A. Pendahuluan
Allah berfirman dalam surat al-Imran ayat 110:
كُنْتُمْ خَيْرُ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
تَأْمُرُوْنَ بِالمَعْرُوْفِ وَ تَنْهَوْنَ عَنِ المُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ
بِاللهِ وَلَوْءَامَنَ أَهْلُ الكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ مِّنْهُمُ
المُؤْمِنُوْنَ وَأَكْثَرُهُمُ الفَاسِقُوْنَ. (أل عمران:١٧)
“Kamu adalah umat terbaik
yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari
yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah
itu lebih baik bagi mereka, diantara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik.” (al-Imran ayat 110)
Nabi Muhammad SAW juga menguatkan dengan bersabda yang artinya:
“Dari Abu Sa’id Al Khurdy -radhiyallahu’anhu-
berkata, saya mendengar rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa diantara kamu yang
melihat kemunkaran, maka hendaklah ia merubah,
(menginkari) dengan tangannya,
jika tidak mampu hendaklah ia merubah (menginkari) dengan lisannya, jika tidak
mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling
lemah.” (HR. Muslim no.49)
Sudah tampak pada
dua dalil diatas bahwa amar ma’ruf nahi minkar itu sangat diutamakan, bahkan
umat Islam sendiri diutamakan dan disebut menjadi umat terbaik karena umat ini
adalah umat yang menjalankan amar ma’ruf nahi munkar. Lalu pada dalil yang
kedua nabi Muhammad saw. memberikan solusi atau rumus bagi kita bagaimana
cara-cara menjalankan amar ma’ruf nahi munkar.
Lalu bagaimanakah
sikap kita menanggapi dua dalil diatas, tentu tidak hanya terdiam duduk manis
tapi kita harus menjalankan amanat yang telah diembankan kepada umat ini untuk
benar-benar mencapai kedudukan umat terbaik.
B. Pembahasan
1. Makna Amar Makruf Nahi Munkar
Makna Amar Makruf Nahi Munkar artinya memerintahkan
yang ma’ruf dan melarang munkar.”Ma’ruf” artinya diketahui,
dikenal, disadari. “Munkar” artinya ditolak, diingkari, dibantah. Kamus
menjelaskan ma’ruf sebagai apasaja diketahui dan dikenal baik oleh
setiap orang sebagai kebaikan. Dalam Hadits, ma’ruf adalah adalah segala
hal yang diketahui orang berupa ketaatan kepada Allah, mendekati-Nya, berbuat
baik kepada manusia, dan semua yang dianjurkan syarak. Ma’ruf diketahui
oleh semua orang, bila mereka melihatnya mereka tidak menolaknya. Munkar adalah
apa saja yang dipandang buruk , diharamkan dan dibenci oleh syarak.[1]
Menurut Muhammad ‘Ali Ash Shabuni mendefinisikan ma’ruf dengan “apa yang
diperintahkan syarak (agama) dan dinilai baik oleh akal sehat”, sedang munkar
ialah “apa yang dilarang syarak dan dinilai buruk oleh akal sehat”
Terlihat dari dua definisi diatas, bahwa yang menjadi ukuran ma’ruf dan
munkarnya sesuatu ada dua, yaitu agama dan akal sehat atau hati nurani. Bisa
kedua-duanya sekaligus atau salah satunya. Semua yang diperintahkan agama
adalah ma’ruf, begitu pula sebaliknya semua yang dilarang agama adalah munkar.[2]
Dikalangan ahli Kalam memang terjadi perdebatan
apakah kebaikan dan keburukan itu diketahui secara akliyah atau nakliyah.
Mu’tazilah dan Syi’ah menegaskan bahwa akal dapat mengetahui baik dan buruk.
Ahlussunnah menyatakan bahwa hanya syarak saja yang harus menentukan baik dan
buruk.[3]
2. Perintah Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban bagi orang yang beriman, baik
secara individu maupun kolektif. Allah SWT barfirman:
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُوْنَ إِلَى
الخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالمَأْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ المُنْكَرِ وَأُلَئِكَ
هُمُ المُفْلِحُوْنَ (أل عمران:١٧)
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, dan menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)
Disamping
kewajiban, amar ma’ruf nahi munkar adalah adalah tugas yang menentukan eksistensi
dan kualitas umat islam. Andai umat Islam dimasa
sekarang melaksanakan apa yang telah diperintahkan dan menjauhi apa-apa yang
dilarang Risalah Allah seperti apa yang telah termaktub dalam al-Qur’an maupun
al-Hadits pastilah umat ini akan benar-benar menjadi umat yang utama dan
terbaik.
Risalah Allah ada yang berupa
berita (akhbar) dan ada juga yang berupa tuntunan (Insya’). Akhbar disini
menyangkut Dzat-Nya, makhluk-Nya, seperti tauhidullah dan kisah-kisah yang
mengandung janji baik dan buruk. Adapun Insya’ adalah perintah, larangan dan
pembolehan.
Allah SWT Berfirman:
يَأْمُرُهُمْ بِالمَعْرُوْفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ المُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ
الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الخَبَائِثَ
“Ia (Muhammad) menyuruh mereka
mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka mengerjakan yang munkar, dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan segala yang buruk.”
(Al-A’raf: 157)
Isi ayat di atas merupakan
kejelasan risalah beliau. Allah-lah yang memerintahkan lidah beliau untuk
mengemukakan segala yang ma’ruf dan melarang segala yang munkar, menghalalkan
semua yang baik dan mengharamkan segala kekejian dan keburukan.
Perintah melakukan semua yang
baik dan melarang semuayang keji akan terlaksana secara semourna karena
diutusnya Rasulullah SAW oleh Allah untuk menyempurnakan alkhlaq mulia bagi
umatnya. Jelas, Allah telah menyempurnakan agama ini untuk kita, telah
melengkapi melengkapi nikmat kepada kita, juga Ridho Islam sebagai satu-satunya
agama bagi umat manusia. Oleh karena itu pantaslah umat nabi Muhammad SAW
sebagai umat yang terbaik.
Dengan jelas Allah menegaskan
bahwa umat ini adalah sebaik-baik umat yang senantiasa berbuat ihsan sehingga
keberadaannya sangat besar manfaatnya bagi segenap umat manusia. Dengan amar
ma’ruf nahi munkar itu mereka menyempurnakan seluruh kebaikan dan kemanfaatan
bagi umat manusia. Sedangkan bagian umat yang lain tidak ada yang memerintahkan
untuk melaksanakan semua yang ma’ruf bagi kemaslahatan seluruh lapisan
manusia, dan tidak pula melarang semua orang dari berbuat kemunkaran. Mereka
tidak berjihad untuk itu, seperti Bani Israil, mereka lebih banyak melakukan
penganiayaan, pengusiran serta pembunuhan terhadap musuh-musuh mereka.[4]
Amar ma’ruf nahi munkar merupakan tugas
yang telah diembankan kepada umat terbaik yaitu umat Islam. Bila tugas itu
diabaikan, dengan sendirinya umat Islam tidak lagi menjadi umat terbaik bahkan
bisa terpuruk dengan sendirinya. Bila demikian keadaannya, keberadaan umat
Islam tidak akan diperhitungkan oleh umat-umat yang
lain.
3. Ruang Lingkup Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Dengan melihat kepada poin pertama yaitu makna amar ma’ruf nahi munkar kita
bisa menentukan ruang lingkupnya. Tentu ruang lingkup yang ma’ruf dan munkar
sangat luas sekali, baik dalam aspek aqidah, ibadah, akhlaq maupun mu’amalat
(sosial, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya, dsb).
Tauhidullah, mendirikan shalat, mambayar zakat, amanah, toleransi beragama,
membantu kaum dhu’afa dan mustadh’afin, disiplin, transparan dan lain
sebagainya adalah beberapa contoh sikap dan perbuatan yang ma’ruf. Sebaliknya,
kebalikan dari sikap-sikap itu adalah hal-hal yang munkar.[5]
4. Bentuk Praktis Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Yang dimaksud dengan
bentuk praktis disini ialah bentuk praktek langsung dari amar ma’ruf nahi
munkar itu sendiri. Aplikasi dari hal itu ada banyak macamnya ada yang bersifat
nonformal maupun formal.
Dari yang bersifat
nonformal contohnya: saat kita melalui suatu tempat lalu menjumpai seorang yang
akan mencuri, dan kewajiban kita adalah mencegah dari hal itu dan mengarahkan
kepada hal yang ma’ruf karena mencuri merupakan hal yang bersifat munkar.
Jika merujuk pada
hadits, sebagaimana telah tercantum pada pendahuluan yaitu:
“Dari Abu Sa’id Al
Khurdy -radhiyallahu’anhu- berkata, saya mendengar rasulullah SAW
bersabda, “Barang siapa diantara kamu yang melihat kemunkaran, maka hendaklah
ia merubah, (menginkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia
merubah (menginkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah
dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim no.49)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Sesungguhnya maksud dari hadits ini adalah: Tidak
tinggal sesudah batas pengingkaran ini (dengan hati) sesuatu yang dikategorikan
sebagai iman sampai seseorang mukmin itu melakukannya, akan tetapi mengingkari
dengan hati merupakan batas terakhir dari keimanan, bukanlah maksudnya, bahwa
barang siapa yang tidak mengingkari hal itu dia tidak memiliki keimanan sama
sekali, oleh karena itu Rasulullah bersabda, “Tidaklah ada sesudah itu”, maka
beliau menjadikan orang-orang yang beriman tiga tingkatan, masing-masing di
antara mereka telah melakukan keimanan yang wajib atasnya, akan tetapi yang
pertama (mengingkari dengan tangan) tatkala ia yang lebih mampu di antara
mereka maka yang wajib atasnya lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang
kedua (mengingkari dengan lisan), dan apa yang wajib atas yang kedua lebih
sempurna dari apa yang wajib atas yang terakhir, maka dengan demikian diketahui
bahwa manusia bertingkat-tingkat dalam keimanan yang wajib atas mereka sesuai
dengan kemampuannya beserta sampainya khitab (perintah) kepada mereka.” (Majmu’ Fatawa, 7/427).
Hadits dan perkataan Syaikhul Islam di atas
menjelaskan bahwa amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan karakter seorang yang
beriman, dan dalam mengingkari kemungkaran tersebut ada tiga tingkatan:
· Mengingkari dengan tangan.
·
Mengingkari dengan lisan.
·
Mengingkari dengan hati.
Tingkatan pertama dan kedua wajib bagi setiap orang
yang mampu melakukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits di atas, dalam
hal ini seseorang apabila melihat suatu kemungkaran maka ia wajib mengubahnya
dengan tangan jika ia mampu melakukannya, seperti seorang penguasa terhadap
bawahannya, kepala keluarga terhadap istri, anak dan keluarganya, dan
mengingkari dengan tangan bukan berarti dengan senjata.
Dari bentuk praktis
yang bersifat formal dapat kita analisa bahwa bentuk amar ma’ruf nahi munkar
bisa merambah kepada berbagai hal seperti halnya Pendidikan. Islam sebagai
petunjuk Ilahi mengandung implikasi kependidikan yang mampu membimbing dan
mengarahkan manusia menjadi seorang mukmin, muslim, muhsin dan muttaqin melalui
proses tahap demi tahap.
Praktek amar ma’ruf
nahi munkar dengan metode formal (pendidikan formal) saya rasa memiliki nilai
lebih dari pada praktek secara nonformal. Jika dilihat dari sisi penyampaian
sendiri akan lebih mudah karena sistem pendidikan formal telah disetting
sedemikian rupa sehingga akan memudahkan kepada orang yang mempraktekan
langsung (guru). Sedangkan dilihat dari sisi penerimaan akan lebih mendapat
respon yang lebih atau mendapat perhatian lebih dari objek amar ma’ruf nahi
munkar itu sendiri (murid).[6]
5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar Memasuki Era Globalisasi
Ada uraian dari
kalangan Sunni yang barangkali agak langka bahwa setiap mukmin memiliki
kewajiban niat melakukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar tatkala mencapai aqil baligh.
Allah menyebut
orang-orang yang melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar dengan sebutan ‘Thaifah’,
golongan terpilih, yang mendalami pesan-pesan Ilahi dan mengingatkan kaumnya
kepada kebaikan. Bahkan Allah melemparkan pertanyaan siapa makhlik di bumi ini
yang lebih baik tutur katanya dibanding orang-orang yang menggalakan Amar
Ma’ruf nahi munkar, berbuat kebaikan, dan mempertegas identitas diri sebagai
kaum muslimin.[7]
Sesuai dengan makna
Amar Ma’ruf nahi Munkar, tujuannya tentu dalam rangka penegakan haq, keadilan
dimuka bumi ini. Salah satu nama Allah adalah al-Haq yang artinya menyerukan
kebenaran. Al-Haq identik dengan mengajak ke jalan Allah yang Haq.
Dalam dunia modern Amar
Ma’ruf nahi Munkar bisa diterjemahkan sebagai Social Control. Dalam
proses ini penyadaran kepada diri sendiri dan keluarga demikian penting. Yang
perlu ditekankan disini ialah setiap individu mempunyai keharusan social
control. Dengan kata lain Amar Ma’ruf nahi Munkar marupakan kewajiban
setiap mukmin di mana saja dan kapan saja. Objek dari Amar Ma’ruf nahi
Munkar adalah segi-segi kehidupan yang kita hadapi dalam segala dimensinya:
politik, sosial, budaya dan keagamaan. Amar Ma’ruf nahi Munkar dalam ajaran
Islamjuga bisa disebut dengan Da’wah Islamiyah.
Ada kecenderungan di
masyarakat bahwa tugas Amar Ma’ruf nahi Munkar adalah hanya milik kiyai, ulama,
dan pemimpin-pemimpin informal. Biasanya pandangan seperti ini dilandasi suatu
paham agama yang hanya melihat Nabi sebagai seorang pemimpin do’a dan imam
sholat, tapi memandang beliau sebagai social reformer dan bangsawan
memimpin negara dan umat yang plural. Pengertian dakwah selama ini terasa
sangat sempit jika hanya ditujukan pada dakwah mimbar, ataupun podium. Padahal
dakwah dalam arti yang sebenarnya, memiliki cangkupan yang sangat luas. Agaknya
Dakwah Bil Hal, juga bil qolam kurang populer dan masih sangat
terbatas.
Dalam rangka dakwa
islamiyah, kita harus mampu berdialog dengan kebudayaan moderndan secara aktif
mengisinya dengan nuansa Islami. Hal ini hanya bisa hanya bisa dilakukan bila
kita memahami arus globalisasisevara benar dan tidak tertinggal dengan informasi-informasi
aktual dan manca negara.[8]
C.
Kesimpulan
Konsep amar ma’ruf nahi munkar yang ditawarkan kepada
umat manusia yaitu:
1. Memelihara konsep
yang sudah ada sejak zaman nabi, agar kita bisa mengetahui apa yang di kerjakan
dan di perbuat pada zaman nabi Muhammad, karena pada zaman beliau amar ma’ruf
nahi munkar benar-benar tegak dengan kukuh dan melakukannya dengan ikhlas, oleh
karna itu Allah memberikan peringkat kepada umat muslimin menjadi umat yang
terbaik diantara umat-umat yang lain.
2. Konsep amar ma’ruf
nahi munkar yang ditawarkan kepada kaum mukminin sangatlah sederhana, tetapi
berat untuk dilaksanakan kita ambil contoh: Keberanian menyatakan, bahwa ini
adalah ma’ruf, tetapi lebih sulit menyatakan, bahwa itu adalah munkar. Sebab
besar kemungkinannya akan dimurkai orang. Kadang-kadang kita dianjurkan supaya
mengatakan yang sebenarnya. Teatpi apabila yang sebenarnya yang kita katakana,
orang akan marah. Sebab masyarakat biasanya amat berat melepaskan kebiasaannya.
“manusia adalah budak kebiasaannya.” Demikian kata pepatah. Maka kalau iman
kepada Allah di dalam ini dijadikan bahan yang terahir, sebab dialah dasar
kalau iman kepada Allah itu lemah, niscaya amar ma’ruf nahi munkar tidak akan
berlangsung.
3. Amar ma’ruf dan nahi
mungkar merupakan karakter seorang yang beriman, dan dalam mengingkari
kemungkaran tersebut ada tiga tingkatan:
· Mengingkari dengan tangan.
· Mengingkari dengan lisan.
· Mengingkari dengan hati.
Tingkatan pertama dan kedua wajib bagi setiap orang
yang mampu melakukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits di atas, dalam
hal ini seseorang apabila melihat suatu kemungkaran maka ia wajib mengubahnya
dengan tangan jika ia mampu melakukannya.
Daftar Pustaka
Rakhmat, Jalaludin, Islam dan
Pluralisme, Serambi
Yunahar, Ilyas, 2000, Kuliah
Akhlaq, Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan.
Taimiyah,
Ibnu, 1990, Etika Beramar Ma’ruf Nahi Munkar,
Jakarta: Gema Insani Press.
Abdurrahman, Mas’ud, 2003, Menuju Paradigma Islam
Humanis, Yogyakarta: Gama Media.
Arifin, 1994, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta:
Bumi Aksara.
[1] Jalaludin Rakhmat, Islam
dan Pluralisme, Serambi, hlm. 227
[2] Ilyas Yunahar, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta:
Lembaga Pengkajian dan Pengamalan, 2000), hlm.241
[3] Jalaludin Rakhmat, Islam…
hlm. 228
[4] Ibnu Taimiyah, Etika Beramar Ma’ruf Nahi Munkar,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1990), hlm. 18
[5] Ilyas Yunahar, Kuliah…, hlm.241
[6] Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bumi Aksara, 1994), hlm. 32
[7] Mas’ud
Abdurrahman, Menuju Paradigma Islam Humanis, (Yogyakarta: Gama Media,
2003), hlm. 89
[8]ibid, hlm. 92
0 Comments:
Posting Komentar
Silahkan di tanyakan