fatwa 23_hukum pertunangan
FATWA AGAMA
Pertanyaan :
1. Saudara Sugiri dari Klaten
2. Saudara Sunardi dari Billalang II, tentang
hukum pertunangan
Jawaban :
Pertunangan
merupakan salah satu proses perkawinan yang biasa dilakukan masyarakat. Di
antara proses perkawinan itu ialah pihak laki-laki meminang pihak perempuan
atau sebaliknya agar pihak perempuan atau pihak laki-laki bersedia menjadi
isteri atau suaminya. Seandainya pinangan itu diterima, langsung dilaksanakan
akad nikah. Proses lain melalui pertunangan, pihak laki-laki meminang pihak
perempuan atau sebaliknya agar pihak perempuan atau pihak laki-laki bersedia
menjadi isteri atau suaminya. Seandainya pinangan itu diterima, akad nikah tidak
langsung diadakan, tetapi diadakan beberapa waktu setelah itu, mungkin diadakan
dalam waktu yang tidak lama, seperti sebulan, dua bulan dan seterusnya atau
dalam waktu yang lama, seperti setahun, dua tahun dan seterusnya. Masa yang
terletak antara penerimaan pinangan dan masa pelaksanaan akad nikah disebut
masa pertunangan. Dengan kata lain antara pihak laki-laki dan pihak perempuan
telah terjadi pertunangan sebelum dilaksanakan akad nikah.
Menurut
B. Ter Haar Bzn (1393) pertunangan merupakan suatu perjanjian yang dilakukan
oleh pihak laki-laki dengan pihak perempuan untuk melakukan akad nikah di
kemudian hari. Hampir tiap daerah di Indonesia mengenal lembaga pertunangan
ini. Bila suatu pinangan telah diterima diadakan semacam alat pengikat atau
tanda perjanjian pertunangan telah dilakukan. Alat pengikat itu
bentuknyabermacam-macam ada berupa cincin, perhiasan tertentu, keris dan
sebagainya sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di daerah tersebut. Jika
terjadi pemutusan pertunangan, maka pihak yang memutuskan dikenai sanksi
tertentu, seperti mengembalikan pemberian yang pernah diberikan, membayar denda
dan sebagainya. Dengan demikian hukum pertunangan telah menjadi hukum adat yang
berlaku pada kebanyakan daerah di Indonesia. Syaikh Mahmud Syaltut (1950) menyatakan
bahwa sebahagian besar suku bangsa di
dunia mengenal lembaga pertunangan ini, termasuk suku-suku bangsa yang menganut
agama Islam.
Persoalannya
ialah : bagaimana sikap hukum Islam terhadap pertunangan tersebut?
Belum
ditemukan nash-nash baik berupa nash al-Qur’an maupun berupa nash al-Hadits
yang secara tegas membolehkan atau melarang lembaga pertunangan itu. Karena itu
masalah pertunangan merupakan masalah ijtihadiyah. Untuk membahas masalah
pertunangan ada tiga macam cara pendekatan yang dapat dilakukan. Pertama ialah
dengan memahami sesuatu yang tersirat pada suatu hadits, kedua dengan
memasukkan akad pertunangan ke dalam masalah akad pada umumnya dan ketiga ialah
dengan menggunakan kaidah fiqh.
Pertama
dengan memahami isyarat atau yang tersirat pada suatu hadits Nabi saw :
عَنْ
ابْنِ عُمَرَ ر.ض. اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلعم: لَا يَخْطُبُ أَحَدُكُمْ
عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأذَنَ لَهُ {متفق
عليه و اللفظ للبخارى}
Artinya
: “Dari Ibnu Umar r.a., ia berkata : bersabda Rasulullah saw : ‘Jangan salah
seorang kamu meminang pinangan saudaranya, sehingga peminang sebelumnya
(saudaranya itu) mengurungkan peminangannya atau membolehkannya (untuk
dipinang).” HR. Bukhari dan Muslim dan lafadz Bukhari.
Hadits
di atas membolehkan seorang laki-laki meminang pihak seorang perempuan. Dari
hadits di atas juga dapat dipahami terjadinya beberapa kemungkinan penafsiran
dalam proses pinang meminang. Kemungkinan pertama ialah pinangan itu tidak
diterima oleh pihak yang dipinang, sehingga berakhirlah proses pinangan itu.
Kemungkinan kedua ialah pinangan itu diterima, kemudian langsung dilaksanakan
akad nikah. Kemungkinan ketiga ialah pinangan itu diterima, tetapi akad
dilaksanakan kemudian hari, mungkin dalam waktu yang dekat dan mungkin pula
dalam waktu yang lama. Kemungkinan ketiga ini ada persamaannya dengan
pelaksanaan pertunangan yang berlaku pada hukum adat, yaitu semacam perjanjian
untuk melaksanakan akad nikah di kemudian hari setelah pinangan diterima. Terjadinya
kemungkinan ketiga ini dimungkinkan dalam memahami hadits di atas. Dengan arti
bahwa hadits di atas dapat dijadikan satu dalil dalam menetapkan hukum
pertunangan.
Dalil
kedua ialah dengan memasukkan akad pertunangan ke dalam masalah akad pada umumnya.
Jika akad pada umumnya dibolehkan oleh syara’, tentu akad pertunangan juga
dibolehkan. Allah SWT berfirman :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ … {سورة المائدة : 1}
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu, …” (QS. Al-Maidah :
1)
Dan
firman Allah SWT :
… وَأَوْفُوا
بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا {سورة الإسرآء : 34}
Artinya
: “… dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’ : 34)
Hadits
Nabi saw menerangkan bahwa mengadakan perjanjian yang ada kaitannya dengan akad
nikah dibolehkan apalagi isi perjanjian itu dapat menyempurnakan suatu
perkawinan.
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرَ ر.ض. قَالَ :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلعم : إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوْطِ أَنْ يُوَفَّى بِهِ مَااسْتَحْلَلْتُمْ
بِهِ اْلفُرُوْجَ {متفق عليه}
Agar
ada kepastian hukum sebaiknya akad pertunangan itu dilengkapi dengan alat-alat
bukti, seperti bukti-bukti otentik, saksi-saksi dan sebagainya, berdasarkan
firman Allah SWT :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
… وَاسْتَشْهِدُوا
شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ … {سورة البقرة : 282}
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bermu’amalah (melakukan perjanjian
perikatan) tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu
menuliskannya, … dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara
kamu …” (QS. Al-Baqarah : 282).
Dalil
ketiga ialah dengan menggunakan kaedah fiqh :
اَلْعَادَةُ
مُحْكَمَةٌ
Artinya
: “Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.
B.
Ter Haar Bzn dan Mahmud Syaltut menyatakan bahwa lembaga pertunangan merupakan
hukum adat yang telah menjadi adat dari suku-suku bangsa di dunia dan lembaga
ini merupakan lembaga yang menguatkan lembaga perkawinan. Sesuai dengan kaedah
di atas maka lembaga pertunangan ini tidak dilarang oleh syara’. Bahkan
kebanyakan ulama dapat menyetujuinya dan melaksanakannya.
Pertunangan menjadi masalah
jika terjadi pemutusan pertunangan dan telah terjadi saling memberi yang
dilakukan pihak laki-laki atau pihak perempuan kepada pihak yang lain, sedang
alat-alat bukti tidak ada. Seandainya dibuat alat-alat bukti pada saat diadakan
perjanjian pertunangan maka persoalan yang terjadi pada waktu putusnya
pertunangan dapat diselesaikan dengan merujuk kepada alat-alat bukti tersebut.