ARTI MUHAMMADIYAH
Kata Muhammadiyah secara bahasa berarti 'pengikut Nabi Muhammad'. Ketika kelahirannya memakai ejaan lama, Moehammadijah, dalam keputusan Kongres ke-19 tahun 1930 di Minangkabau-dengan merujuk pada Kongres ke-14-disebutkan bahwa "ejaan lafadz perhimpunan kita ialah Moehammadijah". Setelah kemerdekaan dengan menggunakan ejaan baru yang disempurnakan kemudian berubah menjadi Muhammadiyah sebagaimana kini berlaku secara baku. Kata Muhammadijah sejak awal di bagian akhiran suku katanya memang hanya memakai satu huruf "j" atau "y", tidak Moehammadijjah atau Muhammadiyyah, tetapi Moehammadijah atau kini Muhammadiyah. Penggunaan satu huruf "ja" atau "ya" nisbah itu karena sudah dipungut menjadi bahasa Indonesia dan bahasa lisan yang memang demikian, tentu bukan karena Kiai Dahlan dan sahabat-sahabatnya waktu itu tidak paham bahasa Arab sebab pendiri Muhammadiyah tersebut sangat mahir bahasa Arab dan bahkan dua kali bermukim di Makkah. Dengan demikian, pemakaian kata Moehammadijah atau Muhammadiyah telah menjadi istilah dan pungutan bahasa Indonesia dan bernuansa keindonesiaan yang sejak awal demikian adanya.
Karena itu, kini tidak perlu dipersoalkan dan harus diucapkan menjadi Muhammadiyyah, sebab aslinya memang demikian dan sudah dibakukan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah sejak berdiri hingga saat ini. Perbedaan atau perubahan hanya terdapat pada ejaan bahasa Indonesia dari ejaan lama Moehammadijah menjadi ejaan baru Bahasa Indonesia yang telah disempurnakan yaitu Muhammadiyah. Pemilihan nama dan penulisan sudah menyatu dengan rasa keindonesiaan, sehingga telah menjadi nama baku. Jika ingin mewacanakan sesuatu lebih baik yang menyangkut persoalan spirit, gagasan, dan hal-hal yang lebih mendasar dalam Muhammadiyah.
Penggunaan kata Muhammadiyah dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad. Pemilihan nama Muhammadiyah menurut keterangan Kiai Soedja' (2009: 77) sudah dipikirkan dan diputuskan oleh Kiai Dahlan sendiri setelah shalat istikharah ketika merenungkan usulan murid dan sahabatnya agar membentuk organisasi yang dapat me memayungi dan mewujudkan gagasan-gagasan perjuangannya. Dalam pandangan Kiai Dahlan sebagaimana dinukilkan oleh Kiai Soedja' selaku sahabat dekatnya, penentuan nama Muhammadiyah didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut: "Nama itu memang diambil dari nama Nabi ikutan kita, Nabi Muhammad SAW., yang menjadi nabi dan rasul akhir zaman. Karena, kami ingin mentafaulkan nama itu dengan nama Nabi Panutan kita. Harapan kami mudah-mudahan Muhammadiyah menjadi jamiah akhir zaman, sebagaimana Nabi Muhammad SAW, menjadi nabi dan rasul akhir zaman. Adapun ditambah dengan ya' nisbah, maksud kami hendaknya barangsiapa yang menjadi anggota Muhammadiyah dapat menyesuaikan diri dengan pribadinya Nabi Muhammad SAW".
Kendati dalam kata Muhammadiyah (Muhammadiyyat) digunakan ta marbuthah yang dipakai untuk menunjukkan mu'anats (kata penunjuk untuk perempuan), tetapi menurut Kiai Dahlan ketika menjawab pertanyaan Kiai Soedja' kenapa menggunakan kata Muhammadiyah seperti untuk petunjuk kata perempuan? Pertanyaan tersebut dijawab oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan, Muhammadiyah itu bukanlah nama perempuan, melainkan artinya umat Nabi Muhammad, pengikut Muhammad, Nabi Muhammad utusan Tuhan yang menghabisan" (Salam, 1968: 11). Penisbahan Muhammadiyah kepada nama Nabi Muhammad SAW tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma (t.t.: 7) mengandung pengertian sebagai berikut:
"Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad SAW, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang diajarkan serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya".
Dalam tafsir Ibnu Katsir, terdapat penyebutan istilah al-'ummat al-Muhammadiyyah, ketika mufasir klasik ini menjelaskan tentang Al Qur'an Surat Ali Imran ayat 110 "Kamu adalah umat yang terbaik (khaira ummah) yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiramya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik". Dalam menerangkan ayat tersebut, Ibnu Katsir menyatakan sebagai berikut: "yahbaru ta'ala 'an hazdihi al-ummât al-Muhammadiyah bi anna-hum khairâ al-ummâm (bahwa Allah mengkhabarkan dengan ayat ini tentang umat Nabi Muhammad, yaitu mereka sebagai umat yang terbaik) (Katsir, Juz I: 391). Artinya, penggunaan nama Muhammadiyah sendiri jika dikaitkan dengan khazanah Islam klasik dalam ilmu pengetahuan keislaman (tafsir) memiliki rujukan yang objektif. Apakah Kiai Dahlan memperoleh inspirasi atau tidak dari Tafsir Ibnu Katsir itu, tetapi secara keilmuan nama Muhammadiyah memiliki rujukan pada pembendaharaan keislaman.
Dalam ranah sosiologis, Kiai Dahlan menamai dan memilih istilah Muhammadiyah tidak dimaksudkan untuk mengembangkan 'ashabiyyah atau 'orientasi pada golongan yang mempersempit keislaman'. Dengan nama Muhammadiyah tersebut sesungguhnya tidak terkandung konotasi 'ashabiyyah karena siapa pun yang mengikuti jejak Nabi Muhammad secara umum berarti Muhammadiyah atau pengikut Nabi Muhammad. Kendati begitu, ketika nama Muhammadiyah dipilih dan kemudian menjadi organisasi gerakan Islam, maka penamaan dan pendirian Muhammadiyah pun tidak dimaksudkan untuk membesar-besarkan 'ashabiyyah maupun perpecahan di kalangan umat Islam, karena Muhammadiyah diposisikan dan difungsikan sebagai sarana atau alat untuk mencapai tujuan Islam, yakni mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Karena itu, menjadi tidak relevan jika tumbuh pandangan pada sebagian kalangan bahwa bagi umat Islam tidak perlu memberi nama atau wadah tertentu selain nama Islam. Muhammadiyah pun secara substantif dan konotatif adalah Islam dan dilahirkan untuk pergerakan serta kepentingan Islam. Dengan demikian, baik suatu organisasi atau pergerakan itu menggunakan nama Muhammadiyah atau nama lain jika kehadirannya diniati, dilandasi, diproyeksikan, dibingkai, dan ditujukan untuk kepentingan Islam serta umat Islam, maka menjadi sah adanya dan tidak berarti merupakan pemagaran atau pemecahbelahan Islam. Apabila sebuah organisasi pun diberi nama Islam sebutlah nama harakah Islamiyyah atau yayasan berlabel Islam lainnya, maka organisasi tersebut baik dari kepengurusan maupun pergerakannya tentu memiliki pembatasan diri, sehingga yang diperlukan bukan nama atau labelnya tetapi hakikat dan orientasi gerakannya untuk dan demi kepentingan Islam.
Hal yang melekat dengan arti dan ciri Muhammadiyah sebagai organisasi atau gerakan ialah lambang atau simbol Muhammadiyah. Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah Bab II pasal 5 tahun 2005 disebutkan bahwa "Lambang Muhammadiyah adalah matahari bersinar utama dua belas, di tengah bertuliskan (Muhammadiyah) dan dilingkari kalimat (Asyhadu an la ilaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan Rasul Allah)". Dalam Anggaran Rumah Tangga pasal 2 dijelaskan tentang arti lambang dan bendera Muhammadiyah sebagai berikut:
(1) Lambang Muhammadiyah sebagai tersebut dalam Anggaran Dasar pasal 5 adalah seperti berikut:
(2) Bendera Muhammadiyah berbentuk persegi panjang berukuran dua berbanding tiga bergambar lambang Muhammadiyah di tengah dan tulisan Muhammadiyah di bawahnya, berwarna dasar hijau dengan tulisan dan gambar berwarna putih, seperti berikut:
Ketentuan lain tentang lambang dan bendera ditetapkan oleh Pimpinan Pusat.
Dengan lambang, termasuk bendera, sebagaimana dilukiskan atau digambarkan tersebut tampak jelas ciri Muhammadiyah yang membedakannya dari gerakan Islam yang lain, yang memberi nafas dan spirit bagi gerakan ini. Lambang sebagai pertanda dan sekaligus penanda memberi arti simbolik bagi anggota Muhammadiyah, yang menjadikannya sebagai bagian dari identifikasi gerakan. Di seluruh Tanah Air Indonesia dari perkotaan hingga ke pelosok-pelosok pedesaan baik melalui gedung-gedung maupun papan nama Muhammadiyah bersama seluruh organisasi otonom dan lembaga-lembaga yang dimilikinya terpampang dengan jelas ada atau tidak adanya Muhammadiyah di daerah setempat. Lambang juga menjadi bagian dari semangat Kemuhammadiyahan seluruh anggota Muhammadiyah.
Selain lambang, Muhammadiyah juga memiliki seperangkat instrumen pengikat gerakan, antara lain lagu. Kendati lagu itu dibuat belakangan dan tidak ada sewaktu awal berdiri, tetapi lagu menjadi perekat psikologi kolektif warga Muhammadiyah. Lagu "Sang Surya" misalnya, menjadi sangat populer dan melekat dengan benak pikiran dan perasaan warga Muhammadiyah, sekaligus menjadi bagian dari semangat Kemuhammadiyahan. Lagu tersebut mengandung isi yang demikian menggelora, yang melambangkan semangat atau spirit gerakan Islam yang dinamis, sebagai bagian dari spirit pembaruan Muhammadiyah yang tidak kenal lelah menyinari kehidupan laksana sang surya atau matahari mencerahkan bumi dan semesta.
Pada awal berdirinya, yaitu pada 18 November 1912, dirumuskanlah tujuan Muhammadiyah yaitu: "Maka perhimpoenan itoe maksoednja:
(a) Menjebarloeaskan pengadjaran Igama Kangjeng Nabi Moehammad Shallallahoe 'Alaihi Wassalam kepada pendoedoek Bumipoetera di dalam Residensi Djokjakarta, dan
(b) Memajoekan hal Igama kepada anggautaanggautanja" (Statuten Moehammadijah tahun 1912).
Kendati Muhammadiyah berdiri tanggal tersebut dan dideklarasikan dalam rapat terbuka umum pada 20 Desember 1912 di Gedoeng Loodge Gebauw Malioboro Yogyakarta, tetapi tidak dengan sendirinya memperoleh pengakuan sah dari pemerintah Hindia-Belanda yang sangat hati-hati dan penuh kecurigaan untuk memberikan izin. Dengan bantuan Boedi Oetomo dan melalui proses panjang yang berliku-liku akhirnya Muhammadiyah memperoleh pengesahan dari pemerintah Hindia-Belanda berdasarkan Besluit Nomor 81 tanggal 22 Agustus 1914 sebagai Badan Hukum yang melaksanakan kegiatan di kalangan umat Islam di wilayah Residensi Yogyakarta (Majelis Pustaka dan Dokumentasi PP Muhammadiyah, 1995: 22). Adapun rumusan tujuan Muhammadiyah yang disebut "Maksud Persyarikatan" hasil pengesahan Hindia-Belanda itu tercantum sebagai berikut:
(a) memadjoekan dan menggembirakan pengadjaran dan peladjaran Igama Islam di Hindia Nederland, dan
(b) Memadjoekan dan menggembirakan kehidoepan (cara hidoep) sepandjang kemaoean Agama Islam kepada lid-lidnja (Statuten Moehammadijah tahun 1914).
Kandungan isi atau subtansi tujuan Muhammadiyah tersebut tidak mengalami perubahan sampai Kiai Dahlan wafat tahun 1923, begitu juga sesudahnya sampai tahun 1943 pada masa pendudukan Jepang dan pada masa awal kemerdekaan tahun 1946. Pada masa Jepang tujuan Muhammadiyah ialah: "Sesuai dengan kepercayaan untuk mendirikan kemakmuran bersama seluruh Asia Raya, di bawah pimpinan Dai Nippon, dan memang diperintahkan oleh Tuhan Allah, maka perkumpulan ini:
(a) hendak menyiarkan agama Islam, serta melatihkan hidup yang selaras dengan tuntunannya,
(b) hendak melakukan pekerjaan kebaikan kebaikan umum,
(c) hendak memajukan pengetahuan dan kepandaian serta budi pekerti yang baik kepada anggauta-anggautanya; kesemuanya itu ditujukan untuk berjasa mendidik masyarakat ramai." Sedangkan pada masa kemerdekaan, tahun 1946, dirumuskan tujuan sebagai berikut: Maksud dan tujuan Persyarikatan ini akan menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya" (Badawi, 1998).
Pada zaman Jepang melakukan penyesuaian isi dan redaksi, mengingatkan pengalaman Muhammadiyah di kemudian hari pada waktu asas Pancasila tahun 1985, yang juga melakukan penyesuaian karena kebijakan rezim pemerintah. Pada 1946, yang kemudian dikukuhkan pada Muktamar tahun 1952, Muhammadiyah untuk pertama kalinya mencantumkan tujuan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Konsep tersebut berlangsung hingga saat ini kecuali pada tahun Muktamar tahun 1985 diganti dengan sebutan masyarakat utama yang adil dan makmur yang diridlai Allah SWT, yang substansinya sama. Dari perubahan-perubahan formulasi tujuan tersebut tampak dinamika Muhammadiyah dalam menghadapi kebijakan rezim kekuasaan dan kondisi sosiologis yang berkembang pada masanya, yang menunjukkan fleksibilitas sekaligus kecerdasan Muhammadiyah dalam menyikapi keadaan yang penuh tekanan.
Jika ditelaah secara saksama terdapat hal menarik, bahwa kata memajukan selain kata menyebarluaskan, yang sejak 1914 ditambah dengan kata menggembirakan dalam pasal maksud dan tujuan Muhammadiyah, merupakan kata-kunci yang selalu dicantumkan dalam Statuten Muhammadiyah pada periode Kiai Dahlan hingga tahun 1946 yakni pada Statuten Muhammadiyah Tahun 1912, Tahun 1914, Tahun 1921, Tahun 1931, Tahun 1931, dan Tahun 1941. Dalam pandangan Djarnawi Hadikusuma, kata-kata yang sederhana tersebut mengandung arti yang sangat dalam dan luas, yaitu ketika umat Islam sedang dalam kelemahan dan kemunduran akibat tidak mengerti kepada ajaran Islam yang sesungguhnya, maka Muhammadiyah mengungkap dan mengetengahkan ajaran Islam yang murni itu serta menganjurkan kepada umat Islam pada umumnya untuk mempelajarinya, dan kepada para ulama untuk mengajarkannya, dalam suasana yang maju dan menggembirakan. Kata memajukan mengingatkan pada makna tajdid atau pembaruan, yang mengandung semangat kemajuan. Adapun kata menyebarluaskan jelas sekali mengandung semangat ekspansi atau penyebarluasan, yang memiliki konotasi atau substansi yang sama dengan dakwah.
Sumber : kuliah kemuhammadiyahan ( prof DR Haedar Nashir Msi )
┈┈┈◎❅❀❦🌹❦❀❅◎┈┈┈
0 Comments:
Posting Komentar
Silahkan di tanyakan