Selasa, 15 Januari 2013

Konsep Tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Loading


A.     Pendahuluan
Allah berfirman dalam surat al-Imran ayat 110:
كُنْتُمْ خَيْرُ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالمَعْرُوْفِ وَ تَنْهَوْنَ عَنِ المُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَلَوْءَامَنَ أَهْلُ الكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ مِّنْهُمُ المُؤْمِنُوْنَ وَأَكْثَرُهُمُ الفَاسِقُوْنَ. (أل عمران:١٧)
Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, diantara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (al-Imran ayat 110)
Nabi Muhammad SAW juga menguatkan dengan bersabda yang artinya:
“Dari Abu Sa’id Al Khurdy  -radhiyallahu’anhu- berkata, saya mendengar rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa diantara kamu yang melihat kemunkaran, maka hendaklah ia merubah, (menginkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (menginkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim no.49)
Sudah tampak pada dua dalil diatas bahwa amar ma’ruf nahi minkar itu sangat diutamakan, bahkan umat Islam sendiri diutamakan dan disebut menjadi umat terbaik karena umat ini adalah umat yang menjalankan amar ma’ruf nahi munkar. Lalu pada dalil yang kedua nabi Muhammad saw. memberikan solusi atau rumus bagi kita bagaimana cara-cara menjalankan amar ma’ruf nahi munkar.
Lalu bagaimanakah sikap kita menanggapi dua dalil diatas, tentu tidak hanya terdiam duduk manis tapi kita harus menjalankan amanat yang telah diembankan kepada umat ini untuk benar-benar mencapai kedudukan umat terbaik.




B.     Pembahasan
1.     Makna Amar Makruf Nahi Munkar
Makna Amar Makruf Nahi Munkar artinya memerintahkan yang ma’ruf dan melarang munkar.”Ma’ruf” artinya diketahui, dikenal, disadari. “Munkar” artinya ditolak, diingkari, dibantah. Kamus menjelaskan ma’ruf sebagai apasaja diketahui dan dikenal baik oleh setiap orang sebagai kebaikan. Dalam Hadits, ma’ruf adalah adalah segala hal yang diketahui orang berupa ketaatan kepada Allah, mendekati-Nya, berbuat baik kepada manusia, dan semua yang dianjurkan syarak. Ma’ruf diketahui oleh semua orang, bila mereka melihatnya mereka tidak menolaknya. Munkar adalah  apa saja yang dipandang buruk , diharamkan dan dibenci oleh syarak.[1]
Menurut Muhammad ‘Ali Ash Shabuni mendefinisikan ma’ruf dengan “apa yang diperintahkan syarak (agama) dan dinilai baik oleh akal sehat”, sedang munkar ialah “apa yang dilarang syarak dan dinilai buruk oleh akal sehat”
Terlihat dari dua definisi diatas, bahwa yang menjadi ukuran ma’ruf dan munkarnya sesuatu ada dua, yaitu agama dan akal sehat atau hati nurani. Bisa kedua-duanya sekaligus atau salah satunya. Semua yang diperintahkan agama adalah ma’ruf, begitu pula sebaliknya semua yang dilarang agama adalah munkar.[2]
Dikalangan ahli Kalam memang terjadi perdebatan apakah kebaikan dan keburukan itu diketahui secara akliyah atau nakliyah. Mu’tazilah dan Syi’ah menegaskan bahwa akal dapat mengetahui baik dan buruk. Ahlussunnah menyatakan bahwa hanya syarak saja yang harus menentukan baik dan buruk.[3]
2.      Perintah Amar Ma’ruf  Nahi Munkar
Amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban bagi orang yang beriman, baik secara individu maupun kolektif. Allah SWT barfirman:

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُوْنَ إِلَى الخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالمَأْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ المُنْكَرِ وَأُلَئِكَ هُمُ المُفْلِحُوْنَ (أل عمران:١٧)

“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, dan menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)
Disamping kewajiban, amar ma’ruf nahi munkar adalah adalah tugas yang menentukan eksistensi dan kualitas umat islam. Andai umat Islam dimasa sekarang melaksanakan apa yang telah diperintahkan dan menjauhi apa-apa yang dilarang Risalah Allah seperti apa yang telah termaktub dalam al-Qur’an maupun al-Hadits pastilah umat ini akan benar-benar menjadi umat yang utama dan terbaik.
Risalah Allah ada yang berupa berita (akhbar) dan ada juga yang berupa tuntunan (Insya’). Akhbar disini menyangkut Dzat-Nya, makhluk-Nya, seperti tauhidullah dan kisah-kisah yang mengandung janji baik dan buruk. Adapun Insya’ adalah perintah, larangan dan pembolehan.
Allah SWT Berfirman:
يَأْمُرُهُمْ بِالمَعْرُوْفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ المُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الخَبَائِثَ
“Ia (Muhammad) menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka mengerjakan yang munkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan segala yang buruk.” (Al-A’raf: 157)
Isi ayat di atas merupakan kejelasan risalah beliau. Allah-lah yang memerintahkan lidah beliau untuk mengemukakan segala yang ma’ruf dan melarang segala yang munkar, menghalalkan semua yang baik dan mengharamkan segala kekejian dan keburukan.
Perintah melakukan semua yang baik dan melarang semuayang keji akan terlaksana secara semourna karena diutusnya Rasulullah SAW oleh Allah untuk menyempurnakan alkhlaq mulia bagi umatnya. Jelas, Allah telah menyempurnakan agama ini untuk kita, telah melengkapi melengkapi nikmat kepada kita, juga Ridho Islam sebagai satu-satunya agama bagi umat manusia. Oleh karena itu pantaslah umat nabi Muhammad SAW sebagai umat yang terbaik.
Dengan jelas Allah menegaskan bahwa umat ini adalah sebaik-baik umat yang senantiasa berbuat ihsan sehingga keberadaannya sangat besar manfaatnya bagi segenap umat manusia. Dengan amar ma’ruf nahi munkar itu mereka menyempurnakan seluruh kebaikan dan kemanfaatan bagi umat manusia. Sedangkan bagian umat yang lain tidak ada yang memerintahkan untuk melaksanakan semua yang ma’ruf  bagi kemaslahatan seluruh lapisan manusia, dan tidak pula melarang semua orang dari berbuat kemunkaran. Mereka tidak berjihad untuk itu, seperti Bani Israil, mereka lebih banyak melakukan penganiayaan, pengusiran serta pembunuhan terhadap musuh-musuh mereka.[4]
        Amar ma’ruf nahi munkar merupakan tugas yang telah diembankan kepada umat terbaik yaitu umat Islam. Bila tugas itu diabaikan, dengan sendirinya umat Islam tidak lagi menjadi umat terbaik bahkan bisa terpuruk dengan sendirinya. Bila demikian keadaannya, keberadaan umat Islam tidak akan diperhitungkan oleh umat-umat yang lain.

3.      Ruang Lingkup Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Dengan melihat kepada poin pertama yaitu makna amar ma’ruf nahi munkar kita bisa menentukan ruang lingkupnya. Tentu ruang lingkup yang ma’ruf dan munkar sangat luas sekali, baik dalam aspek aqidah, ibadah, akhlaq maupun mu’amalat (sosial, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya, dsb).
Tauhidullah, mendirikan shalat, mambayar zakat, amanah, toleransi beragama, membantu kaum dhu’afa dan mustadh’afin, disiplin, transparan dan lain sebagainya adalah beberapa contoh sikap dan perbuatan yang ma’ruf. Sebaliknya, kebalikan dari sikap-sikap itu adalah hal-hal yang munkar.[5]

4.      Bentuk Praktis Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Yang dimaksud dengan bentuk praktis disini ialah bentuk praktek langsung dari amar ma’ruf nahi munkar itu sendiri. Aplikasi dari hal itu ada banyak macamnya ada yang bersifat nonformal maupun formal.
Dari yang bersifat nonformal contohnya: saat kita melalui suatu tempat lalu menjumpai seorang yang akan mencuri, dan kewajiban kita adalah mencegah dari hal itu dan mengarahkan kepada hal yang ma’ruf karena mencuri merupakan hal yang bersifat munkar.
Jika merujuk pada hadits, sebagaimana telah tercantum pada pendahuluan yaitu:
“Dari Abu Sa’id Al Khurdy  -radhiyallahu’anhu- berkata, saya mendengar rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa diantara kamu yang melihat kemunkaran, maka hendaklah ia merubah, (menginkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (menginkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.” (HR. Muslim no.49)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Sesungguhnya maksud dari hadits ini adalah: Tidak tinggal sesudah batas pengingkaran ini (dengan hati) sesuatu yang dikategorikan sebagai iman sampai seseorang mukmin itu melakukannya, akan tetapi mengingkari dengan hati merupakan batas terakhir dari keimanan, bukanlah maksudnya, bahwa barang siapa yang tidak mengingkari hal itu dia tidak memiliki keimanan sama sekali, oleh karena itu Rasulullah bersabda, “Tidaklah ada sesudah itu”, maka beliau menjadikan orang-orang yang beriman tiga tingkatan, masing-masing di antara mereka telah melakukan keimanan yang wajib atasnya, akan tetapi yang pertama (mengingkari dengan tangan) tatkala ia yang lebih mampu di antara mereka maka yang wajib atasnya lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang kedua (mengingkari dengan lisan), dan apa yang wajib atas yang kedua lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang terakhir, maka dengan demikian diketahui bahwa manusia bertingkat-tingkat dalam keimanan yang wajib atas mereka sesuai dengan kemampuannya beserta sampainya khitab (perintah) kepada mereka.” (Majmu’ Fatawa, 7/427).
Hadits dan perkataan Syaikhul Islam di atas menjelaskan bahwa amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan karakter seorang yang beriman, dan dalam mengingkari kemungkaran tersebut ada tiga tingkatan:
·         Mengingkari dengan tangan.
·         Mengingkari dengan lisan.
·         Mengingkari dengan hati.
Tingkatan pertama dan kedua wajib bagi setiap orang yang mampu melakukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits di atas, dalam hal ini seseorang apabila melihat suatu kemungkaran maka ia wajib mengubahnya dengan tangan jika ia mampu melakukannya, seperti seorang penguasa terhadap bawahannya, kepala keluarga terhadap istri, anak dan keluarganya, dan mengingkari dengan tangan bukan berarti dengan senjata.
Dari bentuk praktis yang bersifat formal dapat kita analisa bahwa bentuk amar ma’ruf nahi munkar bisa merambah kepada berbagai hal seperti halnya Pendidikan. Islam sebagai petunjuk Ilahi mengandung implikasi kependidikan yang mampu membimbing dan mengarahkan manusia menjadi seorang mukmin, muslim, muhsin dan muttaqin melalui proses tahap demi tahap.
Praktek amar ma’ruf nahi munkar dengan metode formal (pendidikan formal) saya rasa memiliki nilai lebih dari pada praktek secara nonformal. Jika dilihat dari sisi penyampaian sendiri akan lebih mudah karena sistem pendidikan formal telah disetting sedemikian rupa sehingga akan memudahkan kepada orang yang mempraktekan langsung (guru). Sedangkan dilihat dari sisi penerimaan akan lebih mendapat respon yang lebih atau mendapat perhatian lebih dari objek amar ma’ruf nahi munkar itu sendiri (murid).[6]
5.      Amar Ma’ruf Nahi Munkar Memasuki Era Globalisasi
Ada uraian dari kalangan Sunni yang barangkali agak langka bahwa setiap mukmin memiliki kewajiban niat melakukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar tatkala mencapai aqil baligh.
Allah menyebut orang-orang yang melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar dengan sebutan ‘Thaifah’, golongan terpilih, yang mendalami pesan-pesan Ilahi dan mengingatkan kaumnya kepada kebaikan. Bahkan Allah melemparkan pertanyaan siapa makhlik di bumi ini yang lebih baik tutur katanya dibanding orang-orang yang menggalakan Amar Ma’ruf nahi munkar, berbuat kebaikan, dan mempertegas identitas diri sebagai kaum muslimin.[7]
Sesuai dengan makna Amar Ma’ruf nahi Munkar, tujuannya tentu dalam rangka penegakan haq, keadilan dimuka bumi ini. Salah satu nama Allah adalah al-Haq yang artinya menyerukan kebenaran. Al-Haq identik dengan mengajak ke jalan Allah yang Haq.
Dalam dunia modern Amar Ma’ruf nahi Munkar bisa diterjemahkan sebagai Social Control. Dalam proses ini penyadaran kepada diri sendiri dan keluarga demikian penting. Yang perlu ditekankan disini ialah setiap individu mempunyai keharusan social control. Dengan kata lain Amar Ma’ruf nahi Munkar marupakan kewajiban setiap  mukmin di mana saja dan kapan saja. Objek dari Amar Ma’ruf nahi Munkar adalah segi-segi kehidupan yang kita hadapi dalam segala dimensinya: politik, sosial, budaya dan keagamaan. Amar Ma’ruf nahi Munkar dalam ajaran Islamjuga bisa disebut dengan Da’wah Islamiyah.
Ada kecenderungan di masyarakat bahwa tugas Amar Ma’ruf nahi Munkar adalah hanya milik kiyai, ulama, dan pemimpin-pemimpin informal. Biasanya pandangan seperti ini dilandasi suatu paham agama yang hanya melihat Nabi sebagai seorang pemimpin do’a dan imam sholat, tapi memandang beliau sebagai social reformer dan bangsawan memimpin negara dan umat yang plural. Pengertian dakwah selama ini terasa sangat sempit jika hanya ditujukan pada dakwah mimbar, ataupun podium. Padahal dakwah dalam arti yang sebenarnya, memiliki cangkupan yang sangat luas. Agaknya Dakwah Bil Hal, juga bil qolam kurang populer dan masih sangat terbatas.
Dalam rangka dakwa islamiyah, kita harus mampu berdialog dengan kebudayaan moderndan secara aktif mengisinya dengan nuansa Islami. Hal ini hanya bisa hanya bisa dilakukan bila kita memahami arus globalisasisevara benar dan tidak tertinggal dengan informasi-informasi aktual dan manca negara.[8]






C.     Kesimpulan
Konsep amar ma’ruf nahi munkar yang ditawarkan kepada umat manusia yaitu:
1.      Memelihara konsep yang sudah ada sejak zaman nabi, agar kita bisa mengetahui apa yang di kerjakan dan di perbuat pada zaman nabi Muhammad, karena pada zaman beliau amar ma’ruf nahi munkar benar-benar tegak dengan kukuh dan melakukannya dengan ikhlas, oleh karna itu Allah memberikan peringkat kepada umat muslimin menjadi umat yang terbaik diantara umat-umat yang lain.
2.      Konsep amar ma’ruf nahi munkar yang ditawarkan kepada kaum mukminin sangatlah sederhana, tetapi berat untuk dilaksanakan kita ambil contoh: Keberanian menyatakan, bahwa ini adalah ma’ruf, tetapi lebih sulit menyatakan, bahwa itu adalah munkar. Sebab besar kemungkinannya akan dimurkai orang. Kadang-kadang kita dianjurkan supaya mengatakan yang sebenarnya. Teatpi apabila yang sebenarnya yang kita katakana, orang akan marah. Sebab masyarakat biasanya amat berat melepaskan kebiasaannya. “manusia adalah budak kebiasaannya.” Demikian kata pepatah. Maka kalau iman kepada Allah di dalam ini dijadikan bahan yang terahir, sebab dialah dasar kalau iman kepada Allah itu lemah, niscaya amar ma’ruf nahi munkar tidak akan berlangsung.
3.      Amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan karakter seorang yang beriman, dan dalam mengingkari kemungkaran tersebut ada tiga tingkatan:
·         Mengingkari dengan tangan.
·         Mengingkari dengan lisan.
·         Mengingkari dengan hati.
Tingkatan pertama dan kedua wajib bagi setiap orang yang mampu melakukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits di atas, dalam hal ini seseorang apabila melihat suatu kemungkaran maka ia wajib mengubahnya dengan tangan jika ia mampu melakukannya.




Daftar Pustaka
Rakhmat, Jalaludin, Islam dan Pluralisme, Serambi

Yunahar, Ilyas, 2000, Kuliah Akhlaq, Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan.

Taimiyah, Ibnu, 1990, Etika Beramar Ma’ruf Nahi Munkar, Jakarta: Gema Insani Press.

Abdurrahman, Mas’ud, 2003, Menuju Paradigma Islam Humanis, Yogyakarta: Gama Media.

Arifin, 1994, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.




[1] Jalaludin Rakhmat, Islam dan Pluralisme, Serambi, hlm. 227
[2] Ilyas Yunahar, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan, 2000), hlm.241
[3] Jalaludin Rakhmat, Islam… hlm. 228
[4] Ibnu Taimiyah, Etika Beramar Ma’ruf Nahi Munkar, (Jakarta: Gema Insani Press, 1990), hlm. 18
[5] Ilyas Yunahar, Kuliah…, hlm.241
[6] Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 32
[7] Mas’ud Abdurrahman, Menuju Paradigma Islam Humanis, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), hlm. 89
[8]ibid, hlm. 92

0 Comments:

Posting Komentar

Silahkan di tanyakan