MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN SOSIAL
Pemikiran Islam di Indonesia telah dikenalkan oleh beberapa pemikir yang mengungkap pandangan tentang operasionalisasi agama di wilayah social kemasyarakatan. Sebut saja Moeslim Abdurrahman dengan Teologi Transformative. Harun Nasution dengan Teologi Rasional, Nurcholis Majid dengan Islam Inklusif, Munawir Sadjali juga mengusung Kontekstualisasi, Kuntowijoya melalui Islam Profetik, Abdul Rahman Wahid melalui Pribumisasi Islam, dan pemikir-pemikir lain yang mengusung gagasan brilian. Semua pemikiran tersebut bermuara pada operasionalisasi-implikatif agama (Islam) dalam kehidupan social manusia yang tidak hanya berorientasi pada ketuhanan, tetapi juga memiliki orientasi pada kemanusiaan. Dalam bahasa akademis, agama menjadikan manusia salih secara ketuhanan dan juga secara sosial (salih sosial).
Tulisan yang memfokuskan pada kerangka sosial ini mengangkat landasan nilai teologis yang diusung oleh pesyarikatan Muhammadiyah, yaitu fikih al-Maun. Tulisan ini mencoba mendekripsikan tata operasional agama sebagai fakta normative yang mengandung ajaran yang dapat menjadi dasar pembentukan nilai-nilai sosial dan perilaku sosial. Melalui konsep inilah nantinya masyarakat Muhammadiyah mampu tampil sebagai umat washatan yang membawa rahmat bagi semesta alam.
A. Nilai-nilai dan Ajaran Sosial Kemanusiaan dalam Perspektif Muhammadiyah (Fikih al-Maun)
1. Nilai Kemanusiaan
Dalam salah satu tulisannya, Abdul Munir Mulkhan (2010: 43) mengatakan, inti visi kemanusiaan agama-agama adalah cinta kasih. Paus Johanes Paulus II dan Benediktus XVI adalah tokoh agama yang dikenal sangat gigih memperjuangkan nilai kemanusiaan. Tulisan Munir Mulkhan tersebut dapat dipahami bahwa KH. Ahmad Dahlan tidak ketinggalan jika disbanding dengan Paus Johanes Paulus II dan Benediktus XVI. KH.Ahmad Dahlan tampaknya menjadi tokoh pencari identitas kebenaran etos kemanusiaan global. Berangkat dari gagasan mulia itu, lahirlah berbagai rumah sakit, rumah bersalin, sekolah mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, dari diploma sampai doktoral, panti asuhan yatim piatu, rumah miskin dan kepanduan.
Selanjutnya, Munir Mulkhan (2010:80) mengutip hasil penelitian Alfian dan Nakamura yang memiliki kesimpulan bahwa paham keislaman KH. Ahmad Dahlan mengedepankan penafsiran pragmatis yang oleh Nakamura disebut sebagai bermuka dua. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa amalan lahiriah adalah bekas dan hasil dari daya ruh agama. Agama mengandung ajaran yang dapat menjadi dasar pembentukan nilai-nilai sosial dan perilaku sosial. Menurut Muhammadiyah, gerakan sosial termasuk dalam urusan Muamalah al-duniawiyah.
Manusia mempunyai nilai universal tanpa dibatasi oleh keyakinan, wilayah, etnis dan jenis kelamin. Nilai itu adalah nilai kemuliaan yang disandang oleh setiap anak cucu Adam. Di dalam Al-Qur’an surat al-israa’ ayat 70 secara deskriptif telah dijelaskan bahwa:
Artinya : “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahluk yang telah Kami ciptakan” (QS. Al-Israa’:70)
Secara kultural, kemuliaan dapat diperoleh melalui banyak cara, diantaranya: manusia dapat dianggap mulia karena ilmunya, itulah sebabnya orang yang berilmu biasa disebut al-mukarram. Manusia dapat dianggap mulia karena hartanya itulah sebabnya orang kaya dihormati. Manusia dapat dianggap mulia karena jabatannya, itulah sebabnya pejabat biasa dihormati. Tetapi, kemiliaan tersebut bukanlah kemuliaan yang dimaksudkan di dalam al-Qur’an. Kemuliaan tersebut dapat membawa nilai apabila diikuti dengan sifat lain misalnya: ilmuwan mempunyai nilai apabila ia mengajarkan dan mengamalkan ilmunya. Orang kaya dianggap mempunyai nilai apabila ia menjadi dermawan. Pejabat dianggap mempunyai nilai apabila ia menjalankan kepemimpinan dengan adil.
Secara subtansial, kemuliaan manusia itu melekat pada fitrah. Itulah sebabnya pada ayat lain dalam al-Qur’an surat al-Hujarat ayat 13 disebutkan bahwa:
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbanga-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya, Allah maha mengetahui lagi maha mengenal” (QS. Al-Hujuurat: 13).
Bentuk kemuliaan itu direspon dalam al-Qur’an dengan janji antara lain: mudkhalan kariman (dimasukkan ke tempat yang mulia atau surga) (QS. An-Nisa’: 31) maghfirah wa rizkun karim memperoleh maghfirah dan nikmat yang mulia) (QS. Al al Anfal: 4), maqaam karim (tempat yang mulia) (QS. Asy-Syuara: 58). Potensi untuk meraih kemuliaan itu disebut sebagai sebaik-baik makhluk. Dimana makhluk yang diberi potensi tersebut adalah manusia. Inilah yang disinggung dlam al-Qur’an surat al-Thin ayat 4 bahwa:
Artinya: “Sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. al-Tin: 4)
melihat deskripsi tersebut bahwa manusia merupakan makhluk yang sangat mulia, indikator kemuliaan seseorang dapat dilihat dari lima aspek antara lain:
a. Hubungan dirinya dengan Tuhan
Hubungan manusia dengan Tuhan di atur dalam aqidah dan ibadah. Aqidah menjadi inti kehidupan beragama. Jantung Islam adalah penyaksian keesaan Allah, kemutlakan untuk tunduk pada kehendak Tuhan. Dua kalimat syahadat merupakan suatu pernyataan pokok yang mengandung makna pembebasan diri dari berbagai bentuk ikatan kecuali ikatan terhadap Allah SWT. Pernyataan kehambaan menegaskan bahwa tidak ada tempat menghambakan diri kecuali hanya kepada Allah SWT. Iman adalah percaya dengan penuh tanggung jawab; kepercayaan kepada Tuhan merupakan masalah personal, berada dalam hati. Orang bebas menentukan keyakinan dan kepercayaannya. Nabi Muhammad Saw, bukan dalam kapasitas melaksanakan keimanan, sebagaimana disebtukan dalam al_Qur’an bahwa: “Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka” (QS. Al-Ghasiyah:22). Pada ayat lain dikatakan juga, “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumu seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. Yusuf:99)
b. Hubungan dirinya dengan alam
Tujuan utama diciptakan manusia adalah untuk menjadi khalifah yang bertugas mengelola, merawat, menjaga, memakmurkan dan memelihara kelestarian alam semesta dengan pengertian yang seluas-luasnya. Tugas tersebut disebutkan dalam al-Qur’an, misalnya, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (QS. al-Baqarah:30)
Keseimbangan dan keramahan lingkungan kepada manusia tergantung pada bagaimana manusia memperlakukan alam semesta. Al-Qur’an menyatakan dengan tegas tentang bahaya dari ketidak ramahan manusia terhadap lingkungan. Dalam al-Qur’an dikatakan, “Telah Nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Rum:41)
c. Hubungan dirinya dengan masyarakat
Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial, sebagai makhluk yang cenderung hidup bermasyarakat, bersama, berkelompok-kelompok. Dan berbangsa-bangsa Islam menekankan pada pentingnya menjaga akhlak dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya menghormati tetangga atau menghormati sejawat. Sebagaimana disebutkan misalnya dalam surat an-Nisa ayat 36 bahwa:
Artinya: Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan berbuat baiklah kepada dua orang tua ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (QS. An-Nisa:36)
Dalam surat yang lain, yaitu al-Qur’an surat Lukman ayat 18-19, juga dijelaskan bahwa:
Artinya: :”Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (Karen sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakanlah suaramu. Sesungguhnya seburu-buruk suara ialah suara keledai” (QS. Lukman:18-19)
Dua ayat tersebut menjelaskan secara eksplisit bahwa sifat sombong itu dicela, dikecam dalam al-Qur’an. Sombong merupakan ungkapan, simbol dari sikap individualism, sikap menang sendiri, sikap merendahkan orang lain. Merendahkan orang termasuk salah satu penyakit masyarakat.
d. Hubungan dirinya dengan keluarga
Dalam melaksanakan hubungan dengan keluarga, perinsip yang harus dijaga adalah saling menghormati, perinsip ta’awun (tolong menolong), perinsip saling menasehati dan perinsip musyawarah.
e. Hubungan dengan dirinya sendiri
Menjaga diri dari hal-hal yang bisa merusak harkat dan martabat atau bisa mengurangi derajat kemuliaan. Sebaliknya, harus memelihara diri dari sifat-sifat yang wajib dimiliki seperti: ikhlas, sabar, jujur, istiqomah. Perlakukan terhadap diri sendiri menjadi acuan untuk memperlakukan orang lain. Perlakuan orang lain kepada diri merupakan refleksi dari perlakuan diri kepada orang lain.
2. Ajaran Sosial Kemanusiaan dalam Muhammadiyah
Islam menetapkan dua pola hubungan yang permanen dalam kehidupan beragama yakni: hubungan dengan Allah SWT, yang lazim disebut hablun minallah dan hubungan dengan sesama manusia atau lazim disebut hablun minannas. Hubungan dengan Allah dalam bentuk ibadah dibahas dalam ilmu fiqih, sedangkan hubungan dengan sesame manusia dibahas dalam ilmu akhlak. Baik yang berhubungan dengan ibadah maupun yang berhubungan dengan akhlak, apabila disebutkan secara jelas dan tegas di dalam al-Qur’an atau al-Hadist, itu disebut ajaran. Jadi, konsep ajaran Islam adalah ajaran yang terdapat di dalam al-Qur’an atau al-Hadist. Berdasarkan konsep tersebut, dapat dinyatakan bahwa: menyantuni anak yatim adalah ajaran Islam, memberi makan orang miskin adalah ajaran Islam, mebantu kaum duafa adalah ajaran Islam, seperti halnya shalat adalah ajaran Islam, dan zakat adalah ajaran Islam. Tiga bentuk ajaran Islam yang awal disebut merupakan wajib kifayah dalam pandangan ulama fiqih, sedangkan dua ajaran yang terakhir disebut termasuk kewajiban ‘ain (fardhu ‘ain). Dalam pandangan Muhammadiyah, kedua kewajiban t6ersebut sama nilainya dan sama pentingnya. Tiga bentuk ajaran tersebut digolongkan dalam kategori hablun minannas, sementara dua bentuk yang disebut terakhir digolongkan dalam kategori hablun minallah.
Muhammadiyah menjadi pelopor gerakan filantropi atau pembelaan pada kaum mustad’afin di Indonesia, sebuah entitas yang tetap menjadi ruh perjalanan gerakan sepanjang masa. Dikisahkan bahwa pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan membina sebuah pengajian. “Materi pengajiannya, sudah beberapa bulan membahas surat yang sama yaitu al-Maun. Sampai pada suatu hari, salah seorang murid bertanya kepada Kiai Dahlan. “Pak Kiai, pengajiannya kok membahas al-Maun terus, kapan mengaji surat lain?” Lantas, Kiai Dahlan pun balik bertanya. “Sudahkah kamu mengamalkan surat ini?” Si murid menjawab. “Sudah. Kiai, saya sudah menggunakan surat ini dalam shalat saya dan suka membacanya berulang-ulang di rumah. “Bukan begitu ….,” kata Sang Kiai. “Sudahkah kamu mengamalkan kandungan surat ini? “Sudahkah kamu peduli pada anak yatim di sekitarmu? Sudahkah kamu memberi santunan terhadap orang miskin di sekitarmu? Kalau belum, berarti kamu benar-benar mengamalkan surat ini. “Akhirnya, setelah itu, Sang Kiai dan para muridnya berbondong-bondong mendatangi tempat-tempat dimana banyak orang-orang miskin dan anak-anak yatim. Mereka kemudian membawa kaum duafa tersebut ke suraunya, member mereka makan, memberi pakaian dan member pendidikan.
Cerita terkenal tentang pengajaran surat al-Maun oleh KH. Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya menjadi landasan kuat akan berkembangnya perinsip “beramal ilmiah, berilmu amaliah” dalam menjalankan gerak pesyarikatan Muhammadiyah. Tidak cukup hanya dengan mengaji dan mengkaji saja tentang ajaran agama Islam, namun juga harus melakukan tindakan nyata di lapangan. Harus beramal nyata, beramal yang dilandasi ilmu, dan ilmu yang mesti diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dari perinsip inilah kemudian lahir dan bertebaran lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, lembaga social, dan sekian jumlah amal usaha Muhammadiyah di berbagai pelosok negeri (Febriansyah, dkk., 2013:20-21).
Atas dasar spirit surat al-Maun, KH. Ahmad Dahlan memberi isyarat bahwa Islam adalah agama yang menekankan bukan hanya aspek ritual dan mengabaikan aspek sosial. Akan tetapi, seorang muslim dikatakan salih dalam menjalankan ibadah ritual, apabila melahirkan akhlakul karimah dan kepekaan sosial terhadap lingkungan sekitarnya. Bahkan, orang yang melupakan tidak perduli pada nasib anak yatim dan orang miskin digolongkan sebagai pendusta agama.
Ajaran sosial kemanusiaan yang dipopulerkan dengan istilah teologi al-Maun ini mengandung empat nilai, yakni:
1. Nilai religi atau nilai iman
Iman adalah sesusuatu yang menjadi ruh semangat keberagamaan, sesuatu yang menjadi sumber dan sekaligus motivasi atau penggerak amaliah. Dalam pandangan Muhammadiyah, iman bukanlah barang yang pasif melainkan aktif. Iman bukan sesuatu yang absolute dan tidak dapat diamati, tidak dapat diukur, melainkan iman dapat diamati, diukur dan terlihat dalam interaksi sosial.
Di dalam al-Qur’an, banyak disinggung tentang iman dan amal social. Keduanya harus aktif secara bersamaan. Iman disejajarkan dengan memberikan harta yang dicintai sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 177 bahwa:
Artinya: “Bukanlah menghadap wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musyafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan, mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Baqarah:177)
Ayat ini menyebutkan tujuh syarat perbuatan yang disejajarkan nilainya dan menjadi syarat takwa, yakni: Beriman, Memberikan harta yang dicintainya, Memerdekakan hamba sahaya, Mendirikan shalat, Menunaikan zakat, Menepati janji, dan sabar. Tujuh item dari pesan ayat tersebut dapat diidentifikasi jadi dua bagian. Bagian pertama terkait dengan hubungan kepada Tuhan: beriman dan mendirikan shalat; bagian kedua menyangkut hubungan dengan sesama manusia: memberikan harta yang dicintainya, memerdekakan hamba sahaya, menunaikan zakat, menpati janji dan sabar. Hal ini berarti tanda-tanda taqwa lebih banyak berdimensi kemanusiaan.
2. Nilai belas kasih atau nilai al-rahmah
Nilai al-Rahmah atau cinta kasih atau belas kasihan merupakan ajaran dasar yang sangat prinsipil. Berbagai sifat yang berlawanan dengan sifat al-Rahmah adalah pemarah, sombong, dengki, dendam. Semua itu dikecam dalam al-Qur’an Dalam hadist nabi disebutkan bahwa cinta kasih merupakan indikator iman seseorang sebagaimana dijelaskan dalam hadist dari Annas bin Malik, Artinya;
Dari anas Ibn Malik ra, dari Nabi Saw bersabda, “Tidak beriman seseorang diantar kamu sebelum ia mencintai saudaranya atau tetangganya, sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” (HR. Muslim juz 1:49)
Rahmah adalah bagian dalam atau bagian dari aspek kejiwaan (psikologi) yang menjadi dasar dari perasaan setiap orang. Perasaan tersebut menjadi identitas diri kemanusiaan. Apabila perasaan tersebut hilang, identitas kemanusiaan juga dapat dikatakan telah hilang. Istilah yang lebih ekstrim adalah perasaan telah mati. Inilah yang dimaksud jiwa yang meninggal sementara jasad masih hidup. Untuk memahami makna al-Rahmah berikut sebuah riwayat yang menceriterakan bahwa suatu ketika Nabi menggendong seorang anak yang sedang menhadapi sakratulmaut, nafasnya tersenggal-senggal, menyaksikan situasi tersebut air mata nabi Muhammad Saw menetes membasahi pipinya. Sahabat yang hadir pada waktu termasuk Thalhah merasa heran dan bertanya, ada apa gterangan ya Rasulullah, Beliau menunjukkan kepada air mata yang ada di pipinya sambil menjawab, “hadzihi al-rahmah” (ini adalah rahmah). Jadi, orang menangis mengeluarkan air mata karena kesedihan atau perasaan belas kasihan itulah yang disebut al-rahmah.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa suatu ketika Nabi Saw, diminta untuk mendoakan orang musyrik agar dilaknat oleh Allah SWT. Lalu, Nabi menjawab sebagaimana disebutkan vdalam hadist dar Abi Hurairah bahwa:
Artinya; “Dari Abi Hurairah, berkata, ya Rasulullah do’akan orang musyrik supaya dilaknat, lalu Nabi menjawab, saya diutus bukan untuk melaknat melainkan sebagai rahmat” (HR. Muslim juz 8:24)
Al-Rahmah adalah bagian dari cinta kasih sebagaimana disinggung pada awal tulisan dan merupakan landasan atau basis pendirian amal usaha di bidang social yang dibina oleh Muhammadiyah. Amal usaha itu merupakan focus gerakan Muhammadiyah. Menurut Amin Rais (1998:44-48), terdapat empat doktrin Muhammadiyah, yakni: Pertama, doktrin pencerahan umat, sehingga amal usaha yang pertama-tama dirintis oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah adalah mrndirikan sekolah. Kedua, doktrin amal shalih; dalam Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah telah ditetapkan bahwa syarat berdirinya suatu ranting adalah wajib memiliki amal usaha minimal mendirikan taman kanak-kanak. Ketiga, doktrin kerjasama untuk kebajikan; doktrin ini berlandaskan pada QS. Al-Maidah 2, dan kempat, doktrin tidak berpolitik.
3. Nilai syukur
Syukur adalah bentuk pernyataan terima kasih atas nikmat yang telah diperoleh. Allah akan memberi balasan kepada hambanya yang suka bersyukur (QS. Al-Qamar:35). Bentuk syukur yang diimplementasikan oleh Muhammadiyah adalah kerja keras. Muhammadiyah memahami bahwa bekerja secara sungguh-sungguh dalam mengelola lembaga pendidikan merupakan perwujudan bentuk syukur (tafsir syukur). Pintu untuk meraih kebahagiaan adalah kerja keras (syukur). Allah tidak akan membiarkan hambaNya dalam keadaan termarjinal, dalam keadaan tertinggal untuk keluar dari kesulitan apabila si hamba beriman dan bekerja keras (bersyukur) (QS. An-Nisa:147) Lebih tegas, dinyatakan bahwa Allah pasti membalas orang-orang yang bekerja keras (syukur). Sebagaimana yang telah disebutkan dalam al-Qur’an surat Ibrahim ayat tujuh bahwa:
Artinya: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim:7)
Pada ayat tersebut, terdapat dua istilah yang berlawanan, yakni term”syukur/syakartum” dengan “kufr/kafartum”. Syukur adalah simbol dari orang yang tahu berterima kasih kepada Tuhan, sedangkan kufr adalah symbol dari orang yang tidak tahu berterima kasih. Bekerja keras untuk mengatasi masalah kemiskinan atau bekerja keras untuk mengurusi anak yatim adalah sikap dan perilaku orang yang tahu bersyukur.
4. Nilai tolong-menolong
Tolong-menolong merupakan perinsip ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Tolong-menolong disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 2 bahwa:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu, dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Mesjidil haram, medorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. Al-Maidah:2)
Muhammadiyah menganut doktrin bahwa: hidip harus bermasyarakat. Di dalamnya terkandung pengertian kerja sama, saling menghargai, dan juga saling mengakui perbedaan. Idea tau cita-cita social Muhammadiyah berkisar pada: ukhuwah, hurriyah, musawah, dan ‘adalah(persaudaraan, kemerdekaan, persamaan dan keadilan) (Rais,1998:17). Hidup bermuhammadiyah berarti memperbanyak kawan, dan berarti kita harus memelihara kesetiakawanan. Hidup bermuhammadiyah berarti menghargai orang lain, menghargai organisasi lain, dan menghargai agama lain.
B. Gerakan Peduli Pada Fakir Miskin dan Anak Yatim
Istilah “fakir” dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai orang yang sangat berkekurangan. Miskin diartikan sebagai tidak berharta benda, serba kekurangan (berpenghasilan rendah). Dalam bahasa Arab, kata “miskin” berakar dari kata sa-ka-na yang berarti diam atau tenang. Kenapa orang miskin disebut miskin, karena ia lebih banyak diam. Seperti halnya, kenapa keluarga yang bahagia disebut keluarga sakinah, karena keduanya merasa tentram atau tenang (diam) terhadap pasangannya; keduanya tidak kemana-mana. Tentang kriteria kemiskinan, tidak dijelaskan di dalam al-Qur’an maupun al-Hadist. Itulah sebabnya ulama berbeda pendapat tentang pengertian fakir dan miskin.
Al-Qur’an memuji kecukupan bahkan menganjurkan untuk meperoleh kelebihan (Syihab, t.th:451). Ayat yang dijadikan rujukan adalah al-Qur’an surat al-Jum’ah ayat 10 yang mengatakan:
Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (QS. Al-Jum’ah:10)
Sedangkan dalam al-Qur’an di surat yang lain yaitu surat al-Dhuha ayat 8 menerangkan bahwa:
Artinya: “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan” (QS. Al-Dhuha:8).
Bahkan ada ayat lain yaitu ayat dalam surat al-Baqarah ayat 198 yang juga mendekripsikan bahwa:
Artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dar’Arafat, berzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat” (QS. Al-Baqarah:198)
Kedua ayat tersebut memberi kesan bahwa berkecukupan adalah sesuatu yang mulia dan karenanya harus bekerja keras untuk meraih kecukupan tersebut. Yang dilarang dan dicelah ialah rakus atau berkecukupan lalu kikir.
Muhammadiyah memahami bahwa tujuan yang hendak dicapai dan diturunkannya agama di muka bumi ini adalah mengatur menyelamatkan, dan membimbing manusia ke tujuan yang luhur (baldatun thayyibatun warabbun ghafur), mencerahkan kehidupan, membebaskan manusia dari segala bentuk perbudakan. Tidak ada penghambaan kecuali hanya menhambakan diri kepada Allah SWT. Dalam konteks kehidupan sekarang, manusia harus dibebaskan paling tidak dari tiga bentuk cengkeraman yakni: kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.
Salah satu problematika nasional, khususnya problem umat islam saat ini, adalah mengenai pengurangan kemiskinan. Kemiskinan merupakan bentuk ketidak mampuan seseorang, satu keluarga, atau satu kelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya yang berupa kebutuhan pangan, atau kebutuhan pendidikan dasar dan menengah, atau kebutuhan kesehatan. Ketidak mampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar inilah yang biasa disebut dengan kemiskinan absolut.
Gerakan peduli fakir miskin diserukan oleh Nabi Muhammad Saw, sebagaimana disinggung dalam al-Qur’an. Tidak hanya memuat perintah untuk menyantuni fakir miskin, tetapi al-Qur’an juga merkonstruksi perilaku masyarakat Qurays. Tidak jarang al-Qur’an mengecam berbagai bentuk sikap mereka terkait dengan harta, anak yatim dan fakir miskin. Kecaman tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Peringatan kepada orang yang suka menghimpin harta, suka bermewah-mewah atau serakah (QS. Al-Takasur:1-2)
2. Mencintai harta secara berlebihan (QS. Al-Fajar:17-20)
3. Menghardik anak yatim, tidak member makan orang miskin (QS. Al-Fajar:17-20; al-Maun:1-6)
Dalam tafsir Bahr al-Ulum (t.th:juz.3,600)v disebutkan bahwa pengertian yukazzibu biddin adalah orang-orang kafir; “Wahai Muhammad, inilah orang-orang kafir”. Jadi, orang yang menghardik anak yatim adalah simbol dari orang kafir yang berkebalikan dengan orang-orang yang menghargai dan mengasihi anak yatim sebagai orang yang beriman. Ayat ini berbicara secara simbolis antara orang beriman dan orang kafir. Surat sebelumnya yakni QS. Al-Quraisy menegaskan, “Tuhanlah yang yang meberi makan dan minum kepada kamu hai manusia, baik yang kaya maupun yang miskin.” Lalu, pada surat sesudahnya, yakni surat al-Kautsar disebutkan, “Sesungguhnya, Tuhanlah yang memberi nikmat kepada kamu, berkorbanlah dengan harta yang kamu miliki.”
Terdapat riwayat yang menceritakan bahwa pembesar suku Quraisy setiap minggu menyembelih seekor unta. Namun, ketika anak yatim datang meminta sedikit daging unta yang disembelih itu, para pembesar Quraisy tidak member daging, bahkan mereka menghardik dan mengusir anak yatim tersebut. Realitas sosial inilah yang menghidupkan spirit al-Maun dan memperkenalkan ide setral tauhid dan kemanusiaan serta keadilan sosial ekonomi. Spirit al-Maun itulah yang menggerakkan Muhammad Saw, dalam melakukan transformasi sosio moral ekonomi masyarakat Arab (Rahman,2003:3).
Bahkan dalam al-Qur’an juga dieksplisitkan bahwa Allah memuji dan menyejajarkan ibadah shalat dengan menginfaqkan sebagian harta. Hal ini terekam dalam al-Qur’an surat al-Maarij ayat 19-25 yang menerangkan bahwa:
Artinya: “Sesungguhnya, manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan, ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, mereka itu tetap mengerjakan shalatnya. Dan orang-orang yang dalam hartanya trsedia bagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)” (QS. Al-Maarij:19-25)
Ayat tersebut mempertentangkan antara orang kikir, keluh kesah disatu sisi dan disisi lain orang shalat sekaligus dermawan, menyisihkan sebagian hartanya untuk kepentingan orang yang membutuhkan. Dua macam sifat yang bertentangan tersebut merupakan dua kutub yang saling berhadapan dan senatiasa hadir pada setiap komunitas sepanjang waktu.
Sikap dan perilaku memuliakan anak yatim dan sikap member makan orang miskin digambarkan sebagai suatu perbuatan yang amat susah bagi orang-orang Quraisy, sehingga ayat menyebutnya sebagai jalan yang mendaki. Apa yang dimaksud jalan mendaki (lihat QS. Al-Balad:11-16). Jalan ini cenderung dihindari oleh manusia yang justru dikecam oleh al-Qur’an. Jalan yang mendaki adalah membebaskan perbudakan, member bantuan kepada anak yatim dan orang miskin yang hidup dalam penderitaan dan kesengsaraan. Dalam keadaan situasi seperti tersebut, manusia cenderung rakus, cinta harta berlebihan, tidak lagi memiliki sikap kepedulian, suka menghardik, suka mencaci, membiarkan anak yatim dan orang fakir miskin terloantar. Dalam kondisi seperti itulah al-Qur’an surat al-Maun diturunkan.
Kemiskinan merupakan masalah kemanusiaan yang implikasi negatifnya melibatkan berbagai aspek; terkait masalah-masalah kamanan, pendidikan, politik dan kesehatan. Sebagian bentuk nyata dari problem kemiskinan adalah pengangguran, busung lapar, gizi kurang, kriminalitas, dan bunuh diri.
Berdasarkan pemahaman tentang al-Qur’an dan realitas social, Muhammadiyah menggiatkan urusan menyantuni orang miskin, fakir dan anak yatim dalam bentuk; mendirikan rumah miskin dan panti asuhan. Sebagai upaya konsistensi keberpihakan Muhammadiyah pada rakyat miskin, pada muktamar tahun 2000 dibentuklah Lembaga Buruh, Petani dan Nelayan, sedang pada muktamar 2005 di Malang upaya ini lebih disempurnakan lagi dengan pembentukan Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM).
C. Bentuk dan Model Gerakan Sosial Kemanusiaan Muhammadiyah,
Ahmad Dahlan menerjemahkan teks-teks al-Qur’an kedalam kegiatan praksis social, amaliah, atau tindakan. Inilah yang menjadi pembeda dengan tokoh-tokoh yang lain. Ia lebih menonjolkan aksi, bukan menonjolkan pemikiran, tetapi tidak berarti Muhammadiyah mengabaikan pemikiran keagamaan. Konsistensi di bidang gerakan social ini menjadi cirri khas, dan kemudian dikenal istilah metode tafsir sosial dalam Muhammadiyah.
Teologi al-Ma’un diterjemahkan kedalam tiga pilar kerja atau tiga bentuk pelayanan yakni; pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial. Tiga pilar tersebut secara praktis dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1. Pelayanan Pendidikan
Seperti disebutkan pada uraian terdahulu, doktrin Muhammadiyah adalah pencerahan dan doktrin amal salih. Konsekwensi dari doktrin ini adalah Muhammadiyah mencurahkan segala kemampuannya untuk mendirikan sekolah-sekolah, mulai dari Taman Kanak-Kanak atau Pendidikan Usia Dini sampai ke Perguruan Tinggi. Besarnya apresiasi sejarah terhadap organisasi Muhammadiyah tidak bias dilepaskan dari peranan Muhammadiyah dalam memajukan pendidikan di Indonesia. Tidak dapat dimungkiri bahwa salah satu factor yang mendorong KH. Ahmad Dahlan mendirikan cMuhammadiyah adalah keterbelakangan bangsa Indonesia dari segi pendidikan. Tentu vproblem tersebut sekaligus mrnjadi problem umat Islam (Hanzah,1985;120).
Dewasa ini, Muhammadiyah mengelola lembaga pendidikan sebanyak 1132 Sekolah Dasr, 1769 Madrasah Ibtidayah, 1184 Sekolah Menengah Pertama, 534 Madrasah Tsanawiyah, 511 Sekolah Menengah Atas, 263 Sekolah Menengah Kejuruan, 172 Madrasah Aliyah, 67 Pondok Posantren, 55 Akademi, 4 Politeknik, 70 Sekolah Tinggi, dan 36 Universitas yang tersebar di seluruh Indonesia (Profil Muhammadiyah, 2005). Namun sepuluh tahun kemudian, yakni pada tahun 2015, data tentang lembaga pendidikan yang dikelola Muhammadiyah sebagai berikut: TK/TPQ: 4.623, SD/MI: 2.604, SMP/MTs: 1.772, SMA/SMK/MA: 1.143, Pondok Posantren: 67, dan Perguruan Tinggi: 172 (Profil Muhammadiyah, 2015).
Data tersebut menunjukkan bahwa Muhammadiyah telah bekerja keras dalam melayani masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya dalam bidang pendidikan. Usaha kerja keras tersebut dimaknai sebagai ibadah yang nilainya tidak kalah mulia daripada ibadah mahdha.
2. Pelayanan Kesehatan
Tahun 1918 telah berdiri Penolong Kesengsaraan Umum (PKU) yang pada tahun 1921 menjadi bagian khusus dalam Muhammadiyah. Pada tahun 1926, berdirilah klinik di Surabaya, malang dan Surakarta atau Solo, selain klinik yang ada di Jokyakarta. Sekarang ini masalah pelayanan kesehatan diurus oleh suatu majelis yang diberi nama Majelis Pembinaan kesehatan Umum. Dalam mewujudkan visi muhammadiyah tahun 2025, salah satu usahanya adalah meningkatkan kualitas kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Sekarang, Muhammadiyah mengelola Rumah Sakit, Rumah Bersalin, BKIA, BP dan lain sebagainya yang secara keseluruhan telah berjumlah 457 buah (lihat profil Muhammadiyah, 2015). Semangat warga Muhammadiyah mendirikan amal usaha dalam bidang kesehatan semakin tumbuh. Hal ini mungkin disebabkan oleh banyaknya putra-putri Muhammadiyah yang kuliah di Fakultas Kedokteran (Syamsuddin, 2014:63)
3. Pelayanan Sosial
Dalam mewujudkan visi Muhammadiyah tahun 2025, usaha lainnya adalah memajukan perekonomian dan kewirausahaan kea rah perbaikan hidup yang berkualitas. Selain masalah pendidikan yang menjadi alas an utama KH. Ahmad Dahlan mendirikan muhammadiyah, masalah ekonomi umat juga menjadi factor dominan pendorong lahirnya persyarikatan muhammadiyah. Jika usaha pendidikan berusaha untuk mengubah situasi umat yang bodoh menjadi umat yang cerdas, maka bidang ekonomi digarap dalam rangka mengubah keadaan masyarakat yang miskin menjadi masyarakat yanga kaya atau paling tidak menjadi masyarakat yang berkecukupan.
Amal usaha dalam bidang kesejahteraan/kesehatan meliputi pembinaan anak yatim dan anak fakir miskin, pembinaan daerah kumuh, daerah tertinggal, anak jalanan, pekerja anak, rumah sakit, rumah bersalin, balai kesehatan masyarakat (Keputusan muktamar Muhammadiyah 43:162), Pemberdayaan masyarakat, pendampingan usaha masyarakat tani dan nelayan.
Sampai tahun 2015, vamal usaha Muhammadiyah dalam bidang social meliputi: Panti Asuhan, santunan, asuhan keluarga dan lain sebagainya sebanyak318, panti jompo: 54, rehabilitasi cacat: 82, SLB: 71, Mesjid: 6.118. Majelis-majelis yang terkait dengan urusan social adalah: Majelis Pelayanan Sosial, Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan, Majelis Pemberdayaan masyarakat. Lembaga-lembaga yang terkait adalah: Lembaga Penanganan Bencana dan Lembaga Zakat Infak dan Sedekah.
Muhammadiyah melalui MPM melaksanakan program pemberdayaan petani, pendapingan kelompok-kelompok usaha micro, dan pemberdayaan masyarakat miskin, yang dilakukan dalam berbagai usaha dan bentuk kegiatan, antara lain:
1. Pemberdayaan petani, yaitu pembinaan tata cara tanam yang menggunakan pupuk organic, pelatihan dan penyediaan fasilitator pemberdayaan serta penyadaran fungsi penting pupuk organic, dan lain-lain.
2. Pemberdayaan kelompok usaha mikro: MPM melakukan pendampingan terhadap kelompok usaha mikro, misalnya; kelompok perempuan petani kakao, kelompok petani di Tasikmalaya dan kelompok industry rumah tangga dan lain-lain.
3. Pemberdayaan kelompok miskin kota: MPM membuat pilot proyek pemberdayaan pengemudi becak, dan lain-lain.
Dalam gerakan peduli pada anak yatim, Muhammadiyah aktif mendirikan panti asuhan di berbagai daerah dan mervitalisasi panti asuhan dan lembaga-lembaga lainnya guna meningkatkan pelayanan dan kepedulian pada anak yatim. Kelahiran panti asuhan adalah buah pengamalan atas pemahaman KH. Ahmad Dahlan mengenai pentingnya memperhatikan dan mrnyantuni anak-anak yatim serta fakir miskin dan anak-anak terlantar, sebagaimana terkandung dalam al-Qur’ansurat al-Ma’un tersebut (Febriansyah, dkk.,2013:54-56-144).
D. Revitalisasi Gerakan Sosial
1. Revitalisasi Pendidikan
Indonesia adalah Negara yang mayoritas penduduknya muslim. Jauh sebelaum Islam dating, pemduduk Indonesia mayoritas beragama Hindu, disamping agama-agama local yang tumbuh. Setelah Islam datang, penduduk berubah menjadi mayoritas muslim terbesar di dunia. Faktor yang menjadi pendorong transformasi agama adalah factor strategi dakwah yang mampu memikat hati dan menawarkan jalan hidup yang memberi harapan lebih baik bagi masyarakat di kepulauan nusantara ini. Kini, misi gerakan Islam sesungguhnya masih menghadapi tantangan besar, yakni bagaimana membebaskan, memberdayakan, dan memajukan umat Islam maupun masyarakat Indonesia dari berbagai ketertinggalan menuju kehidupan berkemajuan di segala bidang.
Tantangan gerakan Islam menjadi lebih berat ketika mereka behadapan dengan misi gerakan agama lain yang lebih progresif dan sistimatis. Gerakan Islam diharapkan mampu menjadi alternatif. Kerenanya, perlu meninjau ulang dan memperbaharui pesan, pendekatan, strategi dan langka-langka gerakan Islam agar selain dapat merawat jumlah pemeluk umat secara kuatitas, sekaligus mampu menjadi pemeluk Islam sebagai umat terbaik (Nashir: 2010).
Muhammadiyah memandang bahwa untuk membangun Indonesia yang berkemajuan, diperlukan dukungan manusia yang cerdas dan berkarakter. Ikhtiar untuk membangun pendidikan yang mencerahkan menjadi pilihan utama. Haedar Nashir (2010) mengatakan bahwa ikhtiar membangun Indonesia berkemajuan menuntut pengembangan pendidikan yang mencerdaskan. Kutipan lengkap dari pemikiran Nashir tersebut di bawah:
“Indonesia berkemajuan meniscayakan dukungan sumber daya manusia yang cerdas dan berkarakter utama. Manusia yang cerdas adalah manusia Indonesia seutuhnya yang memiliki kekuatan akal budi, moral dan ilmu pengetahuan yang unggul untuk memahami realitas persoalan serta mampu membangun kehidupan kebangsaan yang bermakna bagi terwujudnya cita-cita nasional. Manusia Indonesia yang cerdas memiliki fondasi iman dan takwa yang kokoh, kekuatan intelektual yang berkualitas, kepribadian yang utama, dan menjadi pelaku kehidupan kebangsaan yang positif sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Sumber daya manusia Indonesia yang cerdas dan berkarakter utama hanya dapat dihasilkan oleh sistim pendidikan yang “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945. Pendidikan tersebut dalam prosesnya tidak hanya menekankan pada kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, tetapi sekaligus sebagai proses aktualisasi diri yang mendorong peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan tinggi dan berkeadaban mulia. Karenanya, pendidikan nasional yang selama ini berlaku harus direkonstruksi menjadi sistim pendidikan yang mencerahkan”.
Berikut ini penulis kemukakan uraikan tentang revitalisasi pendidikan Muhammadiyah yang meliputi: Filsafat pendidikan muhammadiyah, Visi dan Misi Muhammadiyah, dan konsep pendidikan Muhammadiyah.. Uraian tersebut dipaparkan sebagaimana berikut:
a. Rumusan filsafat pendidikan muhammadiyah
Pendidikan Muhammadiyah adalah penyiapan lingkungan yang memungkinkan seseorang tumbuh sebagai manusia yang menyadari kehadiran Allah SWT sebagai Robb yang menguasai dan memiliki ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (ipteks). Dengan kesadaran spiritual (iman) dan penguasaan ipteks seseorang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri, peduli terhadap sesame, menebarluaskan kemkmuran, mencegah kemunkaran, ramah lingkungan, beradab, mewujudkan kesejahteraan dalam kerangka ibadah kepada Allah SWT (Nshir, 2010: 63)
Pendidikan Muhammadiyah merupakan pendidikan islam modern yang mengintegrasikan agama dengan kehidupan social, iman dengan kemajuan yang holistik. Dari pendidikan Islam, diharapkan lahir generasi muda Islam yang kuat iman dan kepribadiannya, sekaligus mampu menghadapi dan menjawab tantangan zaman. Inilah pendidikan Islam yang berkemajuan (Nshir, 2010: 63)
Ayat kauniyah dan ayat qauliah merupakan kesatuan integral yang terus dikembangkan melalui penelitian dan pengembangan berorientasi pada kemuliaan, kemanusiaan dan dalam alam kehidupan yang lestari. Pengusaan ipteks adalah langkah awal dari tumbuhnya kesadaran makrifat, sehingga pemikiran rasional adalah awal dari kesadaran spiritual makrifat ketuhanan. Pengabdian ibadah kepada Allah meliputi ibadah yang terangkum dalam rukun Islam, penelitian dan pengembangan ipteks, penataan lingkungan hidup, pembebasan setiap orang dari penderitaan akibat kebodohan dan kemiskinan (Nashir, 2010: 64)
b. Visi dan Misi Pendidikan Muhammadiyah
Visi pendidikan Muhammadiyah adalah terbentuknya manusia pembelajar yang bertaqwa, berakhlak mulia, berkemajuan dan unggul dalam ipteks sebagai perwujudan tajdid dakwah amar ma’ruf nahi munkar.
Misi dari pendidikan Muhammadiyah mencakup:
· Mendidik manusia memiliki kesadaran ketuhanan (spiritual makrifat).
· Membentuk manusia berkemajuan yang memiliki etos tajdid, berpikir cerdas, alternative dan berwawasan luas.
· Mengembangkan potensi manusia, berjiwa mandiri, beretos kerja keras, wira usaha, kompetitif dan jujur.
· Membina peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki kecakapan hidup dan keterampilan sosial, teknologi, informasi dan komunikasi.
· Membimbing peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki jiwa, kemampuan menciptakan dan mengapresiasi karya seni budaya.
· Membentuk kader persyarikatan, umat dan bangsa yang ikhlas, peka, peduli dan bertanggung jawab terhadap kemanusiaan dan lingkungan (Nashir, 2010; 64).
c. Konsep Pendidikan Muhammaduyah
1. Nilai-nilai dasar Pendidikan Muhammadiyah
Amal usaha Muhammadiyah dalam bidang pendidikan merupaka wilayah yang sangat strategis dalam rangka mewujudkan kemajuan umat dan bangsa. Lembaga pendidikan yang dikelola oleh Muhammadiyah sudah bertahan lebih dari 100 tahun. Fakta ini menjadi argument bahwa Muhammadiyah telah memberikan kontribusi yang tidak bisa dihitung nilainya pada perkembangan bangsa Indonesia. Amal usaha ini pula yang menjadi pembeda antara Muhammadiyah dengan organisasi lainnya. Hampir setiap daerah atau kabupaten berdiri bangunan sekolah Muhammadiyah.
Pendidikan muhammadiyah didasarkan pada lima nilai dasar yakni: pertama, pendidikan Muhammadiyah dilaksanakan berdasrkan nilai al-Qur’an dan Sunnah. Nilai dasar dikembangkan berdasarkan nilai kebenaran, nilai pencerahan, dan nilai budi pekerti yang baik (Nshir, 2010: 65). Hal ini secara eksplisit telah terekam dalam al-Qur’an surat al-Furqan ayat 44 bahwa:
Artinya: “Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami, mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)” (Al-Furqan: 44)
Berdasarkan telaah terhadap ayat tersebut, KH. Ahmad Dahlan mengeluarkan fatwah bahwa “Manusia tidak menuruti, atau tidak memperdulikan sesuatu yang sudah terang benar bagi dirinya. Maksudnya, dirinya sendiri. Pikirannya sendiri, sudah dapat mengatakan itu benar tetapi ia tidak mau menuruti kebenaran itu karena takut mendapatkan kesukaran, takut berat dan takut bermacam-macam yang dikhawatirkan. Nafsu dan hatinya sudah terlanjur rusak berpenyakitan akhlak (budi pekerti), hanyut dan tertarik pada kebiasaan buruk (Hajid, 2005: 24-25). Kedua, nilai ikhlas. Ikhlas menjadi dasar dalam mencari ridha Allah SWT. Ikhlas menjadi inspirasi dalam ikhtiar mendirikan dan menjalankan amal usaha di bidang pendidikan. Ketiga, nilai kerja sama (musyawarah) dengan tetap menjaga sikap kritis baik pada masa Hindia Belanda, Dai Nippon (Jepang), orde baru hingga paska orde baru. Keempat, Nilai tajdid, yakni selalu memelihara dan menghidup-hidupkan perinsip pembaruan (tajdid) inovasi dalam menjalankan amal usaha di bidang pendidikan, dan yang Kelima, memelihara kultur memihak kepada kaum zuafa dan mustadhafin dnegan melakukan proses-proses kreatif susuai dengan tantangan dan perkembangan yang terjadi pada masyarakat Indonesia. (Nashir, 2010: 66).
Kehadiran Muhammadiyah sebagai gerkan Islam yang mengemban misi dakwah dan tajdid selama perjalanan satu abad lebih, sungguh dituntut untuk meberi sibghah sekaligus mengubah jalan kehidupan umat dan bangsa kea rah yang lebih berkemajuan. Di sinilah pentingnya gerakan pencerahan yang menyinari penduduk negeri, sehingga Indonesia menjadi Negara dan bangsa yang berkemajuan. Islam sesungguhnya agama yang mencerahkan kehidupan umat manusia (din at-tanwir). Kehadiran Islam mebawa misi penting untuk mengeluarkan umat manusia dari segala bentuk kegelapan (kejahiliyahan) menuju pada keadaan terang benderang. Takhrij min al-dhulumat ila an-nur (QS, al-Baqarah: 257). Pesan-pesan Islam perintah iqra (QS. Al-‘Alaq: 1-5), al-Qur’an sebagai hidayah, bayan, furqan (QS. Al-Baqarah: 189), agar setiap umat mengubah nasib dirinya dan memperhatikan masa depan (QS. Ar-Ra’du: 11, al-Hasyr: 18), membebaskan kaum zu’afa dan mustadh’fin (QS. Al-Ma’um: 1-7, al-Balad: 11-16), mejadi khalifah di muka bumi untuk membangun dan tidak untuk merusak (QS. Al-Baqrah: 30, HUd: 61, al-Baqarah: 11), menunjukkan pesan inspiratif Allah bahwaajaran Islam menawarkan pencerahan bagi umat manusia semesta.
2. Aspek-aspek pendidikan Muhammadiyah
1. Aspek pembelajar
Pendidikan muhammadiyah memberikan peluang untuk mengembangkan akal sehat pserta didik, pada saat yang sama juga mendorong untuk menumbuhkan hati yang suci dalam diri peserta didik, serta mendorong tumbuhnya soft skill (IQ, EQ, dan SQ). Terkait dengan masalah itu KH. Ahmad Dahlan berpesan, akal manusia sesungguhnya suatu ketika akan menhadapi bahaya dan jika manusia menghadapi hal yang demikian, ia telah memiliki perangkat untuk menghadapinya, yaitu hati yang suci. Oleh karena itu, orang yang mempunyai akal harus menjaga bahaya akal yang merusak kesucian hati (Nashir, 2010: 67)
2. Aspek pembelajaran
Pendidikan yang menghidupkan dan membebaskan memerlukan integrasi kritis antara legitimasi normative (al-Qur’an dan Sunnah) dan realitas social. Pendidikan Muhammadiyah terkait dengan nilai-nilai dasar Persyarikatan. Pendidikan muhammadiyah harus menjamin terciptanya lulusan yang cerdas sekaligus berposisi sebagai kader organisasi demi kelangsungan Muhammadiyah itu sendiri.
Penyelenggaraan pendidikan muhammadiyah perlu meperhatikan nilai manfaat sebagai upaya pemenuhan prinsip-prinsip sosio-kemanusiaan sehingga outputnya memiliki konstribusi nyata bagi masyarakat, bangsa dan Negara. Pendidikan muhammadiyah harus memperhatikan dimensi social sehingga bermanfaat bagi kemanusiaan, harus memperhatikan demensi ideology sehingga menjamin pencerahan peradaban sekaligus menjadi sarana terciptanya kader yang mampu membaca tanda-tanda zaman (Nshir, 2010: 69)
3. Aspek pendidik
Pendidik dalam pendidian muhammadiyah terkait dengan kompetensi akademik, kompetensi pedagogik, kompetensi atau komitmen ideology persyarikatan, kompetensi social dan kompetensi kepribadian. Pendidik yang mengabdi pada lembaga pendidikan muhammadiyah memiliki kompetensi dasar sebagai pendidik yang didukung oleh komitmennya pada persyarikatan Muhammadiyah, nilai-nilai dan pemahaman keislamam sebagaimana yang dipahami oleh Muhammadiyah.
Kemampuan komparatif yang dimiliki oleh pendidik akan menentukan arah perubahan peradaban. Pendidik harus memiliki pengetahuan dasar mengenai pendidikan akhlak sebagai dasar untuk menanamkan karakter pembelajar yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan pendidik individu yang utuh dan pendidikan kemasyarakatan yang bertujuan untuk menjamin kemajuan hidup bermasyarakat (Nashir, 2010: 70).
Dalam pandangan KH. Ahmad Dahlan, pendidikan yang utuh adalah pendidikan yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan jasmani, antara keyakinan dan intelek. Antara perasaan dan akal pikiran, serta antara dunia dan akherat (Hadikusumo, 1980: 5)
4. Aspek persyarikatan
Pendidikan muhammadiyah yang menghidupkan dan membebaskan dikaitkan dengan persyarikatan adalah model pendidikan yang mapu mejadi media dan instrument bagi eksistensi dan pengembangan kegiatan sosial kemanusiaan persyarikatan Muhammadiyah. Lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah sebagai instrument persyarikatan bersinergi untuk mencapai tujuan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Lembaga pendidikan perlu mengembangkan misi persyarikatan dengan konsisten agar lembaga pendidikan benar-benar menjadi alat persyarikatan untuk mencapai tujuannya. Ahmad Dahlan pernah berpesan, “Muhammadiyah sekarang ini lain dengan Muhammadiyah yang akan dating. Maka teruslah kamu bersekolah menuntut ilmu pengetahuan dimana saja. Jadilah guru, kembalilah ke Muhammadiyah, jadilah dokter, kembalilah ke Muhammadiyah, jadilah insinyur dan kembalilah ke Muhammadiyah (Salam, 2009: 135)
5. Aspek Manajerial
Aspek manajerial yang dipakai dalam lingkungan persyarikatan Muhammadiyah disesuaikan dengan prinsip-prinsip Islam disamping mengadopsi prinsip manajemen modern. Penerapan manajemen modern seperti standarisasi, profesionalisme, impersonal, reward and punishment di satu sisi memberikan dasar yang kuat, bagi eksistensi lembaga pendidikan Muhammadiyah. Tetapi pada sisi lain, jika diterpkan secara kaku, manajemen modern akan merugikan persyarikatan muhammadiyah. Dalam soal rekrutmen, misalnya, manajemen modern bisa jadi mengesampingkan aspek pertimbangan ideologo persayrikata Muhammadiyah. Implementasi manajemen modern dalam pengelolaan institusi pendidikan di lingkungan Muhammadiyah harus dapat dikembalikan pada prinsip-prinsip dasar yang telah disepakati oleh persyarikatan muhammadiyah.
6. Aspek kurikulum
Strategi pengembangan kurikulum berdasakan pada orientasi kebutuhan, Dimensi akademik dan keorganisasian menjadi factor krusial dan inti dalam penentuan muatan kurikulum. Pendekata backward curriculum harus dikedepankan agar prinsip religious ideologis dan humanities dapat dipenuhi dalam kurikulum yang diterpkan dalam penyelenggaraan pendidikan Muhammadiyah.
Muatan kurikulum dirancang berdasrkan pertimbangan kebutuhan dasar keilmuan, ildeologi persayrikatan, dan pasar atau yang dibutuhkan masyarakat. Kurikulum Muhammadiyah harus menganut prinsip desentralisasi yang mampu memberdayakan pendidik untuk mendinamisasikan isi kurikulum secara maksimal. Pencapaian kurikulum pendidikan Muhammadiyah harus berorientasi pada kompetensi dan berkelanjutan. Dalam pengelolaan lembaga pendidikan, Muhammadiyah tetap memperhatikan kepentingan organisasi, bukan semata-mata memperhatikan stakeholders. Keberadaan institusi pendidikan sebagai amal usaha ditempatkan sebagai instrument dan wahana beramal sehingga pendidikan tidak diarahkan semata pada pencapaian kompetensi, tetapi juga dalam kerangka pengkaderan persyarikatan.
7. Aspek kemasyarakatan.
Pendidikan muhammadiyah yang menghidupkan, mencerdaskan dan membebaskan dalam pengelolaannya harus memihak kepada orang-orang lemah, orang-orang yang sengsara. Pendidikan yang dikelola oleh Muhammadiyah harus mampu mengentaskan orang miskin (Nashir, 2010: 73). Pembaruan dan pengembangan amal usaha pendidikan Muhammadiyah harus dimotivasi kembali dengan semangat teologi al-Ma’un agar tidak sekedar menjadi lembaga pelayanan social yang bersifat rutin, tetapi menjadi institusi pembebasan dan pemberdayaan terutama masyarakat dua’fa (lemah, miskin) dan mustad’afin (termarginal, tersingkir, tertindas) (Nashir, 2010:421-422).
2. Revitalisasi kader Muhammadiyah
Revitalisasi kader merupakan langkah penataan, pembinaan, peningkatan dan pengembangan anggota inti persyarikatan yang dapat melaksanakan misi, usaha dan pencapaian tujuan Muhammadiyah. Tujuan revitalisasi ialah berkembangnya jumlah kualitas kader Muhammadiyah yang berperan aktif dalam persyarikatan, umat, bangsa dan kemanusiaan universal sebagai perwujudan pelaku dakwah dan tajdid. Dengan revitalisasi kader, diharapkan agar rekruitmen dan pengembangan kader benar-benar menjadi komitmen organisasi secara menyeluruh, konsisten dan didukung bebagai sumber dana, jaringan, dan dukungan optimal.
Kompetensi yang secara normative penting untuk diwujudkan dalam revitalisasi kader muhammadiyah, antara lain: a) Kompetensi keberagamaan, dicirikan dengan nilai-nilai: kemurnian aqidah, ketaatan beribadah, keikhlasan, shidiq, amanah (komitmen) danberjiwa gerakan. b) Kompetensi akademik dan intelektual dicirikan dengan nilai-nilai: fathonah (kecerdasan), tajdid, istiqamah, etos belajar, dan moderat. c) Kompetensi social kemanusiaan dan kepeloporan dicirikan dengan nilai-nilai: kesalihan, kepedulian social, suka beramal, keteladanan, tabligh, inovatif, dan berpikiran maju. Dan yang terakhir d) Kompetensi keorganisasian dan kepemimpinan dicirikan oleh: penghidmatan dan partisipasi aktif dalam peran keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan yang universal; menempati posisi apapun dengan semangat ikhlas, berdedikasi, berprestasi, dan menghasilkan hal-hal terbaik; menjadi bagian yang menyatu dengan denyut nadi kehidupan persyarikatan, umat dan bangsa sebagai wujud menjalankan misi organisasi; berkomitmen dan menjunjung tinggi ideologi Muhammadiyah dan mampu bersikap tegas, tetapi arif dalam membela serta menegakkan perinsip dan kepentingan persyarikatan; dan mengutamakan misi dan kepentingan muhammadiyah di atas lainnya dengan niat ikhlas dan berhidmat.
Sumber :
AIK III : Kemuhammadiyahan
(Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah) Tahun 2016.
0 Comments:
Posting Komentar
Silahkan di tanyakan