Minggu, 20 Januari 2013

Tajdid Trilogi Gerakan; Menatap Setengah Abad Ikatan

Loading


 

Oleh: Shobaril Yuliadi*
 Prolog
Corak gerakan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sejatinya tak berbeda  dengan model gerakan organisasi induknya, Muhammadiyah. Namun, sebagai organ pengkaderan, IMM dituntut jauh lebih radikal dalam pemikiran dan lebih berkembang dalam praksis gerakan. Ini semua karena Muhammadiyah kedepan akan sangat tergantung pada kadernya yang bersemai dalam ortom, diantaranya adalah IMM. Lantas pertanyaanya adalah, mampukah IMM memenuhi tuntutan itu?
Membandingkan gerakan Muhammadiyah dan IMM memang tidak adil, dan keduanya memang tidak untuk dibandingkan. Hanya saja terbesit sebuah harapan, andai saat ini Muhammadiyah dinilai stagnan dan tetap istiqomah dalam gerakan yang bersifat karikatif filantropis (santunan kemanusiaan), maka lebih dari itu  IMM diharapkan mampu mengawal pada bidang-bidang yang menjadi akar permasalahan serta jantung kebijakan, mengawal pada produk-produk politik dan kebijakan publik yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat.
Muhammadiyah sejak kelahiranya tahun 1912 hingga kini dikenal sebagai gerakan sosial keagamaan yang membawa semangat tajdid. Dalam muhammadiyah, tajdid secara istilah (pembaharuan) diartikan dalam dua hal, pertama adalah pemurnian, dan yang kedua adalah peningkatan, pengembangan, modernisasi, dan yang semakna denganya. Arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemelihara matan ajaran islam yang berdasarkan dan bersumber kepada Al Qur’an dan As Sunnah  Ash-Shahihah. Sedangkan arti “peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna denganya” tajdid sebagai penafsiran dan pengamalan dan perwujudan agama islam dengan tetap berpegang teguh kepada Al Qur’an dan As Sunah Ash-Shahihah.
Untuk dapat melaksanakan tajdid dalam kedua pengertian istilah tersebut diperlukan aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih yang dijiwai oleh ajaran islam. Menurut persyarikatan Muhammadiyah, tajdid merupakan salah satu watak ajaran islam. (lihat berita resmi Muhammadiyah nomor khusus, “ Tanfid keputusan Muktamar tarjih Muhammadiyah XXII” PP Muhammadiyah, 1990, h. 47).
Sekarang ini, banyak yang mengatakan –khususnya mantan aktivis- jika gerakan mahasiswa mulai  kebingungan menentukan arah gerak, jika tidak mau dikatakan mandeg (berhenti). Hal diatas mungkin realistis dan tidak mengada-ada ketika kita melihat tren gerakan mahasiswa akhir-akhir ini. Pasalnya sedikit saja dari gerakan mahasiswa yang mengintegrasikan diri maupun institusinya dalam gerakan yang menyuarakan keadilan secara terang-terangan. Reformasi 1998 waktu itu tentu tak lepas dari peran serta mahasiswa sebagai inisiator, pelopor sekaligus pelaku gerakan reformasi. Nah sekarang, saat elemen gerakan nasional sudah mulai berbicara tentang carut-marutnya pengelolaan negara, sampai-sampai tokoh lintas agama menyuarakan pembohongan publik oleh rezim yang berkuasa, gerakan mahasiswa diberbagai daerah masih belum antusias dengan isu sakral ini.
Kritik untuk gerakan mahasiswa diatas tentu menjadi cambuk bagi seluruh elemen gerakan kaum muda, tak terkecuali IMM. Dalam situasi seperti inilah tajdid  gerakan harus segera teraktualisasi oleh ikatan, jika memang tak ingin tergilas zaman. Aktualisasi tajdid telah terbukti manjur memepertahankan eksistensi da’wah Muhammadiyah hingga usianya yang telah seabad. Maka tidak mustahil jika kemudian tajdid gerakan juga akan menjadi bekal sekaligus strategi ikatan menjelang usianya yang hampir setengah abad.
Tajdid Trilogi
Awal kelahirannya IMM hadir ditengah situasi kebangsaan yang sulit. Tekanan ideologi komunis, intervensi dari luar yang mengancam kedaulatan serta menggangu stabilitas politik dalam negri, terpecah belahnya umat islam yang diperparah dengan rasa saling curiga mencurigai. Sementara mahasiswa semakin terbingkai-bingkai dan beromantisme dengan pada politik praktis dan melupakan tugasnya sebagai kaum intelektual yang akan menyuarakan aspirasi rakyat yang masih terbelakang, bodoh dan hidup dalam kubangan kemiskinan. Itu semua menjadi bagian yang yang harus dilawan oleh setiap kader ikatan pada waktu itu.
Enam penegasan IMM oleh KH. Ahmad Badawi sekaligus menandai lahirnya IMM 47 tahun silam,  menjadi sebuah identitas sekaligus kekuatan bagi kader ikatan pada generasi awal untuk bertahan dan melawan kondisi bangsa diatas. Dimana IMM lahir sebagai gerakan mahasiswa islam dengan landasan perjuanganya adalah kepribadian Muhammadiyah. Berfungsi sebagai stabilitator sekaligus dinamisator dalam persyarikatan. Implementasi amal sebagai kesadaran ilmu dan ilmu sebagai dasar amalnya. Serta sepenuhnya mangabdikan gerakanya atas keimanan kepada Allah dan diabdikan untuk kepentingan rakyat.
Situasi politik dan sosiologi masyarakat Indonesia saat ini,  secara esensi dinamika kebangsaannya memiliki kesamaan dengan Indonesia 47 tahun silam. Masyarakat masih bodoh, terbelakang dan miskin. Kondisi umat islam terpecah belah, bahkan konflik internal agama islam dibeberapa tempat tak dapat dihindarkan sampai merenggut nyawa. Terbaru kasus ahmadiyah di cikesik dan kasus pelecehan agama ditemanggung cukup menjadi bukti disintegrasi kehidupan beragama. Bagi negara intervensi asing justru semakin kuat, produk-produk regulasi yang dihasilkan  tidak pro rakyat dan cenderung berpihak kepada kepentingan asing. Kemandirian dan kedaulatan akhirnya tergadai. Kehidupan kemahasiswaanya tak kalah memprihatinkan. Dengan dalih tanggungjawab berbangsa dan bernegara, elit-elit mahasiswa mulai memberanikan diri berafiliasi dengan parpol. Memang tidak salah, hanya saja terlalu dini bagi mahasiswa terlibat politik praktis ditengah konstelasi politik Indonesia saat ini.
Meskipun demikian secara visual kondisi-kondisi tersebut sedikit berbeda. Kondisi saat ini jelas lebih kompleks sehingga masing-masing persoalan sulit diurai untuk mencari jalan keluar. Untuk menjawab pertanyaan sekaligus tantangan diatas,  tajdid trilogi gerakan menjadi sebuah keniscayaan untuk menatap eksistensi ikatan dalam menjawab kebutuhan umat, kebutuhan bangsa dan kebutuhan persyarikatan pada konteks kekinian. Trilogi gerakan IMM atau lebih sering kita kenal dengan trikompetensi IMM perlu ditafsirkan dan diimplementasikan dalam konteks aktual.
Dalam melakukan pembaharuan aktualisai trilogi gerakan, kader ikatan tidak boleh tercerabut dari esensi (nilai) dasar ikatan itu sendiri. Yang setidaknya dari enam point penegasan oleh KH. Ahmad Badawi, penulis melihat ada empat esensi dasarnya, yaitu Pertama IMM sejak lahir telah mentasbihkan diri sebagai organisasi kader yang bergerak dalam ranah keagamaan, kemasyarakatan dan kemahasiswaan. Tiga ranah gerak yang sangat strategis untuk membangun masyarakat utama yang dicita-citakan Muhammadiyah sebagai induk gerakan ikatan.
Kedua sebagai sayap da’wah Muhammadiyah khususnya dikalangan mahasiswa. IMM memiliki posisi dan peran yang strategis dalam hal ini. Kampus adalah masa depan peradaban, tapi kampus yang seperti apa? Jelas tak sekedar kampus yang menjadi transaksi materi kuliah dosen dan mahasiswa. Bukan juga sekedar menara gading, tinggi menjulang tapi jauh dari realitas sosial masyarakat. Disinilah IMM mengambil peran da’wah Muhammadiyah. Da’wah amar ma’ruf nahi mungkar ala IMM mutlak harus memiliki konsep dan strategi problem solving atas kondisi umat khususnya gerakan kaum muda (baca:mahasiswa) dalam segala bidang. Strategi da’wah IMM diharapkan menghasilkan tumbuhnya kepekaan terhadap persoalan umat dan kepercayaan masyarakat atas eksistensi gerakan kaum muda. Trust Building antara gerakan kaum muda dan umat inilah yang kemudian menjadi penting.
Ketiga, Keterpaduan antara ilmu dan amal. Sebagai salah satu ortom dan juga wadah intelektual muda muhammadiyah, IMM memiliki peran yang strategis untuk mengembangkan tradisi keilmuan. Namun permasalahanya, apakah ikatan telah mentransformasikan keilmuan itu dalam wujud amal yang nyata? Keberhasilan ikatan dalam memadukan keilmuan dengan amal, berarti keberhasilan ikatan membangun citra diri sebagi kader intelektual yang tetap memiliki komitmen moral da’wah dan profesional dalam bidang keilmuanya.
Keempat,Sregeb ngibadah, sregeb sinau” sebagai wujud dari ketaqwaan kepada Allah dan pengabdian kepada rakyat. Konsep keterpaduan ilmu dan amal adalah bentuk kolaborasi antara nilai intelektualitas kader dengan nilai humanitas. Sedangkan konsep sregeb ngibadah sregeb sinau adalah bentuk integralisasi antara nilai relegiusitas kader dengan spirit intelektualnya.
Ibadah sebagai wujud kesadaran ilahiyah dan penghambaan tertinggi manusia kepada sang khalik untuk mencapai tingkatan taqwa. Sementara suksesi ketaqwaan itu harus ditopang dengan keilmuan yang mampu memberikan kesadaran secara kolektif kemudian menghasilkan gerakan secara kolektif pula. Keharusan keseimbangan sregeb ngibadah sregeb sinau telah tertuang dalam Al-Qur’an “….Allah meninggikan orang-orang yang beriman dan berilmu diantara kalian beberapa derajat… (Qs. Al Mujadilah: 11)
Penjabaran identitas ikatan diatas kemudian tidak cukup berhenti sebagai jargon manis yang membuaikan. Melainkan sebagai tekad dan penegasan bahwa Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah harus mampu menempatkan diri sebagai garda depan gerakan keumatan yang bertumpu pada identitas ikatan.
Selanjutnya, tajdid trilogi gerakan perlu dilakukan dalam paradigma profetik. Dalam kata yang sederhana nilai profetik dimaksud untuk memaknai nilai-nilai yang ada dalam diri seorang rosul dalam mengantar risalah da’wah. Jika kita kembali kepada Al-Qur’an, maka begitu banyak Allah memberikan paparan tentang kisah-kisah Rosulnya. Kisah nabi Yusuf, Musa, Isa, rosul-rosul yang lain dan tentunya Muhammad SAW sebagai rosul terakhir penyempurna akhlak manusia.
Rosulullah tentunya mengemban misi yang tidak mudah, da’wah dalam realitas sosiologis bangsa arab waktu itu jelas menjadi tantangan tersendiri. Jazirah Arabia yang identik dengan masyarakat terbelakang, bodoh, jauh dari ilmu pengetahuan dan penuh kemusyrikan telah diubahnya menjadi umat yang bermartabat dan diperhitungkan di dunia. Lebih mengesankan lagi semua itu dikerjakan dengan kepemimpinan ala rosulullah yang hanya 23 tahun.
Profetik dalam perspektif Kuntowijiyo di intrepretasi dari surat al Imran ayat 110. “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia menyeru kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. Ada tiga kata kunci dalam ayat tersebut yaitu: 1. ta’muruna bil ma’ruf, 2. tanhauna ‘anil munkar, 3. tu’minuna billah. Ketiga unsur  itu kemudian diterjemahkan cukup kreatif oleh Kunto yakni menghasilkan Humanisasi, Liberasi dan Transendensi. Dalam konteks ikatan maka tiga unsur tersebut diatas dapat digambarkan sebagai berikut:
  1. 1.  Falsafah Gerakan Ikatan
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah sejak lahir  telah mentasbihkan diri sebagai gerakan mahasiswa islam. Yang itu berarti bahwa ikatan harus menjadikan nilai-nilai islam sebagai pondasi, sumber sekaligus motivasi geraknya dalam mewujudkan masyarakat utama yang dicita-citakan persyarikatan (baca:muhammadiyah). Sehingga meletakan islam sepenuhnya sebagai poros pergerakan ikatan dengan Al-Qur’an dan sunnah sebagai instrumentnya merupakan perwujudan pilar transendensi dalam nilai profetik.
Tugas ikatan sebagai bagian dari gerakan da’wah harus mampu dengan sadar mengimplementasikan nilai-nilai islam dalam menjawab permasalahan umat sebagaimana yang telah dilakukan rosulullah Muhammad. Sehingga islam benar-benar dapat dipandang sebagai solusi problema keumatan, bukan sekedar agama dengan rutinitas ritual-ritual kosong.
Dengan transendensi maka ikatan baik secara personal (individu kader) maupun secara kolektif memaknai islam sebagai kekuatan untuk melakukan perubahan sosial. Kemudian proses perubahan itu bisa dijalankan dengan semangat beribadah kepada Allah. Ibadah yang berarti bertaqorub kepada Allah dengan jalan mentaati segala perintah-perintahNya dan menjauhi segala laranganNya serta mengamalkan apa-apa yang di izinkanNya. Untuk itu, kompetensi religiusitas yang selalu dihafal oleh kader ikatan hendaknya bisa dipahami dan diimplementasikan secara riil dalam setiap aktivitas individu maupun kelembagaan.
2. Cendekiawan Berpribadi, Intelektual Pembebas
Sudah cukup lama istilah intelektual terpasung dalam pemaknaan sempit. Intelektual hanya dimaknai dan berkutat dalam kerja-kerja akademik. Semestinya intelektualitas harus bergerak secara kritis dan progresif serta bebas dari belenggu mantra-mantra “penelitian ilmiah” yang cenderung mengerdilkan kebebasan berfikir.
Mengkerdilkan hak berfikir manusia sama artinya dengan melupakan peringatan Allah dalam Al-Qur’an. Berapa kali kita diperingatkan “Afalaa yatafakkaruun”. Founding father Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan pernah berpesan ” Manusia perlu dikumpulkan bersama-sama untuk memikir untuk apa mereka hidup, untuk apa mereka diciptakan, berfikir tentang kebenaran, menimbang-nimbang serta mencari-cari agar ia selamat dalam kehidupannya karena hidup hanya sekali, alangkah meruginya manusia jika hidup sekali ini sampai sia-sia”
Banyak gagasan atau ide tentang intelektual. Antonio Gramsci, berpendapat bahwa semua manusia adalah insan intelektual, tetapi tidak semua orang mempunyai fungsi intelektual. Gramsci membedakan dua jenis intelektual. Pertama, intelektual tradisional yang representasinya ada pada mereka yang secara rutin melakukan  hal-hal yang sama dari generasi ke generasi. Kedua, intelektual organik, sosok personal yang kuat dalam perenungan, reflektif atas konteks historisnya dan revolusioner memperjuangkan manifest perenungannya bagi umat.
Selanjutnya Ali Syariati dalam karyanya tugas cendekiawan muslim berpendapat bahwa seorang intelektual bertugas membimbing masyarakatnya untuk mencari tahu dan mengarahkan kepada tujuan yang ingin digapai, sebuah tujuan yang bukan didasarkan atas konsensus bersama atau orang banyak tapi berdasarkan tujuan-tujuan murni dari kemanusiaan. berani memperingatkan penguasa bila jalan yang diambil penguasa mematikan kadar positif manusia, menghempang kreativitas manusia, ataupun menindas kebenaran dan keadilan.
Kaum intelektual bukanlah bagian dari penguasa tapi merupakan bagian dari masyarakat yang tidak hanya melakukan kritik dan kontrol sosial, tapi juga melakukan dan menawarkan ide-ide baru yang bisa membuat masyarakat berubah dari kondisi kejumudan, taqlid, menjadi suatu generasi kreatif yang bergerak maju ke depan. Harga mati kaum intelektual adalah siap berkorban atas jalan yang telah dipilih.
Dalam ikatan, intelektual harus bersifat liberasi. Artinya bahwa kader ikatan secara individu maupun organisatoris harus memiliki semangat membebaskan dari segala hal yang mengungkung kebebasan hak manusia baik yang bersifat materi maupun non material. Sikap intelektual profetik telah dicontohkan oleh Rosulullah, beliau membawa risalah islam dengan cara yang sangat progresif, melawan bentuk-bentuk perbudakan yang membudaya di jazirah Arabia. Kemudian berlanjut dengan bagaimana islam membebaskan kaum perempuan dari pemahaman masyarakat jahiliyah waktu itu.
Kemudian semangat intelektual profetik waktu itu harus ditransformasikan untuk menafsir realitas dan melakukan gerakan keumatan kekinian. Realitas bangsa saat ini yang cenderung kepada pola-pola neokolim (neo kolonial dan imperialisme) akibat merasuknya globalisasi harus segera direspon secara pro aktif oleh kader-kader ikatan dengan bekal keilmuan masing-masing tetapi tetap dalam bingkai falsafah gerakan ikatan.
  1. 3.      Praksis Gerakan Keumatan
Ikatan mahasiswa muhammadiyah dalam gerakanya dapat dibagi menjadi dua gerakan utama. Sebagai ortom, maka gerakan ikatan bersifat pengkaderan, untuk menyiapkan kader-kader terbaik dalam meneruskan perjuangan persyarikatan. Sedangkan disisi lain ikatan bersifat sebagai organisasi pergerakan.
Sebagai organisasi pergerakan, setidaknya ada dua strategi perjuangan yang bisa ditempuh oleh ikatan, yaitu strategi struktural dan kultural. Strategi struktural maksudnya adalah upaya yang dilakukan dengan sadar oleh ikatan secara kelembagaan untuk mempengaruhi kebijakan publik yang akan dikeluarkan oleh penyelenggara negara agar populis, berpihak dan sesuai dengan kepentingan rakyat. Sedangkan strategi kultural adalah upaya membangun kesadaran umat atas realitas yang terjadi saat ini serta memberikan alternatif-alternatif solusi. Strategi kultural bisa berupa pendidikan, pendampingan maupun pemberdayaan langsung kepada masyarakat. Strategi inilah yang kemudian kami terjemahkan sebagai gerakan keumatan.
Gerakan keumatan adalah upaya-upaya yang dilakukan secara sadar oleh ikatan dan berorientasi kepada penyadaran secara kolektif terhadap umat atas realitas sosial yang dihadapi serta memberikan alternatif-alternatif solusi. Tentu saja gerakan keumatan ini menjadi utopis tanpa didorong dengan kecakapan intelektual kader ikatan.
Membangun umat yang berdaya dalam kondisi bangsa seperti ini memang tidak mudah. Namun inilah agenda penting gerakan yang perlu dikedepankan. Bangsa ini sudah terlalu lama dikuasai oleh negara yang begitu kuat tanpa kontrol, yang senantiasa melakukan pembodohan kepada masyarakat untuk mempertahankan status quo yang pada akhirnya membawa bangsa pada penderitaan yang berkepanjangan.
Untuk itulah ikhtiar ikatan dalam mewujudkan masyarakat yang berdaya (utama) harus didahului dengan menciptakan iklim yang kondusif sebagai wahana pencerdasan komunitas-komunitas masyarakat. Iklim yang mampu menggairahkan kesadaran dan membangun tradisi masyarakat yang aktif (ruang publik). Kemudian tidak berhenti sampai disini, tetapi semua ini harus didukung oleh sebuah mekanisme dan prosedur sehingga menghasilkan sebuah karya yang luas dan bebas.
Terciptanya komunitas masyarakat yang berdaya, tentunya akan membangun bergaining position atau daya tawar masyarakat yang proporsional, baik secara politis maupun ekonomis. Terhadap negara memiliki daya tawar yang riil dalam menentukan kebijakan bukan sekedar akomodasi dan presentasi yang bersifat simbolik. Sementara secara horisontal masyarakat secara mandiri mampu mencari alternatif-alternatif atas persoalan yang ada.
*ditulis dalam rangka Darul Arqam Madya IMM Cabang Bulaksumur – Karangmalang 25 -30 Maret 2011 di Yogyakarta.
Daftar Referensi:
  1. Buku
  2. Dr. Ali Syariati.1985. Peranan Cendekiawan Muslim. Yogyakarta. Shalahuddin Press.
  3. Dr. Ahmad Mushili, Dr Lu’ay Shafi.2009. Krisis Intelektual Islam, Selingkuh Kaum Cendekiawan dengan Kekuasaan Politik. Jakarta. Erlangga.
  4. Maryadi dan Abdullah Aly.2000. Muhammadiyah dalam Kritik. Surakarta. MUP UMS.
  1. Artikel
  2. Shobaril Yuliadi. 2010. Gerakan Keumatan IMM Solo.
  3. Jamal Nandar. 2010. Intelektualisme dan Visi Kemanusiaan.


 http://immcabangbskm.wordpress.com/2011/06/23/tajdid-trilogi-gerakan-menatap-setengah-abad-ikatan/

0 Comments:

Posting Komentar

Silahkan di tanyakan