Rabu, 01 November 2023

BERDOA DENGAN DOA BUATAN SENDIRI DALAM SHALAT, ROH ANAK YANG DIKORBANKAN UNTUK PESUGIHAN, HUKUM SHALAT DHUHA SECARA BERJAMAAH, DAN LAFADZ TAKBIR HARI RAYA

Loading

 


BERDOA DENGAN DOA BUATAN SENDIRI DALAM SHALAT,

ROH ANAK YANG DIKORBANKAN UNTUK PESUGIHAN,

HUKUM SHALAT DHUHA SECARA BERJAMAAH,

DAN LAFADZ TAKBIR HARI RAYA

 

Penanya:

Wakidjo Az./ Agen SM No. 025, NBM. 494 220, Lampung

(disidangkan pada hari Jum'at, 7 Rabiul Akhir 1427 H / 5 Mei 2006 M)

 

Pertanyaan:

 

Pertanyaan saudara yang panjang dapat kami ringkas sebagai berikut:

1.      Bolehkah kita berdoa dengan doa buatan sendiri di dalam shalat?

2.      Kemanakah roh anak yang mati akibat dijadikan sebagai syarat mencari pesugihan?

3.      Bolehkah shalat dhuha dilaksanakan dengan berjamaah? Kalau boleh, bagaimanakah caranya? Dan apakah fadhilah shalat dhuha?

4.      Bagaimanakah lafaz takbir Hari Raya?

 

Jawaban:

 

Terima kasih atas pertanyaan-pertanyaan yang anda ajukan kepada kami, berikut ini jawabannya:

1.      Berdoa untuk mendapatkan kebaikan dunia-akhirat bisa dilakukan sebelum dan sesudah shalat sunat maupun fardhu. Adapun berdoa dengan doa-doa yang diajarkan Nabi saw. di dalam shalat itu adalah sunat. Bagaimana pula jika kita berdoa dengan doa redaksi sendiri di dalam shalat? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat seperti berikut:

a.        Madzhab Hanafi: Tidak boleh berdoa di dalam shalat kecuali dengan doa-doa yang ada di dalam al-Qur’an atau seperti yang ada dalam al­-Qur’an. (lihat al-Mabsut karangan as-Sarakhsi: 1/202-204).

Dalilnya:

قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيْهَا شَيْئٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيْحُ وَالتَّكْبِيْرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ. [أخرجه مسلم].

Sabda Nabi saw.: “Sesungguhnya shalat ini tidak boleh ada di dalamnya sesuatu dari perkataan manusia. Sesungguhnya ia adalah tasbih, takbir dan bacaan al-Qur’an.” [Ditakhrijkan oleh Muslim].

b.       Madzhab Maliki (lihat Syarh az-Zarqani 2/60), madzhab Syafi’i (lihat Fathul Bari: 2/230, 2/321) dan madzhab Hambali (lihat al-Mughni karangan Ibn Qudamah 1/320-322): Boleh berdoa dengan doa buatan sendiri yang disukainya.

Dalilnya:

1. قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيْثِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ فِي التَّشَهُّدِ: ثُمَّ لِيَتَخَيَّرْ مِنَ الدُّعَاءِ أَعْجَبَهُ إِلَيْهِ. [متفق عليه]، وَلِمُسْلِمٍ: ثُمَّ لِيَتَخَيَّرْ بَعْدُ مِنَ اْلمَسْأَلَةِ مَا شَاءَ أَوْ مَا أَحَبَّ. وَفِي حَدِيْثِ أَبِي هُرَيْرَةَ: إِذَا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَعَوَّذْ مِنْ أَرْبَعٍ ثُمَّ يَدْعُو لِنَفْسِهِ مَا بدَأَ لَهُ.

Sabda Nabi saw. dalam hadis Ibn Mas’ud dalam masalah tasyahhud: “Kemudian hendaklah ia memilih doa yang paling ia kagumi.” [Muttafaq Alaih]. Dan dalam hadits riwayat Muslim: “Kemudian hendaklah ia memilih --setelah tasyahhud-- permohonan yang dikehendakinya atau disukainya.” Dan dalam hadis Abu Hurairah: “Jika salah seorang di antara kamu telah tasyahhud maka hendaklah ia berlindung (kepada Allah) dari empat perkara kemudian berdoa untuk dirinya apa yang tampak (baik) baginya.”

2. وَرُوِيَ عَنِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ غَدَتْ عَلَي النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: عَلِّمْنِي كَلِمَاتٍ أَقُوْلُهُنَّ فِي صَلاَتِي فَقَالَ: كَبِّرِي اللهَ عَشْرًا وَسَبِّحِي اللهَ عَشْرًا وَاحْمَدِيْهِ عَشْرًا ثُمَّ سَلِي مَا شِئْتِ. [رواه الترمذي].

Diriwayatkan dari Anas, bahwa Ummu Sulaim datang kepada Nabi saw. lalu berkata: Ajarkan kepadaku perkataan (doa) yang aku panjatkan dalam shalatku. Maka beliau bersabda: “Bertakbirlah sepuluh kali, bertasbihlah sepuluh kali dan bertahmidlah sepuluh kali, kemudian mintalah apa yang engkau kehendaki.” [HR. Tirmidzi].

3.   قَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا السُّجُوْدُ فَأَكْثِرُوْا فِيْهِ مِنَ الدُّعَاءِ. [رواه ابن خزيمة].

Sabda Nabi saw.: “Adapun sujud, maka perbanyaklah doa di dalamnya.” [HR. Ibn Khuzaimah].

Menurut para Ulama pendukung madzhab ini, hadis-hadis di atas dengan jelas membenarkan doa buatan sendiri di dalam shalat, karena Nabi saw. tidak menentukan doa tertentu. Oleh karena itu, tidak heranlah jika para shahabat seringkali berdoa dengan doa yang tidak mereka terima dari Nabi saw., dan beliaupun tidak mengingkarinya. Tambahan pula hadis-hadis di atas rnentakhsis (mengkhususkan) keumuman dalil madzhab Hanafi itu, apalagi pengharaman berbicara di dalam shalat itu terjadi ketika di Makkah, sedang hadis-hadis mcngenai doa di dalam shalat itu diucapkan di Madinah. (lihat Nailul Authar: 2/365).

Dengan demikian, kami cenderung kepada pendapat ini karena dalilnya lebih rajih (kuat). Namun berdoa di dalam shalat dengan redaksi buatan sendiri itu hendaknya dalam bahasa Arab, bukan dengan bahasa-bahasa lainnya untuk menjaga kesakralan shalat dan karena yang dicontohkam oleh para shahabat adalah dengan bahasa Arab. Wallahu a’lam bish-shawab.

 

2.      Sebelum menjawab pertanyaan saudara mengenai roh anak yang mati akibat dijadikan syarat mencari pesugihan, perlu kami tegaskan di sini bahwa mencari pesugihan/kekayaan dengan cara meminta tolong kepada dukun dan atau jin itu adalah syirik. Hal itu perlu dijauhi karena dosa besar.

Kemudian, menurut pendapat kami anak yang mati karena dikorbankan untuk mencari pesugihan itu memang sudah sampai ajal yang telah ditentukan oleh Allah dan tidak berpindah ke alam jin atau setan, dan tidak pula bisa hidup selama-lamanya sebagaimana kepercayaan sebagian orang. Ini karena jika seseorang itu telah meninggal, maka berarti ajalnya telah tiba. Dan Allah SWT menegaskan bahwa setiap jiwa itu akan merasakan kematian. Firman-Nya:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ اْلمَوْتِ. [آل عمران (3): 185].

Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” [QS. Ali Imran (3): 185].

Adapun ruh anak yang sudah mati itu, meskipun dibunuh untuk mencari pesugihan, tetap kembali kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:

إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ. [الأنفال (8): 27].

Artinya: “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali.” [QS. Al-Baqarah (2): 156]. Wallahu a’lam bish-shawab.

 

3.      Shalat dhuha boleh dikerjakan dengan berjamaah. Ada hadis yang menyatakan bahwa Nabi saw. shalat pada waktu dhuha berjamaah, namun para ulama memperselisihkan apakah yang dikerjakan oleh Nabi saw. dan para shahabat itu shalat dhuha atau bukan. Hadisnya sebagai berikut:

عَنْ عِتْبَانِ بْنِ مَالِكٍ وَهُوَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّنْ شَهَدَ بَدْرًا مِنَ اْلأَنْصَارِ أَنَّهُ أَتَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّى قَدْ أَنْكَرْتُ بَصَرِي وَأَنَا أُصَلِّى لِقَوْمِي وَإِذَا كَانَتِ اْلأَمْطَارُ سَالَ اْلوَادِى بَيْنِي وَبَيْنَهُمْ وَلَمْ أَسْتَطِعْ أَنْ أَتَى مَسْجِدَهُمْ فَأًُصَلِّي لَهُمْ وَوَدِدْتُ أَنَّكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ تَأْتِي فَتُصَلِّي فِي مُصَلَّى فَأَتَّخِذُهُ مُصَلًى قَالَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سَأَفْعَلُ إِنْ شَآءَ اللهُ. قَالَ عِتْبَانُ: فَغَدَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيْقُ حِيْنَ ارْتَفَعَ النَّهَارُ فَاسْتَأْذَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَذِنْتُ لَهُ فَلَمْ يَجْلِسْ حَتَّى دَخَلَ الْبِيْتَ ثُمَّ قَالَ: أَيْنَ تُحِبُّ أَنْتُصَلِّي مِنْ بَيْتِكَ. قَالَ: فَأَشَرْتُ إِلَى نَاحِيَةٍ مِنَ الْبَيْتِ فَقَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَبَّرَ فَقُمْنَا وَرَاءَهُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ. [متفق عليه].

Artinya: “Diriwayatkan dari Itban bin Malik ---dia adalah salah seorang shahabat Nabi yang ikut perang Badar dari kalangan Ansar--- bahwa dia mendatangi Rasulullah saw. lalu berkata: Wahai Rasulullah, sungguh aku sekarang tidak percaya kepada mataku (maksudnya, matanya sudah kabur) dan saya menjadi imam kaumku. Jika musim hujan datang maka mengalirlah air di lembah (yang memisahkan) antara aku dengan mereka, sehingga aku tidak bisa mendatangi masjid untuk mengimami mereka, dan aku suka jika engkau wahai Rasulullah datang ke rumahku lalu shalat di suatu tempat shalat sehingga bisa kujadikannya sebagai tempat shalatku. Ia meneruskan: Maka Rasulullah saw. Bersabda: “Akan kulakukan insya Allah”. Itban berkata lagi: Lalu keesokan harinya Rasulullah saw. dan Abu Bakar ash-Shiddiq datang ketika matahari mulai naik, lalu beliau meminta izin masuk, maka aku izinkan beliau. Beliau tidak duduk sehingga masuk rumah, lalu beliau bersabda: “Mana tempat yang kamu sukai aku shalat dari rumahmu? Ia berkata: Maka aku tunjukkan suatu ruangan rumah”. Maka Rasulullah saw. berdiri lalu bertakbir, lalu kami pun berdiri (shalat) di belakang beliau. Beliau shalat dua rakaat kemudian mcngucapkan salam”. [Muttafaq Alaih].

Bagi mereka yang berpendapat bahwa itu adalah shalat dhuha, karena dilakukan ketika matahari mulai naik, maka mereka mengatakan bahwa shalat dhuha boleh dilakukan secara berjamaah. Caranya adalah dengan bacaan sirr (perlahan-perlahan, tidak jahr/terang).

Adapun fadhilah shalat dhuha adalah banyak, antara lain sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Nabi saw. dengan sabdanya:

عَنْ ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يَصْبَحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمِي مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَصْبِيْحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِاْلمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنِ اْلمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَالِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى. [رواه مسلم].

Diriwayatkan dari Abu Dzar ra., dari Nabi saw., beliau bersabda: “Setiap pagi hari, setiap ruas tulang dari seseorang di antara kamu itu ada (keharusan) sedekah. Setiap sekali tasbih adalah sedekah, setiap sekali tahmid adalah sedekah, setiap sekali tahlil adalah sedekah, setiap sekali takbir adalah sedekah, menyuruh kepada yang ma’ruf (baik) adalah sedekah dan melarang dari yang mungkar adalah sedekah. Dan yang sedemikian itu dapat dicukupi oleh dua rakaat yang dilakukan oleh seseorang dari shalat dhuha.” [HR. Muslim].

 

4.      Mengenai lafadz takbir hari raya, sebagaimana diputuskan dalam Muktamar Tarjih XX, yang berlangsung tanggal 18 s.d. 23 Rabi’ul Akhir 1396 H, bertepatan dengan tanggal 18 s.d. 23 April 1976 di Kota Garut Jawa Barat, yang selanjutnya telah ditanfidzkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan surat Nomor: C/1-0/75/77 tertanggal 5 Shafar 1397 H bertepatan dengan tanggal 26 Januari 1977, adalah:

اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ

Keputusan ini berdasarkan dalil:

عَنْ سَلْمَانَ قَالَ: كَبِّرُوْا، اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا، وَ جَاءَ عَنْ عُمَرَ وَابْنِ مَسْعُوْدٍ: اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ اْلحَمْدُ.

Artinya: “Dari Salman (diriwayatkan bahwa) ia berkata: bertakbirlah dengan Allaahu akbar, Allaahu akbar kabiiraa. Dan diriwayatkan dari Umar dan Ibnu Mas’ud: Allaahu akbar, Allaahu akbar, laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar, Allaahu akbar wa lillaahil-hamd.” [HR. Abdul Razzaaq, dengan sanad shahih].

Wallahu a‘lam bish-shawab. *mi)

 

0 Comments:

Posting Komentar

Silahkan di tanyakan