Minggu, 09 Oktober 2022

AIK 3 PERTEMUAN KE-2 - DAKWAH ISLAM DI NUSANTARA DAN ASAL USUL MUHAMMADIYAH

Loading

 

 

DAKWAH ISLAM DI NUSANTARA DAN ASAL USUL MUHAMMADIYAH

Berbagai teori muncul sebagai bentuk postulasi pemikiran tentang sejarah kedatangan Islam di Nusantara. Teori yang muncul akan merembes pada konstruksi keislaman yang muncul terutama pada bentuk dan corak Islam yang tersebar di Nusantara. Pada alurnya, teori tersebut perlu dilihat secara kritis sebagai suatu jawaban terhadap corak Islam Nusantara yang menyejarah di Nusanara. Di satu sisi, teori itu perlu juga direlevansikan dengan latar berdirinya Muhammadiyah sebagai suatu gerakan keagamaan yang menginginkan “pemurnian” terhadap Islam yang menyejarah tersebut.

Tulisan ini mencoba untuk menakar dan memeakan bagian-bagian Islam Nusantara yang yang telah menjadi bagian historis dari  peradaban nusantara. Tulisan dengan latar nilai-nilai historis ini memuat embrio pernak pernik kelahiran Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan.

  1. Awal kedatangan Islam di Nusantara

Beberapa teori menjelaskan bahwa agama Islam telah masuk ke Indonesia pada abad ke 7 M/1 H, tetapi baru tersebar luas pada abad ke 13 M. Hal ini ditandai dengan berdirinya kerajaan Islam tertua di Indonesia, yakni Perlak (1293) dan Samudra Pasai di Aceh (1297). Selanjutnya, berkembanglah pusat-pusat perdagangan di daerah pantai Sumatra Utara lalu menyebar ke pulau Jawa dank e Indonesia bagian Timur.

Ada kalangan yang menyatakan bahwa memang banar Islam sudah datang ke Indonesia sejak abad ke 1 H atau abad ke 7 atau ke 8 M, tetapi baru dianut oleh para pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Barulah Islam masuk secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan politik pada abad ke 13 M dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini terjadi akibat arus balik kehancuran Bagdad ibukota Abbasiyah,oleh Hulagu. Kehancuran Bagdad menyebabkan pedagang Muslim mengalihkan aktifitas perdagangan ke arah Asia Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara.

Penyebaran Islam merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia. Pedagang Muslim sudah ada di sebagian wilayah Indonesia selama beberapa abad sebelaum Islam menjadi agama yang mapan di masyarakat-masyarakat local. Kapan, mengapa, dan bagaimana konversi penduduk Indonesia ini mulai terjadi telah diperdebatkan oleh beberapa ilmuwan, tetapi kesimpulan pasti tidak mungkin dicapai karena sumber-sumber yang ada tentang islamisasi sangat langka dan sering sangat tidak normatif (Ricklefs, 2009: 3).

Seminar tentang kedatangan Islam ke Indonesia pernah diadakan di Aceh pada tanggal 17 – 20 Maret 1964 dan berkesimpulan bahwa menurut sumber-sumber yang ada, Islam untuk pertama kalinya telah masuk ke Indonesia padaabad ke 1 H atau abad ke 7/8 M dan langsung dari Arab. Ada beberapa teori yang mencoba untuk memberikan kepastian asal-usulkedatanan Islam di Indonesia antara lain :

  1. Teori India.

Teori ini menyatakan bahwa Islam Indonesia berasal dari Gujarat dan Malabar. Pendapat ini dipelopori oleh Pjnapel, yang menelusuri Islam Indonesia melalui pengikut mazhab Syafi’i dari Gujarat dan Malabar. Apalagi kawasan ini sering disebut dalam sejarah purbakala Indonesia. Pendapat ini diikuti oleh ilmuan W.F. Stutterheim, J.C. Van Leur, bahkan pendapat ini di dukung oleh Moquette dari Belanda, Kern, Winsteds, Bousquet, Vlakke, Gonda, Schrieke, Hall, Bernard H.M. Vlekke, T.W. Arnold, Cliford Geertz dan Harry J. Benda.

  • Teori Arab/Makkah

Teori ini menjelaskan bahwa Islam yang masuk ke Indonesia datang langsung dari Mekkah atau Madinah. Waktu kedatangannya pada awal abad ke 7 M, pada awal abad hijriah, bahkan pada masa khulafaur Rasyidin memerintah, islam sudah memulai ekpedisinya ke Nusantara. Teori Makkah berpendapat bahwa slam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 M dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir).

Adapun teori yang menyatakan Islam Indonesia berasal dari Arab, pertamakali dilontarkan oleh Crawfurd (1820), Keyzer (1859) kemudian diikuti  oleh Niemann (1861), de Hollander (1981), dan Veth (188). Crawfurd menyatakan bahwa Islam Indonesia berasal dari Mesir, dengan alas an bahwa Mesir menganut Mazhab Syafi’i. Hollader berpendapat Islam Indonesia berasal dari Hadramut juga dengan alas an negeri ini menganut mazhab Syafi’I; sedangkan Veth hanya menyebutkan bahwa Islam Indonesia dibawa oleh orang-orang Arab, tanpa menyebutkan tempat asal. Di Indonesia pendapat ini dipopulerkan oleh Hamka. Teori yang dikembangkan Hamka ini mendapat perhatian dan pembenaran dalam seminar-semiar yang membahas sejarah masuknya Islam di Indonesia, baik nasional maupun local (Yatim, 1998: 20).

  • Teori Persia

Teori ini dikemukakan oleh P.A. Hoesein Djajadiningrat. Teori ini menjelaskan bahwa agama Islam yang masuk ke Nusantara+ berasal dari Persia, singgah kr Gujarat, sedangkan waktunya sekitar abad ke 13 M. Pandangan teori ini berbeda dengan teori Gujarat dan Mekkah. Teori ini menitikberatkan tinjauannya pada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan memiliki persamaan dengan Persia.

Persamaan tersebut diantaranya adalah : a) Peringatan 10 Muharam atau asyura sebagai hari peringatan Syi’ah atas syahidnya Husein. Peringatan ini berbentuk pembuatan bubur Syura. Di Minangkabau bulan Muharam disebut bulan Hasan-Husen. Di Sumatra Tengah sebelah Barat disebut bulan Tabut, dan diperingati dengan mengarak keranda Husein untuk dilemparkan ke sungai. Keranda tersebut disebut Tabut diambil dari bahasa Arab. b) adnya kesamaan ajaran antara Syeikh Siti Jenar dengan ajaran sufi al-Hallaj, sekalipun al-Hallaj telah meninggal pada 310 H atau 922 M, tetapi ajrannya berkembang terus dalam bentuk puisi, sehinggam memungkinkan Syeihk Siti Jenar yang hidup pada abad ke 16 dapat mempelajarinya. c) Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistim mengeja huruf Arab, untuk tanda-tanda bunyi harakat di nisan makam Malik Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik dipesan dari Gujarat.

Namun teori ini dikritik oleh Saifuddin Zuhri. Ia menyatakan sulit untuk menerima pendapat tentang kedatangan Islam ke Nusantara berasal dari Persia. Alasannya bila kita berpedoman pada masuknya Islam ke Nusantara pada abad ke 7, hal ini berarti terjadi pada masa kekuasaan khalifah Umayyah. Saat itu kepemimpinan Islam dibidang politik, ekonomi dan kebudayaan berada di tangan bangsa Arab, sedangkan pusat pergerakan Islam berkisar di Mekkah, Madinah, Damaskus dan Bagdad, jadi belum mungkin Persia menduduki kepemimpinan dunia Islam (Zuhri, 1979: 188).

  • Teori China

Islam di China banyak mendapat pengruh dari Persia yang kemudian dikenal dengan bangsa Hui. Seiring dengan perkembangan perdagangan dan alur jalur sutra, sangat memungkinkan terjadi interaksi antara pedagang China Muslim dengan pedagang Nusantara, seorang musafir China yang bernama Ichang pada tahun 671 telah melakukan perjalanan dari Canton menuju ke Sumatra dengan menumpang kapal Iran.

Dalam catatan perjalanan Ma Huan yang melakukan perjalanan pada tahun 1413-1415 yang dituangkan dalam bukunya “Ying yai Sheng lan” disebutkan bahwa terdapat tiga macam penduduk di Jawa, yaitu orang Muslim dari Barat, orang China yang diantarnya beragama Islam dan orang Jawa yang menyembah berhala. Beberapa pendukung teori ini diataranya adalah H.J. De Graaf, Slamet Mulyana dan Denys Lombard. Pendapat ini mengatakan bahwa agama Islam dibawah dari China oleh pedagang muslim China yang bermazhab Sunni Syafi’I yaitu mazhab yang umum dianut oleh bangsa-bangsa Muslim sepanjang jalur sutra. Argumen lain yang mengatakan bahwa Islam dating dari China adalah ketika terjadi ekspedisi Mongol untuk menghukum raja Kartanegara.

Dari uraian tentang teori-teori kedatangan Islam ke Nusantara tersebut, dapat disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai pada abad ke 7 M dan mengalami perkembangannya pada abad ke 13 M. Pemegang peranan dalam penyebaran Islam adalah bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat (India).

  •  Asal usul Muhammadiyah

Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Zulhijjah 1330 H, yang bertepatan tanggal 18 November 1912 M di Jokyakarta. Ide dasar KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah antara lain : a) Perlunya pembaruan dalam berbagai bidang kehidupan umat Islam karena peranan umat Islam telah rusak dan hilang di berbagai bidang. Misalnya bidang poitik, ekonomi, perdagangan, pendidikan, kebudayaan, dan bidang keagamaam; b) Memurnikan kembali ajaran Islam yang telah tercampur dengan berbagai paham sehingga muncullah tahyul, khurafat, bid’ah dan syirik di kalangan masyarakat muslim; c) Mempertahankan regenerasi Islam di masa kini dan mendatang, karena derasnya arus kristenisasi di Indonesia; dan d) Mengembalikan citra Islam di kalangan pemuda dan remaja serta pelajar karena derasnya informasi dan kebudayaan Barat yang masuk ke Indonesia telah mempengaruhi keperibadian umat Islam. Persayrikatan ini merupakan produk modernsasi yang juga menjadi organisasi terbesar di Indonesia. Organisasi ini telah berdiri sebelum Indonesia merdeka dan mempunyai andil besar dalam usaha kemerdekaan Negara Indonesia.

Dalam pembentukannya, Muhammadiyah banyak merefleksikan dirinya pada al-Qur’an surat Ali Imran 104 : Artinya

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yng ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang berntung” (QS. Ali Imran: 104)

Disimpulkan bahwa berdirinya Muhammadiyah adalah karena alasan-alasan dan tujuan-tujuan sebagai berikut : a) Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan islam; b) Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern; c) Reformulasi ajaran dan pendidikaan Islam; dan d) Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar. (Sujarwanto dan Nashir, 1990: 332).

  • Kedatangan dan Penjajahan Bangsa Barat di Nusantara

Bangsa Belanda datang ke wilayah Nusantara ada akhir abad ke 16 M (1595-1600) untuk mengembangkan usaha perdagangan, yaitu mendapatkan rempah-rempah yang mahal harganya di Eropah. Pada masa ini beberapa Perseroan perdangangan bergabung dan disyahkan oleh Staten General Republik dengan satu piagam yang member hak khusus pada Perseroan gabungan tersebut untuk berdagang, berlayar dan memegang kekuasaan di kawasan Nusantara. Perseroan itu bernama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) (Yatim, 2005: 234). Sampai dengan abad ke 18 M, Perseroan ini mengorganisasi pedagang-pedagang Belanda dalam melakukan perdagangan dengan masyarakat Pribumi. Pada awal ini, mereka hanya bergerak di sector ekonomi atau belum memasuki wlayah politik.

Pada akhir abad ke 18 M (1799), VOC bubar. Kekuasaan diambil alih oleh pemerintan Belanda, sehingga pada awal abad ke 19 M, pemerintah Hindia Belanda mulai mengambil langkah-langkah kebijakan baru. Dalam masa penjajahan, pemerintah Belanda menekan dan menindas Islam. Semua aspek kegiatan dan gerakan Islam selalu dicurigai. Akibatnya, terjadi percepatan kemunculan Islam sebagai pemersatu umat dalam melawan Belanda, sehingga lahirlah politik etis pada pemerintah Belanda dalam menghadapi Islam.

Mendekatai masa-masa akhir pendudukannya di Hindia Belanda, peerintah Kolonialis mulai memberikan porsi pada organisasi-organisasi politik dan non politik untuk ikut menentukan kebijakan yang akan dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda, hal ini dinyatakan oleh Ricklefs (2007) sebagai berikut :

“Langkah paling nyata kearah desentralisasi dan peningkatan peran serta orang-orang Indonesia dalam pemerintahan adalah pembentukan Volksraad ((Dewan Rakyat), yang menyelenggarakan sidangnya yang pertama pada tahun 1918. /asal usul lembaga ini  berkaitan erat dengan aksi Indie Weerbaar (Pertahanan Hindia). Volksraad didirikan sebagai lembaga dengan satu majelis yang hanya mempunyai wewenang menasehati, tetapi kalau menyangkut masalah keuangan dikonsultasikan dengan Gubernur Jenderal”

Dalam perkembangan selanjutnya, dewan ini menjadi media bagi tokoh-tokoh nasionalis untuk menyalurkan aspirasi masyarakat pribumi kepada Pemerintah Hindia Belanda, akan tetapi pembentukan dewan ini tidak secara sungguh-sungguh diupayakan pemerintah. Hal ini dinyatakan oleh Ricklefs (2007: 245) bahwa :

“Pada masa awal Volksraad merupakan sumber banyak kecaman dan desakan terhadap pemerintah Kolonial. Suatu Staatsinrichtting (konstitusi) baru untuk Indonesia yang diberlakukan pada tahun 1925 telah menurunkan fungsi Dewan Hindia menjadi Badan Penasehat dan memberi Volksraad wewenang-wewenang legislative yang terbatas”.

Kesempatan yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada masyarakat Pribumi untuk duduk dalam Volksraad, memdorong beberapa orang tokoh politik Indonesia untuk terlibat di dalam dan menyalurkan aspirasi masyarakat Pribumi melalui dewan ini. Akan tetapi, fungsi dan wewenang dewan ini sangat terbatas, sehingga dalam kenataannya usulan anggota dewan yang menyangkut kesejahteraan atau kepentingan masyarakat Peribumi lebih sering tidak dipenuhi.

Pada abad ke 19 M sampai awal abad ke 20 M, pemerintah Hindia Belanda tidak memberi kesempatan yang luas pada penduduk Pribumi untuk mengenyam pendidikan secara layak. Lembaga pendidikan milik pemerintah hanya menerima anak-anak pribumi dari kalangan aristokrat dan birokrat, hal ini terlihat dalam peraturan pemerintah Hindia Belanda tahun 1818, yaitu:

“Memperbolehkan orang Jawa memasuki pendidikan yang diselenggarakan pemerintah Kolonial. Namun dlam kenyataannya, hanya sedikit saja orang Jawa yang dapat memasuki sekolah-sekolah tersebut, sebab banyak persyaratan yang pada hakekatnya justru dipasang untuk membatasi kesempatan belajar mereka. Selain itu, dana pendidikan hanya diberikan kepada para anak kepala negeri dan orang-orang terkemuka untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Dalam hal ini, sesungguhnya pendidikan barat dalam tingkat tertentu dimaksudkan untuk kepentingan kolonialisme (Arifin, 1990: 62).

Kebijakan tersebut hanya diberikan pada kalangan bangsawan, yang dimaksudkan untuk mencetak tenaga kerja bagi kepentingan  pemerntah Hindia Belanda. Sementara itu, masayarakat pribumi pada umumnya, sangat jarang yang dapat mengenyam pendidikan di sekolah milik pemerintah itu. Kebijakan tersebut mengakibatkan keterbelakangan di kalangan penduduk probumi, hal ini sengaja dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda dalam rangka mempertahankan keberadaan mereka, yaitu dengan cara menjalin hubungan dengan kalangan aristocrat melalui pendidikan.

Keberpihakan pemerintah Hindia Belanda pada lembaga-lembaga pendidikan non Islam terlihat pada pemberian subsidi yang tidak merata kepada lembaga pendidikan yang dikelola pribumi Muslim, seperti sekolah, posantren atau madrasah yang tidak mendapat perhatian secara adil, jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan Kristen yang mendapat bantuan dana atau subsidi cukup dari pemerintah.

Selain itu, pemerintah Hindia Belanda menerapkan peraturan yang disebut Guru Ordonnantie, suatu peraturan Kolonial Belandauntuk mengatur sekolah partikelir (swasta), yaitu :

“Sekolah yang tidak didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Ordonansi tersebut member kuasa kepada pemerintah Kolonial untuk mengurus wujud, isi, kurikulum, guru dari sekolah partikelir. Dengan ordonansi itu, pemerintah bermaksud melemahkan dan mematikan sekolah-sekolah partikelir, seperti Taman Siswa, Muhammadiyah, Institut Ksatria, Perguruan Rakyat, dan lain-lain karena di sekolah itu cita-cita, ide-ide dan semangat kemerdekaan Indonesia ditanamkan pada zaman pergerakan nasional (Sukanto, 1997: 298).

Ketidak adilan pemerintah Hindia Belanda terlihat juga dalam pemberian subsidi pada rumah ibadah. Mesjid-mesjid hanya menerima subsidi yang sangat kecil disbanding dengan subsidi yang mereka berikan kepada gereja. Pada awal abad ke 20 M, keberpihakan pemerintah Hindia Belanda pada Kristenisasi didorong oleh desakan partai-partai  Kristen yang menuntut penerapan prinsip-prinsip Kristen di dalam  pemerintahan (Ricklefs, 2007: 103). Mereka menuntut agar pemerintah Hindia Belanda terbukan untuk kegiatan misi keagamaan dan menuntut dukungan pemerintah colonial pada kegiatan tersebut (Arifin, 1990: 44).

Kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang tidak adil terhadap penduduk Pribumi, terutama terhadap kalangan Islam mendorong munculnya kesadaran tokoh-tokoh Islam untuk memperjuangkan nasib masyarakat Islam. Sehubungan dengan ini , Dalier Noer (1996: 37) mengatakan :

“Kira-kira pada pergantian abad ini banyak orang Islam Indonesia menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin berkopetisi dengan kekuatan-kekuatan yang menantang dari pihak kolonialisme Belanda, panetrasi Kristen dan perjuangan untuk maju di bagian-bagian lain Asia apabila mereka terus melanjutkan kegiatan dengan cara-cara tadisional dalam menegakkan Islan. Mereka mulai menyadari perlunya perubahan-perubahan, apakah ini dengan menggali mutiara-mutiara Islam di masa lalu yang telah memberikan kesanggupan kepada kawan-kawan mereka se agama di abad tengah untuk mengatasi Barat dalam ilmu pengetahuan serta dalam memperluas daerah pengaruh atau dengan mempergunakan metode-metode baru yang telah dibawah ke Indonesia oleh kekuasaan Kolonial serta pihak misi Kristen”.

 

Sumber : AIK III; Kemuhammadiyahan Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan

Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 2016.  

 

 

0 Comments:

Posting Komentar

Silahkan di tanyakan