PEMURNIAN DAN PEMBARUAN DI DUNIA MUSLIM.
Gerakan pembaruan merupakan gerakan pemurnian yang dilakukan sang pembaru dengan mengusung perlunya tafsir Islam murni untuk kepentingan zamannya. Frame yang digunakan al-ruju ila al-Qur’an wa al-sunnah yang pada perkembangannya menjadi landasan normative di kalangan Islam modernis. Pada ranah ini, entitas yang dinilai memiliki rekondisi adalah tafsir-tafsir teks normative al-Qur’an dan al-Hadits sebagai produk akal yang berpotensi memiliki rentang ketidaksesuaian dengan arus perubahan zaman. Di sini pulalah gerakan pemurnian keagamaan menjadi keniscayaan untuk diketengahkan pada diskursus keagamaan maupun di dalam gerakan keagamaan. Dengan gerkan tersebut, agama tidak hanya bernuansa mistik dan “melangit”, tetapi lebih membuka cakrawala pembaruan dari “Islam a-ilahiah” menjadi “Islam ilahiah”.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk menakar pola gerakan pembaruan yang secara deskriptif mulai dari batasan pemurnian dan pembaruan sampai pada tokoh-tokoh yang identik dengan pemikiran dan gerakan tersebut. Melalui tulisan ini, dapat dipetakan varian-varian diferensiasi antara gerakan pembaruan dan pemurnian.
Pengertian Pemurnian dan Pembaruan
Ahmad (1979: 306) menjelaskanbahwa pembaruan atau pemurnian dalam bahasa Arab “jadduu” yang secara etimologi berakar pada kata jadiid yang menunjukkan tiga arti yaitu: keagungan, bahagian, dan pegangan. Kata ini kemudian berubah menjadi (jadid) yang berarti “memperbarui” sebagai lawan dari using. Kata “baru” dalam konteks bahasa ini, menghimpun tiga pengertian yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, antara lain: 1). Barang yang diperbarui pada mulanya pernah ada dan pernah dialami orang lain; 2). Barang itu dilanda zaman sehingga menjadi usang dan ketinggalan zaman; dan 3). Barang itu kembali diaktualkan dalam bentuk kreasi baru (Ka’bah. 1987: 50).
Nasution (1992: 11) mengatakan bahwa pembaruan dalam bahasa Indonesia dipakai (disepadankan) dengan kata modern, modernisasi dan modernism. Medernisasi dalam masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Kata “modernism”, lanjut Harun Nasution, dianggap mengandung dua arti, yaitu: dalam arti negatif dan arti positif. Untuk menjauhi arti negatif tersebut, lebih baik kiranya dipakai terjemahan Indonesianya yaitu pembaruan. Lebih lanjut, Harun Nasution menjelaskan modernisme dalam kehidupan keagamaan di Barat mempunyai tujuan untuk menyesuaikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama Katolik dan Protestan dengan ilmu pengetahuan dan filasafat modern. Aliran inilah yang pada perkembangannya melahirkan sekularisme di masyarakat Barat.
Salimi, dkk (1998: 1) berpendapat bahwa pembaruan itu identik dengan istilah “modernisasi” atau “Tajdid”. Tajdid dalam pengertian etimologis (harfiah) berarti pembaruan, sedangkan dalam pengertian istilah (terminologis) tajdid berarti pembaruan dalam hidup keagamaan, baik berbentuk pemikiran maupun gerakan, sebagai reaksi atau tanggapan terhadap tantangan-tantangan internal maupun eksternal yang menyangkut keyakinan dan urusan social umat.
Dalam kaitan dengan pembaruan Islam, tajdid memiliki dua pengertian, yaitu: pertama, tajdid dalam bidang akidah dan ibadah mahdhah. Dalam bidang ini, tajdid diartikan “pemurnian” dengan jalan kembali pada pedoman mutlak yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasul (bersih dari bid’ah, syirik, khurafat dan takhyul). Kedua, tajdid dalam mu’amalah duniawiyah. Dalam hal ini, tajdid diartikan memperbaharui interpretasi (merumuskan kembali) ajaran Islam sehinggal Islam tidak terkesan ketinggalan zaman. Dalam ungkapan lain, tajdid berarti modernisasi (interpretasi baru) terhadap ajaran Islam (Pasha dan Durban, 2005: 162).
Iklan
Laporkan iklan ini
Harun Nasution mendifinisikan pembaruan Islam sebagai upaya-upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dengan demikian menurutnya, pembaruan dalam Islam bukan berarti mengubah, mengurangi atau menambah teks al-Qur’an maupun teks al-Hadits, melainkan hanya mengubah atau menyesuaikan paham atas keduanya sesuai dengan perkembangan zaman (Nasution, 1992: 10).
Hal itu dilakukan karena betapapun hebatnya paham-paham yang dihasilkan para ulama atau pakar di zaman lampau itu, tetap ada kekurangannya dan selalu dipengaruhi oleh kecenderungan, pengetahuan, situasi sosial, dan lain sebagainya. Paham-paham tersebut di masa sekarang mungkin masih banyak yang relevan dan masih dapat digunakan, tetapi mungkin juga sudah banyak yang tidak sesuai lagi. Selain itu, pembaruan dalam Islam dapat pula berarti mengubah keadaan umat agar mengikuti ajaran yang terdapat di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Hal ini perlu dilakukan, karena terjadi kesenjangan antara yang dikehendaki al-Qur’an dan kenyataan yang terjadi di masyarakat (Nata. 2004: 379).
Nasution (1992: 75) dalam Pembaruan dalam Islam telah banyak mengemukakan ide-ide pembaruan dalam Islam dengan maksud seperti yang diungkapkan di atas. Muhammad Abduh, salah seorang pembaru di Mesir, sebagaimana dikemukakan Harun Nasution, misalnya, mengemukakan ide-ide pembaruan antara lain dengan cara menghilangkan bid’ah yang terdapat dalam ajaran Islam, kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, dibuka kembali pintu ijtihad, menghargai pendapat akal, dan menghilangkan sikap dualisme dalam bidang pendidikan. Sementara itu, Sayyid Ahmad Khan, salah seorang tokoh pembaru dari India, berpendapat bahwa untuk mencapai kemajuan perlu meninggalkan paham teologi jabariah (fatalisme) diganti dengan paham qadariah (free will dan free act) perlu percaya bahwa hukum alam dengan wahyu yang ada dalam al-Qur’an yang tidak bertentangan, karena kedua-duanya berasal dari Tuhan, dan perlu dihilangkan paham taklid diganti dengan paham ijtihad (Nasution.1992: 172).
- Kemajuan dan Kemunduran Peradaban Islam dalam Berbagai Bidang
Sekitar abad ke 7 sampai dengan abad ke 10 M, Islam berkembang dengan pesat meliputi wilayah-wilayah yang sangat luas dengan penguasaan ilmu pengetahuan, peradaban dan kebudayaan yang sangat maju dan tinggi, yang berdimensi rahmatan lil ‘alamin. Kejayaan Islam ini merupakan hasil perjuangan yang tidak mengenal lelah, baik yang dirintis dan dipelopori oleh Nabi Muhammad beserta para sahabatnya, dan diteruskan pada zaman al-khulafa’ur al-rasyidin.
Secara pengklasifikasian periode, kemajuan peradaban Islam sejak era awal dapat dilihat sebagai berikut:
Dinasti Umaiyah (661 – 750)
Berdirinya Perguruan Tinggi seperti Universitas Iskandariyah dan Universitas Naisabur.
Munculnya tokoh-tokoh Mujtahid besar dibidang fiqh seperti Imam Abu Hanifah
Dinasti Abbasiyah (750 – 1258)
Terhimpunnya para cendekiawan dalam satu forum “Darul Hikmah”.
Lahirnya tokoh-tokoh Cendekiawan Muslim antara lain: al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Abu Ali al-Hasan, Ibnu Daud, al-Khawarisma.
Dinasti Umaiyah di Spanyol (757 – 1492)
Pengembangan ilmu pengetahuan, peradaban dan kebudayaan seperti berdirinya Istanan al-Hambra, Mesjid Cordoba dan lain sebagainya.
Dinasti Fatimiyah (929 – 1171)
Berdirinya perpustakaan.
Akan tetapi, kejayaan dunia Islam yang telah berjalan beberapa abad lamanya, yang pengaruhnya telah merebak dan merambah jauh ke berbagai belahan dunia non muslim, pada akhirnya juga mengalami kemunduran. Berbagai macam krisis yang sangat kompleks telah menerpa dunia Islam, diantarnya adalah:
Krisis dalam bidang Sosial Politik
Islam tidak dapat disalahkan dan dianggap bertanggung jawab atas stagnasi yang telah lama berlangsung dan dekadensi nyata dalam dunia Islam. Keburukan-keburukan yang ada sekarang harus dinisbatkan kepada orang-orang Islam sendiri yang tidak dapat hidup menurut ajaran Islam. Jika mereka kehilangan kemakmuran material yang mereka miliki dahulu, hal itu adalah karena mereka tidak mengindahkan “separuh hukum Tuhan”. Untuk menghilangkan cadar yang menutupi dunia Islam, perlu ditegaskan bahwa wahyu al-Qur’an itu bersifat rasional secara sempurna dan ajaran nabi Muhammad mengandung kemungkinan-kemungkinan yang tak terhingga. Ketika umat Islam hidup menurut ajaran agama yang mendorong untuk berpikir dan memiliki akal yang kritis, Islam tampak sebagai obor kemajuan (Pasha dan Darban. 2005: 14-15)
Krisis dalam bidang Keagamaan
Krisis ini berpangkal dari suatu pendirian sementara ulama jumud yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurut pandangan ini, untuk menghadapi berbagai permasalahan, kehidupan umat Islam cukup mengikuti pendapat dari para Imam Mazhab. Pandangan jumud ini mengakibatkan lahirnya sikap memutlakkan semua pendapat imam-imam mujtahid, seperti memutlakkan pendapat Imam Malik, Imam Abuhanifah, Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin Hanbal dan imam-imam mujtahid lainnya. Pada hal, pada hakekatnya imam-imam tersebut masih tetap manusia biasa, bukan manusia maksum yang tidak akan lepas dari kesalahan. Pengakuan dari para imam mujtahid bahwa pendapatnya tidak lepas dari kemungkinan salah serta melarangnya untuk dipeganginya secara mutlak dapat disimak dari fatwa mereka. Dari zaman keruntuhan dunia Islam, dunia pendidikan pun terkena getahnya juga. Kemorosotan dunia pendidikan Islam antara lain ditandai dengan sepinya kegiatan-kegiatan ilmiah yang meransang peserta didik untuk melakukan penelitian dan percobaan (Pasha dan Darban. 2005: 14-26).
Krisis dalam bidang Pendidikan dan ilmu pengetahuan
Krisis ketiga ini sesungguhnya hanya sekedar akibat dari adanya krisis dalam bidang social politik dan bidang keagamaan. Sebagaimana telah dibahas di muka bahwa dengan jatuhnya pusat-pusat kekuasaan Islam, baik di belahan Barat yang berpusat di Cordova maupun di belahan Timur yang berpusat di Bagdad, ternyata penderitaan yang dialami dunia ilmu pengetahuan adalah sama. Baik Nasrani Spanyol maupun tentara Mongol, mereka sama-sama berperangai Barbar dan sama sekali belum dapat menghargai betapa tingginya nilai ilmu pengetahuan. Pusat-pusat ilmu pengetahuan diporak-porandakan dan dibakar sampai habis berkalang tanah.
- Tokoh-Tokoh Pembaru dalam Dunia Islam
- Ibnu Taimiyyah
Riwayat hidup Ibnu Taimiyyah
Ibnu Taimiyyah nama lengkapnya Taqiyuddin Abdul Abbas bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Taimiyyah al-Harrani al-Hanbaly atau sering disingkat Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah. Ia lahir pada tanggal 10 Rabi’ul Awal 661 H, bertepatan dengan tanggal 22 Januari 1263 M. di kota Al-Harran Siria. Ibnu Taimiyyah pertama kali belajar ilmu agama kepada ayahnya sendiri Syihabuddin yang terkenal alim dalam Ilmu Hadits dan Khatib terkenal di Mesjid Damaskus, Siria. Kemudian dilanjurkan belajar kepada beberapa ulama terkenal seperti Zainuddun al-Muqaddasyi, Najamuddin Ibnu Syakir, Zainab binti Makky dan ulama lain di kota Damaskus, yang dapat dikatakan hampir semuanya termasuk Ulama mazhab Hambali. Dalam usianya yang relative masih sangat belia sekitar umur 21 tahun, Ibnu Taimiyyah telah tumbuh dan berkembang sebagai seorang yang alim, cerdas, mempunyai wawasan dan pengetahuan yang mendalam tentang agama Islam (Pasha dan Darban. 2005: 29). Ibnu Taimiyyah wafat pada tanggal 20 Zulhijjah 728 H. bertepatan dengan tanggal 26 September 1328 M. (Pasha dan Darban. 2005: 31).
Pokok-pokok ajaran Ibnu Taimiyyah
Di antara tema-tema pokok yang dibahasnya secara serius, terlihat secara jelas bahwa di bidang aqidah ternyata merupakan bidang pembahasan yang paling menonjol dan dominan. Sebenarnya ajaran Ibnu Taimiyyah yang paling pokok adalah dalam rangka menyucikan iktikad (aqidah-keyakinan) umat Islam agar betul-betul seujung rambutpun tidak berubah dan tidak menyimpang dari ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasul (Pasha dan Darban 2005: 32).
Ibnu Taimiyyah adalah tokoh mujahid, reformer atau pembaru dalam Islam yang pertama-tama di dunia Islam yang dengan penuh semangat menyatakan bahwa pintu ijtihad terbuka. Ijtihad dalam ajaran agama Islam memegang peranan yang sangat besar, karena hanya dengan perinsip inilah Islam akan selalu menjadi dinamis, hidup dan maju serta tidak akan pernah ketinggalan zaman. Dengan ijtihad, Islam akan dapat menjawab berbagai tantangan dan problematika masyarakat yang secara terus menerus muncul sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan zaman. Tegasnya, hanya dengan ijtihad yang senantiasa terbuka, Islam akan dapat menunjukkan eksistensi dirinya sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam (Pasha dan Darban 2005: 32).
2. Muhammad Ibnu Abdul Wahab
Riwayar hidup Ibnu Abdul Wahab
Muhammad Ibnu Abdul Wahab (1703 – 1787) pendiri Gerakan Mawahidin adalah seorang ulama yang besar, yang dilahirkan di Uyainah, yaitu sebuah dusun di Najed, bagian Timur dari negeri Saudi Arabia. Dibesarkan dalam lingkungan kehidupan beragama yang ketat dibawah pengaruh mazhab Hambali, yaitu suatu mazhab yang memperkenalkan dirinya sebagai aliran salafiyah. Dari latar belakang kehidupannya, dapat dipahami bahwa ternyata ada garis kesamaan latar belakang antara tokoh ini dengan Ibnu Taimiyyah.
Mula-mula ia belajar agama di lingkungan keluarganya sendiri, kemudian dilanjutkan belajar kepada beberapa ulama di kota Medinah. Selanjutnya ia berkelana untuk menimba ilmu di berbagai kota dari Basrah, Bagdad, Kurdistan, Hamazan, Isfahan, Qumm dan Kairo. Gerakan Muhammad bin Abdul Wahab dalam menyampaikan ajaran Islam dilakukan dengan cara yang lugas, keras dan tidak mengenal kompromi sama sekali, terlebih lagi kalau sudah menyangkut tauhid serta bebagai penyakit iman yang sangat berbahaya seperti syirik, khurafat, bid’ah, dan tawasul (Pasha dan Darban. 2005: 33).
Gerakan yang dipolopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab ini oleh pendirinya sendiri dinamakan Gerakan Muwahidin, yaitu suatu gerakan yang brtujuan untuk menyucikan dan mengesakan Allah dengan semurni-murninya, yang mudah dan gampang dipahami dan diamalkan persis seperti pada masa permulaan sejarahnya. Jelaslah bahwa dakwah yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab bertujuan hanya untuk mengembalikan Islam sebagai suatu addien yang murni, yang gampang dimengerti dan diamalkan seperti terbukti pada masa permulaan Islam (Pasha dan Sarban. 2005: 34).
Pokok-pokok ajaran Muhammad Ibnu Abdul Wahab
Gerakan Wahabi adalah suatu gerakan pemurnian Islam yang pertama kali berdiri dalam rangka menyambut seruan dan ajakan Imam Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah. Seruan kembali pada al-Qur’an dan as-Sunnah secara murni dan konsekuen, membuang segala bentuk kemusyrikan, khurafat (tahyul), berbagai macam bid’ah dan taqlid serta menumbuhkan sikap berani berijtihad sebagaimana yang diajarkan oleh Imam Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah merupakan prinsip yang dipegang teguh dan diperjuangkan dengan segala daya dan kemampuan oleh gerakan Wahabi.
Satu hal yang tidak kalah pentingnya, yang dijadikan tema pokok pembahasan dan perjuangannya adalah hal-ihwal yang bersangkut paut dengan masalah tauhid. Ia berusaha untuk memurnikan iman dari berbagai macam kemusyrikan seperti menziarahi kubur Nabi Muhammad dan orang-orang yang dianggapa keramat dengan tata cara yang tidak berbeda dengan penyembahan.
Hal-hal yang berkisar pada masalah memurnikan tauhid inilah yang sangat ditekankan, antara lain:
- Penyembahan kepada selain Tuhan adalah salah, dan siapa yang berbuat demikian ia di bunuh.
- Orang yang mencari ampunan Tuhan dengan mengunjungi kuburan orang-orang saleh termasuk golongan musyrikin.
- Termasuk perbuatan musyrik memberikan pengantar dalam shalat terhadap nama nabi-nabi atau wali atau malaikat (seperti syaidina Muhammad).
- Termasuk kufur memberikan suatu ilmu yang tidak didasarkan atas al-Qur’an dan al-Sunnah atau ilmu yang bersumber kepada akal pikiran semata-mata.
- Termasuk kufur dan ilhad juga mengingkari Qadar dalam semua perbuatan dan penafsiran al-Qur’an dengan jalan Ta’wil.
- Dilarang memakai buah tasbih dalam mengucapkan nama Tuhan dan do’a-do’a (wirid) cukup menghitung dengan keratan jari.
- Sumber syariat Islam dalam soal halal dan haram hanya al-Qur’an semata-mata dan sumber lain sesudahnya ialah Sunnah Rasul. Perkataan Ulama mutakallimin dan fukaha tetang haram dan halal tidak menjadi pegangan, selama tidak didasarkan atas dasar kedua sumber tersebut.
- Pintu ijtihad tetap terbuka dan siapapun juga boleh melakukan ijtihad, asal sudah memenuhi sayrat-syaratnya (Pasha dan Darban. 2005: 36).
3.Sayid Jam aluddin Al-Afghani
Riwayat hidup dan pendidikannya
Sayid Jamaluddin Al-Afghani dilahirkan pada tahun 1939 di As’ad Abad, Afganistan. Ia berkebangsaan Afganistan, justru karena itu di belakang namanya dicantumkan nisbah negeri tumpah darahnya “Al-Afghany”. Sayid Jamaluddin Al-Afghani terkenal juga sebagai pengembara tangguh, bukan saja mengembara di negeri-negeri Islam seperti India, Arab Saudi, Iran, Mesir, Turki dan lain-lainnya, akan tetapi juga kenegeri-negeri non-Muslim di daratan Eropah seperti Inggris, Perancis, Jerman serta Rusia (Pasha dan Darban. 2005: 40).
Sayid Jamaluddin Al-Afghani pertama kali belajar agama dari ayahnya sendiri yang bernama Sayid Shaffar, seorang pengusaha terkenal sekaligus sebagai seorang yang alim. Ia dididik oleh ayahnya tentang berbagai ilmu seperti Bahasa Arab, ilmu Fiqih dan Tauhid, Hadits dan Tafsir serta Akhlaq dan Tasauf. Pada usia 16 tahun, ia dikirim ke India untuk belajar pada ulama-ulama terkenal. Berbagai ilmu pengetahuan baik ilmu agama. Ilmu umum, Bahasa Arab maupun Filsafat dipelajarinya dengan tekun. Di sisi lain, ketika ia tengah belajar di india yang saat itu dijajah Inggris, Jamaluddin menyaksikan betapa kejamnya Inggris terhadap anak negeri jajahannya. Sikap semena-mena, ketidak adilan dan sikap yang arogan menjadi tontonan umum dimana-mana. Apa yang disaksikannya itu akhirnya menimbulkan sikap muak dan benci terhadap kaum penjajah tanpa kecuali, termasuk juga terhadap bangsa Inggris yang saat itu menjajah negeri Afganistan dan negeri India.
Tepat pada tanggal 9 Maret 1897 Sayid Jamaluddin Al-Afghani meninggal dunia yang fana untuk menghadap ke Illahi Rabbi.
- Pokok-pokok ajaran Sayid Jamaluddin Al-Afghani
- Dalam bidang filsafat
Jamaluddin Al Afghani adalah tokoh muslim pertama kali yang memperingatkan pada dunia Islam khususnya akan bahaya paham materialism, selanjutnya Jamaluddin Al Afghani menunjukkan dengan jelas, perbedaan antara sosialisme Islam yang didasarkan pada cinta dan kasih saying, penalaran dan kebebasan, dengan sosialisme komunis yang didasarkan pada kebendaan (materi), yang mandul dari kasih saying yang akhirnya menimbulkan perasaan benci-membenci. Komunisme ganti berganti saling menjatuhkan kawan karena sifat keangkuhan yang tidak dapat dikekang dan memamang mereka tidak mempunyai alat pengekang itu, karena tidak beragama dan memecah belah masyarakat mereka, tirani yang diselimuti atas nama rakyat. Sayid Jamaluddin al-Afghni mempunyai paham bahwa memang benar bahwa setiap manusia atau bangsa ada di dalam kekuasaan dan takdir Allah, namun kepercayaan tersebut tidak berakibat menimbulkan sikap apatis dan fatalis, bahkan justru akan membina sikap tawakal sepenuhnya kepada kekuatan Allah dan mendorong dirinya semakin giat untuk berjuang dan berikhtiar (Pashs dan Darban. 2005: 43).
- Dalam bidang kebudayaan
Jamaluddin al_Afghani sama sekali tidak memusuhi kebudayaan Barat yang maju. Bahkan, ia sangat memuji dan member penilaian yang positif tethadap kebudayaan yang mereka capai, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Umat Islam harus tetap konsisten terhadap perinsip-perinsip ajaran Islam.
Dalam membangun kebudayaan dan peradaban Islam, Jamaluddin al-Afghani juga menyinggung masalah pengembangan bahasa sebagai salah satu usur terpokok dalam suatu kebudayaan. Ia menegaskan bahwa suatu bangsa yang tidak menggunakan bahasanya sendiri, mereka tidak mungkin dapat mengembangkan perasaan baik dalam masyarakat. Habislah harga diri sebagai bangsa, apabila mereka tidak memiliki sejarah bangsanya sendiri. Jamaluddin al-Afghani berusaha mengembalikan harga diri dan menumbuhkan kebanggaan berbangsa (national pride and national dignity) yang telah hilang dari berbagai negeri Islam akibat mereka memandang tinggi dan mulia segala apapun yang dating dari Barat, sementara mereka memandang hina dan melecehkan terhadap apapun yang muncul dari dunia timur (Pasha dan Darban. 2005: 44).
- Dalam bidang politik
Dalam membangun politik dunia Islam, Jamaluddin al-Afghani berpendapat bahwa seluruh dunia Islam harus bersatu dalam persekutuan pertahanan yang kokoh untuk mempertahankan diri dari keruntuhan. Untuk mencapai tujuan itu, kita harus memiliki tekhnik kemajuam Barat dan mempelajari rahasia kekuasaan Eropah. Jamaluddin al-Afghani dimanapun juga senantiasa megobarkan semangat solidaritas antara Negara-negara Islam sesuai dengan jiwa Pan Islamisme untuk membina kekuatan mengimbangi pengaruh Barat. Diajarkannya tauhid yang mutlak hanya mengakui kekuasaan Allah. Dianjurkannya persatuan dan mengesampingkan pertentangan mazhab, dipropagandakan hak-hak asasi rakyat dan demokrasi yang harus berlaku di semua Negara Islam (Pasha dan Darban. 2005: 45).
- Dalam bidang tasawuf
Jamaluddin al-Afghani termasuk orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk senantiasa dapat melakukan Tazkiyatan Nafsi atau menyucikan pribadi, antara lain dimana dan kapan pun juga selalu menyebut Asma Allah dengan menghitung-hitung biji tasbihnya yang tidak pernah lepas dari jari-jemarinya sekalipun ia tengah menghadap dan berbincang-bincang dengan seorang raja. Ajaran menuju fana itu tidak lain mengandung pengertian melebur kepentingan diri pribadi bagi kepentingan dan perjuangan bersama. (Pasha dan Darban. 2005: 45).
4. Muhammad Abduh
Riwayat hidup dan pendidikan
Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 di Gharbiyah Mesir, pada usia 13 tahun telah hafal al-Qur’an. Muhammad Abduh menamatkan pendidikan tingginya di Universitas Al-Azhar pada tahun 1876 dengan mendapat ijazah Alimiyyah. Dalam perkembangannya lebih jauh, Muhammad Abduh dikenal sebagai seorang tokoh ahli tafsir, hukum Islam, bahasa Arab dan kesusastraan, logika, ahli ilmu hokum, filsafat dan soal-soal kemasyarakatan. Ia seorang ulama besar, penulis kenamaan dan pendidik yang berhasil, pembaru Mesir modern yang bergerak dalam lapangan kemasyarakatan, seorang pembela Islam yang gigih, seorang wartawan yang tajam penanya, seorang hakim yang jauh pandangannya, pemimpin dan politikus ulung dan akhirnya seorang mufti, suatu jabatan keagamaan yang tertinggi di Mesir (Pasha dan Darban. 2005: 45).
Pada tahun 1889, Muhammad Abduh kembali ke Mesir. Jabatan pertama-tama yang diberikan oleh pemerintah adalah jabatan hakim. Setelah menekuni jabatan ini disekitar 2 tahun, pada tahun 1894 Muhammad Abduh diangkat sebagai anggota pimpinan tertinggi di Universitas Al-Azhar (conseil Superieur) yang dibentuk atas anjurannya juga. Karir puncak Muhammad Abduh didapatkan pada tahun 1899, ketika ia diangkat sebagai mufti kerajaan Mesir, suatu jabatan keagamaan tertinggi di Mesir. Muhammad Abduh meninggal dunia dalam usia yang relatif belum terlalu tua, pada tanggal 11 Juli 1905, ketika mencapai usia 55 tahun. Muhammad Abduh dipanggil Allah untuk menhadap dan mempertanggung jawabkan semua amal dan perjuangannya (Pasha dan Darban. 2005: 49)
- Pokok-pokok ajaran Muhammad Abduh
- Bidang Ijtihad dan Taqlid
Gerakan taqlid ini merupakan suatu gerakan penutupan akal umat Islam dan oleh karena itu ia termasuk bid’ah, barang yang tak pernah diajarkan dalam ajaran Islam itu sendiri. Islam adalah agama yang sangat memuliakan akal. Islam sangat mencela dan melarang dengan keras sikap-sikap seorang Muslim yang mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dasar dan alasannya. Karena hakekatnya dengan sikap taqlid berarti ia dengan sengaja mengingkari eksistensi dirinya selaku makhluk yang terbaik dan terbagus, makhluk yang akhsanu Taqwim atau makhluk rasional.
Sebab musabab yang membawa kemunduran umat Islam dalam Alam Islamy adalah dikarenakan adanya kejumudan atau kebekuan berpikir di kalangan umat Islam yaitu kebekuan dalam memahami ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadits. Muhammad Abduh sangat menekankan arti pentingnya ijtihad. Ajaran Islam telah menegaskan bahwa Islam diturunkan kepada umat manusia tidak lain kecuali untuk menyebarluaskan rahmat Allah ke seluruh alam semesta. Penegasan seperti ini memberikan pengertian bahwa fungsi utama agama Islam adalah sebagai pengayom bagi hidup dan kehidupan umat manusia sepanjang zaman, dimana dan kapanpun juga. (Pasha dan Darban. 2005: 50).
- Bidang pendidikan
Ketika Muhammad Abduh memasuki Universitas Al-Azhar, tanpa menunggu terlalu lama, ia mulai melakukan berbagai pembaruan terhadap perguruan Islam yang tertua ini, baik yang menyangkut bidang administrasi, bidang kurikulum, maupun bidang peningkatan mutu kuliah. Tegasnya, pembaruan Muhammad Abduh tidak terbatas dalam masalah yang berhubungan langsung dengan pendidikan saja. Bahkan, prasarana untuk mencapai kearah itu juga disempurnakan. Berbagai macam ilmu pengetahuan yang selama ini dianaktirikan seperti ilmu hisab, aljabar, geografi, filsafat dan sebagainya dimasukkan ke dalam kurukulum Al-Azhar. (Pasha dan Darban. 2005: 51).
5, Muhammad Rasyid Ridha
Muhammad Rasyid Ridha (1865 – 1935) dilahirkan di sebuah desa di Libanon. Ia adalah salah satu murid Muhammad Abduh yang paling disayangi dan paling dekat dengan gurunya. Adapun pokok-pokok pemikirannya dalam pembaruan Islam, dapat dikatakan sama dengan dengan pemikiran Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Akan tetapi disamping itu iapun dikenal pula sebagai politikus yang sangat cermat. Pokok-pokok pemikiran pembaruan Rasyid Ridha antara lain sebagai berikut:
- Paham umat Islam tentang agamanya serta tingkahlaku mereka banyak yang telah menyeleweng dari ajaran Islam yang suci murni. Karenanya umat Islam harus dibimbing kembali ke jalan Islam yang sebenarnya yang bersih dari segala macam bentuk bid’ah, khurafat serta syirik.
- Agar segera terwujud kesatuan dan persatuan umat Islam. Janganlah didasarkan pada kesatuan bahasa dan bangsa tetapi atas dasar kesatuan iman dan Islam.
- Kaum wanita harus diikut sertakan dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan.
- Paham dan ajaran kaum sufi dianggapnya memperlemah agam Islam, karena mereka melalaikan tugas kewajibannya di atas dunia.
6. Syaikh Hasan al-Banna
Memasuku abag ke 20 tepatnya pada tahun 1928 di Mesir muncul suatu gerakan Islam yang sangat terkenal sampai hari ini, yang dinamakan Ikhwanul Muslimin. Gerakan ini didirikan oleh Hasan al-Banna (1908-1049) yang lahir pada tahun 1906 di propinsi Gharbiah, Mesir. Dengan dibekali oleh otak cemerlang, ia telah hafal al-Qur’an ketika berumur 14 tahun, dan pada usia 16 tahun ia telah menjadi mahasiswa di Universitas Darul Ulum.
Sesungguhnya gerakan Ikhwanul Muslimin ini hakikatnya merupakan kelanjutan dari ide Jamaluddin al-Afghani yang kemudian diteruskan oleh Rashid Ridha (Pasha dan Darban. 2005: 52).
7. Syah Waliyullah
Sebagai seorang pemikir besar, ia melihat bahwa pada saat itu kebudayaan Islam sedang meluncur dengan cepatnya menuju disintegrasi. Ia menyadari bahwa zaman keemasan raja-raja Mughal telah berlalu, dan masa tumbuhnya semangat demokrasi mulai merekah di tengah-tengah masyarakat luas. Ia pun memandang bahwa keadaan perekonomian umat Islam telah pudar berantakan akibat dari sikap hidup yang bermewah-mewahan, cintanya kepada dunia sudah kelewat batas (hubbul dunya) terutama di kalangan elit orang-orang Islam sendiri. Langka pertama yang dilakukan oleh Syah Waliyullah dalam rangka merintis jalan menuju cita-cita agungnya, yaitu tatanan masyarakat baru, ialah menerjemahkan al-Qur’an kedalam bahsa Persi lengkap dengan tafsirnya (Pasha dan Darban. 2005: 56).
8. Sir Sayid Ahmad Khan
Sir Sayid Ahmad Khan (1817-1898) adalah tokoh pembaru kedua di negeri India setelah Syah Waliyullah. Bahkan, ia dikenak sebagai tokoh yang mengembangkan dan menyempurnakan lebih jauh ide-ide Waliyullah. Seperti halnya dengan tokoh-tokoh pembahru Islam lainnya, Ahmad Khan juga mencita-citakan bangunya kembali kejayaan Islam dan kemuliaan Islam di anak benua Asia.
Upaya mengajak umat Islam India untuk belajar menuntut ilmu dimana pun juga sampai pun mempelajari karya-karya dari Barat diwujudkan secara kongkrit dengan dibangunnya pusat pendidikan Islam yang terkenal di anak benua Asia, yaitu Akademi Ilmu Pengetahuan Islam di Aligarh. Sir Sayid Ahmad Khan menganjurkan dimasukkannya kemajuan-kemajuan ilmiah serta menerima lembaga-lembaga Barat yang terbaik dalam suasana Islam. (Pasha dan Darban. 2005: 60).
9, Sayed Ameer Ali
Gerakan pembaruan Islam di India berjalan terus dan berkembang dengan suburnya. Deretan nama-nama seperti Mulvi Syiraij dan Sayed Ameer Ali (1849-1928) tidak dapat ditinggalkan begitu saja dalam tilikan kita terhadap gerakan pembaruan di anak benua ini. Nama kedua tokoh ini cukup harum di dunia internasional, karena karangan-karangan mereka cukup berbobot dan ditulis dalam bahasa Inggris. Terutama Ameer Ali yang secara terus terang menyebut dirinya sebagai penganut paham “Rasionalisme Islam”. Pengakuan seperti ini didasarkan oleh keyakinan yang kuat bahwa ajaran Islam memberikan tempat yang terhormat bagi akal. Akal pikiran diberi kemerdekaan untuk berkembang. Ameer Ali berkeyakinan bahwa tidak terdapat sama sekali pertentangan yang melekat antara akal dengan wahyu (Morga. T.th: 74). Hal ini lebih jauh dijelaskan oleh sahabatnya sendiri Sayed Khuda Bkhsy bahwa tidak ada sama sekali pikiran Nabi untuk membelenggu pikiran pengikut-pengikutnya atau menetapkan hukum yang kaku, beku dan tidak dapat diubah. Al-Qur’an adalah suatu kitab petunjuk kepada orang mukmin dan bukan penghalang untuk memajukan masyarakat, kebudayaan, syariat, undang-undang dan kemajuan yang dicapai dengan kecerdasan akal (Stoddard, t.th: 40).
Lebih jauh lagi, Ameer Ali menuliskan keyakinannya tentang kedudukan akal pikiran dalam Islam bahwa Islam yang dibawa oleh Muhammad tidak memuat sesuatu yang menghalangi intelek manusia. Bagaimanakah akhirnya dapat terjadi bahwa semenjak abad ke 12 M filsafat itu seakan lenyap sama sekali di kalangan pengikut-pengikut Islam dan ajaran Islam yang anti-rasionalistis mencekam jantung rakyat? Bagaimanakah ajaran tentang ketentuan nasib, walaupun hanya satu tingkat dari ajaran-ajaran al-Qur’an, telah menjadi suatu kepercayaan yang dapat mempengaruhi kaum muslimin? (Ali. T.th: 248). Di lain tempat ia mengatakan bahwa lima abad lamanya Islam menyumbang dalam hal perkembangan kemerdekaan berpikir dari umat manusia, tetapi suatu gerakan reaksioner sesudah itu muncul dan dengan seketika arus pemikiran umat manusia berubah. Orang-orang terpelajar dalam ilmu pengetahuan dan filasafat dihukum sebagai orang-orang yang berdiri di luar pagar Islam. Apakah tidak mungkin bagi aliran Sunni untuk mengambil pelajaran dari apa yang terjadi di gereja Roma? Apakah tidak mungkin baginya untuk meluaskan diri bersama dengan itu untuk dapat diterima oleh segenaporang-orang? Dalam ajaran Muhammad tidak ada sesuatu yang menjadi penghambatnya (Ali. T.th: 248).
Pendirian Ameer Ali seperti terungkap tersebut bukannya muncul begitu saja tanpa dilatarbelakangi oleh suatu sebab. Sesungguhnya, dari ungkapan-ungkapan yang dilontarkannya, terlihat jelas bahwa pemikiran suatu sebab. Sesungguhnya, dari ungkapan-ungkapan yang dilontarkannya, terlihat jelas bahwa pemikiran seperti itu muncul karena seperti itu muncul karena melihat kebangkrutan masyarakat Islam India itu sendiri.melihat kebangkrutan masyarakat Islam India itu sendiri. Umat Islam tidak lagi berpegang teguh pada ajaran al-Qur’an, tetapi sebaliknya mereka bergelimang dalam kejumudan, kebekuan berpikir dan begitu asyiknya mereka terbelenggu oleh berbagai macam gi berpegang teguh pada ajaran al-Qur’an, tetapi sebaliknya mereka bergelimang dalam kejumudan, kebekuan berpikir dan begitu asyiknya mereka terbelenggu oleh berbagai macam tradisi yang menyesatkan. Oleh karena itu, Ameer Ali sampai pada satu kesimpulan bahwa sebenarnya Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad itu telepas dari rantai-rantai yang tersusun dari pangkat-pangkat keagamaan.
Seperti apa yang ditempuh oleh pendahulunya, yaitu Sir Sayeed Ahmad Khan yang memandang arti pentingnya membangun mastarakat Islam yang sesungguhnya, langkah yang perlu ditempuh untuk pertama kali ialah memperbaiki dan menyempurnakan sistim pendidikan dan pengajaran, serta memerdekakan akal pikiran dari berbagai belenggu kebekuan dan kekolotan. Masyaakat harus dididik agar dalam menjalankan agama, jangan sampai hanya mementingkan formalitasnya, mementingkan rangka dan kulitnya semata-mata. Sebab, pelaksanaan agama yang dilakukan hanya serupa itu sama sekali tidak ada pengaruh dan bekasnya dalam hidup orang perorang atau pun dalam kehidupan masyarakat. Ajaran Islam harus diamalkan dengan penuh keyakinan dan kesadaran jiwa, dihayati sampai ke jiwa atau ruhnya. Ameer Ali yakin bahwa ajaran Islam sendiri senantiasa mendorong kemajuan dan masih sanggup memberi pengaruh dan corak atas keadaan yang ada di sekitarnya serta inti ajarannya tidak berubah walaupun rupa lahiriahnya berubah karena perkembangan zaman (Pasha dan Darban. 2005: 60-61),
10. Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal (1874-1038) dilahirkan di Sialkot, Punjab pada tanggal 22 Pebruari 1873. Leluhurnya termasuk dari kalangan kasta Brahmana dari Kasmir yang telah memeluk agama Islam sekitar tiga abad sebelum Iqbal lahir. Muhammad Iqbal dinyatakan sebagai filsuf satu-satunya yang oleh dunia Islam modern. Dalam wawasan politiknya, Muhammad Iqbal menyoroti masalah nasionalisme yang pada zamannya sedang hangat-hangatnya dibahas dan didiskusikan di forum-forum diskusi politik. Semula, ia terkenal sebagai pendukung paham kerjasama antar golongan yang hidup di India menuju Negara kesatuan yang dicita-citakan. Muhammad Iqbal menunjukkan betapa Islam telah mengembalikan hak asasinya kepada umat manusia, meningkatkan martabat pekerja serta mengurangi dan melemahkan kekuasaan para penguasa yang telah merampas hak asasi itu. Pemujaan terhadap harta, tahta dan kesukuan telah dipatahkan dan memancarkan kembali secercah sinar harapan dalam hati manusia (Pasha dan Darban. 2005: 64).
11. Sayid Abul A’la Maududi
Sayid Abul A’la Maududi (1903-1079), salah seorang di antara para ulama dan filsuf sekaligus mujaddid yang terbesar hibgga sekarang ini. Ia memiliki ketajaman berpikir, lisan dan tulisan, sehingga selama menempuh hidup kuang lebih 60 tahun ia telah menghasilkan 120 buku dengan topik yang sangat luas, meliputi tafsir, hadts, aqidah, ibadah, syari’ah dan hokum, filsafat, sejarah, politik, ekonomi, kebudayaan, sosial dan sebagainya.
Beberapa pemikirannya yang dianggap paling fundamental adalah: Pertmaa, asas terpenting dalam Islam adalah tauhid. Seluruh Nabi dan Rasul mempunyai tugas pokok untuk mengajarkan tauhid kepada umat manusia. Ajaran tauhid benar-benar sangat revolusioner dan mempunyai implikasi yang sangat jauh dalam mengubah koostelasi politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Kedua, sistim politik demokrasi yang diterapkan oleh berbagai bangsa dan Negara mempunyai kelemahan dikarenakan tidak adanya parameter yang pasti, yang digunakan sebagai ukuran dalam mengambil keputusan dan Negara mempunyai kelemahan dikarenakan tidak adanya parameter yang pasti, yang digunakan sebagai ukuran dalam mengambil keputusan atau dalam membuat legislasi. Demokrasi bukan dalam arti kedaulatan secara mutlak berada di tangan rakyat. Rakyat memiliki kedaulatan, namun kedaulatan itu tidak mutlak karena dibatasi oleh norma-norma yang telah ditetapkan oleh Tuhan (Pasha dan Darban. 2005: 65-66).
Sumber :
AIK III; Kemuhammadiyahan
Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 2016
0 Comments:
Posting Komentar
Silahkan di tanyakan