiqh:

الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ اْلمَحْضُوْرَاتِ

Artinya: “Kemadlaratan-kemadlaratan itu membolehkan larangan-larangan

 

Wallahu a’lam bishshawab. *dw)

 

FATWA TENTANG SHALAT WITIR, LETAK HADITS SHALAT MALAM 4-4 RAKAAT, DAN HUTANG PUASA DIGANTI DENGAN FIDYAH

Loading

 


FATWA TENTANG

SHALAT WITIR, LETAK HADITS SHALAT MALAM 4-4 RAKAAT, DAN

HUTANG PUASA DIGANTI DENGAN FIDYAH

 

 

Penanya:

Abu Nahar, Keprabon Tengah I/4a Solo

(disidangkan pada hari Jum’at, 10 Shaffar 1427 H / 10 Maret 2006 M)

 

 

Pertanyaan:

1.      Benarkah dalil: لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ ? Hal ini terjadi karena perdebatan antara yang berpendapat setelah shalat lail 13 raka’at, nanti malam boleh shalat malam lagi asal tidak witir lagi. Yang lain makmum setelah 8 raka’at pulang meninggalkan imam, sebab nanti malam akan shalat lagi dan witir.

2.      Di mana letak dalam kitab, nomor 10 halaman 347 HPT tentang shalat malam 4, 4 raka’at? Di al-Bukhari dan Muslim, jilid berapa tahun berapa dan nomor berapa?

3.      Isteri saya, Ramadlan yang lalu mempunyai hutang puasa 5 hari. Sekarang sedang hamil 8 bulan. Apakah yang 5 hari belum dilaksanakan boleh dibayar dengan fidyah karena hamil?

 

 

Jawaban:

1.      Dalil yang saudara sebutkan dalam pertanyaan nomor 1, terdapat dalam hadits:

عَنْ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ. [رواه أحمد وأبو داود والترمذى والنسائى].

Artinya: “Diriwayatkan dari Talq Ibn ‘Ali ia berkata: Saya mendengar Nabi saw bersabda: Tidak ada dua witir dalam satu malam.” [HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasai].

At Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan, sedangkan yang lain mengatakan bahwa hadits ini shahih; demikian pula Ibn Hibban mengatakan hadits ini shahih (Asy-Syaukani, Nailul Authar, Juz  III, halaman 55). Selanjutnya dijelaskan bahwa, hadits ini menunjukkan tidak dibolehkan membatalkan shalat witir yang telah dilakukan. Artinya setelah shalat witir seseorang boleh melakukan shalat sunat lagi, yakni dengan melakukan shalat sunat dengan bilangan genap (dua raka’at-dua raka’at), hingga datangnya waktu shubuh. Pendapat ini didasarkan kepada hadits:

عَنْ أَبِى سَلَمَةَ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ عَنْ صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كَانَ يُصَلِّى ثَلاَثَ عَشَرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى ثَمَانَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ يُوْتِرُ ثُمَّ يُصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ قَامَ فَرَكَعَ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَاْلإِقَامَةِ مِنْ صَلاَةِ الصُبْحِ. [رواه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Salamah, ia berkata: Saya bertanya kepada ‘Aisyah ra. tentang shalat (malam) Rasulullah saw. Kemudian ‘Aisyah berkata:Beliau saw melakukan shalat 13 raka’at. Beliau shalat 8 raka’at, kemudian witir. Lalu beliau shalat (lagi) dua raka’at dilakukan dengan duduk. Jika beliau akan ruku’ beliau berdiri kemudian ruku’ dan shalat dua raka’at antara adzan dan iqamah di waktu shalat shubuh.” [HR. Muslim].

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْكَعُ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الوِتْرِ. [رواه الترمذى وأحمد وابن ماجه وَزَادَ وَهُوَ جَالِسٌ].

Artinya: “Diriwayatkan dari Ummu Salamah diterangkan bahwa Nabi saw melakukan shalat dua raka’at setelah shalat witir.” [HR. at-Tirmidzi, Ahmad dan Ibnu Majah. Dalam riwayat beliau ada tambahan bahwa Nabi melakukan shalat tersebut dengan duduk.]

Pendapat ini, dikemukakan oleh kebanyakan ulama, di kalangan para shahabat antara lain: Abu Bakar ash-Shiddiq, ‘Ammar Ibn Yasir, Rafi’ Ibnu  Khudaij. ‘Aid Ibn ‘Amr, Talq Ibnu ‘Ali, Abu Hurairah, Aisyah, Sa’d Ibnu Abi Waqash, Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas. Dari kalangan tabi’in yang berpendapat seperti di atas antara lain: Sa’id Ibnu Musayyab, ‘Alqamah, asy-Sya’bi, Ibrahim an-Nakha’i, Sa’id Ibnu Jubair, Makkhul, al-Hasan al-Bishri dan Thawus. Sedangkan dari kalangan para imam mazhab, antara lain: Sufyan ats-Tsauri, Malik, Ibnu al-Mubarak dan Ahmad (AsySyaukani, Nailul-Authar).  Dalam pada itu ada ulama yang tidak sependapat, dengan mengatakan: jika setelah shalat witir dilakukan shalat dua raka’at-dua raka’at, berarti shalat yang terakhir di waktu malam tidak ganjil bilangan raka’atnya; yang sekaligus  berlawanan  dengan hadits:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْعَلُوأ آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا. [رواه الجماعة إلا ابن ماجه].

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar diterangkan bahwa Nabi saw bersabda: Jadikanlah yang terakhir shalatmu di waktu malam shalat witir.” [HR. al-Jama’ah kecuali Ibnu Majah].

Tegasnya pendapat ini menyatakan bahwa shalat witir adalah shalat terakhir di waktu malam. At-Tirmidzi mengatakan pendapat ini didukung oleh sekelompok shahabat.

Menghadapi perbedaan pendapat ini, dengan menggunakan qa’idah tarjih yang dikemukakan oleh kebanyakan ulama, bahwa apabila terjadi pertentangan antara dua dalil, yang satu menetapkan adanya perbuatan yang disyari’akan sedang dalil yang lain menetapkan tidak adanya perbuatan yang disyari’atkan, dikuatkan dalil yang menetapkan adanya perbuatan yang disyari’atkan (Al-Hafnawi, at-Ta’arud wat-Tarjih ‘indal-Ushuliyyin wa Atsaruhuma fi Fiqhil-Islamiy, halaman 360-361), maka kami cenderung kepada pendapat yang pertama.

 

2.      Hadits nomor 10 yang tertera  dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) halaman 347 tentang 4, 4 raka’at dalam shalat tarawih, terdapat dalam Kitab Shahih al-Bukhari, Juz I, 342 – 343, Kitab Shalat Tarawih, terbitan Darul Kitabil Islami, Beirut, tanpa tahun, dengan lafadz:

عَنْ أَبِى سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ يَزِيْدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهَا عَلَى إِحْدَى عَشَرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْئَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمّّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْئَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثًا فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوْتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةَ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِى.

Artinya:  “Diriwayatkan dari Abu Salamah Ibn ‘Abdul Rahman bahwa ia bertanya kepada ‘Aisyah ra bagaimana shalat Rasulullah saw di bulan Ramadlan. ‘Aisyah menjawab: Baik di bulan Ramadlan ataupun bukan bulan Ramadlan Rasulullah saw melakukan shalat (lail) tidak lebih dari sebelas raka’at. Beliau shalat 4 raka’at; dan jangan ditanyakan tentang baik dan panjangnya shalat yang beliau lakukan. Kemudian shalat lagi 4 raka’at; (demikian pula) jangan ditanyakan tentang baik dan panjangnya shalat yang beliau lakukan. Lalu beliau shalat 3 raka’at. Kemudian saya bertanya: Wahai Rasulullah apakah anda tidur sebelum shalat witir? Beliau menjawab: Wahai ‘Aisyah, dua biji mataku memang tidur, tetapi hatiku tidak tidur.”

Hadits tersebut terdapat dalam Kitab Shahih Muslim Jilid I, Bab Shalat Lail, halaman 329 hadits nomor 125 (738), terbitan Darul Fikri, Beirut, tahun 1414/1993. Hanya saja lafadznya agak sedikit berbeda yakni:

عَنْ أَبِى سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى رَمَضَانَ قَالَتْ مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيْدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهَا عَلَى إِحْدَى عَشَرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمّّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثًا فَقَالَتْ عَائِشَةَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوْتِرَ فَقَالَ يَا عَائِشَةَ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِى.

Jika diamati hadits yang dikutip dalam HPT, kemudian dibandingkan dengan hadits yang terdapat dalam dua kitab sebagaimana yang telah ditulis di atas, dapat dikatakan bahwa lafadz hadits yang terdapat dalam HPT menggunakan lafadz Muslim, hanya saja tidak lengkap, yakni dalam HPT tidak ditulis lafadz:

فَقَالَتْ عَائِشَةَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوْتِرَ فَقَالَ يَا عَائِشَةَ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِى.

 

3.      Halangan yang menjadikan seseorang tidak boleh  atau  tidak dapat melaksanakan puasa di bulan Ramadlan dimungkinkan karena berbagai sebab. Di kalangan wanita antara lain disebabkan karena menstruasi dan dapat juga disebabkan karena kehamilan. Bagi wanita yang sedang haidl (menstruasi) tidak boleh melaksanakan ibadah puasa. Wanita baru dibenarkan menjalankan ibadah puasa setelah bersih dari menstruasinya. Ia diwajibkan mengganti (qadla’) setelah bulan Ramadlan di saat dalam keadaan suci. Dalam hadits dijelaskan:

كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ. [رواه مسلم عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا].

Artinya: “Adalah kami mengalami demikian (haidl), kami diperintahkan mengqadla’   puasa dan tidak diperintah mengqadla shalat.” [HR. Muslim dari ‘Aisyah ra.].

Bagi wanita yang hamil, yang karena lemah kondisi fisiknya, sehingga menjadi sangat berat untuk menjalankan puasa, maka dibolehkan tidak berpuasa pada bulan Ramadlan. Orang yang karena kondisi tertentu, sehingga menjadikan tidak mampu berpuasa pada bulan Ramadlan, diwajibkan membayar fidyah. Dalam al-Qur’an disebutkan:

وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ. [البقرة (2): 184]

Artinya:  “… Dan wajib orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin…” [QS. al-Baqarah (2): 184].  

Dalam hadits disebutkan:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ اْلكَعْبِى أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ اْلمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحَامِلِ أَوِ اْلمُرْضِعِ الصَّوْمَ. [رواه الخمسة]

Artinya: “Diriwayatkan dari Anas Ibn Malik al-Ka’bi diterangkan bahwa Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Allah Yang Maha Besar dan Maha Mulia telah membebaskan puasa dan separoh shalat bagi orang yang bepergian serta membebaskan puasa bagi orang hamil dan menyusui.” [HR. al-Khamsah].

Dijelaskan oleh Ibnu ‘Abbas:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ (وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ) قَالَ كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيْرِ وَاْلمَرْأَةِ الْكَبِيْرَةِ وَهُمَا يُطِيْقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَا كَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا وَالحبلى وَاْلمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا. [رواه أبو داود].

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas (ketika menjelaskan) وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِوْقُوْنَ ... [Dan wajib orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)], berkata: Yang demikian itu merupakan keringanan bagi orang laki-laki dan perempuan  yang sudah sangat tua. Mereka adalah orang yang sangat berat  berpuasa, oleh karenanya kepada mereka boleh tidak berpuasa, sebagai gantinya memberi makan apa yang biasa dimakan kepada orang miskin per harinya. Hal ini berlaku pula bagi wanita  hamil dan  menyusui, jika keduanya merasa takut.” [HR. Abu Dawud].

Dikatakan pula oleh Ibnu ‘Abbas:

أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الَّذِى يُطِيْقُهُ فَعَلَيْكِ الْفِدَاءُ وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْكِ. [رواه البزار وصححه الدارقطنى].

Artinya: “Kamu (perempuan hamil atau menyusui) termasuk orang yang sangat berat berpuasa, maka kepadamu wajib membayar fidyah dan tidak diwajibkan mengqadla’.” [HR. al-Bazzar dan dishahihkan oleh ad-Daruquthni].

Dengan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa ketentuan hukum pengganti berpuasa bagi wanita haidl (menstruasi) dengan wanita hamil tidak sama, sehingga tidak dapat disatukan. Yakni pengganti tidak berpuasa karena hamil dilakukan dengan membayar fidyah; sedangkan pengganti tidak berpuasa karena haidl (menstruasi) tetap harus mengqadla puasa yang ditinggalkan.

Wallahu a’lam bishshawab. *dw)