1. Malu.
Malu sangat besar
pengaruhnya dalam mengatur pergaulan hidup. Malu itulah yang membuat orang
berakal enggan mengerjakan perbuatan jahat. Sebelum orang mempergunakan
undang-undang lebih dahulu orang telah dilindungi oleh hukum malu yang telah
melekat di dalam budi pekerti. Dia merasa malu namanya akan menjadi buah mulut
orang. Merasa malu kepercayaan orang akan hilang.
Rasa
malu tidak akan hidup di dalam budi pekerti seorang manusia, kalau dia tidak
mempunyai kehormatan diri (syaraf). Rasa kehormatan adalah pusat kebahagiaan
bersama dan tenteramnya perhubungan. Pokok teguh memegang janji, teguh memegang
kepercayaan. Dari malu timbul perasaan mempertahankan diri, mempertahankan
bangsa, negeri dan keyakinan. Menimbulkan kemajuan pesat, berkejar-kejar
berebut mencari kehormatan dan kemuliaan dalam lapangan perjuangan hidup. Tidak
mau kalah, malu tartinggal, malu tercicir, sehingga menghasilkan kebahagiaan bersama-sama juga,
malu menghasilkan kekayaan, ilmu dan fikiran baru. Malu menyebabkan orang tidak
mau mundur dalam perjuangan.
Jika
suatu kaum tak punya rasa malu, sebab kurangnya pendidikan terhadap anak
bangsanya itu, maka bukanlah budi yang lebih kuat dan teguh menghubungkan
mereka tetapi hukum atau bukuman kejam. Kaum atau masyarakat itu akan
tartinggal dari masyarakat lain, namanya tidak tersebut di dalam Safhatul
Wujud.
Agama
ditaklifkan (diperintahkan) kepada orang yang berakal dan orang yang baligh
(sampai umur), sebab dia mengajarkan rasa malu.
Orang
tidak berakal, atau orang gila, tidak kena memerintah memegang agama.
Bertelanjang bulat di hadapan orang ramai, tidak kena hukum, karena dia tak
bermalu.
Anak
kecil, belum sanggup menahan diri dari kehendak darahnya masih muda itu.
Setelah dia besar dan sampai umur baru timbul dalam hatinya sifat malu. Waktu
itulah terletak di atas bahunya seruan agama. Sebab itu dari kecil harus
dipupuk rasa malu.
Binatang
tidak bermalu dijadikan pengangkut beban.
Seribu
ekor kambing tidak malu digembalakan oleh seorang anak gembala. Binatang-binatang
tidak mendapat perintah dan larangan, tidak diikat oleh peraturan agama dan
hukum.
Sifat
malu membawa orang mengharungi lautan besar, memasuki rimba belantara, ditimpa
susah dan kepayahan untuk mencapai keutamaan. Sifat malu menyebabkan manusia
sanggup menahan nafsu, mengekang dirinya dan menempuh halangan lantaran
menghindarkan diri dari perangai durjana. Dia juga yang menyebabkan orang tidak
redha menerima kebodohan dan kedunguan.
2.
Amanat (Boleh Dipercayai).
Boleh
dipercaya atau lurus adalah tiang kedua dari masyarakat yang utama. Sebab kalau
bernama 'hidup', tidaklah manusia boleh hidup sendiri. Dia mesti mempertalikan
hidupnya dengan hidup orang lain.
Herbert
Spencer berkata, bahwasanya hidup itu ialah kelancaran hubungan
manusia dengan manusia lainnya. Sedang nasi sesuap, tak boleh masuk mulut,
kalau tidak beribu bahkan berjuta orang yang mengerjakan, dia di tanam oleh
orang tani
yang beribu banyaknya, ditumbuk oleh mesin penumbuk padi
yang dibuat di sebuah pabrik, yang mempunyai buruh beribu-ribu orang, nasi
ditanak di dalam sebuah periuk keluaran kilang Jepun. Kita
makan dengan sambal, garam, lada dan seterusnya. Semua dikerjakan oleh
berjuta-juta orang.
Supaya
masyarakat teratur, perlu berdiri pemerintahan. Segala mazhab dan firqah dalam
Islam mengakui perlunya pemerintahan, baik Ahli Sunnah Wal Jamaah, atau Syiah
yang memestikan di tangan keturunan Ali. Demikian juga kaum Muktazilah, dan
seterusnya. Hanya Khawarij yang mengatakan pemerintahan itu di tangan Allah
saja. Tetapi setelah pergaulan bertambah maju, terpaksa mereka mengangkat
seorang 'Imam' untuk mengatur pemerintahan. Di zaman kemajuan ini pun demikian
pula, pemerintahan berbentuk kerajaan, atau republik, atau raja yang diikat
oleh undang-undang dasar, atau majlis perwakilan rakyat, namun pemerintahan
mesti ada.
Pemerintahan
adalah badan yang mempunyai kaki, tangan, kepala, perut dan tulang, urat, darah
dan daging. Ada yang jadi polis menjaga keamanan dalam negeri. Ada tentera
menjaga serangan dari luar. Ada yang jadi ahli siasat membela keadilan dan
kebenaran. Jadi pejabat memungut pajak dan cukai. Tidak lebih mulia atap dari
tonggak. Tidak lebih utama dinding dari lantai, itulah yang menjadi rumah.
Apakah
yang menghubungkan semuanya?
Di
manakah asas tempatnya tegak?
Itulah
dia amanat, dapat dipercayai, lurus. Negara hanya dapat tegak di atas amanat.
Pejabat-pejabat
akan langsung pekerjaannya dan beruntung pikulannya jika memegang amanat.
Bagaimanakah akan aman negeri, kalau seorang menteri, yang memegang Uang
pemerintahan berjuta-juta tiap hari sedangkan gajinya kecil, kalau tidak rasa
tanggungjawab dan amanat?
Kalau
amanat telah runtuh,runtuhlah pemerintahan, artinya runtuhah masyarakat dan
umat. Huru hara terjadi setiap hari, pembunuhan, penggelapan terjadi tiap saat.
Sehingga akhir kelaknya pemerintah itu akan runtuh, digantikan oleh pemerintah
lain yang lebih dapat memegang amaat. Tidaklah boleh satu pemerintahan berdiri
jika tidak ada persatua, dan persatuan itu tidak akan tercipta kalau tidak
dengan amanat.
Tidaklah
kepada pergaulan tiap hari di antara diri dengan diri, di antara satu
rumahtangga dengan lain rumahtangga. Jika ada kejujuran dan kepercayaan kita sesama manusia, kita tidak akan ragu-ragu
meninggalkan rumah, sebab isteri boleh dipercaya, teman dekat rumah boleh pula
dipercaya, anak-anak yang dilahirkan isteri kita, kita yakin memang anak kita
sendiri. Tidak ragu-ragu meninggalkan barang-barang, karena kita percaya
tidaklah akan ada orang yang mencurinya.
Jika
hilang amanat dari umat - Nau'zubillahi minha - alamat umat itu akan condong ke
lurah, akan jatuh dan hilang namanya, menjadi umat yang fakir dan miskin,
ditimpa oleh bahaya bencana, penyakit yang tak berkeputusan, penyakit lahir dan
batin.
3. Siddiq, atau
Benar:
Manusia banyak
hajatnya, orang miskin dan kaya sekalipun mulia atau hina, hajat dan
keperluannya sama banyaknya. Segala hajat itu tidak tercapai semuanya, hanya
sebagian. Manusia diciptakan di muka bumi, datang dari alam ghaib yang tidak
diketahuinya menuju ke alam yang belum difahaminya. Mula-mula dia tegak di
dunia, laksana orang bingung, laksana ayam yang dikisarkan kandangnya di malam
gelap. Tidak tahu sama sekali ke mana dia akan dibawa.
Mulai datang
kedunia, harus berjuang menuntut kehidupan, berebut keperluan makan minum,
pakaian dan tempat diam. Alat yang ada padanya hanya alat-alat yang lima yaitu
penglihatan mata, pendengaran, penciuman hidung, perasaan lidah dan perasaan kulit,
yang dinamai 'pancaindera yang lima'.
Selain dari yang
lima itu tidak ada, tidak diberi ilmu, kepandaian, pakaian dan lain-lain.
Segar-bugar, bertelanjang bulat dan menangis.
Maka bertambah lama
hidupnya di dunia, bertambah perlu mendapat pertolongan dari manusia yang lain,
baik pertolongan ilmu atau pertolongan akal. Baru sempurna keperluan hidupnya.
Semuanya tidak pula akan tercapai, kalau pertolongan itu tidak diterima dari
sumber yang benar. Langkahnya akan sesat jika dia bertanya kepada temannya
jalan ke kanan ditunjukkan ke kiri, jika dia meminta obat diberi penyakit.
Sebab itu kebenaran
inilah tiang ketiga dari masyarakat.
Solon, ahli pemerintahan
bangsa Yahudi memberikan hukuman bunuh kepada siapa yang berdusta walaupun
kecil dustanya.
Ketiga
sifat itulah yang timbul lantaran agama.
1. Malu.
2. Amanat.
3.
Siddiq atau kebenaran.
(Sumber: Buku Tasawuf Modern Prof. Dr. Hamka)
0 Comments:
Posting Komentar
Silahkan di tanyakan