PERAN KEBANGSAAN MUHAMMADIYAH DI INDONESIA
Dalam satu abad kiprahnya, Muhammadiyah telah meletakkan infrastruktur kebangsaan modern religius madani berkeadaban. Sejak berdiri tahun 1912, gerakan ini terus mengembangkan aksi penyadaran sosial-kemanusiaan di bidang kesehatan, pendidikan, solidaritas kolektif berorganisasi (jamaah), kemandirian kolektif (ta’awun), sebagai embrio kesadaran berbangsa. Jauh sebelum kemerdekaan, bahkan sebelum perang kemerdekaan, saat gagasan kebangsaan baru sebatas impian, gerakan ini mempolopori penggunaan bahasa lokal (Jawa dan Melayu) menggantikan bahasa asing (Belanda, Inggris, dan Arab) bagi nama-nama orang dan kegiatannya. Dari sini, di kemudian hari mulai muncul kesadaran kebangsaan tentang kesatuan kolektif sebagai bangsa.
Dalam pidato kongres tahun 1922, Kiai Ahmad Dahlan beberapa kali menyebut nilai sebuah bangsa yang hanya mingkin terbentuk jika didasari kesatuan hati (Mulkhan, 1990). Basis epistemologi kesatuan kolektif dan aksi sosial kemanusiaan itu ialah apa yang dikenal sebagai kesadaran ketuhanan, yang lebih kita kenal sebagai iman dalam praktik agama. Karena itu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa Muhammadiyah lebih dahulu tampil sebagai gerakan sosial dan kebudayaan, baru kemudian memperkokoh diri dengan basis ketuhanan (baca: agama) (Dzuhayatin, 2011).
Semula gerakan ini tentang pendidikan, kesehatan, aksi kemanusiaan berbasis agama (pembagian daging kurban, zakat dan fitrah), tablig di ruang publik, dianggap nyleneh, tidak jarang dituduh sebagai gerakan “sempalan” atau menyimpang dari Islam, bahkan dianggap sebagai bagian dari “Kristen alus”. Mengapa? Karena saat itu, gerakan sejenis mudah diketemukan dalam komunitas kristiani yang banyak dilakukan oleh bangsa-bangsa colonial. Barulah setelah satu abad kemudian, berbagai kegiatan Muhammadiyah tersebut mulai memperoleh apresiasi, terutama saat orde baru mulai mamakai bahasa agama dalam menggerakkan warga bagi proyek-proyek pembangunannya.
Muhammadiyalah yang pertama kali mengagas pendiriam musola di tempat umum (pasar, terminal, stasiun), pengelolaan perjalanan haji secara professional, termasuk ibadah korban dan fitrah serta zakat. Demikian pula, gerakan sedekah dan infak bagi kegiatan sosial seperti pendidikan, bagi santunan terhadap fakir miskin, duafa dan yatim piatu, dipolopori oleh Muhammadiyah. Sosialisasi penydaran publik tentang pentingnya kesehatan, selain yang paling fenomenal pengembangan dakwah (pengajian) di ruang publik di luar mesjid dan posantren yang sekarang lebih dikenal sebagai majelis taklim, pun diprakarsai oleh Muhammadiyah. Sebelumnya, tidak ada krgiatan keagamaan (termasuk tabligh) kecuali di dalam mesjid atau posantren.
Di masa lalu, program yang demikian itu (pengajian di ruang publik) bisala disebut dengan program atau sebagai “guru keliling”. Dari sini, warga masyarakat negeri ini memiliki pengetahuan tentang Islam jauh lebih massif dan berkualitas dibandingkan dengan publik umat di negeri-negeri muslim lain yang masih mengandalakan dakwah konvensional di mesjid dan lembaga formal simbolik. Kini, di abad ke 21 ini, tidak lagi ada orang Islam yang menolak sekolah modern, yang menolak pengobatan di rumah sakit, dan yang menolak praktek penyembelihan korban dan pembagian zakat maal atau fitrah bagi kelompok masyarakat yang tergolong miskin.
1. Dakwah Kultural Kecakapan Hidup Berbasis Pengguna Jasa AUM
Di abad kedua usia gerakan, MUhammadiyah sudah waktunya mengelola pengguna jasa amal usaha Muhammadiyah (AUM) baik bidang pendidikan, kesehatan, ataupun lainnya. Kegiatan Muhammadiyah tidak cukup hanya melibatkan pengikutnya, tetapi perlu mengelola komunitas pengguna jasa amal usahanya (AUM) yang jumlahnya bisal mencapai 120-an juta jiwa. Melalui komunitas AUM, disebarkan virus dakwah kecakapan hidup berbangsa dan bernegara berbasis etika futuris (akhirat).
Tradisi sosio-ritual yang terlembaga dalam ribuan sekolah, tempat ibadah, rumah sakit, perguruan tinggi, dan lembaga pengajian. Virus AUM adalah akar pengembangan hidup berbangsa lebih sejahtera, ta’awun (gotong royong), berbasis etika futuris (akhirat) yang lebih memihak wong cilik sesuai paradigma welas asih pendiri gerakan ini. KIai Ahmad Dahlan, sebagaimana kesaksian dr. Sutomo saat meresmikan rumah sakit (poliklinik) PKU Surabaya tahun 1924.
Soalnya, bagaimanatradisi sosi-ritual dakwah kecakapan hidup tersebut bisal menjadi virus kehidupan kebangsaan secara lebih etis dan bermoral. Matematika komunitas pengguna jasa amal usaha Muhammadiyah (AUM) bisal menunjukkan angka 100 juta jiwa. Mereka relatif memiliki ikatan emosional atas rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, perguruan tinggi yang tersebar di seluruh nusantara. Apakah aktivis dan pimpinan gerakan ini memperhitungkan modal sosialnya bagi tahap lanjut dakwa kultural kecakapan hidup bagi kepentingan bangsa dan kemanusiaan universal?
Dakwa kecakapan hidup ialah dakwah yang tidak hanya berpusat pada rana kognisi atau pengetahuan, melainkan menyasar kemampuan atau kecakapan hidup, dalam beribadah dan memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang menjadi obyek dakwah. Pelaksanaan dakwah kecakapan hidup itu dilakukan dengan memanfaatkan kecerdasan dan kearifan local, berupa tata nilai yang tumbuh sebagai tradisi hidup masyarakat setempat. Inilah yang antara lain disebut sebagai kebudayaan.
Secara normatif bisal merujuk Kitab suci al-Qur’an surat Ibrahim ayat 4 yang menunjuk fungsi kebudayaan (lisaani kaumih), Surat al-Anfal ayat 24 menunjuk arah penghidupan (yuhyikum), berikut kutipan kedua surat dan ayat al-Qur’an tersebut.
Surat Ibrahim ayat 4 menyatakan: “ kami tidak mengutus seorwng rasul, kecuali dengan bahasa kaumnya, agar bisal member penjelasan dengan terang pada mereka. Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki. Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi maha bijaksanan” . Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, bukan berarti diperuntukan bagi bangsa Arab saja, tetapi bagi seluruh manusia.
Surat al-Anfal ayat 24 menyatakan: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul kepada yang memberi kehidupan kepadamu, ketahuilah sungguh Allah membatasi manusia dan hatinya dan sungguh kepada-Nyalah kamu dikumpulkan” . Maksudnya menyeru berperang meninggalakn kalimat Allah, bisal membinasakan musuh, menghidupkan Islam dan Muslimin, menyeru kepada iman, petunjuk jihad dan segala yang ada hubungannya dengan kebahagiaan hidup di dunia dan akherat. Allah-lah yang menguasai hati manusia.
Karena itu, dakwah, selain dilakukan dengan hikmah dan dialog, juga berbasis budaya orang atau masyarakat sasaran dakwah. Seluruhnya bertujuan sehingga masyarakat menjadi lebih hidup, lebih bisal menyelesaikan berbagai problem kehidupan yang dihadapi. Karenanya, dakwah cultural ialah dakwah yang tidak terbatas menyasar koginsi publik, melainkan juga melatih kecakapan hidup sosial, ekonomi, budaya dan politik.
Setelah satu abad gewrakan ini berkarya, saat tradisi sosial ritual yang dulu dipolopori sudah diterima publik, dakwa perlu dikemas secara baru sesuai dengan tingkat kehidupan sosial- ekonmi-budaya warga negeri ini dan warga dunia. Penduduk negeri ini secara kultural adalah pengikut kultural Muhammadiyah, meskipun secara sosial “anti gerakan ini”. Tidak ada lagi warga negeri ini yang menolak sekolah dan pengobatan modern. Secara sukarela, mereka membagi fitrah bagi fakir miskin, juga daging korban.
Kini, publik sudah terbisala membiayai kepentingan sosial dari zakat. Infak dan sodaqah (ZIS) yang dimasa lalu ditentang. ZIS (baca: filantropi atau kedermawanan sosial)bsudah merupakan salah satu sunber penting pembiayaan sosial dan ekonomi umat. Soalnya kemudian ialah bagaimana mengembangkan tradisi sosial-ritual itu bagi pemecahan problem sosial-ekonomi umat. Karena itu, dakwah harus menyasar kecakapan sosial-ekonomi umat yang menempatkan filantropi sebagi salah satu sumber pembiayaan.
Kegiatan dakwah tidak lagi terbatas menjadi tanggung jawab lembaga tabligh (majelis dan bagian), melainkan juga menjadi tanggung jawab seluruh organ gerakan. Dari sini, gagasan dasar dakwah jamaah dan gerakan jamaah dikembangkan guna memenuhi kebutuhan dakwah kotemporer tesebut. Dalam perspektif dakwah jamaah dan gerakan jamaah, aktifis gerakan ditempatkan sebagai inti penggerak dinamika dakwah kecakapan hidup.
Selama ini, aktifis gerakan terbatas dipahami sebagai anggota persyarikatan, terutama pimpinan, yang setiap lima tahun sekali berganti posisi. Akibatnya, berbagai kegiatan dakwah perlu disegarkan kembali dalam durasi lima tahunan saat pergantian pimpinan persayrikatan dengan seluruh majelis dan bagiannya. Sementara itu pengelola amal usaha Muhammadiyah (AUM) dengan tingkat kontinuitas lebih kurang sepanjang hayat, hingga pensiun, setiap hari terlibat kegiatan persyarikatan yang terbaras dalam spesifikasi bidang AUM, sekolah, kesehatan, panti asuhan dan perguruan tinggi, justru lebih banyak ditempatkan sebagsi obyek dakwah.
Kini sudah waktunya, dakwah kecakapan hidup memempatkan pengelola AUM sebagai inti gerakan. Sasaran dakwahnya ialah stakeholder yang terdiri dari murid dan mahasiswa berserta keluarga basarnya, pasien berserta keluarga besarnya, anak asuh panti asuhan berserta kelurga besarnya.
Bekerjasama dengan Hizbul Wathan, pengelola AUM bisa menyelenggarakan pelatihan dakwah kecakapan hidup dengan target murid, mahasiswa, mantan pasien dan keluarga besarnya memiliki kecakapan praktis memenuhi hajat hidup standar (mengelola sumber daya alam sehinggabernili ekonomi; mengelola cara hidup sehari-hari berdasar syariat (shalat berjamaah, merawat jenazah, dan lain sebagainya). Karena itu, tujuan dan target utama dakwah kecakapan hidup ialah bagaimana melakukan kegiatan sosial sehingga sasaran dakwah bisal hidup mandiri (Mulkhan, 2015).
2. Memperluas Tradisi Sosio-Ritual dalam Kehidupan Berbangsa
Setelah seratus tahun Muhammadiyah berdiri (1912), kini praktek keagamaan Islam nusantara bisal disebut sebagai kepanajangan (eksemplar) dari apa yang dulu dipolopori gerakan Muhammadiyah.. Kiai Ahmad Dahlan-lah yang dimasa lalu mempolopori berbagai tradisi sosio-ritual (kegiatan sosial bernilai ibadah) yang tidak ditemukan padanannya di belahan dunia lain, di negeri-negeri muslim sekalipun.
Tradisi sosio-ritual ialah suatu kegiatan sosial yang dimaknani atau dipahami sebagai salah satu bentuk dari ibadah kepada Allah. Kegiatan sosio-ritual itu mencakup pembunaan kesehatan, pendidikan, santunan sosial, dan kedermawanan sosial (filantropi). Sejak itu, kegiatan sosial yang diniatkan sebagai ibadah ditempatkan sebagai bagian dari kegiatan ibadah itu sendiri, sehingga partisipasi publik lebih didasari oleh niat ikhlas, bukan karena kepentingan.
Muhammadiyah mempelopori partisipasi publik dalam membangun gedung sekolah dengan memberi infak , sedakoh dan zakat (baca: filantropi). Demikian pula halnya dengan pembangunan tempat ibadah berupa musalla dan masjid. Gerakan ini pula yang memulai pembangunan tempat ibadah (musalla) di tempat umum, di pasar, stasiun kereta api, dan terminal bus; juga pembagian daging korban bagi fakir miskin, seperti pembagian zakat fitrah.
Melalui penafsiran baru, masyarkat digerakkan untuk memenuhi ajaran Islam sekaligus memecahkan problem sosial dan ekonomi. Muhammadiyah pula yang mempolopori tata kelola perjalanan ibada haji. Demikian pula, Muhammadiyah mempolopori penyampaiain hutbah dalam bahasa daerah (waktu itu Jawa dan Melayu) bersamaan dengan penerjemahan kitab suci al-Qur’an dalam bahasa Jawa dan Melayu (saat Muhammadiyah berdiri bahasa Indonesia belum terbentuk), kemudian kedalam Bahasa Indonesia.
Secara cultural, warga muslim negeri ini adalah pemgikut Muhammadiyah, karena sudah mengikuti apa yang dipolopori gerakan ini. Jika tahun 1970-an, orang masih memendang sekolah (bukan madrasah) itu haram, kini orang-orang berebut terlibat dalam pendidikan modern tersebut. Jika dimasa lalu berobat ke rumah sakit itu dianggap meniru penjajah, kini orang segera pergi ke puskesmas saat merasa sakit. Banyak orang sekarang memaksa diri “menjadi Muhammaduyah”, mengapa? Karena saat mendirikan lembaga pendidikan, walaupun belum memenuhi syarat dan rukunnya, meminta yang berwewenang segera menerbitkan izin operasionl.
Ironinya, dalam suasana budaya yang demikian itu aktivis gerakan ini “merasa disaingi” oleh pengelola pendidikan dan kesehatan yang tidsk berada di bawah simbol Muhammadiyah. Aktivis itu kurang menyadari bahwa suasana itu merupakan salah satu indicator keberhasilan dakwa Muhammadiyah dalam mendorong umat untuk terlihat kemodernan. Muhammadiyah-lah yang sejak lama mendorong dan memprovokasi agar umat pemeluk Islam negeri ini memiliki kesadaran kesehatan, mengenyam pendidikan modern, dan mengelola kegiatan ibadah yang berdimensi sosial dengan tata kelola modern.
Kini, bermunculan organisasi sosial yang mengelola zakat dengan tata kelola modern professional seperti Dompet Dhuaf. Demikian pula berbagai lembaga pendidikan dan kesehatan didirikan oleh sekelompok masyarakat yang bahkan menyatakan “anti muhammadiyah”. Organisasi atau yayasan sosial demikian itu terkadang tampak lebih sukses dalam mengelola kegiatan sosio-ritual dibandingkan dengan pelopornya.
Di saat Muhammadiayah bisal disebut “berhenti berijtihad” partisipasi kegiatan gerakan ini seolah berlomba melakuakan kegiatan sosio-ritual yang dulu dipelopori Muhammadiyah. Galam situasi yang demikian inilah, penting bagi aktivis gerakan ini untuk memahami ulang gagasan dasr sosio-ritual yang dulu dipolopori KH. Ahmad Dahlan. Melalui pemahaman kembali itu kita bisal melanjutkan atau melakukan tranformasi atau bahkan melakukan pembaruan jilid kedua dengan tujuan utama “memecahkan berbagai problem sosial-kemanusiaan” warga bangsa ini.
Saatnya dipertimbangkan untuk memperluas tradisi sosio-ritual sebagai peraktik berorganisasi dalam gerakan Muhammadiyah laiknya virus yang menyebar menjadi etika kehidupan kebangsaan negeri ini. Tanpa harus berpolitik, gerakan ini bisa memanfaatkan tradisi sosio-ritual berbasis pada komunitas stakeholder AUM bagi peningkatan praktik kebangsaan yang lebih mrnjajanjikan kehidupan yang lebih sejahtera dan manusiawi sesuai cita-cita founding fathers.
3. Keunikan Perkembangan Persyarikatan di Daerah
Dalam penjelasan Mukaddimah AD, pokok pikiran keenam gerakan ini membagi masyarakat ke dalam dua kelompok, yaitu umat dakwah dan umat ijabah. Umat ijabah ialah umat atau kelompok orang yang sudah menerima Islam sebagai agamanya, sementara itu umat dakwah, ialah umat atau kelompok orang yang belum sepenuhnya menerima Islam sebagai agamanya.
Kepada kelompok ijabah, dakwah dilakukan untuk meneguhkan iman dan mengfungsikan ajaran Islam bagi penyelesaian problem kehidupan. Maka, kepada kelompok umat dakwah, kegiatan dakwah dilakukan untuk menujukkan kebagusan ajaran Islam, sehingga membuat umat dakwah trsebut tertarik pada ajaran Islam.
Demikian pula halnya, perluasan gerakan ini di suatu daerah selalu bersifat unik dan spesifik serta bergantung pada tokoh local dan problem umat di daerah yang bersangkutan. Seperti stiap orang berbeda cara hidup di ruang yang berbeda, berbeda pula cara dan pemicu seseorang untuk berubah atau berkembang jadi aktivis gerakan ini. Khulafaur rasyidin dan ashabunal awwalun juga memiliki latar belakang berbeda mengenai pemicu konversinya menjadi muslim. Setiap cabang atau ranting, daerah, sekolah, rumah sakit, hingga perguruan tinggi Muhammadiyah, berbeda-beda dalam hal cara bertumbuh dan berkembang, seperti halnya apa yang menyebabkan berdiri dan berkembang.
Mengigat latar belakang belakang yang berbeda itu pula maka tidak semua yang dituduh melakukan tradisi TBC akan meninggalkan TBC karena ancaman mereka. Banyak orang meninggalakan tradisi TBC, akibat sembuh dari penyakit yang semula disangka akibat guna-guna, teluh, dan hantu desa. Ia sembuh dari penyakitnya setelah berobat ke rumah sakit Muhammadiyah.
4. Indikator Sukses Persyarikatan
Aktivis persyarikatan kini mulai merasa tersaingi oleh gerakan sejenis atau tradisionalis bukan karena gagal, tetapi akibat keberhasilannya yang kurang disadari ditempatkan sebagai strategi dakwah kultural kecakapan hidup tersebut. Disaat yang sama, nilai sukses AUM dilihat dari banyaknya alumni yang menjadi aktivis persyarikatan.
Saat warga negeri ini “memaksa” meniru apa yang dilakukan Muhammadiyah tetapi tetap enggan mengaku Muhammadiyah, apakah itu berarti kegagalan gerakan ini atau sebaliknya? Berapa kali dalam setahun pimpinan AUM/PTM berdialog dengan orang tua murid AUM/ keluarga pasien/ warga sekitar dalam rangka dakwah?
Seperti konversi orang saat bersyahadat yang spesifik, khusus dan unik (lihat Umar dan sahabat, juga Ibn Utsal), berdirinya PRM/ PCM atau PRA/PCA, juga besifat unik bukan semata dipantik oleh pertimbangan akal rasional, melainkan lebih banyak tersentuh hati dan rasa, tersentuh oleh aksi kemanusiaan (baca: diwongke (Jawa). Melalui lembaga pendidikan (PAUD, TK/ABA, SD, MI, SLTP/A, SMK, PTM, jasa AUM lain seperti rumah sakit), banyak orang baik yang hadir dan terlibat kegiatan persyarikatan. Bisa saja, orang baik itu terlibat sebagai pasien rumah sakit karena menderita penyakit, bisa pula karena tertarik pada lembaga pendidikan, atau oleh pengelola yang dipercaya.
5. Belajar dari Sukses Ranting dan Cabang
Banyak kisah sukses di daerah atau cabang tentang bagaimana Muhammadiyah diterima oleh publik umat dan berkembang. Hal ini menunjukkan kearifan local, peran tokoh local, dan kemampuan gerakan ini menelesaikan problem yang dihadapi oleh umat local. Sekedar contoh, berikut ini dikisahkan apa yang dilakukan penggerak dakwah Muhammadiyah di Tinalan, pinggiran Kotagede, di Cileungsi Bekasi, dan di Sendang Ayu, Padang Ratu, Lampung Tengah.
Beberapa tahun berdiri PRM/PRA Tinalan disekitar kawasan perumahan Sendok Indah daerah Kotagede. Pem-basis-an sosial ranting ini dimulai melalui pengajian tanpa nama dengan mengakomodasi kebutuhan orang-orang local yang butuh bimbingan baca al-Qur’an. Pengajianpun diselenggarakan kadang dengan membaca bacaan shalat secara jamaah (menghindari peserta yang tidak bisal melafal secara benar).
Kegiatan pengajian itu terkadang diisi membaca surat Yasin atau surat Yusuf memenuhi permintaan jamaah yang kena musibah atau menikahkan anaknya. Semula, peserta pengajiannya hanya beberapa orang, tetapi 10 sampai 20 tahun kemudian menjadi ratusan. Lalu, mereka butuh mengorganisasi diri dalam “’Aisyiyah dan NA serta Muhammadiyah, tapi masih juga terkadang terorganisasi dalam group Yasinan dan Yusufan (apa yang salah)?
Sementara di Sendang Ayu Lampung Tengah, melalui wakaf pohon kelapa dan pisang, setelah beberapa tahun kemudian berdiri PRM/PCM di lereng timur Bukit Barisan yang cukup disegani dan berpengaruh di Barat Daya PDM Lampung Tengah, seorang wartawan senior Amerika Wall Street Journal: Bret Stephens, bahkan pernah hadir di sana, laporannya berjudul “The Exorcist” kemudian terbit 10 April 2007 halaman A18Wall Street Journal.
Seorang Kiai penganjur dakawah Muhammadiyah di daerah itu bahkan dikenal penduduk memiliki kekuatan spiritual, sering diminta air putih untuk jampi-jampi, dokenal memiliki aji-aji sapu angin, karena konon bisal memempuh puluhan kilometer dengan sepeda ontel hanya dalam beberapa menit. Dari sinilah, petani Jawa transimigrasi itu merasa memperoleh perlindungan spiritual.
Kita juga bisal belajar dari cabang yang terletak di sisi Timur Jakarta, di Cileungsi. Melalui asuransi dan jasa pelayanan kematian, PCM di Timur Jakarta berbatasan dengan Bekasi itu mengembangkan diri. Kini, mereka bersiap mendirikan rumah sakit dan universitas. Hanya ada satu dua orang aktivis yang terus memikirkan bagaimana menarik perhatian publik yang umumnya hidup dalam tradisi Jawara masyarakat Banten.
Aktivisnya memiliki kemampuan bela diri Tapak Suci, demikian pula Kuningan yang sukses mengembangkan PTM dalam tempo 5 tahun mendulang lebih dari 3000 mahasiswa (melibatkan tidak kurang 1,5 juta anggota keluarga). Padahal, gerakan ini minoritas di daerah mayoritas bertradisi Jawara yang dikenal hebat dalam kekuatan magis tersebut.
Kita bisal belajar dari ranting dan cabang yang maju di berbagai daerah di Jawa dan luar Jawa. Di dalamnya, dengan mudah kita temukan beberapa aktifis yang terus bekerja dan dengan setia memelihara “tradisi” secara lestari. Dan, dengan “tradisi” itu penduduk dan warga setempat menyatukan diri sebagai bagian dari komunitas spiritual.
6. “Pesaing Baru” Muhammadiyah
Apa yang dipelopori Kiai Dahlan seratus tahun lalu, kini sudah menjadi tradisi sosio-ritual pemeluk Islam negeri ini. Aksi-aksi kemanusiaan yang dilandasi cinta-kasih itu pula yang antara lain membuat dr. Sutomo kepicut, lalu mengatakan mejadi pengikut Muhammadiyah. Sementara itu, aktivis gerakan ini ”merasa” terancam ketika warga negeri ini meniru apa yang dilakukan Muhammadiyah (lihat kasus aktivis pegawai Kemang dan PTAIN), akibat terperangkap pada bentuk AUM bukan pada isi amal usaha tersebut.
Kini muncul beragam sekolah model baru (sekolah alam, kuttab, SIT (Sekolah Islam Terpadu) sekolah mendelegitimasi marwah gerakan ini. Di masa lalu, guru dan kiai (ulama) adalh sumber utama pembelajaran dan dakwah dalam spirit neosekolatik dan prenialisme (dalam ranah filsafat pendidikan). Kini, guru juga kiai ditempatkan sebagai fasilitator dalam spirit eksistensialisme dan progsivisme, paragmatisme, hingga gagasan deschooling.
Apa yang dulu dipolopori Kiai Dahlan kini sudah berkembang menjadi tradisi sosio-ritual pemeluk Islam negeri ini. (yang antara lain membuat dr. Sutomo dan presiden pertama Ir. Sukarno kepincut): sekolah, tata kelola (korban, haji, mesjid, dan kedermawanan sosial (ZIS), musola di tempat umum, taklim di ruang publik (semula dakwah dan kegiatan orang menuntut ilmu terbatas di posantren atau mesjid), santunan pada kaum zuafa.
Di tiap daerah, Muhammadiyah memiliki sekolah favorit di semua tingkat dari PAUD hingga perguruan tinggi yang dimata publik dipandang unggul. Disaat yang sama, ketika sekolah modern sudah menjadi kebutuhan publik, muncul sekoah model “baru” yang terlihat asal beda dengan sekolah muhammadiyah. Pengelola sekolah “baru” itu umumnya aktivis gerakan atau orang yang mempunyai hubungan kultural dengan gerakan Muhammadiyah. Karena “baru”, sekolah ini kemudian tampak lebih menarik, sementara praktek AUM cenderung statis, tanpa perubahan yang menjajanjikan harapan.
Soalnya ialah apakah sekolah unggulan Muhammadiyah dan sekolah “baru” tersebut bisa bersaing dalam situasi budaya yang semakin terbuka, terutama nanti saat Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) benar-benar berfungsi. Apakah memiliki basis teori yang unggul atau karena penggunaan waktu dan fasilitas pembelajar?. Teori dan sistim yang mendasari sekolah-sekolah tersebut tidak berbeda dari sekolah pada umumnya, kecuali frekfensi pembelajaran dan penggunaan alat atau media pembelajar, selain inputnya mamang sudah unggul.
7. Gerakan Budaya Dakwah Luar Ruang
Dakwah sebenarnya merupaka kegiatan edukasi luar ruang, sementara praktek pendidikan lebih banyak bekerja dalam ruang. Semua kegiatan itu merupakan kegiatan budaya, yaitu suatu kegiatn yang fokus pada pengembangan mental atau cara pandang dan sikap hidup. Sama halnya, kegiatan Muhammadiyah termasuk kegiatan budaya.
Muhamaadiyah merupakan gerakan budaya yang serring disalahpahami, bahkan oleh aktivisnya sendiri. Seluruh kegiatan gerakan ini merupakan inovasi kreatif yang sulit dicari padanannya di masa lalu (lihat prasarana gerakan ini pada kongres Islam Cirebon tahun 1921 dalam laporan tahu ke 9 tahun 1922)
Pendidikan atau dakwah adalah proses sosial budaya untuk mengembangkan atau mengubah tata-pikir dan tata-kelola kehidupan secara bertahap (lihat laporan tahunan ke IX 1922).Tahapan-tahapan itu bagai spiral yang diwadahi atau dilembagakan dalam regulasi melalui syriah (fikih) (dalam gerakan ini diperankan oleh tarjih). Salah satu orientasi Muhammadiyah yang tidak banyak disadari aktivisnya ialah perubahan tata piker manusia (umat) dan tata kelola kehidupan berbsis ajaran Islam.
Lihat asas PKOe dan kesaksian dari dr. Sutomo tentang posisioning gagasan Dahlan atas Darwinisme (lihat Suara Muhammadiyah tahun ke 5 Oktober 1924 halaman 170-171, dan almanak Muhammadiyah Tahun Hijrah 1354 halam 120) kini, secara cultural pemeluk Islam negeri ini adalh pengikut Muhammadiyah: lihat dakwah luar ruang (taklim), musalla di ruang publik (bandara, stasiun, terminal, pasar) minat pendidikan, sadar kesehatan, tat kelola sosial-ritual (zakat, infak, sedekah, ibadah korban, salat tarwih, haji, dan lain sebagainya).
Di saat aktivis gerakan ini masih terperangkap dalam bentuk-bentuk TBC, pelaku TBC, sudah bergerak menjadi TBC sebagai tradisi bagi berbagai fungsi sosial-ekonomo-budaya. Ziara kubur aulia dan ulama kharismatik menjadi wisata religi. Ritual kematian, yasinan dan tahlilan (3,7,100,1000 hari) sebagai media edukasi (umat lapis bawah jadi hafal surat-syrat pendek, juga do’a), sebagai media komunikasi (politik, ekonomi).
8. Pembelajaran Alternatif “Mletik”
Perlu pembelajaran model baru yang lebih bermutu, produktif, dan spiritual (makrifat; lihat keputusan Yokyakarta 2010). Memanfaatkan model Boarding School (BS) atau Madrasah Boarding School (MBS) sebagai media percepatan atau akselerasi (SD cukup 4 tahun, SMP 2 tahun, SMA/SMK 2 tahun). Melalui apa yang disebut MBS Prambana kegiatan amal bakti sosial (ABS) bisa dikembangkan pelatihan kecakapan hidup mandiri, baik di bidang sosial ekonomi, juga di bidang ubudiah dengan memanfaatkan kemampuan pelatihan kepanduan Hizbuk Wathan.
Sintesis pembelajaran BS (boarding school). /MBS (Madrasah Boarding School), Home Schooling, Sekolah alam, kuttub, mengikuti jenjang KKNI bagi pembelajaran lebih produktif, efektif, efisien. Sistimatika majelis ta’lim distandarisasi seperti kejar paket hingga model universitas terbuka.
Basis epitemologinya ialah bahwa kecerdasan spiritual (makrifat) menemukan clue kekuatan inti penbelajar berupa got spot sehingga seperti hikmah Jawa dalam melukiskan wong linuwih “jalmo limpat seperapat prasasat tammat” orang arif itu diberi 25% = 100%, sehingga membuat seseorang “mletik”. Sukses pembelajaran bukan dengan kuantitas jam, fasilitas dan bahan ajar lebih, melainkan dengan menghasilkan kualitas prima melalui jam, fasilitas, bahan ajar terbatas dan imput siswa dengan kualitas rendah.
9. Reposisi Perempuan Sebagai Simbol Modernitas
Kini, sudah bisalah perempuan tampil di ruang publik, bahkan sebagai pemimpin politik di daerah. Apa yang dilakukan Muhammadiyah seratus tahun lalu terhadap peran publik perempuan itu dianggap aneh, bahkan dituduh menyimpang dari ajaran Islam. Sementara kini publik sudah familiar dengan peran publik perempuan. ‘Aisyiyah, perempuan Muhammadiyah, cenderung kurang “greget” dan terkesan “ketinggalan zaman”.
Setiap kali menjelang pemilihan presiden dan kepala daerah di negeri ini, selalu memunculkan debat tentang posisi perempuan di ranah publik, khusunya dalam kepemimpinan nasional suatu bangsa. Awal tahun 2000an, tidak lama setelah pemilu presiden, muncul debat serupa berkaitan draf usulan pembaruan Kompilasi hukum Islam (KHI) oleh tim KHI Gender. Pedebatan itu antara lain dipicuh usulan tentang perempuan umur 21 tahun bisa menjadi wali bagi dirinya sendiri, nikah adalah kontrak sosial bukan ibadah, legitimasi kawin kontrak, penerapan idah bagi pria. Larangan poligami, kesamaan hak waris perempuan-pria. Perdebatan seperti ini masih akan terus meluas searah dengan kesetraan gender.
Di tengah perdebatan di atas, berlangsunglah reposisi perempuan dalam peta kepemimpinan gerakan Islam. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modernis, mulai menempatkan perempuan dalam komposisi kepemimpinan pusat gerakan ini. Beberapa aktivisnya sedang mengkaji ulang posisi perempuan sebagai imam shalat. Namun, itu tidak mudah dipenuhi ditengah patriarki fiqih dan patriarki dalam teologi Islam.. Soalnya bukan liberal atau konservatif, tetapi bagaimana menggerakan fungsi ajaran Islam hingga benar-benar berguna bagi pengembangan kehidupab sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan yang lebih sehat dan berkeadaban.
Reposisi perempuan dan kesetaraan gender bisa mati di tengah jalan jika tanpa kearifan kemanusiaan. Hal ini berkaitan fakta biologis keperempuanan yang perlu dicermati selain kecenderungan patriarki dalam fikih dan teologi Islam. Daur ulang menstruasi dan pembuahan di rahim perempuan merupakan bakat bawaan yang tak mungkin diubah. Perempuan yang mengandung dan menyusui boleh tidak puasa dan yang mentruasi dilarang berpuasa yang nanti diganti di hari lain. Aura ketubuhan sering menjadi alasan larangan perempuan sebagai imam shalat yang tak jarang diperluas dengan larangan menjadi pemimpin. Pada hal, Hadis Nabi yang dijadikan dasar pelarangan itu konon lemah.
Dalam hubungan itulah, usulan kawin kontrak bisa melegitimasi prostitusi yang semakin memperburuk nasib perempuan. Bersamaan itu, belum membaiknya kehidupan ekonomi negeri ini membuka peluang bagi segala jenis aktifitas yang bisa menarik minat yang membuahkan uang yang cukup banyak seperti prostitusi., trafiking atau perbudakan modern, serta pekerja di bawah umur. Demikian pula, idah (masa tunggu untuk kawin lagi setelah perceraian) bagi pria sama dengan idah bagi perempuan. Soalnya bukan sekedar keadilan dan kesamaan hak, tapi kepekaan kemanusiaan juga yang perlu dijadikan pertimbangan.
Kelahiran Isa sebagai nabi dan rasul dari rahim Maryam bisa dimaknai atas kritik hegemoni patriarki seperti tampilnya ’Aisyah, istri Nabi Muhammad Saw, sebagai komandan perang sesudah Nabi wafat. Fakta ini seperti dimentahkan kekalahan Ratu Bilkis atas Nabi Sulaiman. Dinamika Islam kemudian merupaka sejarah pria yang menghegemoni penafsiran al-Qur’an dan Hadist dan mendominasi kekuasaan berbasis keagamaan.
Seluruh gerakan Islam mengelompokan anggotanya berbasis gender. Anggota Muhammadiyah perempuan dikelompokkan dalam ‘Aisyiyah dan perempuan Nahdlatul Ulama (NU) dalam Muslimat. Pucuk kepemimpinan gerakan Islam terbesar di negeri ini selalu dijabat pria yang secara hegemoni diberi sebutan seperti nama organisasinya, sedangkan anggota perempuan disebut ‘Aisyiyah atau Muslimat. Posisi tertinggi perempuan hanya di lembaga subordinatif dalam sistim oeganisasi Muhammadiyah dan NU.
Posisi perempuan mulai berubah ketika Muhammadiyah menetapkan kebijakan memasukkan mereka kedalam struktur pimpinan sesudah muktamar 2000 lalu.. Sejak itu peluang perempuan menjadi ketua (umum) Muhammadiyah semakin terbuka. Namun, peluang itu tidak mudah diraih ketika sistim keluarga yang menempatkan pria kepala keluarga sebagai basis kehidupan sosial. Imam shalat selalu dijabat pria, sementara perempuan diberi nilai stengah dalam kesaksian dan sistim pewrisan dalam hukum fikih. Doktrin muhrim bisa disebut sebagai legalisasi dominasi pria yang bahkan hamper menutup peluang mobilitas sosial bagi perempuan.
Dalam situasi budaya berbasis teologi itulah reposisi perempuan dalam kepemimpinan Muhammadiyah menarik dicermati. Peserta siding Tanwir di Mataram pada Desember 2004 sekitar 25 persennya adalah perempuan, seperti peserta Muktamar ke 45 di Malang awal Juli tahun 2005. Posisi itu memang belum signifikan, namun, cikup penting bagi pelahiran keputusan strategis bersuasan kesetaraan gender dan penguatan reposisi perempuan dalam pentas politik nasional. Sayangnya, Muktamar 2005 itu mengamandir reposisi perempuan hasil keputusan Tanwir Mataram tahun 2004.
Soalnya ialah bagaimana reposisi perempuan tersebut lebih menjamin kehidupan sosial yang lebih sehat, bukan sekedar liberalisasi doktrin fikih dan teologi. Persoalan ini masih akan terus mengundang perdebatan dalam pemilihan gubernur, bupati dan walikota secara langsung. Tanpa tafsir baru, peran perempuan dalam kehidupan sosial-politik yang lebih luas masih akan menghadapi hambatan teologis.
Sejak 1990-an dalam setiap seleksi pencalonan pimpinan Muhammadiyah sudah muncul beberapa nama perempuan. Namun, hingga muktamar 2000 belum seorang perempuan pun terpilih sebagai anggota pleno pimpinan pusat yang berjumlah 13 orang, seperti penambahan anggota pleno yang bisalanya berjumlah 4 atau 6 orang oleh ke-13 anggota pleno pilihan Muktamar. ”kegagalan” perempuan menempati posisi 13 besar atau anggota tambahan itu lebih Karen mayoritas peserta Muktamar adalh pria.
Selama ini, perempuan Muhammadiyah lebih terkonsentrasi di organisasi otonom yang bertugas khusus membimbing kehidupan sosial-keagamaan perempuan, yaitu: ‘aisyiyah untuk anggota dewasa, dan Nasiy’atul ‘Aisyiyah (NA) untuk anggota lebih muda. Pimpinan lembaga ini seluruhnya perempuan untuk kaum perempuan. Sementara itu, kepemimpinan di berbagai majelis dan lembaga lain yang membidangi pendidikan, kesehatan, dakwah, dan santunan sosial, hanya sedikit melibatkan perempuan.
Karena itu, Muhammadiyah menetapkan kebijakan advokatif memasukkan perempuan dalam tiap jenjang kepemimpinan, melalui dua tahap. Pertama, caranya melalui pemilihan langsung dalam Muktamar dan permusyawaratan wilayah (propinsi), daerah (kabupaten/kota), cabang (kecamatan), dan ranting (desa). Tahap kedua, melalui penunjukkan anggota pleno tambaha oleh anggota pleno terpilih dengan mepertimbangkan hasil pemilihan langsung tersebut.
Kebijakan advokatif di atas diharapakan menyeimbangkan peserta perempuan dan pria dalam Muktamar 2010 atau 2015. Peluang perempuan menjadi ketua (umum) Muhammadiyah Lebih terbuka ketika memperoleh suara terbanyak dalam Muktamar atau musyawara di tingkat lebih rendah, tidak bagi posisi pria dalam ‘Aisyiyah atau NA. Lebih strategis jika reposisi perempuan diberlakukan di semua unit gerakan ini juga diikuti dengan peleburan Pemuda muhammadiyah dan NA dalam satu wadah, dan peleburan ‘Aisyiyah ke dalam Muhammadiyah.
Kesetaraan perempuan dalam wilayah publik di atas bukanlah barang baru dalam Muhammadiyah. Jauh sebelum kesetraraan gender atau feminisme menjadi wacana publik di Tanah Air atau di dunia, pendiri gerakan ini, Kiai Ahmad Dahlan, sudah menempatkan perempuan setara pria dengan tugas berbeda. Perkumpulan khusus perempuan dengan nama Sopotrisno didirikan tahun 1914 setelah mendirikan lembaga pembinaan perempuan bagi tugas-tugas non domestic yang diberi nama Wal Asri. Dua lembaga ini adalah cikal bakal kelahiran ‘Aisyiyah pada tahun 1922 dan NA untuk perempuan muda beberapa tahun kemudian.
Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah menggerakan partisipasi perempuan di berbagai wilayah publik, selain dalam pendidikan, kesehatan, penyantunan sosial, dan tablig atau dakwah. Secara khusus, didirikanlah sekolah perempuan yang dikenal dengan Madrasah Muallimat. Banyak perempuan mulai bertugas sebagai guru, juru dakwah, begelar insnyur, menjadi dokter, dan memegang berbagai jabatan publik lainnya. Kini, mudah ditemukan perempuan bergelat Doktor, Guru Besar di berbagai bidang ilmu, bekerja diberbagai lembaga ekonomi dan birokrasi pemerintahan.
Di masa itu, membiarkan perempuan keluar rumah untnuk urusan publik merupakan aib keluarga yang tak gampang disembuhkan. Lebih-lebih ketika perempuan itu pergi jauh dari rumah dan kampungnya dan bertemu kaum pria diberbagai tempat umum. Namun, dalam suasana seperti itu, istri Kiai Ahmad Dahlan, Siti Walidah pergi jauh ke berbagai daerah menyampaikan ceramah agama dan bertemu beragam kelompok masyarakat yang bukan hanya perempuan.
Perlakuan Kiai Dahlan terhadap perempuan tersebut merupakan praktik dari pemahaman keagamaan yang bukan sekedar liberal, tapi dipandang menyimpang dari tatanan tradisi dan ajaran Islam pada masa itu. Wajar jika Kiai Dahlan di tuduh sebagai kafir, membuat agama baru, dan tuduhan buruk lainnya. Di saat yang sama, Kiai Dahlan mentradisikan pemakainan kerudung bagi perempuan yang belakangan merebak dalam tradisi atau model jilbab. Dibangun pula tempat ibadah khusus bagi perempuan yang kemudian dikenal sebagai musolla.
Tindakan Kiai Dahlan di atas didasri pertimbangan praktis dan pragmatis peran perempuan bagi pertumbuhan kehidupan sosial yang lebih sehat. Ide futuristic yang jauh melampaui kesdaran zamannya itu merupakan strategi sejarah dan kebudayaan yang hasilnya baru terlihat hamper satu abad kemudian, akini, perempuan menuntut kuota 30 persen dalam lembaga legislative (DPR, DPD dan DPRD). Tak ada lagi orang tua yang melarang anak perempuannya pergi ke sekolah atau atau bekerja di berbagai bidang jauh dari kampung halaman, bahkan luar negeri.
Reposisi perempuan dalam gerakan Islam dan jabatan publik bisa mebawanya ke tengah pusaran peadaban modern dan golobal dengan segala dampak budaya yang tak seleuruhnya sesuai doktrin Islam dalam tafsir-tafsir klasik. Penolakan atas praktik-prakrik tak bermoral dan pelanggaran ajaran Islam dalam kebudayaan kotemporer, tidaklah memadai kecuali diikuti strategi peradaban futuristic sebagai pemandu umat untuk menyiasati peradaban golobal yang terbuka, dan hedonis, yang mungkin cenderung barbar. Suatu agenda baru yang tak mudah dipahami umat di zaman ini seperti reaksi masyarakat atas kebijakan Kiai Dahlan dan istrinya, Siti Walidah, hamper satu abad lalu.
Gerakan atau organisasi Muhammadiyah lahir saat perang dunia I berkobar. Eropah bergolak ditengah berlangsungnya konflik berat dalam dunia Islam, terutama diantara gerakan Wahabi di satu pihak dan kerajaan Turki sebelum kesultanan terakhir Islam ini roboh di pihak lain. Di saat yang sama, kawasan Nusantara berada dalam perangkap dan cengkraman kekuasaan kolonial di tengah konflik antarkerajaan Islam Nusantara. Perang Diponegoro berkobar, kemiskinan meluas dalam suasana rasa keputusasaan umat dan publik warga Nusantara. Seluruhnya beriringan dengan tumbuhnya kesadaran atas kebangsaan dan kesadaran pada pentingnya gerakan nasionalisme yang meluas.
Dalam suasana kekacauan sosial-budaya-politik dan religi seperti tersebut di atas. KH. Ahmad Dahlan membangun tredisi besar gerakan sosial islam dan amal saleh. Sautu model ritual mendekatkan diri kepada Tuhan yang bukan sekedar ditempuh melalui ritual formal seperti salat, puasa, haji, dan zakat melainkan jugan melalui pemberdayaan warga bangsa yang menderita dan tertindas. Dari sini dikembagkanlah zakat maal dsn zakat fitrah bagi anak yatim dan fakir miskin, dibagikan daging korban bagi mereka yang menderita, dibangun panti asuhan, rumah sakit dan sekolah secara gratis yang dibiayai dari gerakan kedermawanan atau filantropi. Tidak ketinggalan digerakan kaum perempuan ke ruang publik bagi pencerdasan dan kedermawanan. Gerakan ini kemudin menempatkan diri atau ditempatkan sebagai gerakan agama dengan aksi sipil pertama dan terbesar di dunia (Islam).
Kiai Ahmad Dahlan, yang priyayi (abdi dalem keraton) itu, mendakwahkan den meneladani bagaiamana mengumpulkan dan membagikan harta (fitrah, zakat, korban) bagi kepentingan umum. Sekolah dan rumah sakit, panti anak yatim dibangun dan dikelola dengan manajemen modern. Dengan tujuan agar seluruh lapisan umat memahmi secara langsung ajaran agamanya. Kitab al-Qur’an kemudian dterjemahkan, khutbah, pengajian aau ceramah agama diselenggarakan di tempat-tempat umum, di kampong, di pasar dan dipinggir jalan. Dibangun Musalla atau tempat beribadah di tempat umum; stasiun kereta api, dan terminal bus, perempuan dihalau ke luar rumah untuk mencari ilmu dan melakukan berbagai aksi sosial dan gerakan sipil.
‘Aisyiyah (organisai anggota Muhammadiyah perempun) secara resmi didirikan padatanggal 5 Januari 1922 (meski secara embrional sudah adasejak 1917), meski nama itu sebagi perkumpulan sudah cukup lama dipakai sebagai sebutan perkumpulan perempuan yang kurang terorganisasi dengan baik. Kelompok yang kemudian bernama Ngaisyiyah (model dialek orang Jokyakarta dalam mengucapkan ‘Aisyiyah) itu menggerakkan kaum perempuan untuk melakukan aksi non-domestik. Saat feminisme masih diperdebatkan di Eropah. Kiai Dahlan sudah mengusung perempuan ke ranah publik (Kartini belum muncul sebagi tokoh perempuan di kawasan Nusantara, Poulo Freire masih belum lulus TK karena baru lahir) Nyai Dahlan Siti Walidah berada pada posisi setara dengan Kiai Ahmad Dahlan, sering diundang ke lauar kota , bekan bersama dan atas nama Kiai Dahalan. Dalam sidang ulama di Solo yang mengambil tempat di serambi Mesjid Besar Keraton Surakarta, Nyai Dahlan di undang dan datang sendiri tanpa disertai Kiai Dahlan.
Bersamaan itu di saat warga kawasan pinggiran Negeri Ngayogyakarto dan sekitar daerah ini bermigrasi mencari pekerjaan ke kota Yokyakarta, Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah mengumpulkan mereka untuk diberi ilmu keagamaan dan keterampilan kerja. Saat itu, kota Yogyakarta menjadi maknit daerah-daerah sekitar, karena relative lebih aman dan lebih menjanjikan kehidupan yang lebih sejahtera (menyediakan lapangan kerja lebih baik dari daerah-daerah sekitar). Dari sini kemudian muncul antara lain pengajian Wal-Asri dan Kulliyatul Muballighin ini tumbuh berkembang menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Muhammadiyah, sererunya sekolah ini adalah merupakan cikal bakal UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta).
Sayangnya, kemudian berkembangan model pembagian kerja bebasis seksual seperti tercermin dalam struktur gerakan Muhammadiyah; ‘Aisyiyah (untuk perempuan dewasa) dan NA (Nasiyatul ‘Aisyiyah; untuk pemudi), ada Pemuda Muhammadiyah dan Muhammadiyah. Tahun 1980-an muncul kritik Kuntowijoyo tentang gejala demikian dan kritik Muhammadiyah sebagai gerakan kebudayaan tanpa kebudayaan. Dalam praktik gerakan persyarikatan itu kemudian muncul tarik-menarik antara ‘Aisyiyah dalam amal dengan Muhammadiyah, terutama dalam kaitan pengelolaan amal usaha.
Tahun 2003, problem di atas dipecahkan dengan reposisi ‘Aisyiyah yang disyahkan Tanwir Mataram 2004. Kebijakan Pimpinan Pusat itu di tolak Multamar Malang tahun 2005; argument yang menguasai peserta Muktamar saat itu ialah agar ‘Aisyiyah tidak usah repot-repot ngurusi wilayah publik. Argumen demikian bertentangan dengan fakta sosial tentang banyaknya perempuan aktif di sector publik, menjadi kepala sekolah, bupati, gubernur, rector, metri dan pejabat tinggi lainnya. Soalnya ialah bagaimana Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah menyikapi pemikiran dan fakta sosial tersebut?
Jika diamati perjalanan Muhammadiyah selama satu abad, bisa dilihat bagaimana gerakan ini menjadi model tradisi keberIslaman di Indonesia, dari pendirian Musalla di tempat umum, pengajian kampong dan perjalanan haji, merupakan buah gagasan yang semula muncul dari Muhammadiyah. Melalui gagasan dan amal tersebut, publik umat merasa terbantu dalam memenuhi kebutuhan hidup antara lain di bidang: keshatan, pendidikan, praktik keagamaan, hingga pemenuhan harga diri karena merasa setara dengan orang-orang colonial dan kristiani, umat merasa memperoleh perlindungan, memenuhi kebutuhan mobilitas sosial dan religi serta rasa aman.
Namun, dalam perkembangannya, jarak budaya antara persyarikatan dan publik umat semakin lebar. Pada saat yang sama, fungsi sipil gerakan ini telah banyak diambil alih oleh LSM, lembaga professional (pengacara), lembaga adat, partai, sementara fungsi religi mungkin mulai juga diambil oleh kelompok salafi, tarbiyah, Islam terpadu. Demikian pula, fungsi-fungsi yang mungkin harus disebut sebagai fungsi sekuler (pendidikan, kesehatan) tampaknya juga mulai diambil oleh kelompok-kelompok tradisional seperti posantren ketika lembaga ini juga mulai membuka diri untuk mengembangkan peran-peran sosial dan sipil.
Di sisi lain, ketika Muhammadiyah bersentuhan dalam masyarakat yang lebih luas dengan status sosial beragam warga gerakan ini berpirau. Terjadi suatu pertemuan budaya atau tradisi ketika banyak warga memanfaatkan jasa kegiatan Muhammadiyah di bidang pendidikan dan kesehatan. Dari kegiatan demikian , masuklah warga bangsa dengan latar belakang sosial keagamaan yang beragam ke sekolah Muhammadiyah dari SD hingga perguruan tinggi yang tumbuh pesat setelah kemerdekaan. Demikian pula dengan rumah sakit, masuklah dokter-dokter muda dengan latar belakang ssosial kegamaan yang juga beragam. Mereka kemudian “terpaksa” meperoleh pengakuan dalam tubuh gerakan ini dengan mebawa serta “tradisi” yang selama ini menghidupi mereka, sehingga membagi warga Muhammadiyah ke dalam empat tipe: Al-ikhlas; Kiai Dahlan; Munu; Marmud.
Pemirauan (kategirisasi) warga Muhammadiyah tersebut dijelaskan dalam laporan penelitian penulis di sisi Selatan kota Jember Jawa Timur., Kecamatan Wuluhan (Mulkhan, 2000, 2013), Keempat tipe anggota gerakan Muhammadiyah tersebut dapat digambarkan secara ringkas sebagaimana uraian berikut: Al-Ikhlas adalah tipe anggota Muhammadiyah yang pola pikir dan tradisi hidupnya pola ideal Muhammadiyah seperti fatwa tarjih. Kiai Dahlan merupakan tipe Al-Ikhlas yang lebih toleran karena mencoba membangun hubungan dengan warga masyarakat yang lebih luas. Munu (Muhammadiyah NU) adalah warga Muhammadiyah yang pola pikir dan organisasinya Muhammadiyah tetapi tradisi kehidupannya NU karena memang berasal dari keluarga NU yang sekolah di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Marmud (marhaenis Muhammadiyah) adalah anggota Muhammadiyah yang pola pikir dan organisasinya Muhammadiyah tetapi hidup kesehariannya dalam tradisi abangan.
Kini, setelah gerakan Muhammadiyah itu berusia 100 tahun, banyak warga bangsa ini yang memperoleh manfaat dari jasa sosial yang dikembangkan Muhammadiyah lewat lembaga pendidikan atau rumah sakit. Ironinya, banyak warga gerakan ini yang masih bersikap sektoral dalam arti kehendak agar mereka yang memanfaatkan jasa sosial gerakan ini berprilaku berdasar fatwa tarjih dan menjadi anggota Muhammadiyah. Namun, ketika mereka kemudian memiliki peluang menduduki jabatan strategis dalam struktur organisasi gerakan ini, sentiment sektoral itu dimunculkan seperti model darah biru gerakan. Demikian pula, ketika warga bangsa kaum perempuan yang dulu nunuk kamukten (memanfaatkan jasa) amal sosial dan kesetraan gender seperti pendidikan, kini lebih lantang menyuarakan identitasnya, sementara Muhammadiyah dan ’Aisyiyah terlalu puritan, jaga emej enggan tampil ke publik secara lugas dan penuh percaya diri dalam mebawakan ide-ide pembaruannya.
Muncul kesan kuat bahwa sementara warga Muhammadiyah berdarah biru persyarikatan lebih menikmati ke-”darah-biru-”an sebagai gerakan modern dan tajdid, tetapi warga ini lupa melakukan pembaruan tajdid dan ijtihad. Pada saat yang sama, banyak anggota Muhammadiyah yang ber”darah biru” sudah merasa puas dengan apa yang selama ini dicapkan kepadanya sebagai organisasi Islam yang mdern dan pembaru. Muncul kemudian rasa tersaingi oleh “pengikut” gerakan kemodernan Muhammadiyah ketika warga baru ini melakuakan aksi-aksi yang lebih kritis dan ijtihadi ketika mereka juga memiliki legalitas sebagai warga modern dengan gelar dan simbol-simbol modern.
Dulu, basis pengetahuan(terutama kitab kuning) nyai-nyai Muhammadiyah atau ‘Aisyiyah dengan nyai-nyai posantren (NU belum lahir) relative setara atau sama. Hingga 1980-an ‘Aisyiyah berada pada posisi di atas angin dibanding nyai-nyai dan perempuan tradisional. Kini posisi itu tampak timpang ketika mulai manyak lulusan luar negeri dari kalangan tradisional, berkemampuan bahasa Arab dan inggris bagus, disertai pencarian identitas sosial agresif, walau kadang sekedar cari proyek, sementara’Aisyiyah terlalu jaga imej (jaim) mriyayeni terlalu nyufi (keren-nya), penuh aturan dan protokoler.
Banyak doktor dan professor perempuan tradisional yang membuat Muhammadiyah/ ’Aisyiyah seringkali cemas. Semestinya sikap demikian tidak perlu, karena realitas sosial pemeluk Islam Indonesia, diantarnya munculnya perempuan-perempuan dari kalangan tradisionalis itu adalah sebuah bukti lain dari keberhasilan Muhammadiyah dalam menyebarkan ide pembaruan. Soalnya bagi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah kini ialah apa yang baru dan menarik publik dari yang kini dilakukan dan dikembangkan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah? Apa semua fakta sosial tersebut kita sadari secara jernih, atau bahkan dilihat sebagai ancaman? Berdasarkan kesadaran tersebut apakah dikembangkan suatu strategi baru gerakan sehingga memenuhi hajat publik kotemporer seperti saat-saat awal kelahiran gerakan ini?
1. Duet Kiai Dahlan dan Nyai Walidah.
Jauh sebelum isu kesetaraan gender atau feminism berkembang di tanah air ataupun di dunia, Kiai Ahmad Dahlan sudah bekerja untuk menempatkan kaum perempuan dalam posisi setara dengan pria dengan tugas berbeda. Perkumpulan khusus bagi kaum wanita dengan nama Sopotresno telah didirikan tahun 1914 selain pengajian Wal Asri beberapa tahun sebelumnya, ‘Aisyiyah secara resmi baru berdiri tahun 1922, 8 tahun sesudah Sopotreno.
Kini posisi ‘Aisyiyah jauh lebih strategis ketika tokoh ortom ini berpeluang menjadi ketua PP Muhammadiyah, tetapi tidak sebaliknya bagi tokoh Muhammadiyah. Soalnya kemudian ialah bagaimana kita menangkap pesan etika sejarah dari berbagai kegiatan yang dahulu dikembangkan KH. Ahmad Dahlan. Demikian pula, bagaimana kita memahami basis epistemology yang mendasari pemahaman Kiai Ahmad Dahlan tehadap ayat-ayat al-Qur;an dan Sunnah Rasul, sehingga bisa menafsirkan surat al-Maun menjadi lembaga yatim piatu, suratal-Imran ayat 104 menjadi sebuah tata nilai dan sistim organisasi, dan yang mebuatnya bersedia “meniru” berbagai praktek sosial kaum kristiani dan kaum kolonialis, yang selama ini dituduh kafir, terutama dalam pendidikan, kesehatan dan kepanduan.
Di awal abad ke-20 dalam kultur dan sistim sosial negeri ini, mebiarkan wanita keluar rumah untuk urusan non domestic merupakan sesuatu yang menyebabkan keluarga dan suatu komunitas menerima aib yang tak gampang disembuhkan. Lebih-lebih ketika wanita itu pergi jauh dari rumah dan kampong tempat tinggal seperti yang dilakukan Siti Walidah (istri Kiai Dahlan) bertemu dengan beragam manusia di berbagai polosok Jawa.
Perlakuan Kiai Dahlan terhadap kaum wanita ketika itu merupakan praktik dari pemikiran dan pemahaman keagamaan yang bukan sekedar radikal, tetapi revolusioner dan menyimpang dari tatanan umum serta melanggar norma keagamaan yang dipahami dan dipegang teguh oleh umumnya masyarakat muslim di zaman itu. Eajar jika apa yang dilakukan Kiai Dahlan pada waktu itu dituduh sebagai prilaku kafir, agama baru, dan berbagai sebutan lain.
Posisi kaum perempuan dalam Muhammadiyah bisa dibaca dari antara lain daftar muballigh. Nama Siti Walidah (bukan dengan nama Nyai Dahlan) sering kali muncul dalam posisi sejajar dengan Kiai Dahlan. Siti Walidah menempati posisi pertama dalam daftar muballigh di awal-awal perkembangan Muhammadiyah, seperti halnya posisi Kiai Ahmad Dahlan. Demikian pula halnya dalam berbagai kegiatan sosial, seperti yatim piatu, rumah sakit, panti jompo, santunan pada anak jalanan, dan korban perang.
Prubahan radikal tatanan nilai tentang wanita yang dilakuan Kiai Dahlan menjadi lebih institusional ketika kaum wanita dimobilisasi memasuki dunia pendidikan modern. Dari sini mulai bermunculan mubaligh perempuan (muballighah). Namun, disaat yang sama, Kiai Dahlan pulalah yang mentradisikan pemakaian kerudung bagi kaum wanita yang belakangan merebak dalam tradisi atau model jilbab. Pertimbangan utama yang mendasari berbagai pemberontakan terhadap tradisi antara lain ialah kepentingan praktis dan pragmatis tentang peran kaum wanita bagi pertumbuhan kehidupan social yang sehat.
Tindakan Kiai Dahlan waktu itu didasri oleh strategi sejarah dan kebudayaan futuristik yang jauh melampaui kesadaran zamannya. Hampir satu abad kemudian, masyarakat muslim di negeri ini menyadari peran strategis kaum perempuan. Hal ini antara lain bisa dilihat dari kuota 30% bagi perempuan di lembaga legislative. Muhammadiyah khususnya Kiai Dahlan, mengembangkan berbagai kegiatan social seperti bagi kaum wanita bukan semata-mata bagi warga Muhammadiyah, tetapi juga bagi kaum perempuan muslim dan perempuan lainnya. Dunia harus mengakui jasa Muhammadiyah menggerakan kesadaran masyarakat sehingga mereka yang anti Muhammadiyah pun kini merasa penting memasukkan anak-anak perempuan mereka keberbagai lembaga pendidikan modern.
Sayangnya, pesan etika perubahan tersebut kurang ditangkap oleh Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah itu sendiri, sehingga belakangan organisasi ini kurang responsive melibatkan diri dalam pemecahan berbagai persoalan kontemporer. Hal itu disebkan Muhammadiyah menghadapi apa yang sering saya sebut ideologisasi tradisi yang berkembang dalam gerakan ini. Persoalan ini memang tidak mudah ketika Islam mutlak benar dan sempurna itu dipahami dari tafsir-tafsir Islam yang cenderung patrialkhal. Kaum perempuan menerima tafsir-tafsir “anti wanita” tersebut sebagai hal yang sudah semestinya (Mulkhan, 2014).
Kini, kaum wanita telah berada di tengah pusaran peradaban modern dan global dengan segala dampak kebudayaan yang hamper-hampir tak terbendung. Kita tidak bisa hanya menolak praktik-praktik tak bermoral dan pelanggaran doktrin ajaran Islam, namun yang lebih diperlukan ialah bagaimana Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah merancang sebuah peradaban futuristik yang bisa menjadi pemandu umat dalam menghadapi perubaha global yang terbuka, hedonis, dan yang mungkin cenderung bar-bar. Perlu penafsiran baru yang mungkin bisa disebut liberal seperti yang pernah dilakukan oleh Kiai Ahmad Dahlan dan istrinya., Siti Walidah, namun untuk itu Muhammadiyah dan’Aisyiyah harus bersedia menerima cemoohan seperti dulu dialami oleh duet Kiai Ahmad Dahlan dan Siti Walidah.
Sumber :
AIK III; Kemuhammadiyahan: Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 2016
0 Comments:
Posting Komentar
Silahkan di tanyakan