Belajar Lagi

Pelantikan Pemuda Muhammadiyah di pendopo Tuban

Foto disek karo senior

Acara Pelantikan Pemuda Muhammadiyah Kab. Tuban.

Akhir Diklat Kokam

Duklat Kokam dan SAR Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Tuban.

RAKERDA PDPM DI MERAKURAK

rAPAT KERJA PIMPINAN DAERAH PEMUDA MUHAMMADIYAH.

BAB PCPM PALANG

Perkaderan Pemuda Muhammadiyah Palang

tanpa judul

pemandangan

MEMBACA ADALAH KUNCI UNTUK MENGETAHUI DUNIA

Kadang kala menunggu itu membosankan, akan tetapi berbeda kalau menunggunya sambil baca-baca

PANDANGAN MATA

Pandangan mata kadang kala, melabuhi hal-hal yang sebenarnya

Kamis, 31 Januari 2013

HUKUM SEMBELIHAN TANPA MENYEBUT NAMA ALLAH SWT

Loading



Oleh: Wasito






A.   Pendahuluan
Di antara bukti lengkapnya agama Islam adalah diajarkannya adab-adab yang perlu diperhatikan ketika seseorang hendak menyembelih hewan.
Menyembelih dalam istilah fiqh disebut dengan Adz Dzakaah. Secara istilah Adz Dzakaah adalah menyembelih hewan dengan memotong kerongkongan[i] dan tenggorokannya[ii]. Hal itu karena hewan yang halal belum bisa dimakan kecuali dengan disembelih, selain ikan dan belalang.
Di antara batas kehalalan dan keharaman binatang yang disembelih adalah penyebutan asma Allah (di antaranya adalah Bismillah atau Allahu Akbar). Binatang yang disembelih tanpa disebutkan nama Allah atau nama Allah disebutkan tetapi menyebut makhluk lain, maka binatang tersebut menjadi haram dikonsumsi.
Hal ini berdasarkan kepada firman Allah ta’ala:



   حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحْمُ ٱلْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيْرِ ٱللَّهِ بِهِۦ وَٱلْمُنْخَنِقَةُ وَٱلْمَوْقُوذَةُ وَٱلْمُتَرَدِّيَةُ وَٱلنَّطِيحَةُ وَمَآ أَكَلَ ٱلسَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى ٱلنُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُوا۟ بِٱلْأَزْلَٰمِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ ۗ ٱلْيَوْمَ يَئِسَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِن دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَٱخْشَوْنِ ۚ ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًۭا ۚ فَمَنِ ٱضْطُرَّ فِى مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍۢ لِّإِثْمٍۢ ۙ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌۭ

                 Artinya: diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya[395], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah[396], (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini[397] orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa[398] karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ( QS. Al-Maaidah : 3)

[394] Ialah: darah yang keluar dari tubuh, sebagaimana tersebut dalam surat Al An-aam ayat 145.
[395] Maksudnya Ialah: binatang yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas adalah halal kalau sempat disembelih sebelum mati.
[396] Al Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai bulu. orang Arab Jahiliyah menggunakan anak panah yang belum pakai bulu untuk menentukan Apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan atau tidak. Caranya Ialah: mereka ambil tiga buah anak panah yang belum pakai bulu. setelah ditulis masing-masing Yaitu dengan: lakukanlah, jangan lakukan, sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Ka'bah. bila mereka hendak melakukan sesuatu Maka mereka meminta supaya juru kunci ka'bah mengambil sebuah anak panah itu. Terserahlah nanti Apakah mereka akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sesuai dengan tulisan anak panah yang diambil itu. kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, Maka undian diulang sekali lagi.
[397] Yang dimaksud dengan hari Ialah: masa, Yaitu: masa haji wada', haji terakhir yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w.
[398] Maksudnya: dibolehkan memakan makanan yang diharamkan oleh ayat ini jika terpaksa.

B. Syarat sah dalam menyembelih
Penyembelihan yang syar’i adalah penyembelihan yang terpenuhi syarat-syarat berikut:
1.  Penyembelihnya adalah orang yang berhak menyembelih, yaitu orang yang berakal baik laki-laki maupun wanita, seorang muslim maupun ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), lih. Al Ma’idah: 5.
Oleh karena itu, jika tidak berhak, misalnya penyembelihnya orang yang sedang mabuk, gila atau anak kecil yang belum tamyiz (belum bisa membedakan mana yang bermanfa’at dan mana yang tidak, di mana usianya kira-kira di bawah tujuh tahun), maka sembelihan tersebut belum halal. Demikian pula tidak halal sembelihan orang musyrik (bukan ahlul kitab) seperti para penyembah berhala, orang-orang Majusi (penyembah api), orang-orang shaabi’in (penyembah bintang), orang zindik, atheis dan orang yang murtad.
2.  Alat yang digunakan menyembelih harus tajam yang bisa mengalirkan darah dan memutuskan tenggorokan.
Alat tersebut bisa berupa pisau, batu, pedang, kaca, kayu yang tajam dan bambu yang tajam yang bisa dipakai untuk memotong seperti halnya pisau selain gigi dan kuku. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ فَكُلْ لَيْسَ السِّنَّ وَالظُّفُرَ
Artinya: “Sesuatu yang bisa menumpahkan darah dan disebut nama Allah padanya, maka makanlah, bukan menggunakan gigi/taring dan kuku.” (HR. Muslim)
3.  Memotong tenggorokan dan kerongkongan. Dan tidak disyaratkan harus memotong dua urat leher (inilah pendapat Imam Syafi’i dan Ahmad
Jika leher hewan dipotong sampai putus, maka hewan sembelihan tersebut tidak mengapa dimakan. Adapun tentang menyembelih dari tengkuk (belakang leher), menurut pendapat yang rajih (kuat) adalah sah sembelihannya apabila alat potong tersebut memotong bagian yang wajib dipotong.
    4.  Mengucapkan basmalah (Bismillah).
Ketika akan menyembelih wajib mengucapkan basmalah (lih. Al An’aam: 121) dan disunatkan menambahkan takbir (Allahu Akbar) sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Imam Abu Hanifah berkata, “Jika seseorang sengaja tidak membaca (basmalah), maka haram dimakan. Namun jika tidak membacanya karena lupa, maka halal.” http://sraksruk.blogspot.com/2012/10/fiqh-menyembelih-hewan.html

Syarat halalnya sembelihan ada 10:
1.      orang yang menyembelih haruslah orang yang mampu berniat menyembelih. Berdasarkan syarat ini, orang yang boleh menyembelih harus orang yang sudah mumayiz dan berakal. Karena itu, tidak halal sembelihan anak yang belum tamyiz atau orang gila. Karena mereka tidak paham dengan apa yang dia lakukan, sehingga bisa jadi tidak ada kesengajaan. Allah berfirman,
إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ
“Kecuali yang sempat kalian sembelih..” (QS. Al-Maidah: 3).
Makna kalimat ‘kalian sembelih’ menunjukkan harus ada kesengajaan dari si    penyembelih hewan.
2.       orang yang menyembelih harus beragama islam atau ahli kitab (Yahudi & Nashrani). Allah berfirman:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ 
“Pada hari ini Aku halalkan hal yang baik untuk kalian. Sembelihan ahli kitab adalah halal bagi kalian dan sembelihan kalian halal bagi mereka (ahli kitab).” (QS. Al-Maidah: 5).
3.       ketika melukai hewan punya maksud untuk menyembelih. Jika dia melukai hewan itu tidak untuk maksud menyembelih maka tidak halal untuk dimakan. Misalnya ada kambing yang menyerang kita, kemudian kita berusaha membela diri dengan senjata tajam sampai akhirnya membunuhnya. Kambing yang mati dalam keadaan ini statusnya bangkai. Karena hewan ini mati bukan karena disembelih, tapi karena dibunuh.
4.       apakah disyaratkan harus diniatkan untuk dimakan?
Ada dua pendapat ulama dalam hal ini:
1.   Tidak harus diniatkan untuk dimakan.
2.   Harus diniatkan untuk dimakan
Misalnya menyembelih hewan untuk dijadikan bahan penelitian, atau tujuan lainnya, tidak halal dimakan. Ini adalah pendapat Syaikhul Islam. Dinyatakan dalam hadis:
مَا مِنْ إِنْسَانٍ قَتَلَ عُصْفُورًا فَمَا فَوْقَهَا بِغَيْرِ حَقِّهَا، إِلَّا سَأَلَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْهَا  “Jika ada orang membunuh seekor burung atau yang lebih kecil dari itu, tanpa alasan yang benar, maka Allah akan meminta pertanggung jawaban hal itu kepadanya.”

Para sahabat bertanya: “Apa haknya?”
يَذْبَحُهَا فَيَأْكُلُهَا، وَلَا يَقْطَعُ رَأْسَهَا يَرْمِي بِهَا
“Dia sembelih untuk dimakan, tidak mematahkan lehernya kemudian dibuang.” (HR. Nasai no. 4349).
Ibnu Aqil dalam Al-Furu’ mengatakan:
“Dalam salah satu riwayat pendapat Imam Ahmad, bahwa semua yang dilarang dalam syariat, tidak sah sembelihannya.”
5.       tidak untuk dipersembahkan kepada selain Allah.
Misalnya, menyembelih untuk larung atau sedekah bumi, meskipun ketika menyembelih dia membaca basmalah. Karena tujuan dia menyembelih adalah untuk selain Allah dan itu perbuatan kesyirikan. Allah berfirman menyebutkan daftar binatang yang haram dimakan:
وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ
“Binatang yang disembelih karena berhala” (Al-Maidah: 3)
6.       tidak diikrarkan untuk selain Allah.
Semacam orang yang menyembelih dengan menyebut: dengan nama sunan A, atau dengan nama nabi, dst. Ini termasuk perbuatan haram, meskipun dia niatkan sembelihannya hanya untuk dimakan. Allah berfirman,
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ
“Sesungguhnya diharamkan kepada kalian bangkai, darah, babi, dan hewan yang disembelih dengan menyebut sealain Allah.” (QS. Al-Baqarah 173)
7.       harus menyebut nama Allah (basmalah) sesaat menjelang menyembelih.
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“Janganlah kalian makanan binatang yang tidak disebutkan nama Allah ketika menyembelih. Karena adala hewan yang haram.” (QS. Al-An’am: 121).
Ulama mempersyaratkan bahwa bacaan basamalah ini harus dilakukan sesaat sebelum menyembelih. Basmalah yang dibaca jauh sebelum menyembelih, harus diulangi ketika hendak menyembelih. Karena makna kalimat:
[لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ]
menunjukkan bahwa basmalah itu dibaca ketika menyembelih.
8.       alat untuk menyembelih harus pisau yang bisa melukai dan mengalirkan darah, selain kuku dan gigi. Dari Rafi’ bin Khadij radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ، وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوا مَا لَمْ يَكُنْ سِنًّا أَوْ ظُفْرًا                    
“Segala yang bisa mengalirkan darah dan disebutkan nama Allah ketika menyembelih, makanlah. Selama bukan gigi atau kuku.” (HR. Abu Daud 2821, Turmudzi 1491 dan dishahihkan Al-Albani).
Menyembelih dengan cara tidak mengalirkan darah, seperti disetrum, dicekik, dipukuli, dimasukkan air panas, meskipun dengan membaca basmalah, statusnya bangkai, haram dimakan.
9.       harus sampai mengalirkan darah.
Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ، وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوا مَا لَمْ يَكُنْ سِنًّا أَوْ ظُفْرًا
“Segala yang bisa mengalirkan darah dan disebutkan nama Allah ketika menyembelih, makanlah. Selama bukan gigi atau kuku.” (HR. Abu Daud 2821, Turmudzi 1491 dan dishahihkan Al-Albani).
      10.  orang yang menyembelih, harus orang yang diizinkan untuk menyembelih secara syariat.    Jika dia tidak diizinkan secara syariat, maka hukumnya ada 2 kondisi:
  a. Terlarang karena hak Allah. Seperti, berburu di tanah haram atau berburu binatang ketika ihram. Kemudian dia sembelih maka hukumnya terlarang.
  b. Terlarang karena hak sesama manusia. Misalnya orang menyembelih hewan milik orang lain, tanpa izin. Dalam kondisi ini, ulama berbeda pendapat. Dan pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, sembelihannya sah dan halal. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Hanya saja, orang yang menyembelih wajib memberikan ganti hewan yang dia sembelih untuk dikembalikan kepada pemiliknya.

C.  Menyembelih hewan yang hampir mati atau yang sakit
Hewan yang sakit, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh dari tebing, yang ditanduk oleh binatang lain atau yang diserang binatang buas apabila kita mendapatkannya hampir mati (masih hidup), lalu kita sempat menyembelihnya sebelum matinya, maka boleh dimakan. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang kamu sempat menyembelihnya. (terjemah Al Ma’idah: 3)
Tanda masih hidup adalah dengan masih bergerak tangan atau kakinya atau masih terasa bernafas dsb. namun jika dalam kondisi naza' (sekarat), di mana tangan atau kakinya sudah tidak bergerak, maka dalam kondisi ini dianggap bangkai, dan tidak ada faedahnya menyembelih. http://sraksruk.blogspot.com/2012/10/fiqh-menyembelih-hewan.html

D. Hukum Makan menyembelih tanpa menyebut nama Allah SWT.
1. Macam-macam            sembelihan
Sembelihan itu ada beberapa macam :
a.       Menyembelih dalam rangka ibadah. Yaitu menyembelih sesuatu karena mengagungkan dan mendekatkan diri kepada sesuatu yang sembelihan itu ditujukan kepadanya. Sembelihan semacam ini tidak boleh dilakukan kecuali ditujukan kepada Allah ‘azza wa jalla. Kalau seandainya ada orang yang sengaja menyembelih dengan maksud seperti ini dan ditujukan kepada raja atau yang lainnya maka hal itu termasuk kesyirikan. Tanda kalau dia memiliki maksud semacam itu antara lain adalah dia menyembelihnya ketika sang raja datang dan berada di hadapannya. Tindakan itu menunjukkan adanya unsur pengagungan dan maksud pendekatan diri kepadanya. Demikian pula hukumnya apabila dia sengaja menyembelih untuk dipersembahkan kepada wali-wali atau jin penunggu tempat keramat sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang yang bodoh di sebagian daerah, maka itu semua tergolong dosa syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari lingkaran agama. Dalil yang menunjukkan bahwa sembelihan semacam ini apabila ditujukan kepada selain Allah maka hukumnya adalah syirik akbar yaitu ayat di atas. Tidak boleh ada sekutu bagi-Nya dalam ibadah sholat dan sembelihan, oleh sebab itu tidak boleh mempersembahkan ibadah tersebut kepada selain Allah.
  1. Menyembelih untuk menghormati tamu atau sebagai hidangan perayaan pesta pernikahan (walimah ‘urs). Perbuatan semacam itu diperintahkan dalam syari’at. Hukumnya bisa jadi sunnah atau wajib. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu’anhu, “Adakan walimah walaupun hanya dengan menyembelih seekor kambing.” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia memuliakan tetangganya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dan diantara bentuk penghormatan kepada tamu adalah menghidangkan sembelihan, seperti yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang dikisahkan dalam ayat yang artinya, “Maka Dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk.” (QS. adz-Dzariyat : 26). Oleh karena itu sebagian ulama memfatwakan bahwa orang yang berkecukupan wajib menghidangkan sembelihan ternak yang dimilikinya apabila ada tamu yang bertandang ke rumahnya.
  2. Menyembelih untuk bersenang-senang. Yaitu untuk dimakan atau diperdagangkan. Hukumnya adalah boleh, sebagaimana ditetapkan oleh hukum asalnya. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan Apakah mereka tidak melihat bahwa Sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka Yaitu sebahagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami sendiri, lalu mereka menguasainya? Dan Kami tundukkan binatang-binatang itu untuk mereka; Maka sebahagiannya menjadi tunggangan mereka dan sebahagiannya mereka makan.” (QS. Yasin : 71-72) Akan tetapi hukum asal ini bisa berubah menjadi terlarang apabila tujuannya adalah sesuatu yang diharamkan (lihat Hushul al-Ma’mul, hal. 98-99, Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 67, Thariq al-Wushul, hal. 144, at-Tamhid, hal. 145)  http://abumushlih.com/menyembelih-untuk-selain-allah.html/

2. Bismillah waqtu menyembelih
Dari uraian ini kami akan menerangkan lagi, bahwa orang Islam, apabila menyembelih tiada dengan menyebut nama Allah, maka ada 'ulama' anggap sembelihan itu halal, dan ada pula yang mengatakan haram. Dan kedua fihak ini berbantahan.
( Buku 1, SOAL-JAWABTENTANG BERBAGAI MASALAH AGAMA Oleh: A. Hassan, dkk Cetakan XIII CV Penerbit Diponegoro).

a.      Berkata fihak pertama
Menurut pendapat kami, bahwa sembelihan orang Islam itu, halal di makan. walaupun dia itu tatkala menyembelih tidak menyebut nama Allah.
Adapun alasan kami ialah firman Allah seperti yang tersebut di bawah ini :
 (10).
Artinya : Di haramkan pada kamu akan bangkai ..........., dan apa yang telah di makan oleh binatarrg yang buas, melainkan apa yang telah kamu sembelih.
(Q. Al-Maidah, 3).
Firman Allah ,melainkan apa yang telah kamu sembelih" itu, maqshudnya ialah orang Islam. Beginilah menurut keterangan sekalian 'ulama' Ahlut Taf­sir. Jadi kalau begitu, teranglah, bahwa sembelihan orang Islam yang tiada dengan menyebut nama Allah itu, halal. Dan jikalau memang tidak halal, tentu Allah terangkan perlu Bismillah, tetapi oleh karena Allah tidak memberi tambahan dengan perkataan yang demikian, tetaplah sembelihan orang Islam yang begitu, halal.
Dan pendapat kami ini, dibantu dengan Hadiets-hadiets Nabi s.a.w yang mana keterangannya itu seperti yang tersebut dibawah ini :

(11).  Artinya : Telah berkata Abu Hurairah, bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi s.a.w. kemudian berkata : Ya Rasulullah, bagaimana tuan hamba memandang kepada seorang lelaki yang menyembelih, tetapi kelupaan menyebut nama Allah ?
Maka bersabda Nabi s.a.w. : „Bahwa nama Allah itu ada pada tiap-tiap orang Islam".(H.R. Baihaqie)

Ada lagi Hadiets :
(12).  Artinya : Telah berkata Ibnu 'Abbas, bahwa Nabi s.a.w. pernah bersabda : „Orang Islam itu dicukupi oleh namanya (sendiri), maka apabila kelupaan menyebut Bismillah tatkala menyembelih, sebutlah akan dia (sesudah) itu, kemudian makanlah".(H.R. Daraquthnie).

Ada lagi Hadiets :
(13).Artinya : Telah berkata Shalt: Bahwa Nabi s.a w. Pernah bersabda : „Sembelihan orang IsIam itu halal dengan menyebut nama Allah atau tiada menyebut". (H.S.R. Abu Dawud dan Baihaqie).
 Dan sekarang ini telah nyata kebenaran pendapat kami ten­tang hal yang tersebut, karena sudah dibantu oleh satu Ayat dan tiga Hadiets. Dan lagi menurut pendapat kebanyakan 'ulama'-' ulama' Ahlul-Fiqih, bahwa sebutan dengan nama Allah itu bukan menjadi syarat halalnya sembelihan, tetapi hukum menyebut itu hanya sunnat belaka.
Mereka itu beralasan dengan Hadiets yang tersebut di bawah ini.

(14). Artinya : Telah berkata 'Aisyah : Sesungguhnya ada satu qaum bertanya : „Ya Rasulullah, bahwa orang-orang biasa datang kepada kita sambil membawa daging, padahal kita tidak mengetahui, apakah itu sudah di sembelih dengan sebut nama Allah atau belum ? Maka bersabda beliau : „Sebutlah kamu akan nama Allah padanya, kemudian makanlah".
Berkata ('Aisyah) : Mereka yang membawa daging itu orang-orang yang baru saja masuk Islam. (H.S.R. Bukharie, Nasaie dan Ibnu Majah).

Ada lagi Hadiets :
(15)Artinya : Telah berkata 'Aisyah, bahwa beberapa orang dari­pada Shahabat datang bertanya kepada Rasulullah s.a.w. dengan perkataan : Orang-orang Badwi biasa datang kepada kita sambil membawa daging dan keju dan minyak samin, padahal kita tidak mengetahui haqiqat ke-Islaman mereka ? Maka sabda Nabi s.a.w. : „Lihatlah apa yang telah diharamkan oleh Allah kepadamu, maka jauhilah akan dia ; dan apa yang Allah diamkan daripadanya, maka itu kelonggaran buat kamu (dan Tuhanmu itu tidak lupa). Sebutlah nama Allah atas itu.(H.R. Thahawiy).

Ketahuilah, bahwa tasmiah (menyebut nama Allah) buat sembelihan itu, dengan dua Hadiets ini, kita bisa mengetahui, bahwa hukumnya itu, bukan wajib, tetapi sunnah saja. Inilah yang menjadi madzhab 'Ali bin Abi Thalib dari golongan Shahabat, dan imam Nakh'ie dan Hammad bin Sulaiman, dan Abu Hanifah, dan Ahmad, dan Ishaq, dan Syafi'ie dan Ibnu Mundzir, dan kebanyakan 'ulama'-'ulama' Ahlul-Fiqh. Demikianlah menurut kata imam Nawawi.
Sekianlah keterangan kami.

b. Berkata fihak kedua.
 Menurut pendirian kami, tetap bahwa sembelihan yang disembelih oleh orang Islam, atau orang Ahlul-Kitab, apabila tiada disebut dengan nama Allah, maka sembelihan itu haramlah dimakan. Adapun dalielnya begini :

(16).
ŸArtinya : Dan janganlah kamu makan (sembelihan) yang tiada disebut dengan nama Allah padanya, oleh karena (sembelihan yang begitu) sesungguhnya kejahatan. (Q. Al-An-'am, 121)

Ayat ini telah terang sekali bagi orang yang inshaf, bahwa sembelihan yang tidak disebut dengan nama Allah itu haram.
Ayat itu artinya ada begitu terang tetapi kebanyakannya 'ulama'-'ulama' berkata, bahwa maqshud Ayat itu bukan secara zhahirnya, tetapi maqshud yang sebenarnya, bahwa kita dilarang makan sembelihan yang disembelih tidak  d e n g a n        k a r e  n a    A l l a h, oleh karena di dalam bahasa 'Arab ada perkataan :

Artinya : Si anu berbuat dengan nama Allah, artinya itu : „karena Allah".

Arti yang demikian itu, dibantu pula oleh keterangan yang ke 11 dan ke 12 dan 13, dan pula Allah berfirman sesudah Ayat tadi dengan artinya : „Oleh karena (sembelihan yang begitu) sesungguhnya kejahatan". Dan sembelihan yang jahat itu, sembelihan tidak karena Allah, keterangan ini, diakui pula benarnya oleh firman Allah seperti di bawah ini :

(17).
   
Artinya : Katakanlah (kepada mereka itu bahwa) di dalam (kitab) yung diwahyukan kepadaku tidak ada satupun yang di haramkan untuk orang yang hendak makan, melainkan bangkai, atau darah yang mengalir, atau duginq babi, karena daging babi itu kotor, atau kejahatan, yaitu yang disembelih bukan karena Allah, (Q. Al-An-am, 145)

Sudah ketahuan dari Ayat ini, bahwa yang di haramkan oleh Allah hanya empat, yaitu : bangkai, darah yang mengalir, daging babi, sembelihan yang bukan karena Allah.
Jadi, kalau sembelihan yang hanya tiada dengan tasmiah (di sebut dengan nama Allah) itu turut haram, jadi barang yang haram bertambah lagi satu, jadi semuanya lima, maka dari itu teranglah kelirunya, oleh karena ada Hadiets begini :

(18).
Artinya : Telah berkata Abud-Darda', bahwa Nabi s.a.w. pernah bersabda : „Apa-apa yang telah dihalalkan oleh Allah di dalam kitabNya (Qur-an), maka itu halal, dan mana-mana yang di haramkan olehNya maka itu haram ; dan mana-mana yang Ia diamkan itu kemurahan, maka terimalah kemurahan Tuhan, oleh karena sesungguhnya Allah itu keadaanNya tiada lupa kepada apa pun jua.
Kemudian beliau membaca : (Ayat yang artinya Tuhanmu itu tidak lupa).   (H.S.R. Bazzar dan Hakim).

Pendek kata, bahwa sembelihan orang Islam dan Ahlul-Kitab yang tidak dengan tasmiah itu halal, dengan diquatkan oleh keterangan yang ke 9 dan ke 10.

Kami jawab. Kami tidak bisa menerima, jikalau daliel yang ke 17 itu diputar-putar secara itu, oleh karena firman itu sudah terang sekali melarang kita memakan sembelihan yang tidak di­sebut dengan nama Allah. Dan keliru sekali jika perkataan d e n g a n  n a m a  A l l a h itu diartikan  k a r e n a  A l l a h. Dan kami sudah mengakui, bahwa perkataan : „Sianu berbuat dengan nama Allah itu artinya karena Allah, tetapi kalau menyebut nama Allah diartikan dengan karena Allah itu tidak benar, oleh karena arti yang demikian itu tidak ada di dalam bahasa 'Arab.

Adapun alasan mereka dari fihak pertama dengan daliel yang ke 11, dan ke 12, dan ke 13, untuk menerangkan, bahwa sembelihan yang tiada dengan tasmiah itu halal, maka kami jawab begini : Hadiets ke 11 itu tidak shahih, karena terdapat pada insnadnya seorang yang bernama  Marwan bin Salim, dan dia itu dilemahkan oleh imam Ahmad, Bukharie, Muslim, Daraquthnie, Abu Hatim dan Ibnu 'Adie. Dan berkata Abu 'Arubah Al-Harranie, bahwa Marwan itu tukang memalsu Hadiets, dan berkata imam Nawawi :
  
Artinya : Ini Hadiets mungkar dan telah mufakat sekalian 'ulama' atas kelemahannya.
(Majmu' Syarh Muhadzdzab juz 8, hal 412)

Dan adapun daliel yang ke 12 itu tidak shahih pula, oleh karena terdapat pada isnadnya seorang yang bernama : Muhammad bin Yazied bin Sanan, padahal dia itu dilemahkan oleh imam Daraquthnie, Nasaie, Al-Hafizh Ibnu Hajar, dan berkata imam Abu Hatim : Dia itu bukan ahli menceriterakan Hadiets.

Dan Hadiets yang ke 13 itu walaupun isnadnya shahih, tetapi oleh karena Shalt seorang dari bangsa Tabi'ien yang mana dia itu menceriterakan Hadiets dari Nabi s.a.w. tiada dengan perantaraan Shahabat Nabi, jadi Hadiets ini namanya Mursal dan Hadiets Mursal itu, menurut pendirian imam Syafi'ie dan lain-lainnya tidak boleh digunakan sebagai alasan. Beginilah yang diakui oleh qa'idah ilmu Hadiets. Sudah terang bagi pembaca tentang kelemahan ke tiga daliel tadi. Inilah tambahan keterangannya.

(19).
Artinya : Maka makanlah kamu akan (sembelihan) yang disebut narna Allah kepadanya, jika memang kamu itu beriman kepada Ayat-ayatNya.(Q. Al-An-'am, 118).

Di Ayat ini Allah menerangkan, bahwa sebahagian daripada tanda orang yang beriman, yaitu orang suka makan sembelihan yang disembelih dengan menyebut nama Allah.
Jadi kalau sembelihan yang selain dari itu, dia tiada suka makan.

Dan ada riwayatnya :

(20). Artinya : Telah berkata 'Adie bin Hatim : Ya Rasulullah ! Bahwa kami ini qaum yang sering memanah, maka bagaimanakah (makanan) yang halal bagi kami ? Maka beliau bersabda : „Yang halal bagi kamu itu, ialah yang kamu sembelih, dan mana yang kamu sebut nama Allah padanya ............" (H.S.R. Ahmad dan Abu Dawud)

Dan berkata imam Syaukani di kitab Nailul-Authar begini :

Artinya : Terbukti pada ini (Hadiets), bahwa tasmiah itu wajib, oleh karena kehalalan itu tergantung padanya.

Dan telah bersabda Nabi s.a.w. seperti yang telah tersebut di daliel yang ke I begini :

(21) Artinya : „Apa saja yang bisa mengalirkan darah, dan di sebut dengan nama Allah kepadanya, maka kamu makanlah".

Maka maqshud Hadiets ini, apabila sembelihan itu tidak disebut dengan nama Allah, maka kami tidak dibolehkan makan akan dia. Lihatlah daliel yang ke 16.
Dan lagi riwayat dari Nabi s.a.w. :

(22). Artinya : Telah berkata 'Abdullah bin 'Umar, bahwa Nabi s.a.w. pernah bersabda : „Dan saya tidak akan makan (sembelihan) yang tidak di sebut nama Allah padanya. (H.S.R. Bukharie).

Telah nyata sekali dari Hadiets ini, bahwa sembelihan yang tidak dengan tasmiah itu haram di makan.
Kalau halal di makan tentu Rasulullah s.a.w. tidak akan bersabda begitu.
 Adapun alasan fihak pertama dengan daliel yang ke 10 itu tidak membuktikan bahwa sembelihan orang Islam yang tidak dengan tasmiah itu halal, oleh karena Ayat-ayat Qur-an dan Hadiets-hadiets Nabi s.a.w. yang telah kami bawakan tadi telah menerangkan, bahwa sembelihan yang halal itu hanya yang dengan tasmiah.

Dan adapun alasan sebahagian Ahlul-Fiqh dengan daliel yang ke 17 itupun tidak boleh dibuat alasan bagi halal sembelihan yang tidak dengan tasmiah, oleh karena yang sedemikian itu tidak menjadikan barang yang haram lima, tetapi yang tidak bertasmiah itu masuk golongan bangkai.

Jadi, barang yang diharamkan oleh Allah itu tetap cuma empat, bukan lima. Dan adapun alasan golongan pertama dengan daliel yang ke 14 dan ke 15 itu hanya memberi keterangan kepada kita, bahwa apabila kita ragu-ragu kepada suatu sembelihan, apakah sudah disembelih dengan nama Allah atau belum, di situ Rasulullah s.a.w. menyuruh kita supaya membaca bismillah kemudian kita makan.

E. Orang yang halal sembelihannya.
Sembelihan yang halal itu, penyembelihnya harus orang Islam atau orang Ahlul-Kitab, yaitu orang Yahudi atau orang Krisen.
Adapun sembelihan orang yang bukan Islam atau bukan Ahlul-Kitab itu, tidak halal, demikianlah menurut ijma' sekalian shahabat Nabi s.a.w. dan 'ulama-'ulama' Tabi'ien. Pendek kata, hal yang demikian ini, tidak ada khilafnya diantara 'ulama-'ulama' madzhab apapun juga yang tergolong di dalam lingkungan Islam. Adapun daliel bagi keterangan yang tersebut, ialah firman Allah :
 
Artinya : Bahwa makanan (sembelihan) orang-orang Ahlul­Kitab itu halal bagi kamu ; dan makanan (semhelihan) kamu itu halal bagi mereka. (Q. Al-Maidah, 5).

Telah nyata sekali dari Ayat ini, bahwa sembelihan orang lain, yang bukan orang Islam itu, haram bagi kita sekalian orang Islam, melainkan sembelihan orang Ahlul-Kitab itu. ( Buku SOAL-JAWAB1 TENTANG BERBAGAI MASALAH AGAMAOleh: A. Hassan, dkk Cetakan XIIICV Penerbit Diponegoro)

F. Sembelihan Ahlul-Kitab.
Di fashal sembelihan Ahlul-Kitab ini, sudah menjadi pem­bicaraan dan berlawanan faham di antara 'ulama'-'ulama' ahlul fiqh dari mulai zaman dahulu sampai sekarang ini. Dan berkhilafan yang kejadian dari mereka itu ada dua qaul (pendapat). Qaul yang pertama memandang, bahwa sembelihan Ahlul Kitab itu halal, walaupun itu sembelihan disembelih tidak dengan tasmiah, atau bukan karena Tuhan. Dan qaul yang kedua memandang sebaliknya.
Di sini saya akan rencanakan pegangan qaul yang pertama dan qaul yang ke dua.

a.      Berkata fihak pertama.

Menurut pendirian kami, bahwa sembelihan orang Ahlul­Kitab yang dengan tasmiah, atau yang karena Allah, atau yang bukan karena Allah, seperti yang karena Nabi Isa, atau 'Uzair, Padri, gereja dan lain-lainnya itu, halal bagi kami, oleh karena Tuhan Allah telah berfirman seperti yang telah tersebut di daliel yang ke 9 yang mana berarti, bahwa sembelihan orang-orang Ahlul-Kitab itu halal bagi kamu.

Firman ini telah menerangkan kepada kami dengan luas sekali, bahwa sembelihan mereka itu halal dimakan oleh orang Islam, walaupun keadaan sembelihan itu seperti yang telah kami sebutkan di atas.
Dan jikalau. sembelihan mereka itu memang haram disebutkan lantaran disembelih tidak secara Islam. tentu saja Allah menerangkan kepada kita begini : „Bahwa sembelihan orang Ahlul-Kitab yang secara lslam itu halal bagi kamu. dan yang lain dari itu haram bagi kamu". tetapi Alhamdulillah Allah tidak berfirman begini ; maka dari itu keyakinan kami tetap, bahwa sembelihan mereka itu halal, walaupun yang tidak secara Islam.
Sekianlah keterangan kami.

b.      Berkata fihak ke dua.
Tentang sembelihan yang secara Islam sudah diterangkan dan fashal tasmiah juga sudah dibicarakan.
Dan sikap kami di fashal tasmiah cocok sekali dengan fihak yang ke dua. Dan sekarang ini kami akan menunjukkan ketidak setujuan kami kepada pendapat fihak pertama. Inilah keterang­an kami : Telah bermufakat sekalian 'ulama' Islam, bahwa jika seorang Islam menyembelih bukan karena Allah, seperti karena Nabi s.a.w. atau Qiblat, atau Abdul-Qadir Jailani, atau qubur Wali, maka kufurlah ia, dan sembelihannya itu haram di makan oleh orang Islam, oleh karena itu sudah menjadi sebagai bangkai.
Dan hal ini tidak boleh tidak tentu diakui oleh fihak pertama, dan tidak bisa memungkirinya.
Dan sekarang ini kami akan menerangkan kekeliruan faham mereka kepada Ayat yang tersebut tadi.
 Di Ayat itu Allah menerangkan kepada kita, bahwa sembelihan orang-orang Ahlul-Kitab itu halal bagi kita orang Islam, ini memberi arti bahwa sembelihan yang lain dari Ahlul­Kitab itu haram bagi kita sekalian, dan sembelihan Ahlul-Kitab yang halal bagi kita, yaitu seperti sembelihan orang Islam yang halal bagi orang Islam.
 Adapun jika kita melihat seorang Ahlul-Kitab menyembelih bukan karena Allah, yaitu karena nabi 'Isa, maka sembelihan itu haramlah bagi kita. Lihatlah dalil yang ke 17, dan firman Allah yang tersebut di bawah ini :
(23).
Artinya : Sesungguhnya (Allah) hanya mengharamkan kepadamu akan bangkai, darah, daging babi dan apa yang di sembelih bukan karena Allah (Q. Al-Baqarah, 173)

Dari Ayat ini sudah terang sekali bahwa sembelihan orang Islam atau Ahlul-Kitab yang bukan karena Tuhan itu, haramlah bagi kita ; dan apabila tidak begitu, tentusaja adanya dua Ayat di Qur-an itu sia-sia saja ; dan sekarang ini kami akan menunjukkan pertanyaan kepada fihak pertama begini :

Apakah patut sembelihan orang Islam yang bukan karena Allah itu haram bagi kita, tetapi jikalau sembelihan orang Ahlul­Kitab yang secara demikian itu halal bagi kita ?

F.    Hikmah Menyebut Asma' Allah Waktu Menyembelih
Perintah untuk menyebut asma' Allah ketika menyembelih terkandung rahasia yang halus sekali, yang kiranya perlu untuk direnungkan dan diperhatikan:
  1. Ditinjau dari segi perbedaannya dengan orang musyrik. Bahwa orang-orang musyrik dan orang-orang jahiliah selalu menyebut nama-nama tuhan dan berhala mereka ketika menyembelih. Kalau orang-orang musyrik berbuat demikian, mengapa orang mu'min tidak menyebut nama Tuhannya?
  2. Segi kedua, yaitu bahwa binatang dan manusia sama-sama makhluk Allah yang hidup dan bernyawa. Oleh karena itu mengapa manusia akan mentang-mentang begitu saja mencabutnya binatang tersebut, tanpa minta izin kepada penciptanya yang juga mencipta seluruh isi bumi ini? Justru itu menyebut asma' Allah di sini merupakan suatu pemberitahuan izin Allah, yang seolah-olah manusia itu mengatakan: Aku berbuat ini bukan karena untuk memusuhi makhluk Allah, bukan pula untuk merendahkannya, tetapi adalah justru dengan nama Allah kami sembelih binatang itu dan dengan nama Allah juga kami berburu dan dengan namaNya juga kami makan. http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Halal/201172.html

G. REFERENSI
   4. A. Hassan, dkk, Buku SOAL-JAWAB1 TENTANG BERBAGAI MASALAH AGAMA. Cetakan XIIICV Penerbit Diponegoro.
   5. Yusuf Qordhawi, Halal Haram dalam Islam