Rabu, 16 Januari 2013

Tafsir Al-Qur'an=Kerukunan Hidup Beragama Dalam Perspektif Al-Qur’an

Loading





PROF DR H MUHAMMAD CHIRZIN, MAg
GURU BESAR UIN SUNAN KALIJAGA DAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
 
Bangsa Indonesia terdiri dari beberapa suku, agama, dan golongan. Sungguhpun berbedabeda, tetapi satu tujuan, yaitu meraih kebahagiaan
hidup di dalam bingkai persaudaraan sesama manusia, sebangsa dan se-Tanah Air, dan sesama pemeluk agama. Kata kunci persaudaraan dan kebahagiaan hidup adalah kerukunan sesama warga tanpa memandang perbedaan latar belakang suku, agama dan golongan, karena hal itu adalah Sunnantullah. Kerukunan adalah kesepakatan yang didasarkan pada kasih sayang. Kerukunan mencerminkan persatuan dan  persaudaraan. Allah SwT berfirman, "Hai manusia! Kami ciptakan kamu dari satu pasang laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu beberapa bangsa dan suku bangsa supaya kamu saling mengenal (bukan supaya saling membenci). Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di dalam pandangan Allah ialah orang yang paling bertakwa. Allah Maha Tahu, Maha Mengenal". (Al-Hujurat [49]: 13)

Ayat tersebut ditujukan kepada umat manusia seluruhnya, tak hanya kepada kaum Muslimin. Manusia diturunkan dari sepasang suami-istri. Suku, ras dan bangsa mereka merupakan nama-nama saja untuk memudahkan, sehingga dengan itu kita dapat mengenali perbedaan  sifat-sifat tertentu. Di hadapan Allah SwT mereka semua satu, dan yang paling mulia ialah yang paling bertakwa.

Ketika pembukaan kota  Makkah, Bilal naik ke atas Kakbah untuk adzan. Seseorang berkata, “Pantaskah budak hitam adzan di atas Kakbah?” “Jika Allah SwT membenci dia, pasti Ia menggantinya”, sahut yang lain. Maka turunlah ayat itu. Menurut riwayat lain, ayat itu turun berkenaan dengan Abu Hind yang akan dikawinkan oleh Rasulullah saw dengan seorang wanita Bani Bayadhah. Bani Bayadhah pun berkata,
“Wahai Rasulullah, pantaskah kami mengawinkan putri kami dengan bekas budak kami?” Maka turunlah ayat tersebut.

Salah satu kaidah penafsiran Al-Qur’an: al-‘ibratu bi ‘umumillafzhi la bikhushushissabab – pegangan memahami suatu ayat adalah redaksinya yang umum,  bukan peristiwa khusus yang menyertai turunnya. Meskipun ayat itu turun berkenaan dengan Bilal bin Rabah atau Abu Hind,  namun berlaku untuk setiap manusia. Meskipun Al- Qur’an turun pada abad ke 6 M kepada bangsa Arab, tapi berlaku untuk setiap generasi
di segala zaman. Manusia memiliki beberapa dimensi persaudaraan: (1) persaudaraan sesama manusia –ukhuwah basyariyah; (2)  persaudaraan pertalian darah– ukhuwah nasabiyah; (3) persaudaraan perkawinan semenda -ukhuwah shihriyah; (4) persaudaraan suku dan bangsa– ukhuwah sya’- biyah; (5) persaudaraan sesama pemeluk agama –ukhuwah diniyah; dan (6) persaudaraan seiman-seagama– ukhuwah
imaniyah.

Persaudaraan sesama manusia ditunjukkan oleh sebutan Bani Adam yang menyatukan manusia dalam ikatan keluarga dan persaudaraan  universal, sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al-A’raf [7] ayat 26.

Ayat ini mengandung pesan kepada semua manusia untuk menutupi aurat dengan pakaian sebagai perhiasan. Dalam arti rohani, Allah SwT menciptakan manusia “telanjang dan seorang diri”. Jiwa dalam kesucian dan keindahannya yang telanjang tidak mengenal arti malu. Baik
atau buruk, jujur atau bohong, tergantung pada niat hatinya yang akan mewarnai mereka. Begitu juga yang berkenaan dengan tubuh, ia bersih dan indah, selama ia tidak dinodai oleh penyalahgunaan. Pakaian dan perhiasan yang terbaik akan kitaperoleh dari ketakwaan, yang akan menutupi ketelanjangan dosa, dan akan menghiasi kita dengan segala kebajikan.

Persaudaraan seiman dan seagama dicanangkan Allah SwT dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat [49] ayat 10-12

Secara tersirat ayat ini mengandung pesan bahwa menjaga persaudaraan dan kerukunan adalah suatu bentuk ketakwaan kepada Allah SwT. Untuk memelihara  kerukunan, Mukmin hendaknya menahan diri dari memperolok satu sama lain dan menghindari prasangka, saling mata-mematai, dan menggunjing.

Kebanyakan prasangka tanpa dasar hendaknya dihindari. Memata-matai atau menyelidiki terlalu dalam mengenai persoalan orang lain adalah suatu perbuatan sia-sia. Kita juga diminta untuk tidak melukai perasaan orang lain yang hadir bersama kita, apalagi mengatakan sesuatu di belakangnya, benar atau tidak. Allah SwT menyerupakan menggunjing dengan memakan bangkai manusia. Orang-orang beriman niscaya bersatu- padu, berpegang teguh pada tali Allah dan tidak berpecah belah. Sebagaimana firman Allah SwT dalam Surat Ali-Imran [3];103.

Konteks Surat Ali-Imran [3];103. tersebut, Madinah dahulu pernah diporak-porandakan oleh perang saudara dan kesukuan serta pertentangan yang hebat sebelum Rasulullah saw menapakkan kaki-nya yang suci ke permukaan tanah ini. Setelah itu ia menjadi Kota Nabi, tempat tali
persaudaraan yang tak ada bandingannya, dan menjadi poros Islam.

Terlaksananya persaudaraan Muslim itu merupakan idaman umat Islam yang terbesar. Atas dasar itulah Rasulullah saw menyampaikan khutbah berikut ketika beliau menunaikan ibadah haji wada’, haji perpisahan.

“Ayyuhannas, camkanlah perkataanku baik-baik. Sebab, aku tidak tahu, mungkin aku tidak lagi akan bertemu dengan kalian sesudah tahun ini, di tempat ini, untuk selama-lamanya….

“Ayyuhannas, sesungguhnya darah dan hartamu adalah haram bagimu, hingga kamu sekalian menemui Tuhanmu, sebagaimana diharamkannya hari dan bulanmu ini. Sesudah itu, kamu sekalian akan menemui Tuhanmu dan ditanya tentang amalamalmu. Sungguh, aku telah sampaikan hal ini. Maka, barang siapa yang masih mempunyai amanat, hendaknya segera disampaikan kepada orang yang berhak menerimanya….”


“Perhatikan dan ketahuilah, bahwasanya seorang Muslim itu saudara bagi Muslim lainnya, dan sesungguhnya kaum Muslimin itu bersaudara. Tidak dihalalkan bagi seseorang Muslim untuk merampas hak saudaranya sesama Muslim, kecuali apa yang diberikan kepadanya secara rela.
Karena itu, janganlah kamu menganiaya dirimu sendiri.”


Allah SwT menyebutkan keberadaan beberapa agama dalam Al-Qur’an sebagai berikut. "Mereka yang beriman kepada Al-Quran, dan mereka yang menganut agama Yahudi, kaum Shabiin dan Nasrani, - yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan berbuat baik. Mereka tak perlu khawatir, tak perlu sedih". (Al-Maidah [5]: 69)

"Mereka yang beriman kepada Al-Quran, orang-orang Yahudi, Shabiin, Nasrani, Majusi, dan kaum musyrik, - Allah akan memberi keputusan  tentang mereka pada hari kiamat. Allah menjadi Saksi atas mereka". (Al-Hajj [22]: 17)

Kebhinekaan agama meniscayakan sikap mengakui dan menghormati agamaagama selain agamanya. Muslim niscaya menghargai pemeluk agama-agama bukan Islam. Mengakui keanekaragaman agama dan keberagamaan orang lain bukan berarti menyamakan semua agama dan bukan berarti, membenarkan agamaagama lain itu.

Kerukunan dan persaudaraan antarumat beragama memperoleh landasannya pada firman Allah dalam surat Al- Mumtahanah [60]: 8 yang artinya “Allah tidak melarang kamu dari mereka yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu, untuk bersikap baik dan adil terhadap mereka. Allah mencintai orangorang yang adil. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Qatilah,
istri Abu Bakr yang telah bercerai pada masa jahiliyah, datang kepada Asma‘ binti Abu Bakar. Asma‘ pun bertanya kepada Rasulullah saw, “Bolehkah saya berbuat baik kepadanya?” Rasulullah saw menjawab, “Ya, boleh.” Ayat tersebut turun berkenaan dengan peristiwa itu. Dalam konteks tertentu Allah tidak mengizinkan orang-orang beriman menyandarkan bantuan dan pertolongan kepada orang-orang tidak beriman.

Allah SwT berfirman yang artinya "Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai   pelindung; mereka saling melindungi sesama mereka. Dan orang di antara kamu yang mengikuti mereka, ia termasuk mereka. Dan Allah tidak
akan memberi petunjuk kepada orang yang dlalim"
. (Al-Maidah [5]: 51)

Ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Ubay bin Salul, tokoh munafik Madinah, dan Ubadah bin ash-Shamit, salah seorang tokoh  Islam dari Bani Auf bin Khazraj yang terikat perjanjian untuk saling membela dengan Yahudi Bani Qainuqa‘. Ketika Bani Qainuqa‘  memerangi Rasulullah saw, Abdullah bin Ubay tidak melibatkan diri, sedangkan Ubadah bin ash-Shamit berangkat menghadap Nabi saw untuk membersihkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari ikatannya dengan Bani Qainuqa‘ itu serta menggabungkan diri bersama Rasulullah saw dan menyatakan hanya taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka turunlah ayat itu yang mengingatkan orang beriman untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan tidak mengangkat kaum Yahudi dan Nasrani menjadi pelindung mereka.

Dalam konteks akidah dan ibadah, tidak ada kerjasama dan kompromi antara orang beriman dengan orang-orang yang tidak beriman. Allah SwT berfirman, Katakanlah: Hai orang-orang tak beriman! Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah; Dan kamu pun tak akan menyembah apa yang kusembah. Dan aku tak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tak akan menyembah apa yang kusembah. Agamamu untukmu dan agamaku untukku. (Al-Kafirun [109 ]: 1-6).

Antara persaudaraan iman dan persaudaraan kebangsaan tidak perlu terjadi persoalan alternatif, ini atau itu, tapi sekaligus all at once. Dari satu arah seorang Muslim menjadi nasionalis dengan paham kebangsaan yang diletakkan dalam kerangka kemanusiaan universal. Dengan demikian, ketika seorang Muslim melaksanakan ajaran agamanya, maka pada waktu yang sama ia juga mendukung nilai-nilai baik
yang menguntungkan bangsanya.
 web. muhammadiyah

0 Comments:

Posting Komentar

Silahkan di tanyakan