1.
Syahrir Mawi, NBM 458.266, PCM Bogor Tengah, Jl. Merdeka 118 Bogor Jawa Barat.
Pertanyaan :
Kami membaca dari suplemen Harian Umum Republika, Prof. Ali Mustofa Yacub M.A. menulis bahwa hadis-hadis Shalat Tarawih delapan rakaat adalah hadis matruk (semi palsu). Bagaimana sesungguhnya soal Shalat Tarawih delapan rakaat itu?
Jawaban :
Apa yang ditulis oleh Prof. Ali Mustofa Yaqub, M.A. (konon dia seorang ahli hadis), telah pula kami baca dan banyak juga saudara-saudara kita yang menanyakan kebenaran tulisan itu kepada kami c.q. Suara Muhammadiyah. Secara singkat - mengingat kolom rubrik ini terbatas – dapat kami jelaskan bahwa Shalat Tarawih delapan rakaat rujukannya adalah hadis dari ‘Aisyah r.a. yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim, Abu Awanah, Abu Dawud, At-Tirmizi, An-Nasa’i, Malik, Ahmad dan Baihaqi. Hadis tersebut sangat-sangat kuat, tidak ada dalam sanadnya perawi yang lemah. Sedangkan hadis riwayat Jabir r.a. yang dikatakan lemah oleh Prof. Ali Mustofa Yaqub, M.A. tersebut, sekalipun bagi Muhammadiyah bukan pegangan pokok, namun hadis tersebut, menurut penelitian ahli hadis Muhammad Nasiruddin al-Bani adalah hadis hasan bukan hadis matruk (baca Shalat Tarawih oleh Muhammad Nasiruddin al-Bani, hal. 18). Yang mengherankan kami mengapa Prof. Ali Mustofa Yaqub, M.A. tersebut tidak menampilkan hadis riwayat ‘Aisyah r.a. yang sangat kuat itu dan dipegang oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah sebagaimana termuat dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) ? Boleh jadi beliau tidak menampilkan hadis ‘Aisyah r.a. itu, ada kemungkinan beliau punya asumsi bahwa hadis ‘Aisyah tersebut bukan dalil Shalat Tarawih delapan rakaat dan witirnya tiga rakaat, tetapi itu adalah dalil untuk shalat witir. Kalau dugaan kami benar, berarti Prof. Ali Mustofa Yaqub, M.A. itu melakukan suatu kekeliruan yang besar, karena hadis itu memang dalil untuk Shalat Tarawih dan didukung oleh fakta di lapangan, dimana Rasulullah s.a.w. melakukan hal itu di masjid bersama-sama dengan para shahabat, walaupun untuk beberapa malam saja, kemudian Nabi s.a.w. tidak keluar ke masjid, karena ada kekhawatiran oleh Nabi s.a.w., umat di belakang hari akan menganggap Shalat Tarawih itu sebagai ibadah wajib, bukan ibadah sunat.
Kami sangat menyayangkan tulisan Prof. Ali Mustofa Yaqub, M.A. itu yang tidak tuntas penjelasannya, sehingga menimbulkan keraguan bagi orang yang tidak mendalam pengetahuannya dalam bidang hadis.
Tegasnya, pendapat Prof. Ali Mustofa Yaqub, M.A. itu perlu diperhatikan benar, karena memang pendapatnya itu tidak benar. Insya Allah, dalam waktu tidak lama lagi, kami akan menyusun risalah khusus tentang Shalat Tarawih supaya menjadi pegangan bagi warga Muhammadiyah khususnya dan kepada umat Islam pada umumnya.
2.
Drs. H. Irfai Ilyas, Imam Supardi, S. Ag., Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PDM Kabupaten Temanggung Jawa Tengah.
Pertanyaan :
Apakah Imam harus merangkap khatib dalam shalat Jum’at atau bisa juga tidak merangkap, artinya Imam tidak harus merangkap khatib ?
Jawaban :
Setelah kami pelajari dan meneliti dalil-dalil yang dilampirkan dalam surat Saudara, maka dapat kami memberi jawaban sebagai berikut :
1. Memang ada hadis Nabi s.a.w. yang diriwayatkan Imam Muslim yang berbunyi:
إذا جاء أحدكم يوم الجمعة و الإمام يخطب فليركع ركعتين و اليتجوز فيهما
(Apabila pada hari Jum’at salah seorang dari kamu datang di waktu imam sedang berkhutbah, hendaklah ia shalat dua rakaat dengan agak cepat.)
Dari hadis tersebut terkesan secara mafhum mukhalafah bahwa yang melakukan khutbah (khatib) adalah imam juga.
2. Dilihat dari praktek Rasulullah s.a.w., beliau selalu disamping sebagai khatib juga imam dalam shalat Jum’at, bahkan bagi shalat fardlu di Masjid Madinah bila beliau tidak berhalangan, bepergian atau sakit. Begitu pula pada masa Khalifah Rasyidin.
Memang idealnya demikian, apalagi Rasulullah itu adalah uswah dan qudwah bagi umat dalam segala urusan, lebih-lebih dalam bidang ibadah khusus. Juga perlu dicamkan Nabi s.a.w. sangat fasih dalam membaca ayat-ayat al-Qur’an dan juga sangat bijak dalam berkhutbah. Tidak ada sahabat yang mau tampil sebagai Imam atau khatib, kalau di situ Rasulullah s.a.w. hadir.
3. Namun demikian, bila diteliti dengan cermat isi hadis tersebut dan hadis-hadis lainnya yang sejenis dengan itu, kita tidak dapat menarik kesimpulan bahwa Imam harusmerangkap khatib Jum’at, karena mafhum mukhalafah di situ tidak memenuhi syaratnya untuk berhujjah.
Menurut hemat kami, mafhum mukhalafah dalam hadis itu dimaksudkan untuk keagungan atau “lit-tafkhim” saja, atau dengan lain perkataan tidak bisa diamalkan mafhum mukhalafahnya. Bahkan Abu Hanifah dan Ibnu Hazm tidak berhujjah pada mafhum mukhalafah secara mutlak.. Kalau kita pakai istilah-istilah dalam kitab ushul fiqih disebutkan جمع مفاهيم المخالفة ليس بحجة (semua mafhum mukhalafah tidak bisa menjadi hujjah), menurut Abu Hanifah dan Ibnu Hazm.
4. Menurut pentahqiqan kami, idealnya kalau memenuhi syarat-syarat, seorang Imam seyogyanya merangkap sebagai khatib, bukan seharusnya. Jadi, kalau dipandang perlu pada suatu waktu bisa saja Imam itu tidak merangkap sebagai khatib Jum’at.
5. Bahwa Nabi s.a.w. selalu menjadi khatib dan Imam adalah sunnah fi’liyyah, yangvtidak menimbulkan keharusan untuk melakukan atau mengikutinya.
3.
Mulyadi S., Kendal, Jawa Tengah
Pertanyaan :
Bolehkah kita membaca tahlilan di rumah orang/keluarga yang kena musibah (kematian) atau itu suatu perbuatan bid’ah ?
Jawaban :
Pertanyaan yang Saudara tanyakan itu, sebetulnya kalau Saudara mau membaca Himpunan Tanya Jawab Agama sebanyak 4 buku yang telah dikeluarkan Majelis Tarjih, sudah ada di situ, atau Saudara berusaha berlangganan majalah Suara Muhammadiyah. Namun demikian di sini akan kami jawab seperlunya saja, mudah-mudahan menjadi jelas bagi Saudara.
1. Sebetulnya soal tahlilan yang sudah melekat pada sebagian besar masyarakat kita itu termasuk masalah khilafiyah, diperselisihkan oleh para ‘ulama. Bagi mereka yang melaksanakan tahlilan, mereka beranggapan ada tuntunan dari agama, disamakan dengan doa. Mereka itu berpendapat bahwa dalam soal ta’abbudi boleh dimasuki ijtihad. Bagi mereka yang membolehkan tahlilan untuk menguatkan alasannya, mereka telah menyusun sebuah buku yang diberi nama “Simpanan Berharga”, yang disusun oleh H.M. Syarwani Abdan.
2. Muhammadiyah sesuai dengan manhaj yang dipergunakan dalam menetapkan sesuatu hukum berpendapat bahwa dalam bidang ta’abbudi (ibadah khusus atau lazim disebut orang sekarang dengan istilah ritual) tidak boleh mempergunakan ijtihad, tetapi harus mengikuti nash al-Qur’an atau as-Sunnah Ash-Shahihah (al-Maqbulah). Menurut kami, doa adalah termasuk ibadah dalam arti khusus / sempit. Doa itu bukan budaya seperti yang dipahami sebagian orang. Di dalam al-Qur’an surat an-Najm ayat 37 – 38 diterangkan bahwa manusia itu memperoleh apa yang diusahakannya. Di dalam hadis riwayat Muslim dikatakan, apabila seseorang anak Adam meninggal dunia, maka putuslah semua amalannya terkecuali tiga perkara, yaitu doa anaknya yang saleh, sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat. Selanjutnya dalam surat al-Hasyr ayat 10 diterangkan yang maksudnya bahwa amalan orang lain bisa sampai kepada orang yang meninggal dunia yaitu doa dan istighfar. Hal itu dijelaskan pula dalam hadis riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan juga di dalam hadis riwayat Ahmad dan Ashabus Sunan.
3. Imam Malik dan Imam asy-Syafii sendiri dan banyak ualama lainnya mengambil suatu ketetapan bahwa pembacaan ayat al-Qur’an, dzikir dan sebagainya tidak bisa sampai pahalanya kepada orang yang telah mati. Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya menulis : “Oleh karena hal inilah, Rasulullah s.a.w. tidak menganjurkan umatnya untuk menghadiahkan pahala bacaan kepada orang mati, baik dengan perintah tegas maupun yang tidak tegas. Dan tidak pula oleh sahabatnya yang mengerjakan demikian itu. Kalau menghadiahkan pahala bacaan kepada orang mati adalah suatu kebajikan, tentulah sahabat-sahabat Nabi s.a.w. telah mengerjakannya”. Sekian kita kutip penjelasan al-Hafidz Ibnu Katsir, yang kitab tafsirnya dipelajari di dalam masyarakat kita. Diterangkan oleh pengarang kitab Bidayatul Mujtahid, yaitu Ibnu Rusyd : “Sesungguhnya letak perbedaan pendapat di antara ulama-ulama mutaqaddimin dan mutaakhkhirin dari golongan Malikiyah, yaitu selama bacaan itu tidak keluar dari koridor tempat doa, agar pembaca membaca sebelum bacaan (al-Qur’an) itu ; Ya Allah, jadikanlah pahala yang aku baca ini untuk si fulan …”. Dari kutipan nampak jelas tahlil dianalogikan dengan doa.
4. Di samping itu, harus dibedakan antara berdoa dengan
menghadiahkan pahala lewat doa. Menghadiahkan pahala lewat doa tidak ada
tuntunannya.
Demikian sekedar tambahan penjelasan masalah tahlilan, semoga Saudara mengerti duduk persoalan itu dengan sebenarnya.
4.
Yusuf Shalihin, Cirebon, Jawa Barat.
Pertanyaan :
Bagaimana sebenarnya bilangan takbir shalat ‘Id, 7 dan 5 atau satu kali saja seperti shalat Jum’at ? Apakah membaca dzikir di sela-sela takbir ? Apakah khutbahnya satu kali atau dua khutbah seperti khutbah shalat Jum’at ?
Jawaban :
Sebenarnya pertanyaan seperti yang Saudara tanyakan sudah pernah ditanyakan oleh Saudara RNB. Nahar, dan telah kami jawab, yang dimuat dalam Suara Muhammadiyah No: 12 Tahun ke-87 16-30 Juni 2002 M. Sungguhpun demikian, berikut ini akan kami jawab tiga pertanyaan Saudara itu seperlunya, dengan harapan soal tersebut menjadi jelas bagi Saudara.
1. Dalam Muktamar Tarjih ke-20 di Garut Jawa Barat tahun 1976 M (1396 H) telah ditanfidzkan oleh PP Muhammadiyah tahun 1977 Masehi yang isi keputusannya: Takbir shalat Idain adalah 7 kali pada rakaat pertama dan 5 kali pada rakaat kedua (baca pula Tanya Jawab Agama Jilid I hal. 113-115).
2. Perlu pula Saudara ketahui bahwa dalam manhaj tarjih yang terdiri atas 18 butir itu, salah satu butirnya menetapkan bahwa dalam beristidlal Majelis Tarjih mempergunakan nash al-Qur’an dan as-Sunnah ash-Shahihah (al-Maqbulah). Jadi, tidak terpaku pada dalil yang kuat saja, tetapi juga dipakai hadis-hadis yang nilainya kurang kuat, dimana kekurangannya itu tidak terletak atau dikarenakan oleh kedustaan perawi serta dikuatkan oleh hadis lain, itu bisa dipakai dalam penetapan hukum. Itulah yang dimaksud dengan menyebutkan dalam tanda kutip dengan perkataan al-Maqbulah. Di dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) disebutkan :
الأحاديث الضعيفة يعضد بعضها بعضا لا يحتج بها إلا مع كثرة طرقها و فيها قرينة تدل علي ثبوت أصلها و لم تعارض القرآن و الحديث الصحيح.
Hadis-hadis tentang takbir hari raya masuk dalam kategori dlaif, hanya saja kedlaifannya bukan lantaran perawinya dituduh dusta dan memalsukan, tetapi saling kuat menguatkan dengan melalui beberapa / banyak jalannya. Tapi sayangnya di Jawa Barat, takbir 7 kali dan 5 kali itu belum tersosialisasikan dengan baik, bahkan masih terpaku pada perkataan al-Hadis ash-Shahihah saja. Kalau orang berorganisasi yang baik, tentunya PDM di Jawa Barat itu harus mensosialisasikan putusan yang telah ditanfidzkan itu.
3. Mengenai bacaan di sela-sela takbir, itu memang tidak kita dapati hadisnya. Dengan lain perkataan tidak ada dzikir (bacaan) tertentu di sela-sela takbir itu. Sedang khutbah shalat ‘Id, bukan dua khutbah, tetapi satu khutbah saja dan belum kami tenukan dalil tentang adanya bacaan الصلاة جامعة sebelum menegakkan shalat ‘Id.
5.
Pertanyaan :
Menjawab tanggapan shalat Jum’at terhadap Saudara Abdul Hadi PCM Glagah Banyuwangi JawaTimur dan penanya lainnya.
Jawaban :
Kami terlebih dahulu menyampaikan terima kasih atas tanggapan / kritik yang bersifat konstruktif dari Saudara, yang kesannya belum dapat menerima isi fatwa soal shalat Jum’at bagi wanita yang dimuat dalam rubrik fatwa Suara Muhammadiyah tanggal 22 Jumadil Ula 6 Umadil Akhir. Berikut ini kami tambah sedikit penjelasan terhadap point-point itu, sebagai berikut :
1. Tentang hadis Thariq Ibn Syihab, memang kami akui ada sebagian ulama yang memandang sahih hadis itu, di samping ada pula yang melemahkan hadis tersebut seperti yang telah kami sebutkan dalam uraian yang lalu. Akan tetapi Saudara harus ingat kepada qaidah yang dipegang oleh ahli hadis, kalau ada orang yang memuji dan yang melemahkan perawi itu, maka kita harus dahulukan orang yang melemahkannya. Ini sesuai dengan qaidah الجرح مقدم علي التعديل (celaan didahulukan dari pujian).
2. Tentang Jum’at sebagai asal, Saudara meragukan qaidah itu dengan alasan tidak didukung oleh nash yang sharih. Sebetulnya Jum’at menurut kami didukung oleh nash yang sharih yaitu hadis dari Ibnu Abbas r.a. yang diriwayatkan Imam Ahmad, al-Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ibnu Majah ;
… إن الجمعة عزيمة و إني كرهت أن أخرجكم فتمشون في الطين و الدحض.
(Bahwasanya shalat Jum’at itu azimah (hukum asal) dan aku tidak senang menyusahkan kamu berjalan di lumpur dan becek)
Mengenai dugaan Saudara bahwa Nabi s.a.w. tidak mendirikan shalat Jum’at di Arafah, itu menurut kami tidak benar. Nabi s.a.w. melakukan shalat dua rakaat sebelum mengqashar dua rakaat shalat Asar, sebenarnya yang dilakukan Nabi s.a.w. adalah shalat Jum’at, bukan mengqashar shalat Dzuhur, ingat Jum’at adalah azimah, sedang khutbah adalah sunat, bukan wajib seperti yang dipahami kebanyakan orang (perhatikan pendapat mufassir dalam menafsirkan إلي ذكر الله perkataan pada ayat Jum’at serta pendapat tabi’in besar al-Hasan al-Bashri)
3. Shalat Jum’at sendirian tidak boleh, itu memang pendapat jumhur, karena mereka berpegang pada hadis-hadis yang menurut pandangan kami tidak kuat dan kami sebutkan pendapat Sayyid Rasyid Ridla di situ sekedar contoh di lapangan di smaping yang dikerjakan Nabi s.a.w. di Arafah. Kita tidak menyandarkan hukum pendapat orang, itu hanya sekedar contoh.
Mengingat ruangan rubrik ini terbatas, tidak kami panjangkan uraian-uraian lainnya di sini, dan kami mempunyai rencana untuk menyusun risalah Jum’at dalam satu buku tersendiri, untuk kita bawa dalam Munas Tarjih dalam Muktamar Muhammadiyah yang akan datang, untuk kita diskusikan bersama, mudah-mudahan Saudara bisa ikut hadir dan mengambil bagian dalam diskusi itu, sebelum ditanfidzkan sebagai satu keputusan.
0 Comments:
Posting Komentar
Silahkan di tanyakan