MANUSIA DAN SIFAT-SIFAT ALAMIAH
A.
Hakikat Manusia dalam Pandangan Islam
Manusia adalah salah satu makhluk ciptaan
Allah SWt yang memiliki peranan penting dalam
kehidupan di muka bumi. Manusia juga dipandang sebagai makhluk yang
paling tinggi derajatnya
dibandingkan makhluk Allah SWT bahkan
Allah
menyuruh
para
malaikat untuk
bersujud kepada Adam Alaihi salam.
Masyarakat barat memiliki pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki jiwa
dan raga serta
dibekali
dengan akal dan pikiran.
Namun demikian terdapat banyak pandangan berkaitan dengan
hakikat manusia, diantaranya:
1. Pandangan Psikoanalitik
Dalam pandangan psikoanalitik
diyakini
bahwa pada hakikatnya manusia digerakkan oleh
dorongan-dorongan
dari
dalam dirinya yang
bersifat instingtif.
Hal ini menyebabkan
tingkah laku seorang
manusia diatur dan dikontrol oleh kekuatan psikologis yang
memang ada dalam diri
manusia. Terkait hal ini diri manusia tidak memegang kendali
atau tidak menentukan atas
nasibnya seseorang tapi tingkah laku seseorang
itu semata-mata diarahkan untuk
mememuaskan
kebuTuhan dan insting biologisnya.
2. Pandangan Humanistik
Para humanis
menyatakan bahwa manusia memiliki dorongan-dorongan
dari
dalam dirinya
untuk mengarahkan dirinya mencapai tujuan
yang positif. Mereka menganggap manusia itu
rasional
dan
dapat menentukan nasibnya sendiri.
Hal ini
membuat manusia itu terus
berubah dan berkembang untuk
menjadi pribadi yang lebih
baik
dan lebih sempurna. Manusia dapat pula
menjadi anggota kelompok masyarakat dengan
tingkah laku yang baik.. Dalam hal ini manusia
dianggap sebagai makhluk
individu
dan
juga
sebagai makhluk social yang memiliki rasa kemanusia terhadap sesama manusia yang lain.
3. Pandangan Martin Buber
Menurutnya manusia adalah sebuah
eksistensi atau keberadaan yang
memiliki potensi
namun dibatasi oleh kesemestaan
alam. Dalam
pandangan ini
manusia
berpotensi utuk menjadi ‘baik’ atau ‘jahat’, tergantung
kecenderungan mana yang
lebih besar dalam diri manusia. Hal ini memungkinkan manusia yang ‘baik’ kadang-
kadang juga melakukan ‘kesalahan’.
4. Pandangan Behavioristik
Behavior
bermakna lingkungan, Pada dasarnya kelompok Behavioristik menganggap manusia sebagai makhluk yang reaktif dan tingkah lakunya dikendalikan oleh faktor-faktor
dari
luar dirinya, yaitu lingkungannya. Lingkungan merupakan
faktor dominan yang
mengikat
hubungan individu. Hubungan
ini
diatur oleh hukum-hukum belajar, seperti adanya teori pembiasaan dan keteladanan. Merek juga
meyakini bahwa baik dan
buruk itu adalah karena pengaruh
lingkungan.
Hakikat manusia dalam Islam
Adapun hakikat manusia dalam Islam tidak terlepas dari beberapa terminology yang
bersumber
dari
Al Qur’an, dalam berberapa ayat manusia disebut
sebagai Abdullah,
an nass,
al
basyar, al insane,
kholifah, dan bani adam.
jika melihat secara seksama Allah menggunakan kata-kata tersebut untuk manusia memiliki beberapa konotasi makna antara lain :
1. Manusia Sebagai Hamba Allah
(Abd Allah)
Sebagai hamba Allah,
manusia wajib
mengabdi dan taat kepada Allah selaku Pencipta karena adalah hak Allah untuk disembah dan tidak
disekutukan. Bentuk pengabdian manusia
sebagai hamba Allah tidak terbatas hanya pada ucapan dan
perbuatan saja, melainkan juga harus dengan
keikhlasan hati, seperti yang diperintahkan dalam
surah Bayyinah: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam
menjalankan agama
yang
lurus …,” (QS:98:5).
Dalam surah adz- Dzariyat Allah menjelaskan:
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah Aku.”
Dengan demikian manusia sebagai hamba Allah akan menjadi manusia yang
taat, patuh dan
mampu
menjalankan perannya sebagai
hamba yang membawa kebaikan baik di darat maupun di laut, demikian adanya karna manusia menyadari
adanya ikatan tanggungjawab
dengan tuhannya.
2. Manusia Sebagai al- Nas
Manusia, di dalam al-
Qur’an juga disebut dengan al- nas. Konsep al- nas ini cenderung mengacu pada status
manusia dalam kaitannya
dengan lingkungan
masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan fitrahnya manusia memang
makhluk
sosial. Dalam hidupnya manusia membutuhkan
pasangan, dan memang diciptakan berpasang- pasangan seperti dijelaskan dalam surah an- Nisa’, “Hai sekalian manusia, bertaqwalaha
kepada
Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
istirinya,
dan dari pada keduanya Alah
memperkembangbiakkan laki-laki dan
perempuan yang
banyak. Dan bertakwalah
kepada Allah
dengan (mempergunakan)
namanya kamu
saling
meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan
silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu.” (QS:4:1).
Dari dalil di atas bisa dijelaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang dalam hidupnya membutuhkan manusia dan hal lain di luar dirinya untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya agar dapat menjadi bagian dari lingkungan soisal dan masyarakatnya.
3. Manusia Sebagai khalifah
Allah
Allah menyebut manusia dengan
sebutan kholifah terdapat dalam surah al Baqarah ayat 30:
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ
لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا
اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ
نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا
تَعْلَمُوْنَ
“Ingatlah ketika Tuhan-mu
berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata:”Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah)
di
bumi itu
orang yang
akan membuat kerusakan dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya
Aku
mengetahui apa
yang kamu tidak ketahui.
surah Shad ayat 26:
يٰدَاوٗدُ
اِنَّا جَعَلْنٰكَ خَلِيْفَةً فِى الْاَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ
وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوٰى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ
يَضِلُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ ۢبِمَا نَسُوْا يَوْمَ
الْحِسَابِ ࣖ
,“Hai Daud,
sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (peguasa)
di muka
bumi, maka berilah keputusan di antara manusia
dengan adil dan
janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu. Karena
ia
akan menyesatkan kamu dari
jalan Allah. …” (QS:38:26).
Dari kedua ayat di atas dapat dijelaskan
bahwa sebutan khalifah
itu
merupakan
anugerah
dari
Allah kepada manusia,
dan selanjutnya manusia diberikan beban untuk
menjalankan
fungsi khalifah tersebut sebagai amanah yang harus
dipertanggungjawabkan.Sebagai khalifah di
bumi manusia mempunyai
wewenang
untuk memanfaatkan alam (bumi) ini untuk
memenuhi
Kebutuhan
hidupnya sekaligus
bertanggung jawab terhadap kelestarian alam ini. Seperti
dijelaskan
dalam surah al- Jumu’ah,
فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ
وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ
تُفْلِحُوْنَ
“Maka apabila telah selesai shalat, hendaklah kamu bertebaran di muka bumi ini dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak- banyak agar kamu beruntung.” (QS: 62: 10),
4. Manusia Sebagai Bani Adam
Sebutan
manusia sebagai bani Adam merujuk kepada berbagai keterangan dalam al-
Qur’an yang
menjelaskan
bahwa manusia adalah keturunan Adam dan bukan
berasal dari hasil
evolusi dari makhluk
lain
seperti yang dikemukakan oleh Charles
Darwin. Konsep bani Adam mengacu
pada
penghormatan kepada nilai-
nilai kemanusiaan.
Konsep ini menitikbertakan
pembinaan hubungan persaudaraan
antar sesama manusia dan menyatakan bahwa semua
manusia berasal dari keturunan yang sama.
Dengan demikian manusia dengan
latar
belakang sosia
kultural, agama,
bangsa dan bahasa yang
berbeda
tetaplah bernilai sama, dan
harus
diperlakukan
dengan
sama.
Dalam surah
al- A’raf dijelaskan:
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ
قَدْ اَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُّوَارِيْ سَوْءٰتِكُمْ وَرِيْشًاۗ
وَلِبَاسُ التَّقْوٰى ذٰلِكَ خَيْرٌۗ ذٰلِكَ مِنْ اٰيٰتِ اللّٰهِ لَعَلَّهُمْ
يَذَّكَّرُوْنَ يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ
اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا
سَوْءٰتِهِمَا ۗاِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا
تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا
يُؤْمِنُوْنَ
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, semoga mereka selalu ingat. Hai anak Adam janganlah kamu ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, …” (QS : 7; 26-27).
5. Manusia Sebagai al- Insan
Manusia disebut al- insan dalam al- Qur’an mengacu pada potensi yang diberikan Tuhan kepadanya.
Potensi antara lain
adalah kemampuan
berbicara QS:55:4),
kemampuan menguasai ilmu
pengetahuan melalui proses
tertentu (QS:6:4-5),
dan
lain-lain. Namun selain memiliki
potensi positif ini, manusia sebagai al- insan juga mempunyai kecenderungan berprilaku negatif
(lupa). Misalnya dijelaskan
dalam surah
Hud:
وَلَىِٕنْ اَذَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنَّا رَحْمَةً
ثُمَّ نَزَعْنٰهَا مِنْهُۚ اِنَّهٗ لَيَـُٔوْسٌ كَفُوْرٌ
“Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat, kemudian rahmat itu kami cabut dari padanya, pastilah ia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih.” (QS: 11:9).
6. Manusia Sebagai Makhluk
Biologis (al-
Basyar)
Hasan Langgulung mengatakan bahwa
sebagai
makhluk
biologis manusia
terdiri atas
unsur materi, sehingga memiliki bentuk
fisik berupa tubuh
kasar (ragawi). Dengan kata lain
manusia adalah makhluk jasmaniah yang secara
umum
terikat kepada kaedah
umum makhluk
biologis seperti berkembang biak, mengalami fase pertumbuhan dan perkembangan,
serta memerlukan makanan untuk hidup,
dan
pada akhirnya mengalami kematian.
Dalam al- Qur’an
surah
al Mu’minūn dijelaskan:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dari sari pati
tanah. Lalu Kami jadikan saripati
itu air mani yang
disimpan dalam tempat yang kokoh
(rahim).
Kemudian air
mani itu Kami jadikan segumpal
darah,
lalu menjadi
segumpal daging, dan segumpal daging itu kemudian Kami jadikan
tulang
belulang, lalu tulang belulang itu Kami
bungkus dengan
daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk berbentuk lain, maka Maha Sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.”
Berangakat dari hakikat manusia
di atas
tentu
ini
menunjukan Islam sebagai agama yang sempurna,
membicarakan awal dari kehidupan namun juga membicarakan akhir
dari
kehidupan. Bagi umat Islam keyakinan
terhadap agama Islam
adalah final yang
tidak ada sedikitpun bagian membingungkan, segala aspek esensi kehidupan diuraikan
dalam Al Qur’an. Pandangan tentang
manusia ini juga menolak dan mematahkan berbagai teori tentang
asal muasal manusia,
diantaranya yang dikenal
secara umum adalah
teori Darwin.
Pernyataan
Darwin
bahwa manusia
modern
berevolusi
dari sejenis makhluk
yang mirip kera. Selama proses
evolusi tanpa bukti ini
yang diduga telah dimulai dari 5 atau 6 juta tahun
yang lalu, dinyatakan bahwa terdapat beberapa
bentuk peralihan antara
manusia modern dan
nenek moyangnya.
Genus yang
dianggap sebagai
nenek moyang manusia yang mirip kera tersebut oleh
evolusionis
digolongkan sebagai Australopithecus, yang berarti "kera dari selatan".
Australophitecus, yang tidak lain adalah jenis kera
purba yang telah punah, ditemukan dalam berbagai bentuk. Beberapa dari mereka lebih besar
dan kuat
dan tegap,
sementara yang lain lebih kecil dan
rapuh dan lemah. Dengan menjabarkan
hubungan dalam rantai tersebut
sebagai "Australopithecus > Homo Habilis> Homo erectus
>
Homo sapiens,"
evolusionis secara tidak
langsung menyatakan bahwa setiap jenis ini
adalah nenek moyang jenis
selanjutnya. Teori diatas tentu bertentangan dengan apa
yang di jelaskan Allah dalam Al Qur’an dimana
manusia adalah makluk yang diciptakan Allah dari sari pati tanah sebagaimana dalam
surat al mu’minun. Proses di ciptakan ini tentu berbeda dengan teori
Darwin, Allah
mengatakan
diciptakan dan bukan
di evolusikan.
Al-Quran membantah teori evolusi yang menyatakan manusia berasal dari kera (Teori
Darwin).
Di
dalam Al Qur’an
dijelaskan bahwa Adam diciptakan oleh Allah dari
tanah
yang kering kemudian dibentuk oleh Allah dengan
bentuk yang sebaik-baiknya. Setelah sempurna maka oleh Allah ditiupkan ruh kepadanya maka
dia
menjadi hidup. Hal ini ditegaskan oleh Allah
di dalam firman-Nya :
الَّذِيْٓ اَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهٗ
وَبَدَاَ خَلْقَ الْاِنْسَانِ مِنْ طِيْنٍ
"Yang membuat sesuatu yang Dia ciptakan
sebaik-baiknya dan
Yang
memulai
penciptaan manusia dari tanah". (QS. As Sajdah (32) :
7)
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ
صَلْصَالٍ مِّنْ حَمَاٍ مَّسْنُوْنٍۚ
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat
kering (yang berasal)
dari
lumpur hitam yang
diberi bentuk". (QS. Al Hijr (15) : 26)
وَاِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ خَالِقٌۢ بَشَرًا مِّنْ صَلْصَالٍ مِّنْ
حَمَاٍ مَّسْنُوْنٍۚ فَاِذَا سَوَّيْتُهٗ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِيْ
فَقَعُوْا لَهٗ سٰجِدِيْنَ
Disamping
itu
Allah juga menjelaskan secara rinci tentang penciptaan manusia pertama itu
dalam surat Al Hijr ayat 28 dan
29 .
Proses kemudian Allah menjadikan
Manusia Kedua (Siti Hawa).
Pada dasarnya segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah di dunia ini selalu dalam keadaan
berpasang-pasangan. Demikian
halnya dengan manusia,
Allah
berkehendak
menciptakan lawan
jenisnya untuk
dijadikan kawan
hidup (isteri).
Hal ini dijelaskan
oleh
Allah dalam salah satu firman-Nya :
"Maha Suci Tuhan yang
telah menciptakan
pasangan- pasangan
semuanya,
baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui" (QS. Yaasiin (36) :
36).
Adapun
proses kejadian manusia kedua ini
oleh
Allah dijelaskan
di dalam surat An Nisaa’ ayat 1 yaitu : "Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu
dari
seorang diri,
dan
dari padanya Allah menciptakan
isterinya, dan daripada keduanya
Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan
perempuan yang sangat banyak..." (QS. An Nisaa’
(4) : 1)
Apabila kita amati proses kejadian manusia kedua ini, maka secara tak langsung hubungan manusia laki-laki dan perempuan melalui perkawinan adalah usaha untuk menyatukan kembali tulang rusuk yang telah dipisahkan dari tempat semula dalam bentuk yang lain. Dengan perkawinan itu maka akan lahirlah keturunan yang akan meneruskan generasinya.
Proses Kejadian Manusia Ketiga (semua keturunan Adam dan Hawa)
Proses kejadian manusia ketiga adalah kejadian
semua keturunan Adam dan Hawa kecuali
Nabi
Isa
a.s.
Dalam
proses ini
disamping
dapat
ditinjau menurut Al Qur’an dan Al Hadits dapat pula ditinjau
secara medis. Di
dalam
Al Qur’an, proses kejadian manusia
secara biologis dejelaskan
secara
terperinci melalui firman-Nya :
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ سُلٰلَةٍ
مِّنْ طِيْنٍ ۚ ثُمَّ جَعَلْنٰهُ نُطْفَةً فِيْ قَرَارٍ مَّكِيْنٍ ۖ ثُمَّ
خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا
الْمُضْغَةَ عِظٰمًا فَكَسَوْنَا الْعِظٰمَ لَحْمًا ثُمَّ اَنْشَأْنٰهُ خَلْقًا
اٰخَرَۗ فَتَبَارَكَ اللّٰهُ اَحْسَنُ الْخٰلِقِيْنَۗ
"Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia itu dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu
air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air
mani
itu Kami jadikan segumpal darah,
lalu
segumpal darah itu
kami jadikan
segumpal
daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang
belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus
dengan daging. Kamudian Kami jadikan
ia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah
Allah , Pencipta Yang Paling Baik." (QS. Al Mu’minuun (23)
: 12-14).
"...Dia menjadikan
kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan (kegelapan dalam perut,
kegelapan dalam rahim,
dan kegelapan dalam selaput yang
menutup anak dalam
rahim)..." (QS. Az Zumar (39) : 6).
B. Potensi, Kelebihan, dan Kelemahan Manusia.
Manusia Berbeda dengan makhluk lainnya, ia
adalah
ciptaan Allah yang
paling potensial. Artinya
Allah
membekali manusia dengan potensi yang
sempurna. Hal ini menyebabkan
manusia mampu mengembangkan dirinya melalui
potensi-potensi
(innate
potentials atau innate tendencies) tersebut. Secara fisik manusia terus
tumbuh, secara mental manusia terus berkembang, mengalami
kematangan dan perubahan.
Kesemua itu adalah
bagian
dari
potens yang diberikan Allah kepada manusia sebagai ciptaan pilihan. Potensi yang diberikan kepada manusia itu
sejalan dengan
sifat-sifat
Tuhan, dan dalam
batas kadar dan kemampuannya sebagai
manusia. Karena jika tidak demikian, menurut
Hasan Langgulung, maka manusia akan mengaku
dirinya Tuhan.
Setidaknya ada potensi mendasar yang menjadikan manusia makhluk
yang dikaruniai potensi oleh
Allah,
diantara potensi tersebut antara lain:
Berikut ini adalah beberapa potensi manusia
menurut agama Islam yang diberikan oleh Allah SWT.
1. Potensi Akal
Manusia memiliki potensi akal yang dapat menyusun konsep-konsep, mencipta,
mengembangkan,
dan menemukan gagasan Dengan potensi ini, manusia dapat melaksanakan
tugas-
tugasnya sebagai pemimpin di muka bumi. Namun, faktor subjektivitas manusia dapat mengarahkan manusia pada kesalahan dan kebenaran.
2. Potensi Ruh
Manusia memiliki ruh. Banyak pendapat para ahli tentang ruh. Ada yang lain memahami bahwa ruh pada manusia adalah nyawa. Sementara sebagian yang lain memahami ruh pada manusia sebagai dukungan dan peneguhan kekuatan batin. Soal ruh ini memang bukan urusan manusia karena manusia memiliki sedikit ilmu pengetahuan. Biarlah urusan ruh menjadi urusan Tuhan. Allah SWT berfirman:
وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِۗ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ وَمَآ اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا
Katakanlah, “Ruh adalah urusan Tuhan-Ku,
kamu
tidak diberi ilmu kecuali sedikit.” (QS. Al-Isra:85)
3. Potensi Qalbu
Qalbu
di sini tidak dimaknai sekadar
„hati‟ yang ada pada manusia. Qalbu lebih mengarah pada
aktivitas rasa yang
bolak-balik. Sesekali senang,
sesekali susah. kadang setuju, dan kadang menolak.
Qalbu berhubungan dengan keimanan.
Qalbu
merupakan wadah
dari
rasa takut, cinta,
kasih
sayang,
dan keimanan. Karena qalbu
ibarat sebuah wadah,
ia berpotensi menjadi kotor atau tetap bersih.
4. Potensi Fitrah
Manusia pada saat lahir memiliki potensi
fitrah. Fitrah tidak dimaknai
melulu sebagai sesuatu yang
suci. Fitrah di sini adalah
bawaan sejak lahir. Fitrah manusia
sejak lahir adalah membawa agama yang
lurus.
Namun,
kondisi
fitrah
ini
berpotensi tercampur dengan
yang lain dalam
proses perkembangannya.
5. Potensi Nafs
Dalam bahasa Indonesia, nafs
diserap menjadi
nafsu
yang berarti ‟dorongan
kuat untuk berbuat kurang
baik‟. Sementara nafs yang ada pada manusia tidak hanya dorongan
berbuat buruk, tetapi berpotensi
berbuat baik.
Dengan kata lain,
nafs ini berpotensi positif dan
negatif.
Meskipun
manusia dibekali oleh
allah
dg beragam potensi yang
ada
pada manusia, namun
manusia juga memiliki potensi yang sangat merusak, hal ini diakibatkan
tidak adanya ikatan seseorang
dengan allah atau biasa di sebut iman. Maka potensi
yang ada pada manusia tersebut akan
menjadikan
manusia sebagai makluk yang
sangat merusak, bahkan potensi merusaknya bisa melebihi makhluk
allah yang lain, disebutkan dalam al qur‟an surat al bayyinah : 6
yang berbunyi.
اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ
وَالْمُشْرِكِيْنَ فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمْ
شَرُّ الْبَرِيَّةِۗ
Terjemahan Kemenag 2019
6. Sesungguhnya orang-orang yang kufur dari
golongan Ahlulkitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) neraka Jahanam. Mereka
kekal di dalamnya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk.
Sesungguhnya
orang-orang yang
kafir
yakni
ahli Kitab
dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke
neraka jahannam; mereka kekal di
dalamnya. mereka itu
adalah seburuk-buruk makhluk.
Ungkapan seburuk-buruk makluk ada
ayat ini
ada
kaitannya dengan manusia yang
tidak ada ikatan dengan
tuhannya, tidak ada iman dalam dirinya sehingga potensi yang diberikan allah
menjadikan manusia berperangai merusak, baik
itu
merusak manusia, moral , nilai bahkan
lingkungan dan
alam yang ada dimuka bumi
(Sumber : AIK 1 Universitas Muhammadiyah Sidoarjo)
0 Comments:
Posting Komentar
Silahkan di tanyakan