@ Fatkhur Rozaq, S.Ag.
Prolog
Suatu kewajaran kalau antara laki-laki dan
perempuan saling tertarik satu sama lainnya. Hal ini karena memang Allah
menciptakan mereka dari satu jiwa lalu menciptakan pasangannya kemudian
mengembangkannya menjadi laki-laki dan perempuan yang banyak. (Q.S. An-Nisâ’/4:1)
Penciptaan manusia secara berpasangan dan
menjadikannya berkembang menjadi bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, bertujuan
untuk saling kenal (ta’aruf) dan berhubungan satu sama yang lain.
”Hai manusia, Sesungguhnya kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling taqwa di antara kamu.... (QS Al Hujurât/49:13)
Hubungan yang paling baik adalah yang
mampu memelihara diri dan hubungannya dengan Allah dan makhluk-Nya. (makna taqwa).
Dalam konteks memelihara hubungan antar
laki-laki dan perempuan, Islam menganjurkan perkawinan bagi yang sudah mampu
(Q.S. An Nûr/24:32) dan melarang mendekati segala bentuk perzinaan:”Dan
janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isrâ’/17:32)
Allah SWT Maha Mengetahui bahwa daya tarik
zina (hubungn seks bebas antara laki-laki dan perempuan) begitu kuat, dan
sekali orang masuk ke dalam lingkaran zina—siapapun dia—maka dia akan sulit
untuk keluar dari lingkaran tersebut. Rasulullah SAW pun mengakui hal ini dalam
sabdanya: ”Sepeninggalku, tidak ada cobaan yang paling berat bagi kaum
laki-laki dari yang berhubungan dengan wanitanya”. (Muttafaq ’alayh)
Itulah sebabnya, Allah lebih
menekankan pencegahan dengan memilih ungkapan larangan mendekati
segala perbuatan yang dapat menjerumuskan ke dalam zina dari pada ungkapan “Jangan
melakukan zina!”
Lalu, bagaimana dengan pacaran?
Sebagai permasalahan mu’amalat, maka pada
asalnya hukum segala sesuatu—termasuk pacaran—itu boleh hingga ada dalil yang
melarangnya.
Pacaran adalah salah satu bentuk pergaulan
yang berasal dari budaya Barat yang ditawarkan kepada seluruh masyarakat dunia.
Bentuknya bisa di mulai dari pandangan, lalu perkenalan, dilanjutkan dengan
pertemuan-pertemuan, pergi berduaan,—jika merasa cocok—maka diteruskan dengan
pengungkapan isi hati, bersentuhan, bergandengan, berboncengan, berpelukan,
berciuman, dan seterusnya.
Jika bentuk pacaran seperti ini maka jelas
dilarang dalam Islam karena sudah mendekati zina (Q.S. Al Isrâ’/17: 32). Selain
itu model pergaulan seperti ini lebih besar madharat dari pada manfaatnya.
Tetapi jika hanya sampai pada saling kenal (ta’aruf) maka dibolehkan
bahkan diajurkan. (Q.S. Al Hujurât/49:13).
Meskipun memang tidak ada penjelasan Al-Qur'an
dan As-Sunnah secara langsung mengenai pacaran, tetapi Islam menuntunkan adab
pergaulan antara muda-mudi, yaitu:
1.
Niat dan motivasi pergaulan hendaknya didasarkan
karena Allah semata.
2.
Mengucapkan dan menjawab salam bila bertemu (Q.S. An
Nisâ’/4:86), bertamu (Q.S. An Nûr/24: 27) dan ketika berpisah (H.R. at-Tirmidzi
dan Abu Daud).
Nabi saw bersabda: “Sebarkan salam di antara
kalian!”. (Muttafafaq ‘alayh), karena salam adalah ungkapan suka cita dan
doa semoga keselamatan, kedamaian dan berkah Allah senantiasa tercurah kepada
yang disalami. Mengucapkan salam hukumnya sunat sedang
menjawabnya adalah wajib.
3. Tidak diperbolehkan bersentuhan—seperti:
berjabat-tangan, bergandengan, berdempetan, berpelukan, dan berciuman— selain
mahram dan isteri.
4. Tidak dibolehkan ber-khalwat
(bersepi-sepian) tanpa ada control.
Termasuk
kategori ber-khalwat yakni ketika tidak ada control dari orang
sekelilingnya, meski itu di tempat ramai.
5. Menundukkan pandangan yang bermuatan
syahwat dan menjaga kemaluan (Q.S. An Nûr/24: 30-31):
”Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya….. “
Penggabungan
anjuran untuk menundukkan pandangan dengan menjaga kemaluan berarti anjuran
untuk menundukkan pandangan yang bermuatan syahwat.
6. Tidak memperlihatkan perhiasan/keindahan
anggota tubuhnya (Q.S. An Nûr/24: 31), yakni dengan berbusana menutup aurat.
Lanjutan ayat di atas yang artinya:
“Katakanlah kepada
wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,
dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka,
atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami
mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara
lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam,
atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.
- Menutup aurat. Aurat perempuan adalah semua anggota badannya kecuali wajah dan pergelangan tangan, sedang aurat laki-laki adalah antara pusar hingga lutut.
- Tidak ketat dan tidak transparan.
- Tidak mengundang perhatian (misal: pakai ronce, norak dan seksi).
- Tidak menyerupai pakaian lain jenis.
7.
Bersikap dan berkata yang baik dan benar,
dapat dipercaya, supel dalam bergaul, namun tetap menjaga kehormatan dan
kesopanan sebagai pribadi muslim dan muslimah.
Perhatian: Semua adab pergaulan di atas bertujuan
untuk mendidik dengan mencegah berbagai hal yang dapat mejerumuskan ke dalam
zina.
Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa
Islam sesungguhnya tidak melarang bergaul antara laki-laki dan perempuan selama
semua larangan di atas tidak dilanggar.
Sebatas mengenal dan mencintai seseorang
karena Allah dan tidak melanggar larangan, maka boleh mengenal satu sama lain.
Hal ini didasarkan pada Q.S. Al Hujurât/49:13 tentang ta’aruf dan hadis
Nabi SAW tentang tiga orang yang mampu merasakan manisnya iman, antara
lain: mencintai seseorang karena cintanya kepada Allah semata (Muttafaqa
‘alayh). Tetapi ketika proses perkenalan dan pendekatan itu madharatnya lebih
besar dari manfaatnya—apalagi sudah mendekati zina—maka hal tersebut
diharamkan.
Bagi pemuda yang baik lagi mampu menahan
nafsunya maka daripada berzina, lebih baik segera menikah. Sebab Nabi SAW
menganjurkan:
“Wahai para pemuda, barangsiapa yang sudah sanggup
menikah di antara kalian, maka hendaklah segera menikah. Namun jika belum cukup
kemampuan maka wajib atasnya berpuasa. Karena hal itu dapat berfungsi sebagai
benteng baginya”. (HR Jama’ah dari Ibn Abbas)
Jika karena keadaan tertentu belum punya
kemampuan secara lengkap (fisik dan psikis yang sehat dan bertanggung jawab
dalam arti luas) maka Nabi SAW menganjurkannya untuk menempuh alternatif kedua
yakni berpuasa (menahan diri). Karena permasalahan yang dihadapi adalah
permasalahan syahwat, maka puasa di sini pun termasuk menahan diri terhadap
segala sesuatu yang dapat menjerumuskan pada perbuatan zina (Q.S. Al Isrâ’/17:32).
Jika dengan puasa tetap tidak mempan
maka harus kembali kepada alternative pertama yaitu menikah sebagaimana hadis
di atas dan lanjutan surat An-Nûr /24:32. “Dan kawinkanlah orang-orang yang
sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka
miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas
(karunianya-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
Karena zina berkaitan dengan pelampiasan
hasrat seksual, maka hanya dengan penyaluran hasrat seksual secara benar dan
seimbang yang efektif mencegah perzinaan.
Semoga dengan ketentuan syar’i ini bisa
menjadi pedoman bagi pemuda-pemudi, bagaimana
seharusnya memulai dan meikirkan jenjang persiapan pernikahan yang akan
dilaksanakan.. Dengan kepastian dan kebersihan pasangan secara fitroh akan
melahirkan suatu hubungan kisah cinta yang mendalam, dan
ekhirnya generasi yang dihasilkan juga generasi cerdas dan sehat Ì Penulis adalah Anggota
Pimpinan Pleno PDPM TubanÉ
Pengertian Akhlaq
Secara bahasa, أخْلاَقُ adalah bentuk jamak dari kata خُلُقٌ, seakar dg kata خَلَقَ (mencipta), خَلْقٌ (ciptaan), خَالِقٌ (Yang Mencipta) & مَخْلُوْقٌ (yang dicipta).
Kata خُلُقٌ scr bahasa berarti sesuatu yg tercipta dari dalam jiwa, berupa:
budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau kebiasaan. Tidak dikatakan sbg akhlak apabila perbuatan tsb blm menjadi kebiasaan,
apakah itu baik ataukah buruk.
Adapun pengertian Akhlaq menurut istilah
adalah: Sifat yg tertanam dlm jiwa yg menimbulkan perbuatan2 dengan
gampang & mudah, tanpa memerlukan pemikiran & pertimbangan.
Dg kata lain, Akhlaq adalah: Sifat yg
terpatri dlm jiwa & telah menjadi sebuah kepribadian shg mudah menimbulkan
perbuatan secara spontan, tanpa memerlukan pertimbangan pemikiran lebih dahulu.
Sumber & Tolak Ukur Akhlaq
Yg dimaksud dg Sumber Akhlaq di sini adalah
hal yg mendorong timbulnya perbuatan akhlaq.
Dlm hal ini ada 2 Sumber Akhlaq, yaitu:
FDari DALAM diri manusia, spt: Akal & suara hati.
FDari LUAR diri manusia, spt: UU manusia, adat-istiadat, & UU Tuhan
(yakni: Al-Qur’an & al-Sunnah)
Pertanyaan: Bisakah Sumber Akhlaq sekaligus
mjd Tolak Ukur (standar penilaian) Akhlaq?
Jika syarat Tolak Ukur harus obyektif (adil),
berlaku umum (universal), & bersifat tetap, maka hanya UU Allah SWT (yi:
Al-Q & al-Sunnah) yg pantas sbg tolak ukur akhlaq.
Meski demikian, Islam tidak menolak bhw akal
/ suara hati “bisa” mengetahui bahkan menentukan baik-buruk, namun bukan
sebagai tolak ukur akhlaq.
UNSUR AKHLAQ yang dijadikan obyek penilaian:
•
NIAT dlm hati. Inilah yg pertama kali dilihat oleh Allah dlm
menilai akhlaq. Hal ini krn setiap perbuatan akhlaq, mesti selalu ada niat yg
meltrblknginya. Nabi saw bersabda:
إِنَّمَا
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
(HR. Al-Jamâ‘ah)
•
CARA melakukan perbuatan tsb. Meski niatnya baik & ikhlas, tapi kalau
dilakukan dg cara yg tidak baik –apalagi berdampak buruk-- maka tdk dianggap
sbg perbuatan baik. Contoh: Org-tua yg ingin mendidik anaknya jujur &
disiplin tapi dg memukulinya hingga cacat, bukanlah trmsk perbuatan baik.
-Sebuah pemberian yg meskipun sgt dibutuhkan– tetapi bila disertai dg perkataan
yg menyakitkan, tdklah dikategorikan sbg perbuatan baik. Allah SWT berfirman
dlm QS. 2: 263-264:
قَوْلٌ
مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَاللَّهُ
غَنِيٌّ حَلِيمٌ، يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ
بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلاَ
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
Data Pergaulan
bebas
Penelitian th 1976
membuktikan bhw hanya 9,6% yg setuju dg seks pranikah. Namun 5 th kmdn (‘81) sdh menjadi 17,02%. Dan trnyata dari
thn ke thn, perkembgn paham kebebasan seks smakin “membaik” krn tidak lagi
sebatas “setuju/tidak
setuju”, tapi sdh mjd satu pola pergaulan yg ditrima di masy. Penelitian thdp
aktifitas seks remaja di Jkt, Sby, Palu
& Banjarmsn th ‘80 membuktikan bhw sekitar 5% pernah berhub seks. Namun di th 2000,
sdh menjadi 20%.
Selain itu,
pnelitian thd pelajar SMU di JATENG (‘95) menunjukkan skitar 10% pernah berhub
seks, di JATIM (‘92) 47%, & di Bali (‘90) sbanyak 90%. Ini artinya bhw
aktifitas seks bebas remaja per-daerah, banyak dipengaruhi oleh sejauhmana
penerimaan masy setempat thd kebebasan seks di tengah2 mrk. Setlh
tayangan pornografi & media seks bisa didpt dg mudah, penelitian thd remaja
& mhs di “Kota Kembang” Bdg (‘00-’02) membuktikan bhw 44,8% tlh berhub
seks, & ternyata skitar 50% dilakukan di rumah. Penelitian di kota “Pelajar” (‘03) menyebutkan bhw 97,05% mhswi Yogya tdk
perawan lagi.
0 Comments:
Posting Komentar
Silahkan di tanyakan