*MAKNA JAHILIYAH DALAM AL-QURAN* Oleh : Ustadz Faturahman kamal ( Ketua Majlis Tabligh PP Muhammadiyah ) Al Quran lah yang mengenalkan istilah Jahiliyyah. Sehingga kita harus bertanya kepada Al Quran langsung tentang pembahasan ini. Agar terang bagi kita, analisa penyakit diri, keluarga dan masyarakat ini. Al Quran menyebutkan Jahiliyyah dalam berbagai bentuk kata. Ada fi’il(kata kerja), ada mashdar dan ada isim fa’il; baik tunggal ataupun jama’. Tetapi kata Jahiliyyah (الجاهلية) sendiri tersebutkan 4 kali dalam Al Quran. Masing-masing kata Jahiliyyah, mewakili bidang kehidupan besar yang dirusak oleh kejahiliyyahan. Sementara, jahiliyyah yang hadir dalam bentuk fi’il (kata kerja) dan isim fa’il (kata subyek) bicara tentang contoh-contoh kejahiliyyahan di masyarakat sehari-hari. Berikut ini kata Jahiliyyah yang tersebut 4 kali dalam Al Quran: *Prasangka (keyakinan) Jahiliyyah* ثُمَّ أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ بَعْدِ الْغَمِّ أَمَنَةً نُعَاسًا يَغْشَى طَائِفَةً مِنْكُمْ وَطَائِفَةٌ قَدْ أَهَمَّتْهُمْ أَنْفُسُهُمْ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ مِنْ شَيْءٍ قُلْ إِنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ يُخْفُونَ فِي أَنْفُسِهِمْ مَا لَا يُبْدُونَ لَكَ يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَاهُنَا قُلْ لَوْ كُنْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحِّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ Kemudian setelah kamu berdukacita, Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari pada kamu, sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri, mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata: “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?.” Katakanlah: “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah.” Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata: “Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.” Katakanlah: “Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh.” Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati. (Qs. Ali Imron: 154) Al Quran menyebut keyakinan orang-orang kafir dan musyrik sebagai prasangka (Dzon), seperti dalam ayat, سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آَبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ “Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun.” Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: “Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?” Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta.” (Qs. Al An’am: 148) Ayat ini bahwa orang-orang musyrik yang sangat meyakini tuhan-tuhan mereka dan sangat taat kepada tuhan-tuhan itu, kemudian berkata tentang Allah sesuai dengan pengetahuan mereka. Kesemua itu hanyalah persangkaan belaka. Bukan ilmu. Itu artinya, Dzon Jahiliyyah bisa berarti keyakinan, bukan hanya prasangka. Apapun keyakinan yang salah tentang Allah maka masuk dalam poin ini. Berbagai bentuk keyakinan kemusyrikan dari patung hingga mendewakan manusia, atau meyakini sial dan keberuntungan berdasarkan benda atau peristiwa, menyematkan sifat negatif untuk Allah Sang Maha Sempurna. Semua ini adalah Dzon Jahiliyyah. Tentu saja, hal ini tidak mati. Masih terus hidup, karena guru besarnya; Iblis pun masih hidup. *Hukum Jahiliyyah* أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Qs. Al Maidah: 50) Semua aturan, perundangan, tata tertib, keputusan, perjanjian yang bertentangan dengan wahyu adalah merupakan hukum jahiliyyah. Termasuk di dalamnya, aturan ibadah. Masyarakat Jahiliyyah memiliki aturan jahiliyyah sendiri. Romawi dan Persia umpamanya, mempunyai aturan tentang ekonomi yang mendzalimi masyarakat dengan cekikan pajak yang digunakan untuk pesta para penguasa. Demikian juga kedzaliman ekonomi yang terjadi di tanah Arab dan tempat lain. Yang kuat memakan yang lemah. Wanita adalah makhluk yang terdzalimi pada masa jahiliyyah. Kedzaliman itu bisa ‘tidak diorangkannya’ wanita sehingga menjadi masyarakat nomer dua. Tetapi kedzaliman juga bisa hadir dalam bentuk lain. Di belahan dunia lain, wanita diangkat bahkan dianggap keturunan dewi. Sehingga tidak ada yang berani menyentuhnya. Tentu ini menyiksa wanita dengan fitrahnya sebagai wanita. Dalam masalah ibadah, masyarakat Arab masih memahami prosesi ibadah haji. Tetapi mereka telah mengubahnya sedemikian rupa, sesuai dengan keinginan mereka sendiri dan tidak jauh dari kepentingan uang. Istilah pernikahan bukan hanya untuk mereka yang menikah dengan hukum Islam. Tetapi pelacuran, tukar pasangan dan semua praktik zina, dianggap legal oleh masyarakat sebagai pernikahan yang sah. Begitulah contoh hukum jahiliyyah. Semua hal yang mengatur hidup ini, jika tidak dalam koridor wahyu maka pasti memasuki wilayah gulita jahiliyyah. *Penampilan dan Tingkah Laku Jahiliyyah* وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآَتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Qs. Al Ahzab: 33) Berpenampilan dan tingkah laku ternyata sesuatu yang sangat besar. Bukan sesederhana kita membahasakan dengan kebebasan ekspresi. Karena Al Quran memisahkan sisi ini sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Berpenampilan dan bertingkah laku Jahiliyyah. Semakin besar jahiliyyah memasuki wilayah keluarga atau masyarakat, maka penampilan akan semakin seronok dan telanjang. Hal ini sesuai dengan ilmu guru besar mereka; Iblis, يَا بَنِي آَدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآَتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ “Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya ‘auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman.” (Qs. Al A’raf: 27) Salah satu target besar Iblis adalah menelanjangi anak cucu Adam. Maka semakin senang dengan penampilan telanjang, menunjukkan betapa semakin dalamnya seseorang tergulung arus jahiliyyah. Itulah mengapa Islam mengatur dengan sangat baik cara seseorang berpenampilan. Jelas bukan untuk membatasi gerak dan ekspresi, tetapi Allah Maha Mengetahui bahwa rusaknya penampilan akan merusak moral dan tatanan masyarakat yang baik dan nyaman. *Kesombongan (fanatisme) Jahiliyyah* إِذْ جَعَلَ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوَى وَكَانُوا أَحَقَّ بِهَا وَأَهْلَهَا وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا “Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. Al Fath: 26) (حمية) mempunyai beberapa arti. Al Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud adalah (أنفة): tinggi hati atau kesombongan. Untuk menjelaskan hal ini, Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya memberikan contoh, “Yaitu ketika mereka tidak mau menulis: بسم الله الرحمن الرحيم Mereka juga menolak untuk menulis: Ini perjanjian yang dibuat oleh Muhammad Rasulullah.” Kisah yang dicontohkan oleh Ibnu Katsir ini adalah kisah dalam perjanjian damai Hudaibiyyah tahun 6 H, antara muslimin dan Quraisy. Mereka menolak asmaul husna Ar Rahman dan Ar Rahim serta kata Rasulullah. Kesombongan dan fanatisme jahiliyyah lah yang membuat mereka tetap menolak semua kebenaran yang semakin hari semakin terbukti itu. Kata (حمية) juga digunakan Nabi untuk menjelaskan amal jihad yang tertolak jika niatnya hal tersebut, عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الرَّجُلِ يُقَاتِلُ شَجَاعَةً وَيُقَاتِلُ حَمِيَّةً وَيُقَاتِلُ رِيَاءً أَيُّ ذَلِكَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ Dari Abu Musa berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya tentang seseorang yang berperang karena ingin menunjukkan keberanian, berperang karena hamiyyah (fanatisme dan kesombongan) dan berperang karena riya’. Manakah dari kesemua itu yang fi sabilillah (di jalan Allah)?Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab: Siapa yang berperang dengan tujuan agar kalimat Allah menjadi tinggi, maka itulah yang fi sabilillah. (HR. Bukhari dan Muslim) Imam Nawawi menjelaskan kata berperang karena hamiyyah, Yaitu kesombongan, kemarahan dan perlindungan terhadap keluarganya. Sayyid Quthub dalam Dzilal berkata, Hamiyyah bukan karena aqidah bukan juga karena manhaj. Tetapi hamiyyah kesombongan, kebanggaan, kebencian dan perlawanan. Inilah pembagian jahiliyyah menurut Al Quran. Di mana kejahiliyyahan seperti ini akan bisa terus terulang di zaman manapun. Termasuk zaman kita. Prasangka/keyakinan, hukum, penampilan dan fanatisme/kesombongan jahiliyyah. Jika kita amati, keempat jenis jahiliyyah dalam ayat tersebut menyertakan jenis pelakunya juga. Prasangka/keyakinan (Ali Imron) : Munafik Hukum ((Al Maidah) : Yahudi Nasrani Penampilan (Al Ahzab) : Muslimin/Muslimah Fanatisme/kesombongan (Al Fath) : Orang-orang Kafir/Musyrik zaman Nabi Dari sini, kita kembali bisa membaca bahwa sumber kejahiliyahan bisa dari seorang munafik yang menyusup di tubuh muslimin. Atau Yahudi dan Nasrani yang menyebarkan ajaran mereka kepada muslimin. Atau orang-orang kafir dan musyrik yang menyekutukan Allah. Bahkan bisa seorang muslim atau muslimah yang tergoda oleh rayuan kejahiliyahan. Satu lagi pelajaran bagi kita, keempat kata Jahiliyyah tersebut diletakkan dalam surat-surat Madaniyyah. Padahal kita sering menyebut Jahiliyyah dan langsung terbayang jahiliyyah Mekah (musyrik Quraisy). Mengapa ayat-ayat tersebut justru diturunkan baru di Madinah, saat beliau telah berhasil memiliki satu wilayah Islami dan bisa menerapkan seluruh konsep Islam di lingkungan Madinah. Karena ternyata, keempat ayat tersebut jika dilihat dari sisi pelakunya baru dihadapi muslimin di Madinah. Munafik baru muncul sebagai musuh Nabi di kota Madinah. Yahudi dan Nasrani juga tidak ada di Mekah. Hanya ada sedikit sekali orang-orang Mekah yang pindah agama Nasrani. Tetapi Yahudi ada di Madinah tidak di Mekah. Adapun Surat al Fath tentang orang-orang musyrik Mekah, peristiwa yang disampaikan oleh surat ini terjadinya selepas Hudaibiyyah, di Madinah. Sedangkan tentang penampilan, ayat dalam Al Ahzab sesungguhnya secara khusus berbicara tentang ummahatul mukminin dalam sebuah peristiwa di keluarga Nabi di Kota Madinah. Jadi, kesemuanya, terjadi saat Nabi di Madinah. itu artinya, dari sejak Nabi di Mekah hingga Nabi mempunyai kota iman; Madinah, kejahiliyyahan tetap menjadi virus di masyarakat muslim yang terus diingatkan oleh Allah agar tidak menyusupi hati dan kehidupan muslimin. Jika, kehidupan yang langsung dikawal Nabi dan dalam bimbingan wahyu masih harus diingatkan dengan keempat kejahiliyahan tersebut, maka hari ini yang jauh dari Al Quran dan Nabi harus lebih serius mencermati dan lebih berhati-hati lagi. Diri kita. Keluarga kita. Masyarakat kita. Sumber : ustadzfathur.com
0 Comments:
Posting Komentar
Silahkan di tanyakan