Belajar Lagi

Pelantikan Pemuda Muhammadiyah di pendopo Tuban

Foto disek karo senior

Acara Pelantikan Pemuda Muhammadiyah Kab. Tuban.

Akhir Diklat Kokam

Duklat Kokam dan SAR Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Tuban.

RAKERDA PDPM DI MERAKURAK

rAPAT KERJA PIMPINAN DAERAH PEMUDA MUHAMMADIYAH.

BAB PCPM PALANG

Perkaderan Pemuda Muhammadiyah Palang

tanpa judul

pemandangan

MEMBACA ADALAH KUNCI UNTUK MENGETAHUI DUNIA

Kadang kala menunggu itu membosankan, akan tetapi berbeda kalau menunggunya sambil baca-baca

PANDANGAN MATA

Pandangan mata kadang kala, melabuhi hal-hal yang sebenarnya

Minggu, 18 Desember 2022

MAKNA JAHILIYAH DALAM AL-QURAN

Loading

*MAKNA JAHILIYAH DALAM AL-QURAN* Oleh : Ustadz Faturahman kamal ( Ketua Majlis Tabligh PP Muhammadiyah ) Al Quran lah yang mengenalkan istilah Jahiliyyah. Sehingga kita harus bertanya kepada Al Quran langsung tentang pembahasan ini. Agar terang bagi kita, analisa penyakit diri, keluarga dan masyarakat ini. Al Quran menyebutkan Jahiliyyah dalam berbagai bentuk kata. Ada fi’il(kata kerja), ada mashdar dan ada isim fa’il; baik tunggal ataupun jama’. Tetapi kata Jahiliyyah (الجاهلية) sendiri tersebutkan 4 kali dalam Al Quran. Masing-masing kata Jahiliyyah, mewakili bidang kehidupan besar yang dirusak oleh kejahiliyyahan. Sementara, jahiliyyah yang hadir dalam bentuk fi’il (kata kerja) dan isim fa’il (kata subyek) bicara tentang contoh-contoh kejahiliyyahan di masyarakat sehari-hari. Berikut ini kata Jahiliyyah yang tersebut 4 kali dalam Al Quran: *Prasangka (keyakinan) Jahiliyyah* ثُمَّ أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ بَعْدِ الْغَمِّ أَمَنَةً نُعَاسًا يَغْشَى طَائِفَةً مِنْكُمْ وَطَائِفَةٌ قَدْ أَهَمَّتْهُمْ أَنْفُسُهُمْ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ مِنْ شَيْءٍ قُلْ إِنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ يُخْفُونَ فِي أَنْفُسِهِمْ مَا لَا يُبْدُونَ لَكَ يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَاهُنَا قُلْ لَوْ كُنْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحِّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ Kemudian setelah kamu berdukacita, Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari pada kamu, sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri, mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata: “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?.” Katakanlah: “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah.” Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata: “Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.” Katakanlah: “Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh.” Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati. (Qs. Ali Imron: 154) Al Quran menyebut keyakinan orang-orang kafir dan musyrik sebagai prasangka (Dzon), seperti dalam ayat, سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آَبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ “Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun.” Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: “Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?” Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta.” (Qs. Al An’am: 148) Ayat ini bahwa orang-orang musyrik yang sangat meyakini tuhan-tuhan mereka dan sangat taat kepada tuhan-tuhan itu, kemudian berkata tentang Allah sesuai dengan pengetahuan mereka. Kesemua itu hanyalah persangkaan belaka. Bukan ilmu. Itu artinya, Dzon Jahiliyyah bisa berarti keyakinan, bukan hanya prasangka. Apapun keyakinan yang salah tentang Allah maka masuk dalam poin ini. Berbagai bentuk keyakinan kemusyrikan dari patung hingga mendewakan manusia, atau meyakini sial dan keberuntungan berdasarkan benda atau peristiwa, menyematkan sifat negatif untuk Allah Sang Maha Sempurna. Semua ini adalah Dzon Jahiliyyah. Tentu saja, hal ini tidak mati. Masih terus hidup, karena guru besarnya; Iblis pun masih hidup. *Hukum Jahiliyyah* أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Qs. Al Maidah: 50) Semua aturan, perundangan, tata tertib, keputusan, perjanjian yang bertentangan dengan wahyu adalah merupakan hukum jahiliyyah. Termasuk di dalamnya, aturan ibadah. Masyarakat Jahiliyyah memiliki aturan jahiliyyah sendiri. Romawi dan Persia umpamanya, mempunyai aturan tentang ekonomi yang mendzalimi masyarakat dengan cekikan pajak yang digunakan untuk pesta para penguasa. Demikian juga kedzaliman ekonomi yang terjadi di tanah Arab dan tempat lain. Yang kuat memakan yang lemah. Wanita adalah makhluk yang terdzalimi pada masa jahiliyyah. Kedzaliman itu bisa ‘tidak diorangkannya’ wanita sehingga menjadi masyarakat nomer dua. Tetapi kedzaliman juga bisa hadir dalam bentuk lain. Di belahan dunia lain, wanita diangkat bahkan dianggap keturunan dewi. Sehingga tidak ada yang berani menyentuhnya. Tentu ini menyiksa wanita dengan fitrahnya sebagai wanita. Dalam masalah ibadah, masyarakat Arab masih memahami prosesi ibadah haji. Tetapi mereka telah mengubahnya sedemikian rupa, sesuai dengan keinginan mereka sendiri dan tidak jauh dari kepentingan uang. Istilah pernikahan bukan hanya untuk mereka yang menikah dengan hukum Islam. Tetapi pelacuran, tukar pasangan dan semua praktik zina, dianggap legal oleh masyarakat sebagai pernikahan yang sah. Begitulah contoh hukum jahiliyyah. Semua hal yang mengatur hidup ini, jika tidak dalam koridor wahyu maka pasti memasuki wilayah gulita jahiliyyah. *Penampilan dan Tingkah Laku Jahiliyyah* وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآَتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Qs. Al Ahzab: 33) Berpenampilan dan tingkah laku ternyata sesuatu yang sangat besar. Bukan sesederhana kita membahasakan dengan kebebasan ekspresi. Karena Al Quran memisahkan sisi ini sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Berpenampilan dan bertingkah laku Jahiliyyah. Semakin besar jahiliyyah memasuki wilayah keluarga atau masyarakat, maka penampilan akan semakin seronok dan telanjang. Hal ini sesuai dengan ilmu guru besar mereka; Iblis, يَا بَنِي آَدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآَتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ “Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya ‘auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman.” (Qs. Al A’raf: 27) Salah satu target besar Iblis adalah menelanjangi anak cucu Adam. Maka semakin senang dengan penampilan telanjang, menunjukkan betapa semakin dalamnya seseorang tergulung arus jahiliyyah. Itulah mengapa Islam mengatur dengan sangat baik cara seseorang berpenampilan. Jelas bukan untuk membatasi gerak dan ekspresi, tetapi Allah Maha Mengetahui bahwa rusaknya penampilan akan merusak moral dan tatanan masyarakat yang baik dan nyaman. *Kesombongan (fanatisme) Jahiliyyah* إِذْ جَعَلَ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوَى وَكَانُوا أَحَقَّ بِهَا وَأَهْلَهَا وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا “Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. Al Fath: 26) (حمية) mempunyai beberapa arti. Al Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud adalah (أنفة): tinggi hati atau kesombongan. Untuk menjelaskan hal ini, Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya memberikan contoh, “Yaitu ketika mereka tidak mau menulis: بسم الله الرحمن الرحيم Mereka juga menolak untuk menulis: Ini perjanjian yang dibuat oleh Muhammad Rasulullah.” Kisah yang dicontohkan oleh Ibnu Katsir ini adalah kisah dalam perjanjian damai Hudaibiyyah tahun 6 H, antara muslimin dan Quraisy. Mereka menolak asmaul husna Ar Rahman dan Ar Rahim serta kata Rasulullah. Kesombongan dan fanatisme jahiliyyah lah yang membuat mereka tetap menolak semua kebenaran yang semakin hari semakin terbukti itu. Kata (حمية) juga digunakan Nabi untuk menjelaskan amal jihad yang tertolak jika niatnya hal tersebut, عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الرَّجُلِ يُقَاتِلُ شَجَاعَةً وَيُقَاتِلُ حَمِيَّةً وَيُقَاتِلُ رِيَاءً أَيُّ ذَلِكَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ Dari Abu Musa berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya tentang seseorang yang berperang karena ingin menunjukkan keberanian, berperang karena hamiyyah (fanatisme dan kesombongan) dan berperang karena riya’. Manakah dari kesemua itu yang fi sabilillah (di jalan Allah)?Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab: Siapa yang berperang dengan tujuan agar kalimat Allah menjadi tinggi, maka itulah yang fi sabilillah. (HR. Bukhari dan Muslim) Imam Nawawi menjelaskan kata berperang karena hamiyyah, Yaitu kesombongan, kemarahan dan perlindungan terhadap keluarganya. Sayyid Quthub dalam Dzilal berkata, Hamiyyah bukan karena aqidah bukan juga karena manhaj. Tetapi hamiyyah kesombongan, kebanggaan, kebencian dan perlawanan. Inilah pembagian jahiliyyah menurut Al Quran. Di mana kejahiliyyahan seperti ini akan bisa terus terulang di zaman manapun. Termasuk zaman kita. Prasangka/keyakinan, hukum, penampilan dan fanatisme/kesombongan jahiliyyah. Jika kita amati, keempat jenis jahiliyyah dalam ayat tersebut menyertakan jenis pelakunya juga. Prasangka/keyakinan (Ali Imron) : Munafik Hukum ((Al Maidah) : Yahudi Nasrani Penampilan (Al Ahzab) : Muslimin/Muslimah Fanatisme/kesombongan (Al Fath) : Orang-orang Kafir/Musyrik zaman Nabi Dari sini, kita kembali bisa membaca bahwa sumber kejahiliyahan bisa dari seorang munafik yang menyusup di tubuh muslimin. Atau Yahudi dan Nasrani yang menyebarkan ajaran mereka kepada muslimin. Atau orang-orang kafir dan musyrik yang menyekutukan Allah. Bahkan bisa seorang muslim atau muslimah yang tergoda oleh rayuan kejahiliyahan. Satu lagi pelajaran bagi kita, keempat kata Jahiliyyah tersebut diletakkan dalam surat-surat Madaniyyah. Padahal kita sering menyebut Jahiliyyah dan langsung terbayang jahiliyyah Mekah (musyrik Quraisy). Mengapa ayat-ayat tersebut justru diturunkan baru di Madinah, saat beliau telah berhasil memiliki satu wilayah Islami dan bisa menerapkan seluruh konsep Islam di lingkungan Madinah. Karena ternyata, keempat ayat tersebut jika dilihat dari sisi pelakunya baru dihadapi muslimin di Madinah. Munafik baru muncul sebagai musuh Nabi di kota Madinah. Yahudi dan Nasrani juga tidak ada di Mekah. Hanya ada sedikit sekali orang-orang Mekah yang pindah agama Nasrani. Tetapi Yahudi ada di Madinah tidak di Mekah. Adapun Surat al Fath tentang orang-orang musyrik Mekah, peristiwa yang disampaikan oleh surat ini terjadinya selepas Hudaibiyyah, di Madinah. Sedangkan tentang penampilan, ayat dalam Al Ahzab sesungguhnya secara khusus berbicara tentang ummahatul mukminin dalam sebuah peristiwa di keluarga Nabi di Kota Madinah. Jadi, kesemuanya, terjadi saat Nabi di Madinah. itu artinya, dari sejak Nabi di Mekah hingga Nabi mempunyai kota iman; Madinah, kejahiliyyahan tetap menjadi virus di masyarakat muslim yang terus diingatkan oleh Allah agar tidak menyusupi hati dan kehidupan muslimin. Jika, kehidupan yang langsung dikawal Nabi dan dalam bimbingan wahyu masih harus diingatkan dengan keempat kejahiliyahan tersebut, maka hari ini yang jauh dari Al Quran dan Nabi harus lebih serius mencermati dan lebih berhati-hati lagi. Diri kita. Keluarga kita. Masyarakat kita. Sumber : ustadzfathur.com

Jumat, 16 Desember 2022

ARTI MUHAMMADIYAH

Loading


 











 

ARTI MUHAMMADIYAH

Kata Muhammadiyah secara bahasa berarti 'pengikut Nabi Muhammad'. Ketika kelahirannya memakai ejaan lama, Moehammadijah, dalam keputusan Kongres ke-19 tahun 1930 di Minangkabau-dengan merujuk pada Kongres ke-14-disebutkan bahwa "ejaan lafadz perhimpunan kita ialah Moehammadijah". Setelah kemerdekaan dengan menggunakan ejaan baru yang disempurnakan kemudian berubah menjadi Muhammadiyah sebagaimana kini berlaku secara baku. Kata Muhammadijah sejak awal di bagian akhiran suku katanya memang hanya memakai satu huruf "j" atau "y", tidak Moehammadijjah atau Muhammadiyyah, tetapi Moehammadijah atau kini Muhammadiyah. Penggunaan satu huruf "ja" atau "ya" nisbah itu karena sudah dipungut menjadi bahasa Indonesia dan bahasa lisan yang memang demikian, tentu bukan karena Kiai Dahlan dan sahabat-sahabatnya waktu itu tidak paham bahasa Arab sebab pendiri Muhammadiyah tersebut sangat mahir bahasa Arab dan bahkan dua kali bermukim di Makkah. Dengan demikian, pemakaian kata Moehammadijah atau Muhammadiyah telah menjadi istilah dan pungutan bahasa Indonesia dan bernuansa keindonesiaan yang sejak awal demikian adanya.

Karena itu, kini tidak perlu dipersoalkan dan harus diucapkan menjadi Muhammadiyyah, sebab aslinya memang demikian dan sudah dibakukan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah sejak berdiri hingga saat ini. Perbedaan atau perubahan hanya terdapat pada ejaan bahasa Indonesia dari ejaan lama Moehammadijah menjadi ejaan baru Bahasa Indonesia yang telah disempurnakan yaitu Muhammadiyah. Pemilihan nama dan penulisan sudah menyatu dengan rasa keindonesiaan, sehingga telah menjadi nama baku. Jika ingin mewacanakan sesuatu lebih baik yang menyangkut persoalan spirit, gagasan, dan hal-hal yang lebih mendasar dalam Muhammadiyah.

Penggunaan kata Muhammadiyah dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad. Pemilihan nama Muhammadiyah menurut keterangan Kiai Soedja' (2009: 77) sudah dipikirkan dan diputuskan oleh Kiai Dahlan sendiri setelah shalat istikharah ketika merenungkan usulan murid dan sahabatnya agar membentuk organisasi yang dapat me memayungi dan mewujudkan gagasan-gagasan perjuangannya. Dalam pandangan Kiai Dahlan sebagaimana dinukilkan oleh Kiai Soedja' selaku sahabat dekatnya, penentuan nama Muhammadiyah didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut: "Nama itu memang diambil dari nama Nabi ikutan kita, Nabi Muhammad SAW., yang menjadi nabi dan rasul akhir zaman. Karena, kami ingin mentafaulkan nama itu dengan nama Nabi Panutan kita. Harapan kami mudah-mudahan Muhammadiyah menjadi jamiah akhir zaman, sebagaimana Nabi Muhammad SAW, menjadi nabi dan rasul akhir zaman. Adapun ditambah dengan ya' nisbah, maksud kami hendaknya barangsiapa yang menjadi anggota Muhammadiyah dapat menyesuaikan diri dengan pribadinya Nabi Muhammad SAW".

Kendati dalam kata Muhammadiyah (Muhammadiyyat) digunakan ta marbuthah yang dipakai untuk menunjukkan mu'anats (kata penunjuk untuk perempuan), tetapi menurut Kiai Dahlan ketika menjawab pertanyaan Kiai Soedja' kenapa menggunakan kata Muhammadiyah seperti untuk petunjuk kata perempuan? Pertanyaan tersebut dijawab oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan, Muhammadiyah itu bukanlah nama perempuan, melainkan artinya umat Nabi Muhammad, pengikut Muhammad, Nabi Muhammad utusan Tuhan yang menghabisan" (Salam, 1968: 11). Penisbahan Muhammadiyah kepada nama Nabi Muhammad SAW tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma (t.t.: 7) mengandung pengertian sebagai berikut:

"Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad SAW, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang diajarkan serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya".

Dalam tafsir Ibnu Katsir, terdapat penyebutan istilah al-'ummat al-Muhammadiyyah, ketika mufasir klasik ini menjelaskan tentang Al Qur'an Surat Ali Imran ayat 110 "Kamu adalah umat yang terbaik (khaira ummah) yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiramya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik". Dalam menerangkan ayat tersebut, Ibnu Katsir menyatakan sebagai berikut: "yahbaru ta'ala 'an hazdihi al-ummât al-Muhammadiyah bi anna-hum khairâ al-ummâm (bahwa Allah mengkhabarkan dengan ayat ini tentang umat Nabi Muhammad, yaitu mereka sebagai umat yang terbaik) (Katsir, Juz I: 391). Artinya, penggunaan nama Muhammadiyah sendiri jika dikaitkan dengan khazanah Islam klasik dalam ilmu pengetahuan keislaman (tafsir) memiliki rujukan yang objektif. Apakah Kiai Dahlan memperoleh inspirasi atau tidak dari Tafsir Ibnu Katsir itu, tetapi secara keilmuan nama Muhammadiyah memiliki rujukan pada pembendaharaan keislaman.

Dalam ranah sosiologis, Kiai Dahlan menamai dan memilih istilah Muhammadiyah tidak dimaksudkan untuk mengembangkan 'ashabiyyah atau 'orientasi pada golongan yang mempersempit keislaman'. Dengan nama Muhammadiyah tersebut sesungguhnya tidak terkandung konotasi 'ashabiyyah karena siapa pun yang mengikuti jejak Nabi Muhammad secara umum berarti Muhammadiyah atau pengikut Nabi Muhammad. Kendati begitu, ketika nama Muhammadiyah dipilih dan kemudian menjadi organisasi gerakan Islam, maka penamaan dan pendirian Muhammadiyah pun tidak dimaksudkan untuk membesar-besarkan 'ashabiyyah maupun perpecahan di kalangan umat Islam, karena Muhammadiyah diposisikan dan difungsikan sebagai sarana atau alat untuk mencapai tujuan Islam, yakni mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Karena itu, menjadi tidak relevan jika tumbuh pandangan pada sebagian kalangan bahwa bagi umat Islam tidak perlu memberi nama atau wadah tertentu selain nama Islam. Muhammadiyah pun secara substantif dan konotatif adalah Islam dan dilahirkan untuk pergerakan serta kepentingan Islam. Dengan demikian, baik suatu organisasi atau pergerakan itu menggunakan nama Muhammadiyah atau nama lain jika kehadirannya diniati, dilandasi, diproyeksikan, dibingkai, dan ditujukan untuk kepentingan Islam serta umat Islam, maka menjadi sah adanya dan tidak berarti merupakan pemagaran atau pemecahbelahan Islam. Apabila sebuah organisasi pun diberi nama Islam sebutlah nama harakah Islamiyyah atau yayasan berlabel Islam lainnya, maka organisasi tersebut baik dari kepengurusan maupun pergerakannya tentu memiliki pembatasan diri, sehingga yang diperlukan bukan nama atau labelnya tetapi hakikat dan orientasi gerakannya untuk dan demi kepentingan Islam.

Hal yang melekat dengan arti dan ciri Muhammadiyah sebagai organisasi atau gerakan ialah lambang atau simbol Muhammadiyah. Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah Bab II pasal 5 tahun 2005 disebutkan bahwa "Lambang Muhammadiyah adalah matahari bersinar utama dua belas, di tengah bertuliskan (Muhammadiyah) dan dilingkari kalimat (Asyhadu an la ilaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan Rasul Allah)". Dalam Anggaran Rumah Tangga pasal 2 dijelaskan tentang arti lambang dan bendera Muhammadiyah sebagai berikut:

(1) Lambang Muhammadiyah sebagai tersebut dalam Anggaran Dasar pasal 5 adalah seperti berikut:

(2) Bendera Muhammadiyah berbentuk persegi panjang berukuran dua berbanding tiga bergambar lambang Muhammadiyah di tengah dan tulisan Muhammadiyah di bawahnya, berwarna dasar hijau dengan tulisan dan gambar berwarna putih, seperti berikut:

Ketentuan lain tentang lambang dan bendera ditetapkan oleh Pimpinan Pusat.

Dengan lambang, termasuk bendera, sebagaimana dilukiskan atau digambarkan tersebut tampak jelas ciri Muhammadiyah yang membedakannya dari gerakan Islam yang lain, yang memberi nafas dan spirit bagi gerakan ini. Lambang sebagai pertanda dan sekaligus penanda memberi arti simbolik bagi anggota Muhammadiyah, yang menjadikannya sebagai bagian dari identifikasi gerakan. Di seluruh Tanah Air Indonesia dari perkotaan hingga ke pelosok-pelosok pedesaan baik melalui gedung-gedung maupun papan nama Muhammadiyah bersama seluruh organisasi otonom dan lembaga-lembaga yang dimilikinya terpampang dengan jelas ada atau tidak adanya Muhammadiyah di daerah setempat. Lambang juga menjadi bagian dari semangat Kemuhammadiyahan seluruh anggota Muhammadiyah.

Selain lambang, Muhammadiyah juga memiliki seperangkat instrumen pengikat gerakan, antara lain lagu. Kendati lagu itu dibuat belakangan dan tidak ada sewaktu awal berdiri, tetapi lagu menjadi perekat psikologi kolektif warga Muhammadiyah. Lagu "Sang Surya" misalnya, menjadi sangat populer dan melekat dengan benak pikiran dan perasaan warga Muhammadiyah, sekaligus menjadi bagian dari semangat Kemuhammadiyahan. Lagu tersebut mengandung isi yang demikian menggelora, yang melambangkan semangat atau spirit gerakan Islam yang dinamis, sebagai bagian dari spirit pembaruan Muhammadiyah yang tidak kenal lelah menyinari kehidupan laksana sang surya atau matahari mencerahkan bumi dan semesta.

Pada awal berdirinya, yaitu pada 18 November 1912, dirumuskanlah tujuan Muhammadiyah yaitu: "Maka perhimpoenan itoe maksoednja:

(a) Menjebarloeaskan pengadjaran Igama Kangjeng Nabi Moehammad Shallallahoe 'Alaihi Wassalam kepada pendoedoek Bumipoetera di dalam Residensi Djokjakarta, dan

(b) Memajoekan hal Igama kepada anggautaanggautanja" (Statuten Moehammadijah tahun 1912).

Kendati Muhammadiyah berdiri tanggal tersebut dan dideklarasikan dalam rapat terbuka umum pada 20 Desember 1912 di Gedoeng Loodge Gebauw Malioboro Yogyakarta, tetapi tidak dengan sendirinya memperoleh pengakuan sah dari pemerintah Hindia-Belanda yang sangat hati-hati dan penuh kecurigaan untuk memberikan izin. Dengan bantuan Boedi Oetomo dan melalui proses panjang yang berliku-liku akhirnya Muhammadiyah memperoleh pengesahan dari pemerintah Hindia-Belanda berdasarkan Besluit Nomor 81 tanggal 22 Agustus 1914 sebagai Badan Hukum yang melaksanakan kegiatan di kalangan umat Islam di wilayah Residensi Yogyakarta (Majelis Pustaka dan Dokumentasi PP Muhammadiyah, 1995: 22). Adapun rumusan tujuan Muhammadiyah yang disebut "Maksud Persyarikatan" hasil pengesahan Hindia-Belanda itu tercantum sebagai berikut:

(a) memadjoekan dan menggembirakan pengadjaran dan peladjaran Igama Islam di Hindia Nederland, dan

(b) Memadjoekan dan menggembirakan kehidoepan (cara hidoep) sepandjang kemaoean Agama Islam kepada lid-lidnja (Statuten Moehammadijah tahun 1914).

Kandungan isi atau subtansi tujuan Muhammadiyah tersebut tidak mengalami perubahan sampai Kiai Dahlan wafat tahun 1923, begitu juga sesudahnya sampai tahun 1943 pada masa pendudukan Jepang dan pada masa awal kemerdekaan tahun 1946. Pada masa Jepang tujuan Muhammadiyah ialah: "Sesuai dengan kepercayaan untuk mendirikan kemakmuran bersama seluruh Asia Raya, di bawah pimpinan Dai Nippon, dan memang diperintahkan oleh Tuhan Allah, maka perkumpulan ini:

(a) hendak menyiarkan agama Islam, serta melatihkan hidup yang selaras dengan tuntunannya,

(b) hendak melakukan pekerjaan kebaikan kebaikan umum,

(c) hendak memajukan pengetahuan dan kepandaian serta budi pekerti yang baik kepada anggauta-anggautanya; kesemuanya itu ditujukan untuk berjasa mendidik masyarakat ramai." Sedangkan pada masa kemerdekaan, tahun 1946, dirumuskan tujuan sebagai berikut: Maksud dan tujuan Persyarikatan ini akan menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya" (Badawi, 1998).

Pada zaman Jepang melakukan penyesuaian isi dan redaksi, mengingatkan pengalaman Muhammadiyah di kemudian hari pada waktu asas Pancasila tahun 1985, yang juga melakukan penyesuaian karena kebijakan rezim pemerintah. Pada 1946, yang kemudian dikukuhkan pada Muktamar tahun 1952, Muhammadiyah untuk pertama kalinya mencantumkan tujuan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Konsep tersebut berlangsung hingga saat ini kecuali pada tahun Muktamar tahun 1985 diganti dengan sebutan masyarakat utama yang adil dan makmur yang diridlai Allah SWT, yang substansinya sama. Dari perubahan-perubahan formulasi tujuan tersebut tampak dinamika Muhammadiyah dalam menghadapi kebijakan rezim kekuasaan dan kondisi sosiologis yang berkembang pada masanya, yang menunjukkan fleksibilitas sekaligus kecerdasan Muhammadiyah dalam menyikapi keadaan yang penuh tekanan.

Jika ditelaah secara saksama terdapat hal menarik, bahwa kata memajukan selain kata menyebarluaskan, yang sejak 1914 ditambah dengan kata menggembirakan dalam pasal maksud dan tujuan Muhammadiyah, merupakan kata-kunci yang selalu dicantumkan dalam Statuten Muhammadiyah pada periode Kiai Dahlan hingga tahun 1946 yakni pada Statuten Muhammadiyah Tahun 1912, Tahun 1914, Tahun 1921, Tahun 1931, Tahun 1931, dan Tahun 1941. Dalam pandangan Djarnawi Hadikusuma, kata-kata yang sederhana tersebut mengandung arti yang sangat dalam dan luas, yaitu ketika umat Islam sedang dalam kelemahan dan kemunduran akibat tidak mengerti kepada ajaran Islam yang sesungguhnya, maka Muhammadiyah mengungkap dan mengetengahkan ajaran Islam yang murni itu serta menganjurkan kepada umat Islam pada umumnya untuk mempelajarinya, dan kepada para ulama untuk mengajarkannya, dalam suasana yang maju dan menggembirakan. Kata memajukan mengingatkan pada makna tajdid atau pembaruan, yang mengandung semangat kemajuan. Adapun kata menyebarluaskan jelas sekali mengandung semangat ekspansi atau penyebarluasan, yang memiliki konotasi atau substansi yang sama dengan dakwah.

Sumber : kuliah kemuhammadiyahan ( prof  DR Haedar Nashir Msi )

┈┈┈◎❅❀❦🌹❦❀❅◎┈┈┈

Kamis, 17 November 2022

KONSEP HAJI

Loading

 










MODUL KULIAH 4

KONSEP HAJI

M. Mustaqim Fadhil, M.SI

Pendahuluan

Modul ini merupakan modul Ke-4 dari 10 modul mata kuliah AIK-2. Haji (al-hajju) secara bahasa berarti al-qashdu (menyengaja, menu- ju, maksud). Secara istilah, haji adalah pergi menuju Makkah dengan maksud mengerjakan ibadah thawaf, sai, wuquf di arafah, bermalam di Muzdalifah, Mabit di Mina dan ibadah-ibadah lain pada waktu-waktu yang telah ditentukan untuk memenuhi perintah Allah dan menghara- pkan ridha-Nya. Umrah adalah mengunjungi Makkah untuk mengerja- kan thawaf, sai, kemudian tahallul untuk memenuhi perintah Allah dan mengharapkan keridhaan-Nya. Umrah haji harus dilaksanakan pada musim haji yang sudah ditentukan. Sedangkan umrah sunnah dapat dilakukan kapan saja sepanjang tahun. Ibadah Haji adalah salah satu dari rukun Islam yang lima dan wajib dilaksanakan oleh setiap muslim mukallaf (baligh dan berakal) merdeka, dan mempunyai kesanggupan (istithaah).

Sejarah Haji dalam Islam bermula dari ribuan tahun yang lalu. Pada masa Nabi Ibrahim AS (1861 1686 SM), yang merupakan keturunan Sam Bin Nuh AS (3900 2900 SM). Literatur-literatur yang ada dalam khasanah Islam menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim AS lahir di Ur-Kas- dim, sebuah kota penting di Mesopotamia, selanjutnya Nabi Ibrahim tinggal di sebuah lembah di negeri Syam.

Ibnu Kholawaih berkata, “Haji mabrur adalah haji yang maqbul (haji yang diterima).” Ulama yang lainnya mengatakan, “Haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri dengan dosa.” Pendapat ini dipilih oleh An Nawawi.

Para pakar fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori dengan kemaksiatan pada saat melaksanakan rangkaian manasiknya. Sedangkan Al Faro berpendapat bah- wa haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi hobi bermaksiat. Dua pendapat ini disebutkan oleh Ibnul Arabi. Al Hasan Al Bashri rahi- mahullah mengatakan, “Haji mabrur adalah jika sepulang haji menjadi orang yang zuhud dengan dunia dan merindukan akherat.” Al Qurthubi rahimahullah menyimpulkan, “Haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori oleh maksiat saat melaksanakan manasik dan tidak lagi gemar bermaksiat setelah pulang haji.” Masing-masing kajian ini akn dibahas tersendiri secara mendalam pada modul ini.

Dalam modul ini kita akan mengkaji hakekat, sejarah dan Haji Mabrur serta mengkaji hikmah dan makna spiritual haji. Setelah menguasai modul ini, mahasiswa dapat menjelaskan dan memahami pengertian hakekat, sejarah dan Haji Mabrur serta mengkaji hikmah dan makna spiritual haji. Secara lebih khusus setelah mempelajari modul ini anda diharapkan dapat menjelaskan dan memahami:

       Hakekat Haji

       Sejarah Haji

       Haji Mabrur

       Hikmah dan Makna Spiritual Haji

Modul ini dibagi dalam 2 Kegiatan Belajar (KB):

Kegiatan belajar 1 : Hakekat, Sejarah dan Haji Mabrur Kegiatan belajar 2 : Hikmah dan Makna Spiritual Haji

Agar dapat berhasil dengan baik dalam mmepelajari modul ini, ikuti- lah petunjuk belajar sebagai berikut:

       Bacalah dengan cermat bagian pendahuluan modul ini sampai anda memahami untuk mempelajari modul ini, dan bagaimana cara mempelajarinya

       Bacalah modul ini secara seksama dan kerjakan semua latihan yang ada

       Perhatikan contoh-contoh yang diberikan pada setiap kegiatan belajar

       Mantapkan pemahaman Anda melalui diskusi dengan kelompok belajar anda.


Hakekat, Sejarah Dan Haji Mabrur

A.  Hakikat Haji

 

Haji (al-hajju) secara bahasa berarti al-qashdu (menyengaja, menu- ju, maksud). Secara istilah, haji adalah pergi menuju Makkah dengan maksud mengerjakan ibadah thawaf, sai, wuquf di arafah, bermalam di Muzdalifah, Mabit di Mina dan ibadah-ibadah lain pada waktu-waktu yang telah ditentukan untuk memenuhi perintah Allah dan mengharap- kan ridha-Nya.

Umrah adalah mengunjungi Makkah untuk mengerjakan thawaf, sai, kemudian tahallul untuk memenuhi perintah Allah dan mengharapkan keridhaan-Nya. Umrah haji harus dilaksanakan pada musim haji yang sudah ditentukan. Sedangkan umrah sunnah dapat dilakukan kapan saja sepanjang tahun.

Ibadah Haji adalah salah satu dari rukun Islam yang lima dan wajib dilaksanakan oleh setiap muslim mukallaf (baligh dan berakal) merde- ka, dan mempunyai kesanggupan (istithaah), berdasarkan firman Allah SWT:

 


Artinya: Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (diantaranya) ma- qam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (baitullah itu) menajdi aman- lah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.

Barangsiapa mengingkiari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam(QS. Ali Im- ran 3:97)

 

Istithaah atau kesanggupan melaksanakan haji dinilai dari berbagai macam aspek:

1.     Finansial: Memiliki cukup uang untuk membayar biaya iba- dah haji, yang untuk kasus Indonesia jumlahnya setiap tahun ditentukan oleh Pemerintah berdasarkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dalam biaya itu sudah termasuk living cost (biaya hidup selama melaksanakan ibadah haji). Bagi yang mempunyai tanggungan keluarga di tanah air, kesanggupan financial juga termasuk meninggalkan uang untuk biaya hidup keluarga selama ditinggalkan.

2.     Kesehatan: Cukup sehat untuk melaksanakan ibadah haji. Tidak menjadi syarat harus sehat secara sempurna, yang penting tidak memiliki halangan kesehatan untuk melaksanakan ibadah haji.

3.     Keamanan: terjamin keamanan baik dalam perjalanan maupun selama berada di makkah dan tempat-tempat ibadah haji lainn- ya.

4.     Transportasi: tersedia alat transportasi yang diperlukan, baik udara, laut ataupun darat.

5.     Kuota : Karena jumlah calon jamaah haji dari seluruh dunia su- dah melebihi kapasitas tanah suci menampungnya maka kera- jaan Arab Saudi menetapkan kuota 1/1000 bagi setiap Negara. Artinya dari setiap 1000 orang penduduk diberi jatah satu orang untuk melaksanakan ibadah haji. Jika penduduk Muslim Indo- nesia 225juta jiwa, maka kuota Indonesia adalah 225.000 jiwa setiap tahun. Sekalipun syarat 1-4 sudah terpenuhi, tetapi jika tidak mendapatkan kuota seseorang belumlah masuk kategori sanggup atau isthithaah.

6.     Tidak ada halangan syari lainnya, misalnya ada orang tua yang sudah uzur atau keluarga sakit yang tidak bisa ditinggal atau halangan lainnya yang dibenarkan oleh agama.

Kewajiban haji bagi yang sanggup hany asatu kali seumur hidup, berdasar hadis dari abu Hurairah RA bahwa Rasullah SAW berkhutbah:

Artinya: “Wahai umat manusia, Allah telah mewajibkan haji atasmu, maka tunaikanlah”. Seorang laki-laki bertanya:” Apakah setiap tahun wahai rasullah?” Nabi diam hingga orang itu mengajukan pertanyaan- nya tiga kali. Kemudian Nabi bersabda: “Andainya aku katakana ya maka akan menjadi wajib, sedang kalian tidak akan sanggup melaku- kannya”. Lalu sabda Nabi lagi : Biarkanlah, jangan kalian minta-minta apa yang tidak aku sebutkan. Sesungguhnya yang membuat orang dahulu celaka adalah karena mereka banyak bertanya dan berselisih dengan nabi-nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu, lakukan sekuat tenagamu, jika aku larang maka tinggalkanlah” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

 

B.  Sejarah Haji

 

Sejarah Haji dalam Islam bermula dari ribuan tahun yang lalu. Pada masa Nabi Ibrahim AS (1861 1686 SM), yang merupakan keturunan Sam Bin Nuh AS (3900 2900 SM). Literatur-literatur yang ada dalam khasanah Islam menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim AS lahir di Ur-Kas- dim, sebuah kota penting di Mesopotamia, selanjutnya Nabi Ibrahim tinggal di sebuah lembah di negeri Syam.

Ketika sudah memasuki usia senja, Nabi Ibrahim belum juga dikaruniai keturunan. Sang istri (Sarah) sangat sedih melihat keadaan ini dan meminta Nabi Ibrahim untuk menikahi Hajar. dari Hajar inilah Allah mengkaruniai Ibrahim seorang anak bernama Ismail. Dan Sar- ah tidak mampu memendam rasa pilunya karena tidak mendapatkan keturunan sepanjang perkawinannya dengan Nabi Ibrahim AS.

Nabi Ibrahim AS kemudian mengadukan permasalahannya kepada Allah. Lalu Allah perintahkan Nabi Ibrahim membawa Ismail bersama Hajar untuk menjauh dari Sarah. Nabi Ibrahimpun bertanya : “Yaa Al- lah, kemana aku harus membawa keluargaku ?”

Allah berfirman :“Bawalah ke tanah Haram-Ku dan pengawasan-Ku, yang merupakan daratan pertama Aku ciptakan di permukaan bumi yaitu Mekkah.”

Kemudian Jibril membawa Hajar, Ismail dan Nabi Ibrahim AS. Setiap kali Nabi Ibrahim AS melewati suatu tempat yang memiliki ladang kur- ma yang subur, ia selalu meminta Jibril untuk berhenti sejenak. Teta- pi Jibril selalu menjawab, “teruskan lagi” dan “teruskan lagi”. Sehing- ga akhirnya sampailah di Mekkah dan Jibril mereka di posisi Kabah, dibawah sebuah pohon yang cukup melindungi Hajar dan anaknya Is- mail dari terik matahari.

Selanjutnya Nabi Ibrahim AS bermaksud pulang kembali ke negeri Syam menemui Sarah istri pertamanya. Hajar merasa sedih karena akan ditinggalkan oleh suami tercintanya. “Mengapa menempatkan kami disini. Tempat yang sunyi dari manusia , hanya gurun pasir, tiada air dan tiada tumbuh-tumbuhan ?” tanya Hajar sambil memeluk erat bayinya, Ismail.

Ibrahim menjawab:“Sesungguhnya Allah yang memerintahkanku menempatkan kalian di sini”.

Lalu Ibrahim beranjak pergi meninggalkan mereka. Sehingga sam- pai di bukit Kuday yang mempunyai lembah, Ibrahim berhenti sejenak dan melihat kepada keluarga yang ditinggalkannya. Dia lalu berdoa, seperti yang diabadikan dalam Al Quran. Allah berfirman mengulan- gi doa Nabi Ibrahim AS : ” Yaa Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempu- nyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Yaa Tuhan Kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rizki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS Ibrahim : 37).

Setelah Ibrahim pergi, tinggal seorang diri Hajar bersama bayinya yang bernama Ismail. Hingga ketika sinar matahari mulai menyengat Ismail, Ismail pun menangis karena kehausan. Hajar pun panik untuk mencari minum untuk Ismail. Nalurinya sebagai Ibu, sangatlah gigih dalam mencari air untuk bayinya. Ketika ia ke bukit Shafa, ia tak men- emukan air, pergi ke bukit Marwa pun juga tak menemukan air. Hajar mulai bertambah paniknya, sampai-sampai ia tak sadar kalau sudah tujuh kali keliling bolak-balik antara bukit Shafa dan bukit Marwa. Tetap saja, ia tak menemukan air juga.

Ketika Hajar berada di bukit Marwa, ia heran melihat Ismail yang tiba-tiba berhenti menangis. Ternyata, yang menyebabkan Ismail menangis adalah air yang tiba-tiba muncul dan mengalir di bawah kaki Ismail. Hajar pun lari kegirangan karena melihat air itu, ia langsung ber- lari ke arah Ismail. Karena terlalu senangnya, ia pun berusaha meng- gali pasir itu, membendung air yang mengalir sambil melafazkan kali- mat, “Zam… Zam…” kalimat tersebut yang artinya adalah Menampung. Di sinilah sejarah air zam-zam terjadi.

Hingga beberapa waktu kemudian, lewatlah Kabilah Jurhum di seki- tar tempat tersebut. Saat mereka berjalan ke bukit Arafah, mereka me- lihat kerumunan burung terbang di atas udara. Mereka meyakinkan bahwa itu tanda adanya sumber air.


Setelah tiba di tempat burung-burung beterbangan, mereka terkes- ima ketika melihat seorang wanita bersama bayinya di bawah pohon dengan aliran air yang begitu banyak. Tak lain itu adalah Hajar dan Ismail. Mereka pun mendekati Hajar dan Ismail.

“Siapakah Anda dan siapakah bayi mungil yang ada dalam gen- dongan Anda itu? Tanya kepala suku Jurhum kepada Hajar. Hajar pun menjawab, “Saya adalah Ibu dari bayi ini. Ia anak kandung dari Ibra- him as yang diperintahkan oleh Tuhannya menempatkan kami di wadi ini.” Dengan jawaban Hajar yang demikian, dan adanya sumber air di sekitar itu, kepala suku Jurhum pun meminta izin kepada Hajar untuk tinggal bersama rombongannya di seberang tempat Hajar bersinggah. “Tunggulah sampai Ibrahim datang. Saya akan meminta izin kepadan- ya.” Hajar menjawab permohonan izin dari kepala Suku Jurhum.

Tiga hari kemudian, nabi Ibrahim as pun datang. Ia langsung melihat kondisi Ismail dan Hajar. Dan Hajar pun tak lupa langsung meminta izin kepada Ibrahim as supaya para Kabilah Jurhum untuk tinggal dan men- jadi tetangganya. Nabi Ibrahim as mengizinkan Kabilah Jurhum untuk menjadi tetangganya. Hingga berselang beberapa waktu, dan pada kesempatan berziarah selanjutnya, Ibrahim melihat kondisi tempat itu, ternyata sudah mulai ramai oleh keturunan bangsa Jurhum. Nabi Ibrahim as pun merasa senang karena melihat perkembangan tempat tersebut. Hingga Ismail beranjak remaja, Hajar pun hidup bertetangga dengan bangsa Jurhum dengan tentram dan rukun.

Hingga Allah SWT memerintahkan kepada Ibrahim as untuk memba- ngun Kabah di posisi Qubah yang sudah diturunkan Allah kepada Nabi Adam as pada masa dulu. Tapi, nabi Ibrahim tidak mengetahui posisi Qubah itu di mana. Karena, pada masa nabi Nuh as, dan peristiwa ban- jir besar datang, Allah telah mengangkat kembali Qubah tersebut. Jadi, saat itu, Ibrahim as tidak melihat Qubah itu sama sekali. Allah SWT pun mengutus malaikat Jibril untuk memberikan petunjuk kepada Ibrahim as di mana letak posisi Kabah harus dibangun. Dan Jibril mematuhi perintah Allah, ia datang dengan membawa beberapa bagian Kabah dari surga. Ismail yang saat itu berusia remaja membantu ayahnya un- tuk membangun Kabah.

 

1.  Kabah Dibangun

Setelah Kabah dibangun oleh Ismail dan Ibrahim hingga mencapai 7 hasta, Jibril memberikan petunjuk di mana posisi Hajar Aswad dil- etakkan. Setelah Hajar Aswad diletakkan dengan benar, Ibrahim pun melanjutkan pembangunan tersebut dengan membuat 2 pintu Kabah, yang mana pintu pertama menghadap ke Timur dan pintu ke dua meng- hadap ke Barat.

Waktu demi waktu telah dilalui oleh Ismail dan Ibrahim dalam mem- bangun Kabah. Hingga pada akhirnya Kabah tersebut telah rampung. Mereka pun melaksanakan ibadah Haji. Di waktu inilah, ibadah Haji pertama kali dilakukan.

Pada tanggal 8 Dzulhijjah, Jibril kembali turun ke bumi untuk men- yampaikan pesan kepada Ibrahim as. Ibrahim diminta untuk mendis- tribusikan air zam-zam ke beberapa tempat sekitarnya seperti Mina dan Arafah. Sehingga, di sinilah hari tersebut dinamakan dengan hari Tarawiyyah. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah pendistribusian air.

Pembangunan Baitullah dan Pendistribusian Air Zam-zam telah usai, Ibrahim as pun berdoa kepada Allah yang diabadikan ke dalam Al Quran (QS. Al Baqarah;126).

Dan (ingatlah ketika Nabi Ibrahim berdoa;

“Yaa Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.

Allah berfirman;

“Dan kepada orang yang kafir pun aku beri kesenangan sementara, kemu- dian aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.”

Sejak saat itulah, Ibadah Haji mulai dilakukan oleh kaum Muslimin dan Muslimah. Mereka berhaji dengan berziarah ke Kabah setiap ta- hunnya. Hal ini sebagai tanda cinta dan hormat kepada risalah Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as, serta para Nabi dan Rasul setelah keduanya. Karena mereka berdua terus melakukan ibadah ini di setiap tahunnya. Namun, sayangnya pada periode tokoh Mekkah yaitu Am- mar bin Luhay, ibadah haji seperti dikotori dengan kehadiran patung dan berhala. Hal ini sangat disayangkan oleh para kaum Muslimin dan Muslimah. Di masa Ammar bin Luhay, Ibrahim as sudah wafat.


2.  Keberadaan Berhala di Sekitar Kabah

Tokoh Ammar bin Luhay merupakan orang yang pertama kali menye- barkan ajaran menyembah berhala di seluruh Jazirah Arab. Dialah yang bertanggung jawab merubah ajaran tauhid menjadi menyembah berhala. Sejak itu, orang-orang Arab meletakkan patung dan berhala yang mereka anggap sebagai tuhan di sekitar Kabah. Bahkan seba- gian kabilah Mekkah mempunyai mata pencaharian sebagai pembuat patung dan berhala.

Mereka tetap memperbolehkan kabilah atau kelompok lain untuk menunaikan haji ke Baitullah, tanpa membedakan agama dan keper- cayaan. Para pemeluk agama tauhid termasuk agama Masehi, masih terus menjalankan ritual haji ke Kabah. Saat itu, kondisi Kabah sangat memprihatinkan. Dindingnya dipenuhi puisi dan lukisan. Bahkan lebih dari 360 berhala terdapat di sekitar Kabah.

Selama periode haji itu, suasana di sekitar Kabah layaknya seperti sirkus. Laki-laki dan perempuan mengelilingi Kabah dengan telanjang. Mereka menyatakan harus menampilkan diri dihadapan Allah dalam kondisi yang sama seperti saat lahir. Doa mereka menjadi bebas tak lagi tulus mengingat Allah. Bahkan berubah menjadi serangkaian tepuk tangan,bersiul, dan meniup terompet dari tanduk hewan.

Kalimat talbiah (Labbaika Allahumma Labbaik) telah diselewengkan oleh mereka dengan kalimat tambahan yang berbeda maknanya. Leb- ih parah lagi, darah hewan kurban dituangkan ke dinding Kabah dan dagingnya digantung di tiang sekitar Kabah. Mereka punya keyakinan bahwa Allah menuntuk daging dan darah tersebut. Mengenai hal ini Allah Swt mengingatkan dengan firmannya:

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat menca- pai (keridhaan) Allah, tetapi Ketaqwaan dari kamulah yang dapat men- capainya.” (QS.Al-Hajj :37)

Para peziarah bebas bernyanyi, minum arak, melakukan zina, dan perbuatan amoral lainnya. Lomba puisi adalah bagian utama dari seluruh rangkaian haji. Dalam kompetisi ini,setiap penyair akan memu- ji keberanian dan kemegahan sukunya. Mereka menyampaikan cerita yang berlebihan,kepengecutan, dan kekikiran suku-suku lainnya. Ada juga kompetisi dalam “kemurahan hati”. Masing-masing kepala suku akan menyediakan kualibesar dan memberi makan para peziarah. Tu- juannya agar bisa menjadi terkenal karena kemurahan hati mereka.

Mereka telah meninggalkan, menodai dan menyelewengkan aja- ran suci Nabi Ibtahim as yang mengajak menyembah Allah semata.

Keadaan menyedihkan itu berlangsung selama kuarng lebih dua ribu tahun.

Ammar bin Luhay adalah orang yang mengotori sucinya ibadah Haji, ia yang menyebarkan pertama kali untuk menyembah berhala di seluruh Jazirah Arab. Yang awalnya penduduk Arab menganut ajaran tauhid, menjadi menyembah berhala, dalangnya adalah Ammar. Maka dari itu, sejak itu penduduk Arab berbondong-bondong meletakkan be- berapa patung sebagai berhala yang dianggapnya sebagai Tuhan di sekitar Kabah. Bahkan saat itu, ada beberapa orang yang memutuskan untuk bekerja sebagai pemahat patung.

Para pengikut Ammar memperbolehkan pengikut Ibrahim untuk tetap beribadah haji ke Baitullah tanpa membedakan agama dan ke- percayaan. Hingga para pemeluk agama tauhid dan juga agama Mase- hi tetap terus menjalankan ibadah Haji ke Kabah. Pada masa itu pun, Kabah dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Di dinding-dindingnya tertempel beberapa puisi dan lukisan bahkan terdapat lebih dari 360 berhala terpasang di sekitar Kabah. Sungguh ironis! Sehingga, sekitar Kabah seperti arena sirkus saat itu.

Hingga beberapa waktu kemudian, ritual haji menjadi amburadul. Laki-laki dan perempuan mengelilingi Kabah dengan tanpa pakaian sehelai pun atau telanjang bulat. Mereka berpikir bahwa menghadap ke Tuhan Allah dengan menampilkan diri layaknya lahir di dunia ini. Bahkan doa mereka tak tulus seperti yang dulu, hingga doa berubah menjadi siulan, tepukan tangan, tiupan musik dan tari-tarian. Hal ini semua karena diselewengkan oleh umat Ammar.

Tak hanya itu, mereka juga menyelewengkan kalimat talbiah (Lab- baika Allahumma Labbaik). Mereka menyelewengkan dengan menam- bahkan beberapa kalimat, hingga maknanya menjadi berubah. Terlebih dari itu, mereka menuangkan darah kurban ke dinding Kabah dan bah- kan beberapa daging kurban digantung-gantungkan ke tiang sekitar Kabah. Mereka berpikir bahwa dengan melakukan hal demikian, Allah akan menerima pengurbanan mereka.

Dengan adanya fenomena tersebut, akhirnya Allah berfirman untuk mengingatkan kepada mereka. Firman Allah ini telah diabadikan ke da- lam Al Quran yaitu Surah Al Haj ayat 37,

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketaqwaan dan kamulah yang dapat mencapainya.”

Pada masa itu, para peziarah bukannya berdoa kepada Allah, mer- eka malah asyik bernyanyi, melakukan zina, minum-minuman arak, hingga melakukan perbuatan yang tercela lainnya. Dalam rangkaian haji saat itu, lomba puisi adalah acara intinya. Dalam lomba tersebut, para peziarah berusaha unjuk diri dengan memamerkan puisi-puisin- ya. Puisi-puisinya pun tak lain adalah pujian-pujian tentang keberanian dan kehebatan sukunya, dan cerita berlebihan seperti kepengecutan, kekikiran suku lainnya.

Tak hanya lomba puisi, dalam rangkaian kegiatan ritual haji pada masa itu, juga terdapat lomba murah hati, yang mana lomba tersebut diwarnai dengan memberikan kuali besar dan memberi makan kepada para peziarah, agar mereka dikenal sebagai orang yang murah hati.

Pada masa itu, penduduk Arab benar-benar menodai dan menyele- wengkan ajaran Nabi Ibrahim as yang semata-semata hanya menyem- bah Allah. Telah diketahui, bahwa fenomena menyedihkan tersebut tel- ah berlangsung hingga dua ribu tahun lamanya.

3.  Haji dan Umrah Zaman Rasulullah SAW

Tetapi setelah periode panjang ini, terjawablah doa Nabi Ibrahim as yang tercantum dalam Al-Quran :

Artinya: “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rosul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat- Mu dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al Hik- mah (As Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkau- lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Albaqarah : 129)

Nabi Muhammad tidak hanya membersihkan Kabah dari segala ko- toran, tetapi juga mengembalikan kemurnian ibadah haji sesuai tun- tunan Allah sejak jaman Nabi Ibrahim AS.

Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai jawaban atas doa Nabi Ibrahim AS tersebut. Selama 23 tahun Nabi Muhammad SAW menyebarkan pesan Tauhid, pesan yang sama seperti yang dibawa Nabi Ibrahim AS dan semua Nabi pendahulunya, untuk menegakkan hukum Allah dimuka bumi.

Terdapat perintah khusus dalam Al Quran yang diturunkan dalam rangka menghilangkan semua upacara palsu yang telah merajalela pada masa sebelum Islam. Semua tindakan tidak senonoh dan mema- lukan itu sangat dilarang sebagaimana dalam pernyatan Allah dalam Al Quran :

“Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa menetapkan niatnya dalam bualn itu akan mengerjakan haji, maka ti- dak diperbolehkan rafats (mengeluarkan perkataan yang menimbulkan birahi yang tidak senonoh atau bersetubuh), berbuat fasik dan berban- tah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS Al Baqarah : 197)

Rasululloh SAW memerintahkan para sahabat yang mampu teru- tama kaum Anshar (pribumi Madinah) yang tidak dikenali oleh orang- orang Mekkah, untuk menunaikan ibadah haji sesuai dengan manasik Nabi Ibrahim AS. Mereka tidak mengerjakan amalan-amalan yang berhubungan dengan penyembahan berhala. Ketika kembali dari haji, kaum Anshar melapor kepada Rasululloh SAW bahwa mereka menger- jakan sai dengan keraguan. Ditengah masa (jalur sai) antara Shafa dan Marwa terdapat dua berhala besar Asaf dan Nailah. Oleh karena itu turunlah wahyu Allah SWT yaitu :

Artinya: ” Sesungguhnya Shafa dan Marwa itu sebagian dari sy- iar-syiar Allah. maka barangsiapa berhaji ke baitullah atau berkunjung (umrah), tidak salah baginya untuk bolak balik pada keduanya. Dan barangsiapa menambah kebaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pembalas Syukur lagi Maha Mengetahui. ” (QS. Al Baqarah : 158)

Ayat inilah yang akan sering dibaca oleh para jamaah haji ketika melakukan sai.

Pada bulan April 628 M (Dzulkaidah 6 H) Rasululloh bermimpi menunaikan umrah ke Mekkah. Beliau mengajak para shahabat untuk mewujudkan mimpi tersebut. Rasululloh dengan disertai 1.500 shaha- bat berangkat menuju Mekkah, mengenakan pakaian ihram dan mem- bawa hewan-hewan kurban.

Kaum musyrikin Quraisy mengerahkan pasukan untuk menghalan- gi, sehingga rombongan dari Madinah tertahan di Hudaibiyyah, 20 km disebelah barat laut Mekkah.

Kaum Quraisy mengutus Suhail Ibn Amr untuk berunding dengan Rasululloh. Suhail mengusulkan antara lain kesepakatan genjatan sen- jata dan kaum muslimin harus menunda Umrah dengan kembali ke Madinah. Tetapi tahun depan akan diberikan kebebasan melakukan Umrah dan tinggal selama 3 hari di Mekkah. Rasululloh SAW menyetu- jui perjanjian ini meskipun para shahabat banyak yang kecewa.

Secara singkat isi perjanjian tersebut kelihatannya merugikan kaum muslimin, tetapi sesungguhnya secara politis sangat menguntungkan bagi kaum muslimin.

Perjanjian Hudaibiyyah merupakan salah satu tonggak penting da- lam sejarah Islam karena untuk pertama kalinya kaum Quraisy di Mekkah mengakui kedaulatan kaum Muslimin di Madinah.

Dalam perjalanan pulang ke Madinah, turunlah wahyu Allah sebagai berikut :

“Sungguh Allah akan memenuhi mimpi RasulNya dengan sebe- nar-benarnya. , bahwa kamu akan memasuki Masjidil Haram insya Allah dengan aman. Kamu akan mencukur kepalamu atau menggu- nting rambut (menyelesaikan umroh) dengan tidak merasa takut. Dia mengetahui apa yang tidak kau ketahui dan DIA menjadikan selain itu sebagai kemenangan yang dekat.” (QS Al Fath : 27)

Sesuai dengan perjanjian Hudaibiyah, tahun berikutnya (Maret 629 Masehi atau Zulkaidah 7 Hijriyah) Rasullah Saw. beserta para sahabat untuk pertama kalinya melakukan umrah ke Baitullah. Ketika rombon- gan Rosulullah Saw yang berjumlah sekitar 2.000 orang memasuki pe- lataran Kabah untuk melakukan tawaf, orang-orang Mekkah berkumpul menonton di bukit Qubais dengan berteriak bahwa kaum Muslimin ke- lihatan letih dan pasti tidak kuat berkeliling tujuh putaran. Mendengar ejekan ini, Rasulullah Saw bersabda kepada para jamaahnya, “Marilah kitatunjukan kepada mereka bahwa kita kuat. Bahu kanan kita terbuka dari kain ihram, dan kita lakukan tawaf sambil berlari!”

Sesudah mencium hajar Aswad, Rasulullah Saw, dan para sahabat memulai tawaf dengan berlari-lari mengelilingi Kabah sehingga para pengejek akhirnya bubar. Pada putaran keempat setelah orang-orang usil diatas bukit Qubai pergi, Rasulullah mengajak para sahabat ber- henti berlari dan berjalan seperti biasa. Inilah latar belakang beberapa sunah tawaf di kemudian hari : bahu kanan yang terbuka (idhthiba) ser- ta berlari-lari kecil pada tigaputaran pertamakhusus pada tawaf yang pertama.

Selesai tujuh putaran, Rasulullah Saw, Shalat dua rakaat di Makom Ibrahim, kemudian minum air Zamzam dan akhirnya melakukan tahal- ul (menghalalkan kembali) atau membebaskan diri dari larangan-laran- gan ihram , dengan menyuruh Khirasy mencukur kepala beliau. Ketika masuk waktu dzuhur, Rasulullah Saw menyuruh Bilal ibn Rabah naik ke atap Kabah untuk mengumandangkan azan.

Suara adzan Bilal menggema ke segenap penjuru sehingga orang- orang Mekkah berkumpul kearah “suara aneh” yang baru pertama kali mereka dengar. Kaum Musyrikin menyaksikan betapa rapinya saf-saf kaum Muslimin yang sedang shalat berjamaah. Hari itu, 17 Zulkaidah 7 hijriyah (17 Maret 629M), untuk pertama kalinya azan berkumandang di Mekkah dan Nabi Muhammad Saw. menjadi imam shalat di depan Kabah.

Sesuai dengan isi Perjanjian Hudaibiyyah, Rasululloh SAW dan para shahabat yang hanya tiga hari berada di Mekkah, kembali ke Madi- nah. Tetapi Umrah tiga hari yang dilakukan kaum Muslimin di Mekkah menimbulkan kesan yang mendalam bagi orang-orang Quraisy. Tiga orang terkemuka Quraisy yaitu Khalid Bin Walid, Amru Bin Ash dan Utsman Bin Thalhah, menyusul ke Madinah untuk mengucapkan ka- limat syahadat. Di kemudian hari pada masa Kekhalifahan Umar Bin Khattab RA (634 — 644 M), Khalid Bin Walid RA memimpin pasukan Islam membebaskan Suriah dan Palestina, serta Amru Bin Ash RA membebaskan Mesir dari kekuasaan Romawi. Utsman Bin Thalhah RA dan keturunannya kelak diberi kepercayaan oleh Rasululloh untuk me- megang kunci Kabah.

Sampai hari ini, meskipun yang menguasai dan memelihara Kabah berganti hingga Dinasti Saudi sekarang, kunci Kabah tetap dipegang oleh keturunan Utsman Ibn Thalhah RA dari Bani Syaibah.

Beberapa bulan sesudah Rasulullah SAW umrah, kaum Quraisy me- langgar perjanjian gencatan senjata sehingga pada 20 Ramadhan 8 H (11 Januari 630 M) Rasululloh beserta sekitar 10.000 pasukan menak- lukan Mekkah tanpa ada pertumpahan darah. Bahkan, Rasululloh memberikan amnesti kepada warga Mekkah yang dahulu memusuhi Muslimin.

“Tiada balas dendam bagimu hari ini. Semoga Allah mengampuni kalian dan Dia Paling Penyayang diantara para penyayang“, demikian sabda Rasululloh SAW mengutip ucapan Nabi Yusuf AS yang tercan- tum dalam Surat Yusuf ayat 92. Akibatnya, seluruh kaum Quraisy ma- suk Islam. Kemudian turunlah Surat An Nashr :

“Tatkala datang peretolongan Allah dan kemenangan, engkau meli- hat manusia masuk kedalam agama Allah berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan memohon apunlah ke- padaNya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima Taubat”. (QS An Nashr

: 1-3)

Dengan jatuhnya kota Mekkah ke tangan Ummat Islam, kemudian Rasululloh SAW memerintahkan pemusnahan berhala-berhala diseke- liling Kabah, dan membersihkan Ibadah Haji dari unsur-unsur kemusy- rikan serta mengembalikannya kepada syariat Nabi Ibrahim yang asli.

Pada tahun 8 H, Rasululloh SAW melakukan Umroh 2 kali yaitu keti- ka menaklukan Mekkah serta ketika beliau pulang dari perang Hunain. Ditambah dengan umroh pada tahun sebelumnya berarti Rasululloh sempat melakukan Umroh 3 kali sebelum beliau mengerjakan ibadah Haji pada tahun 10 H.


Pada bulan Dzulhijjah 9 H (Maret 631 M) Rasululloh mengutus sha- habat Abu Bakar Ash Shiddiq untuk memimpin Ibadah Haji. Rasululloh sendiri tidak ikut karena beliau sibuk dalam menghadapi perang Tabuk melawan Pasukan Romawi.

Abu Bakar Ash Siddiq mendapatkan perintah untuk mengumumkan Dekrit yang baru saja diterima oleh Rasuluuloh SAW. Dekrit terse- but menyatakan bahwa mulai tahun depan kaum musyrikin dilarang mendekati Masjidil Haram dan menunaikan ibadah haji karena sesung- guhnya mereka bukanlah penganut ajaran nabi Ibrahim AS.

Dekrit tersebut dikeluarkan Rasululloh berdasarkan firman Allah :

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang mu- syrik itu najis (kotor jiwa) karena itu janganlah mereka mendekati Mas- jidil Haram setelah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin (karena orang kafir tidak datang) maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya jika Dia menghendaki. Sesung- guhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana”. (QS At Taubah : 28)

 

4.  Haji Wada Rasululloh Saw

Pada tahun 10 H (632 M) Semenanjung Arabia telah dipersatukan dibawah kekuasaan Nabi Muhammad SAW yang berpusat di Madinah dan seluruh penduduknya telah memeluk agama Islam. Maka pada bulan Syawal Rasululloh mengumumkan bahwa beliau sendiri yang akan memimpin Ibadah Haji tahun itu. Berita ini disambut hangat oleh seluruh ummat dari segala penjuru. Sebab mereka berkesempatan mendampingi Rasululloh dan menyaksikan setiap langkah beliau da- lam melakukan manasik (tata cara) haji.Setelah melewati periode yang cukup panjang, doa Ibrahim as pun akhirnya terjawab di zaman Ra- sulullah SAW. Doanya telah diabadikan ke dalam kitab Al Quran yaitu surah Al Baqarah ayat 129.

Artinya: “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalan- gan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayatMu dan menga- jarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al Hikmah (As Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Di masa Muhammad SAW, beliau tidak hanya membersihkan Kabah dari kotoran-kotoran daging dan darah kurban yang menempel, me- lainkan beliau juga membersihkan noda dari ritual haji dan memurnikan kembali ibadah haji seperti sediakala yaitu sesuai tuntutan Allah SWA sejak jaman Nabi Ibrahim as.

Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW untuk menjadi jawaban atas permohonan Nabi Ibrahim as. Hingga 23 tahun Nabi Mu- hammad SAW telah menyebarkan ajaran Tauhid ke berbagai pelosok. Pesan tauhid yang sama halnya dengan pesan yang telah disebarkan oleh nabi-nabi terdahulu untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi ini.

Bahkan, juga terdapat pesan khusus yang diturunkan untuk meng- hilangkan penyelewengan atau ajaran yang tidak benar mengenai iba- dah haji. Pesan tersebut telah termaktub dalal Al Quran yaitu Surah Al Baqarah ayat 197.

Artinya: “Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsia- pa menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak diperbolehkan rafats (mengeluarkan perkataan yang menimbulkan birahi yang tidak senonoh atau bersetubuh), berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.”

Dengan bekal pesan dari Allah SWT, Rasulullah SAW telah memer- intahkan kepada para sahabatnya yang mampu (diutamakan adalah kaum Anshar atau pribumi Madinah dan tidak dikenali orang-orang Me- kkah) untuk menunaikan ibadah haji sesuai dengan ajaran Nabi Ibra- him as.

Mereka melakukan ibadah haji sesuai dengan ajaran Ibrahim as tan- pa menyembah berhala. Usai mengerjakan ibadah Haji, para sahabat Rasulullah SAW kembali dan melapor kepada Rasulullah SAW. Lapo- ran sahabat kepada Muhammad adalah bahwa mereka sudah mulai melakukan sai, namun di dalam hati mereka masih ada keraguan yang mengganjal ibadah tersebut. Hal ini dikarenakan adanya dua berha- la besar di antara masa (jalur sai) yaitu di antara Shafa dan Marwa. Kedua bukit tersebut adalah sejarah Hajar mencari air untuk Ismail pada zaman dulu. Dan dua berhala berhala besar itu adalah Asaf dan Nailah.

Dengan adanya pernyataan tersebut, maka Allah telah menurunkan wahyunya yang berbunyi: (Wahyu ini diabadikan ke dalam Al Quran di dalam surah Al Baqarah ayat 158.

Artinya: “Sesungguhnya Shafa dan Marwa itu sebagian dari syiar-syiar Allah, maka barangsiapa berhaji ke baitullah atau berkunjung (umrah), tidak salah baginya untuk bolak-balik pada keduanya. Dan barangsiapa menambah kebaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pembalas Syukur lagi Maha Men- getahui.”

Sehingga, dengan adanya wahyu tersebut, maka wahyu


tersebut sering dibacakan oleh para jamaah haji hingga sekarang.

Rasulullah pernah bermimpi di bulan April 628 M (Dzulkaidah 6H), bahwa beliau bermimpi sedang menunaikan umrah ke Mekkah. Se- hingga, beliau ingin mewujudkan mimpi tersebut bersama para saha- bat. Hingga akhirnya, Muhammad bersama 1500 sahabat berangkat menuju Mekkah untuk melakukan Umrah dengan pakaian ihram mere- ka. Mereka juga telah membawa beberapa hewan kurban untuk dikur- bankan di sana.

Namun, perjalanan tak begitu mulus. Di mana ada jalan lurus, selalu ada rintangan yang menghadang sebagai uji keimanan. Saat Rasu- lullah SAW bersama 1500 sahabat berjalan menuju Mekkah, mereka tertahan oleh kaum musyrikin Quraisy di Hudaibiyyah (20km sebelah Barat Laut Mekkah). Kaum musyirikin Quraisy telah mengerahkan be- berapa pasukannya untuk menghalangi rombongan Rasulullah.

Dalam hadangan tersebut, kaum Quraisy telah mengutus Suhail Ibn Amr untuk melakukan perundingan dengan Rasulullah. Dalam pe- rundingan tersebut, Suhail meminta untuk gencatan senjata dan kaum muslimin harus menunda pemberangkatannya, sehingga diminta untuk kembali ke Madinah, dengan catatan kaum muslimin bebas melakukan Umrah di tahun depan dan tinggal selama 3 hari di Mekkah. Dengan segala kerendahan hati Rasulullah SAW, beliau pun menyetujui kes- epakatan tersebut, walaupun banyak sahabat yang merasa kecewa dengan hasil kesepakatan tersebut. Kesepakatan ini dikenal sebagai Perjanjian Hudaibiyyah.

5.  Perjanjian Hudaibiyyah

Perjanjian Hudaibiyyah merupakan salah satu sejarah penting da- lam sejarah Islam. Karena, secara tidak langsung, dalam perjanjian tersebut, bahwa kaum Quraisy telah mengakui kedaulatan Muslimin di Madinah untuk yang pertama kali.

Berikut ini adalah isi dari Perjanjian Hudaibiyyah yang diabadikan ke dalam Al Quran:

Artinya: “Sungguh, Allah akan memenuhi mimpi RasulNya dengan se- benar-benarnya, bahwa kamu akan memasuki Masjidil Haram insya Allah dengan aman. Kamu akan mencukur kepalamu atau menggunting rambut (menyelesaikan umrah) dengan tidak merasa takut. Dia mengetahui apa yang tidak kau ketahui dan Dia menjadikan selain itu sebagai kemenangan yang  dekat.” Al Fath: 27

Perjanjian tersebut pun berjalan lancar, sesuai janji kaum Quraisy, Rasulullah SAW dan para sahabat pun dapat melakukan umrah ke Bai- tullah dengan lancar pada Maret 629 M (Zulkaidah 7 Hijriah). Pada tanggal tersebut merupakan pertama kalinya umrah dilakukan oleh kaum Muslimin.

Di mana ada pohon yang tinggi, selalu ada angin kencang. Begitu pun juga dengan Rasulullah SAW dan para sahabat, ketika berhasil memasuki pelataran Kabah selalu ada yang syirik. Ketika Rasulullah SAW beserta 2000 sahabatnya memasuki pelataran Kabah, kaum Quraisy mengejek mereka dengan berteriak, “kamu Muslimin kelihatan letih dan pasti tidak kuat berkeliling tujuh putaran.”

Namun, kegigihan Rasulullah tidak bisa dibantah, beliau tetap men- gajak para sahabatnya untuk berkeliling tujuh putaran dengan bersab- da,

Artinya: “Marilah, kutunjukkan kepada mereka bahwa kita kuat. Bahu kanan kita terbuka dari kain ihram, dan kita lakukan tawaf sambil ber- lari.”

Dengan adanya motivasi dari Rasulullah, para sahabat dan kaum Muslimin tetap kuat menjalani ibadah haji. Hingga kini, kaum Muslim- in tetap menjalani ibadah Haji semampu mereka. Dengan penuh per- juangan dan kegigihan untuk melaksanakan ibadah haji. Itulah sejarah singkat mengenai haji yang perlu kita ketahui sebagai wawasan kita

dan membuka khasanah yang belum kita ketahui sebelumnya.

 

C.  Mencapai Haji Mabrur

 

Setiap orang sangat berkeinginan sekali untuk menginjakkan kaki di tanah haram. Setiap jiwa yang beriman sungguh merindukan meli- hat kabah di Makkah Al Mukarromah. Setiap insan yang beriman pun ingin menyempurnakan rukun Islam yang kelima, apalagi jika sudah memiliki kemampuan harta dan fisik. Ketika keinginan ini tercapai dan telah menempuh ibadah haji, seharusnya seseorang yang melakukan- nya menjadi lebih baik selepas itu. Padahal sebaik-baik haji adalah haji yang mabrur. Balasan haji semacam itu adalah surga. Pasti semua pun menginginkan kenikmatan luar biasa tersebut. Apakah yang dimaksud haji mabrur?

Dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda

“Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji serta berumroh adalah tamu-tamu Allah. Allah memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu, jika mereka meminta ke- pada Allah pasti akan Allah beri” (HR. Ibnu Majah no 2893. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Dalam hadits Ibnu Umar yang lainnya disebutkan,

“Adapun keluarmu dari rumah untuk berhaji ke Kabah maka setiap langkah hewan tungganganmu akan Allah catat sebagai satu kebaikan dan menghapus satu kesalahan. Sedangkan wukuf di Arafah maka pada saat itu Allah turun ke langit dunia lalu Allah bangga-banggakan orang-orang yang berwukuf di hadapan para malaikat.

Allah Taala berfirman (yang artinya), Mereka adalah hamba-ham- baKu yang datang dalam keadaan kusut berdebu dari segala penju- ru dunia. Mereka mengharap kasih sayangKu, merasa takut dengan siksaKu padahal mereka belum pernah melihatKu. Bagaimana andai mereka pernah melihatKu?

Haji Mabrur, Jihad yang Paling Afdhol

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata,

 

Menggapai Haji Mabrur

Setiap orang sangat berkeinginan sekali untuk menginjakkan kaki di tanah haram. Setiap jiwa yang beriman sungguh merindukan melihat kabah di Makkah Al Mukarromah. Setiap insan yang beriman pun ingin menyempurnakan rukun Islam yang kelima, apalagi jika sudah memi- liki kemampuan harta dan fisik. Ketika keinginan ini tercapai dan telah menempuh ibadah haji, seharusnya seseorang yang melakukannya menjadi lebih baik selepas itu. Namun tidak sedikit yang berhaji yang kondisinya sama saja atau bahkan imannya lebih “down” dari sebel- umnya. Padahal sebaik-baik haji adalah haji yang mabrur. Balasan haji semacam itu adalah surga. Pasti semua pun menginginkan kenikmatan luar biasa tersebut. Apakah yang dimaksud haji mabrur? Berikut pen- jelasan sederhana yang moga bermanfaat.

Keutamaan di Balik Haji. Dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda

Artinya: “Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berha- ji serta berumroh adalah tamu-tamu Allah. Allah memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu, jika mereka me- minta kepada Allah pasti akan Allah beri” (HR. Ibnu Majah no 2893. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Dalam hadits Ibnu Umar yang lainnya disebutkan,

 “Adapun keluarmu dari rumah untuk berhaji ke Kabah maka setiap langkah hewan tungganganmu akan Allah catat sebagai satu kebaikan dan menghapus satu kesalahan. Sedangkan wukuf di Arafah maka pada saat itu Allah turun ke langit dunia lalu Allah bangga-banggakan orang-orang yang berwukuf di hadapan para malaikat.

Allah Taala berfirman (yang artinya), Mereka adalah hamba-ham-

baKu yang datang dalam keadaan kusut berdebu dari segala penju- ru dunia. Mereka mengharap kasih sayangKu, merasa takut dengan siksaKu padahal mereka belum pernah melihatKu. Bagaimana andai mereka pernah melihatKu?

Andai engkau memiliki dosa sebanyak butir pasir di sebuah gundu- kan pasir atau sebanyak hari di dunia atau semisal tetes air hujan maka seluruhnya akan Allah bersihkan.

Lempar jumrohmu merupakan simpanan pahala. Ketika engkau menggundul kepalamu maka setiap helai rambut yang jatuh bernilai satu kebaikan. Jika engkau thawaf, mengelilingi Kabah maka engkau terbebas dari dosa-dosamu sebagaimana ketika kau terlahir dari rahim ibumu” (HR. Thobroni dalam Mujam Kabir no 1339o. Syaikh Al Alba- ni mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam Shahihul Jaami no. 1360).

1.  Haji Mabrur, Jihad yang Paling Afdhol

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata,


Artinya: “Nabi shallallahu alaihi wa sallam ditanya, “Amalan apa yang paling afdhol?” Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ada yang bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Jihad di jalan Al- lah.” Ada yang bertanya kembali, “Kemudian apa lagi?” “Haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1519)

Dari Aisyah—ummul Mukminin—radhiyallahu anha, ia berkata,


Artinya: “Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhol. Apakah berarti kami harus berjihad?” “Ti- dak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur”, jawab Nabi shallal- lahu alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1520)

 

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,


Artinya; “Siapa yang berhaji ke Kabah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaima- na ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521).

Ibnu Hajar Asy Syafii rahimahullah mengatakan, “Haji disebut jihad karena di dalam amalan tersebut terdapat mujahadah (jihad) terhadap jiwa.”

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Haji dan umroh termasuk jihad. Karena dalam amalan tersebut seseorang berjihad dengan harta, jiwa dan badan. Sebagaimana Abusy Syatsa berka- ta, Aku telah memperhatikan pada amalan-amalan kebaikan. Dalam shalat, terdapat jihad dengan badan, tidak dengan harta. Begitu halnya pula dengan puasa. Sedangkan dalam haji, terdapat jihad dengan har- ta dan badan. Ini menunjukkan bahwa amalan haji lebih afdhol.

 

2.  Yang Dimaksud Haji Mabrur

Ibnu Kholawaih berkata, “Haji mabrur adalah haji yang maqbul (haji yang diterima).” Ulama yang lainnya mengatakan, “Haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri dengan dosa.” Pendapat ini dipilih oleh An Nawawi.

Para pakar fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori dengan kemaksiatan pada saat melak- sanakan rangkaian manasiknya. Sedangkan Al Faro berpendapat bah- wa haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi hobi bermaksiat. Dua pendapat ini disebutkan oleh Ibnul Arabi.

Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, “Haji mabrur adalah jika sepulang haji menjadi orang yang zuhud dengan dunia dan merin- dukan akherat.”

Al Qurthubi rahimahullah menyimpulkan, “Haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori oleh maksiat saat melaksanakan manasik dan tidak lagi gemar bermaksiat setelah pulang haji.”

An Nawawi rahimahullah berkata, “Pendapat yang paling kuat dan yang paling terkenal, haji mabrur adalah haji yang tidak ternodai oleh dosa, diambil dari kata -kata birr yang bermakna ketaatan. Ada juga yang berpendapat bahwa haji mabrur adalah haji yang diterima. Di antara tanda diterimanya haji seseorang adalah adanya perubahan menuju yang lebih baik setelah pulang dari pergi haji dan tidak mem- biasakan diri melakukan berbagai maksiat. Ada pula yang mengatakan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri unsur riya. Ulama yang lain berpendapat bahwa haji mabrur adalah jika sepulang haji ti- dak lagi bermaksiat. Dua pendapat yang terakhir telah tercakup dalam pendapat-pendapat sebelumnya.”

3.  Kriteria haji mabrur.

Kriteria penting pada haji mabrur adalah haji tersebut dilakukan dengan ikhlas dan bukan atas dasar riya, hanya ingin mencari pujian, seperti ingin disebut “Pak Haji”. Ketika melakukan haji pun menempuh jalan yang benar, bukan dengan berbuat curang atau menggunakan harta yang haram, dan ketika melakukan manasik haji pun harus men- jauhi maksiat, ini juga termasuk kriteria mabrur. Begitu pula disebut mabrur adalah sesudah menunaikan haji tidak hobi lagi berbuat mak- siat dan berusaha menjadi yang lebih baik. Sehingga menjadi tanda tanya besar jika seseorang selepas haji malah masih memelihara maksiat yang dulu sering ia lakukan, seperti seringnya bolong shalat lima waktu, masih senang mengisap rokok atau malah masih senang berkumpul untuk berjudi. Jika demikian keadaannya, maka sungguh sia-sia haji yang ia lakukan. Biaya puluhan juta dan tenaga yang terkuras selama haji, jadi sia-sia belaka.

Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari-Nya. Oleh karenanya, senantiasalah memohon kepada Allah agar kita yang telah berhaji dimudahkan untuk meraih predikat haji mabrur. Yang tentu saja ini bu- tuh usaha, dengan senantiasa memohon pertolongan Allah agar tetap taat dan menjauhi maksiat. Semoga Allah menganugerahi kita haji yang mabrur. Amin Yaa Mujibas Saailin.

 

RANGKUMAN

 

Haji (al-hajju) secara bahasa berarti al-qashdu (menyengaja, menu-

ju, maksud). Secara istilah, haji adalah pergi menuju Makkah dengan


maksud mengerjakan ibadah thawaf, sai, wuquf di arafah, bermalam di Muzdalifah, Mabit di Mina dan ibadah-ibadah lain pada waktu-waktu yang telah ditentukan untuk memenuhi perintah Allah dan mengharap- kan ridha-Nya.

Umrah adalah mengunjungi Makkah untuk mengerjakan thawaf, sai, kemudian tahallul untuk memenuhi perintah Allah dan mengharapkan keridhaan-Nya. Umrah haji harus dilaksanakan pada musim haji yang sudah ditentukan. Sedangkan umrah sunnah dapat dilakukan kapan saja sepanjang tahun.

Ibadah Haji adalah salah satu dari rukun Islam yang lima dan wajib dilaksanakan oleh setiap muslim mukallaf (baligh dan berakal) merde- ka, dan mempunyai kesanggupan (istithaah)

Sejarah Haji dalam Islam bermula dari ribuan tahun yang lalu. Pada masa Nabi Ibrahim AS (1861 1686 SM), yang merupakan keturunan Sam Bin Nuh AS (3900 2900 SM). Literatur-literatur yang ada dalam khasanah Islam menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim AS lahir di Ur-Kas- dim, sebuah kota penting di Mesopotamia, selanjutnya Nabi Ibrahim tinggal di sebuah lembah di negeri Syam.

Kabah dibangun oleh Ismail dan Ibrahim hingga mencapai 7 hasta, Jibril memberikan petunjuk di mana posisi Hajar Aswad diletakkan. Setelah Hajar Aswad diletakkan dengan benar, Ibrahim pun melan- jutkan pembangunan tersebut dengan membuat 2 pintu Kabah, yang mana pintu pertama menghadap ke Timur dan pintu ke dua menghadap ke Barat. Waktu demi waktu telah dilalui oleh Ismail dan Ibrahim dalam membangun Kabah. Hingga pada akhirnya Kabah tersebut telah ram- pung. Mereka pun melaksanakan ibadah Haji. Di waktu inilah, ibadah Haji pertama kali dilakukan. Pada tahun 10 H (632 M) Semenanjung Arabia telah dipersatukan dibawah kekuasaan Nabi Muhammad SAW yang berpusat di Madinah dan seluruh penduduknya telah memeluk agama Islam. Maka pada bulan Syawal Rasululloh mengumumkan bahwa beliau sendiri yang akan memimpin Ibadah Haji tahun itu. Berita ini disambut hangat oleh seluruh ummat dari segala penjuru. Sebab mereka berkesempatan mendampingi Rasululloh dan menyaksikan setiap langkah beliau dalam melakukan manasik (tata cara) haji. Se- karang in setiap orang sangat berkeinginan sekali untuk menginjakkan kaki di tanah haram. Setiap jiwa yang beriman sungguh merindukan melihat kabah di Makkah Al Mukarromah. Setiap insan yang beriman pun ingin menyempurnakan rukun Islam yang kelima, apalagi jika su- dah memiliki kemampuan harta dan fisik. Ketika keinginan ini tercapai dan telah menempuh ibadah haji, seharusnya seseorang yang melaku- kannya menjadi lebih baik selepas itu.

 

A.  Hikmah Haji Ditinjau dari Berbagai Aspek

1.  Haji Ditinjau dari Aspek Psikologis

Psikologis merupakan factor yang berasal dari dalam individu seseo- rang dan unsur-unsur psikologis meliputi motivasi, persepsi, pembela- jaran, kepribadian, memori, emosi, kepercayaan dan sikap atau segala hal yang berkenaan dengan kejiwaan. Hikmah ibadah haji yang lain adalah untuk memperoleh ketenangan batin. Kita mengenal beberapa orang yang selalu stress, emosional atau tidak stabil jiwanya, ketika menuanaikan ibadah haji menjadi tenang. Siapa pun, apabila berada di dekat orang yang dikasihinya atau melindunginya akan merasa tenang.

Rukun pertama ibadah haji adalah ihram sekaligus meniatkan diri memasuki rangkaian ibadah haji. Dengan niat itu, ihram dianggap sah dalam rangka syariat islam. Menurut imam syafii, niat ihram dalam haji adalah rukun yang apabila ditinggalkan dapat mengakibatkan tidak sah nya haji. Ketika seseorang menjalankan ritual haji sampai pada tempat yang ditentukan oleh nabi untuk memulai ihram (miqat makani), dia ha- rus segera meniatkan dalam hati akan menjalankan haji. Niat di miqat makani dengan mengenakan pakaian yang serba putih menandakan dimulainya perjalanan menemui Allah SWT.

Selama menjalankan ihram, bagi laki-laki diwajibkan untuk tidak memakai penutup kepala dan pakaian berjahit dan bagi perempuan dilarang memakai perhiasan. Hikmahnya adalah upaya pelaku ibadah haji berada dalam puncak ketundukan dan kerendahan dihadapan Al- lah SWT. Dengan hanya berbalutkan kain tak berjahit, seorang hamba akan merasa seperti bayi yang baru dilahirkan. Pada saat itulah, kita menyadari bahwa kita tidak memiliki apa-apa yang bisa kita banggakan sebagai bekal dihadapan Allah SWT, kecuali iman dan amal shaleh.

 

Dua hal itu yang akan senantiasa melekat dalam diri kita di dunia hing- ga alam kubur. Jadi dengan ihram kita menetapkan diri menghadap Allah SWT dengan meninggalkan berbagai perhiasan duniawi dan mengistirahatkan diri dengan meninggalkan segala bentuk materi yang merampas kemerdekaan jati diri kita, karena secara alamiah kita me- mang menyukainya.

Pakaian apa saja, warna apa saja, dan buatan apa saja harus dit- inggalkan dan diganti dengan pakaian ihram yang berwarna putih dan tidak dijahit. Hal ini melambangkan bahwa semua pakaian, termasuk di dlamnya kedudukan, status social, kekuasaan dan kehormatan ha- rus ditinggalkan. Pakaian polos berwarna putih itu persis sama dengan pakaian yang kelak akan kita pakai saat masuk kubur meninngalkan dunia yang fana ini untuk pergi menghadap sang khalik.

Pesan utama dari ihram adalah jangan terperdaya oleh dunia, jan- gan mengandalkan perhiasan dunia sebagai bekal utama hidup, jan- gan memilikisikap sombong, tinggi hati, hasud dan aneka sifat hati yang buruk. Ya, akhir dari perjalanan hidup di dunia, mau tidak mau kita hanya berhiasakan beberpa meter kain kafan, bahkan tubuh kita di- kubur, semua meninggalkan kita termasuk keluarga, teman-teman, dan tetangga. Rumah yang diberikan untuk kita hanya sekitar 1x2 meter dan itu pun tidak akan lama menjadi milik kita. Kerena beberapa tahun kemudian bisa jadi aka nada orang lain yang ditempatkan di kubur kita.

Dalam haji kita tahu banyak rintangan, cobaan dan ujian baik mas- alah fisik maupun hati. Kesemuanya itu akan melatih kita untuk pandai menguasai diri dan mengendalikan emosi. Selain itu, ibadah haji men- jadikan kita pandai melakukan muhasabah atau proses intropeksi diri. Ketika menghadapi situasi di tanah air, kita isa menjadi lebih dewasa karena pernah mengalami ujian yang lebih berat ketika di tanah suci.

 

2.  Haji Ditinjau dari Aspek Politik

Sejalan dengan pandangan negatif terhadap masyarakat dunia arab secara umum, maka pemerintah kolonial belanda melihat ibadah haji sebagai salah satu sumber persoalan terhadap agenda-agenda politik pemerintah colonial. Mekkah tidak hanya dipahami sebagai pusat in- telektual islam, tetapi sekaligus juga pusat konspirasi internasional un- tuk gerakan-gerakan anti kekuasaan politik barat di dunia muslim, ter- masuk politik kolonial belanda di Indonesia.

Kekhawatiran pihak kolonial terhadap bahaya politik ibadah haji memang bukan tanpa alasan kuat. Semakin menguatnya wacana islam yang berorientasi di shariah dalam proses transmisi intelektual islam dari mekah ke nusantara abad ke-19 memiliki beberapa implikasi so- sial-politik. Salah satu yang terpenting adalah dimensi aktivisme, yang antara lain mengambil bentuk usaha rekonstruksi itu melahirkan se- mangat gerakan protes anti-kolonial. Dalam catatan sejarah, gera- kan-gerakan protes muslim Indonesia terhadap penjajahan selalu melibatkan para haji. Mereka tidak hanya terlibat, tetapi tidak jarang berperan sebagai pengagas yang berada di garis depan.

Berkaitan dengan wacana yang berorientasi shariah, mekkah me- mang tidak pernah menampilkan diri dengan corak gerakan demiki- an. Pada akhir abad ke-18, mekkah menjadi basis satu gerakan islam puritan yang disebut dengan gerakan wahabiyah. Di bawah pimpinan Muhammad ibn abdul wahab , dan beraliansi dengan dianasti Saudi di Najd, gerakan islam ini memaksakan pelaksanaan shariah islam dalam kehidupan muslim secara keras. Mereka memberantas segala bentuk keyakinan dan praktik keagamaan yang mereka pandang tidak sejalan dengan teks Al-Quran. Mereka antara lain menentang praktik-praktik seperti ziarah kubur dan tarekat. Dengan kekuasaan politik yang mer- eka raih dan semakin besarnya jumlah jamaah haji, gerakan wahabiah ini selanjutnya memiliki pengaruh besar di dunia islam.

Kasus lain di Indonesia yaitu pemberontakan Banten yang terjadi pada tahun 1888. Pemberontakan yang muncul di kalangan petani banten terseebut tidak juga dapat dilepaskan dari peranan ulama haji di wilayah banten. Kasus-kasus tersebut semakin memperkuat kekha- watiran pihak pemerintah colonial Belanda terhadap bahaya politik iba- dah haji. Para ulama terkemuka banten berada dibalik pemberontakan tersebut yang memiliki pengalaman belajar di Mekkah. Pengalaman belajar di Mekkah terseebut selajutnya memberikan bekal pengeta- huan untuk memaknai pemberontakan rakyat banten dalam rangka ji- had melawan kekuatan kolonial. Dengan istilah jihad, maka partisipasi msayarakat muslim terhadap gerakan yang mereka canagkan cukup besar. Beberapa peristiwa sejarah tersebut membuktikan bahwa men- guatnya jaringan antara ulama Indonesia dan mekkah berlangsung parallel dengan tumbuhnya gerakan anti-kolonial di Indonesia. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa haji berkaitann erat dengan gerakan anti-penjajahan.

 

3.  Haji Ditinjau dalam Aspek Historis-Sosiologis

Bagi kaum muslim, khususnya di Indonesia, ibadah haji memiliki

makna sangat penting. Ibadah haji dilihat tidak hanya sebagai salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan kaum Muslim (khususnya mereka yang mampu), tapi juga memiliki arti sosiologis dan historis sangat berarti. Perkembangan islam di Indonesia, tidak bisa dipaha- mi lepas dari ibadah haji. Bahkan, sebagaimana akan dijelaskan, per- an sentral ibadah haji dalam kehidupan kaum Muslim telah membuat pemerintah kolonial Belanda dan kemudian diteruskan pemerintah In- donesia terlibat dalam proses penyelenggaraan berikut aturan-aturan yang ditetapkan tentang pelaksanaan ibadah haji.

Makna sosio-historis ibadah hajj berkaitan sangat erat dengan persepsi kaum Muslim Indonesia tentang Mekkah dan Madinah M. Se- bagaimana ditunjukkan banyak kajian para sarjana, muslim Indonesia telah lama melihat Mekkah sebagai pusat islam, baik secara sosial-in- telektual, keagamaan dan politik. Oleh karenanya, segala sesuatu yang datang dari kota suci tersebut diakui memiliki nilai keislaman lebih kuat dibanding praktik-praktik keagamaan kaum muslim di wilayah lain khu- susnya di Nusantara dan kemudian Indonesia. Mekkah diakui sebagai pemegang otoritas keagamaan tertinggi yang menjadi acuan Muslim Indonesia.

Meski kerap kali berlebihan seperti sikap beberapa kalangan kaum Muslim Indonesia terhadap masyarakat arab persepsi muslim Indo- nesia terhadap Mekkah seperti dijelaskan diatas bukan tidak memiliki landasan kuat. Jaringan intelektual antara ulama Nusantara dan Timur Tengah pada abad ke-17 dan 18 merupakan sati bukti penting yang menunjukan secara tegas pentingnya posisi Mekkah dan Madinah da- lam perkembangan Islam Indonesia. Tiga orang ulama di Timur Tengah. Bersama dengan itu, wacana keislaman yang berkembang juga mengi- kuti pemikiran yang menjadi pokok pikiran para ulama timur tengah.

4.  Haji Ditinjau dari Aspek Historis

Rumah ini (kabah) dengan kenangan-kenangannya, dan negeri yang aman ini (mekkah), dengan peninggalan-peninggalannya, mem- buat seorang mukmin mengingat sejarahnya yang panjang dan meng- ingat pendahulu-pendahulu mereka yang melewati jalan ini, mengingat perjalanan dakwah yang abadi, dan mengingat panji tauhid, sejak dari Nabi Nuh a.s sampai Nabi Muhammad SAW kemudian para dai yang jujur yang membawa panji ini. dengan demikian, orang yang bertauhid bertaut dengan gelombang iman yang panjang yang akarnya tertancap didalam sejarah. Perjalanan tauhid dan dakwah kepada baitullah adalah selama perjalanan kemanusiaan. Seseorang, dengan mendatangi baitullah, seolah-olah memastikan perjalanan yang panjang, dalam, kuat, dan diberkahi, “Katakanlah, inilah jalanku (agamaku) aku dan orang-orang yang mengikuti aku, mengajak kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha suci Allah dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik” (QS. Yusuf: 108).

Jadi hikmah lain yang dapat dipetik dari ibadah haji adalah untuk dapat menghayati perjalanan hidup perjuangan para Nabi dan Rasul Allah khusus nya Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, dan Nabi Muhammad, juga nabi adam a.s, kita akan menapak tilas perjalanan para Rasul terda- hulu terutaama saat berziarah ke tempat-tempat bersejarah. Hasilnya kita akan tambah kuat iman dan mental ketika menghadapi persoa- lan ditanah air. Kita bisa mengahayati secara langsung cobaan yang menimpa para Rasul terdahulu sehingga cobaan yang kita alami terasa belum seberapa. Disitulah gunanya kita melihat langsung tempat-tem- pat bersejarah dan menghayati perjuangan mereka.hal ini merupakan perwujudan kebersamaan hidup dan melaith hidup bertaawun (tu- long-menolong).

 

5.  Haji Ditnjau dari Aspek Ekonomi

Dalam surat al-Hajj ayat 28 Allah menyebutkan bahwa di antara maksud dan tujuan penyelenggaraan ibadah haji adalah agar umat manusia menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka. Para ulama taf- sir menyebutkan di antara manfaat yang disaksikan dalam ibadah haji adalah manfaat perniagaan yang terjadi dalam musim haji. Akan teta- pi Ibnu Jarir at-Thabari berpendapat bahwa manfaat yang dimaksud al-Quran tidak terbatas pada perniagaan saja. Jika kita memperhatikan secara dalam, kita menyaksikan bahwa manfaat yang ada dalam iba- dah haji memang manfaat yang tanpa batas. Bahkan banyak persoa- lan yang sulit dipecahkan di hari-hari biasa, dapat diselesaikan dengan mudah pada musim haji.

Secara ekonomi, haji memberikan manfaat kepada umat Islam, bah- kan sebelum haji itu sendiri dilaksanakan. Tanpa haji seorang muslim tidak akan berpikir dan berusaha untuk mengumpulkan uang yang cuk- up untuk melakukan perjalanan yang relatif mahal itu. Haji memberikan motivasi yang kuat bagi umat Islam untuk mengerahkan berbagai po- tensinya untuk lebih berdaya secara ekonomi.

Dengan demikian kita melihat bahwa haji adalah stimulan yang baik bagi pemberdayaan ekonomi bangsa. Bagi seseorang yang tinggal di kota, hidup dalam suasana keterbukaan informasi dan kehidupan kos- mopolitan barang kali ada banyak dorongan untuk melakukan perjala- nan ke luar negeri dengan berbagai tujuan. Tetapi penduduk desa yang tinggal jauh di pedalaman tidak ada pikiran dia harus bepergian jauh ke negeri orang kalau bukan ada kepentingan yang sangat kuat dan motivasi yang serius.

6.  Haji Ditinjau dari Aspek Perilaku

Haji mabrur merupakan dambaan setiap muslim yang menunaikan ibadah haji, dan dambaan haji mabrur itu hanya dituntut untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam bentuk pengalaman iba- dah sesuai dengan syariah dan tanggungjawab sosial yang lebih dari sebelum berkeinginan dan sepulangnya berhaji. Transformasi budaya prilaku dan budaya ke arah yang lebih baik dan berkualitas dari sebel- umnya ini merupakan asset abstrak yang dapat mengubah tanatanan kehidupan ke arah yang sejahtera baik untuk membangun diri seu- tuhnya, orang lain, dan lingkungannya. Keluarga yang sejahtera ber- landaskan nilai-ilai ajaran agama akan membangun lingkungan yang sejahtera dan melahirkan tatanan masyarakat yang shaleh, pemerin- tahan yang adil dan sentosa.

Jemaah haji dan orang yang telah menunaikan haji merupaka salah satu modal besar pembangunan nasional yang potensial untuk mewu- judkan masyarakat yang berakhlak mulia, beretika, bermoral, berudaya dan beradab sesuai dengan amanat UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025.

Orang melakukan prilaku yang tidak diridhai Allah, melakukan dosa terus menerus akan memunculkan bintik hitam di dalam hatinya. Dan apabila dilakukan berulang-ulang maka hati yang penyakitan akan mengeras, membatu, tertutup dan kemudian terkunci.

Namun dalam pelaksanaan ibadah haji setiap orang akan membia- sakan dirinya dengan akhlak akhlak yang mulia dan berprilaku baik, sebagaimana firman Allah: “Haji adalah pada bulan-bulan yang sudah diketahui, barangsiapa niat berhaji pada bulan-bulan ini, maka tidak boleh berbicara jelek, berbuat fasik dan berdebat (yang tidak perlu) dalam haji. (QS. Al-baqarah ayat: 197)

Barang siapa melakukan ibadah haji ke baitullah dan tidak berbicara jelek dan berbuat fasik, maka dia akan bebas dari dosa-dosanya se- bagaiman ketika dia di lahirkan oleh ibunya. Dalam haji, manusia dilatih untuk bersabar, menahan diri, menjaga ucapan, dan mengekang naf- su amarah.seseorang akan meninggalkan keluarganya, orang-orang yang dicintainya, dan mengorbankan waktu istirahatnya serta hartanya demi mencari ridha Allah SWT pada saat berhaji.

7.  Haji Ditinjau dari Aspek Spiritual

Sesungguhnya Tanah Suci dengan berbagai kenangannya, syiar-sy- iar haji dengan berbagai pengaruhnya di jiwa, dan kekuatan jamaah dan kesan-kesannya, meninggalkan kesan mendalam di dalam hati seorang muslim dan menanamkan kecintaan seorang muslim kepada Allah, Rasul-Nya, agamanya, orang yang mengagungkan agama, yang menolong agama dan yang mengikuti agama.

Ketika seseorang mengetahui bahwa Allah menjanjikan ampunan dosa-dosanya, maka itu akan mendorong dan menguatkannya untuk beribadah dan membuka pintu-pintu harapan orang-orang yang ber- juang untuk beribadah.

Pengalaman spiritual dalam berhaji juga memberikan kesan yang mendalam yang sanggup mengubah orientasi spiritual mereka yang mengikutinya ketika kembali ke negaranya masing-masing. Banyak di- antaranya yanag berhenti menggunakan obat-obatan terlanrang dan lebih rajin melakukan shalat dan kewajiban religious lainnya. Dalam beberapa masyarakat muslim, titel “Haji” atau “Hajjah” yang dipergu- nakan oleh orang yang telah melakukan ritual ini, dapat memberikan tanggungjawab pribadi bagi dirinya. Mereka dituntut lebih untuk mela- lukan perbuatan yang lebih baik dan menjauhi perbuatan yang dilarang oleh Allah. Dengan demikian, mereka dapat melakukan kebaikan atau perilaku yang dilarang Allah. Dengan demikian, mereka dapat melaku- kan kebiasaan atau perilaku sehat dengan gaya hidup islami.

Seseorang yang melakukan ibadah haji masing-masing akan mem- perolah kenikmatan tersendiri dalam taqarrub, ibadah dan bertaubat kepada Allah SWT. Perjalanan ibadah haji, mulai dari manasik hingga kepulangan ditanah air menyimpan kenangan beribu kenangan indah. Sebuah kepuasan ritual bagi seorang anak manusia yang mendekat- kan diri kepada-Nya. Dan hasilnya, Allah memberikan kenikmatan in- dah tersebut kepada sang hamba. Setiap jamaah haji yang pulang dari tanah suci rata-rata menyatakan keinginannya suatu saat kembali lagi menunaikan rukun islam yang kelima itu.

Adapun hikamah terbasar dalam ibadah haji adalah untuk lebih me- mantapkan aqidah dan keyakinan terhadap kebesaran dan keagungan Allah SWT. Dengan menyaksikan semua kebesaran Allah maka iman dan aqidah kita menjadi kuat, insya Allah kedepan aqidah yang kuat tersebut akan menjadi bekal utama kita menjalani hidup makin bertam- bah baik di tanah air.

Dan dalam haji terdapat kalimat talbiyah Setiap jamaah haji memb- aca talbiyah berkali kali sampai maknanya betul-betul masuk ke dalam relung hati. Kalimat tersebut yaitu “labaika allahuma labbayka. Labbay- ka la syarika laka labbayka. Inna al-hamda wa al-nimata laka wa al- mulk, la sayrika lak” (Ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu. Segala puji, nikmat, dan kekuasaan adalah milik-Mu).

Kalimat yang indah dan enak didengar, kalimat talbiyah ini memil- ki daya sentuh yang sangat lembut sehingga membangkitkan yang tersembunyi dalam jiwa dan hubungannya dengan sang pencipta, tal- biyah adalah symbol tauhid dan keikhlasan dalam beribadah. Tauhid adalah sifat muslim, baik sebagai pribadi maupun kelompok. Tauhid adalah kesatuan dalam kaidah dan pikiran, kesatuan barisan, dan ke- satuan tujuan.

Penyataan tauhid dalam yang terdapat dalam talbiyah yang diucap- kan berkali kali menghubungkan setiap amal seseorang dengan bala- san ukhrawi yang jauh lebih besar dari pada balasan duniawi. Selain itu, tauhid dapat memperbaiki perilaku dan menjadikan orang bersikap amanah dan ikhlas dalam menghadapi segala sesuatu. Itulah kesem- purnaan kondisi batin yang senantiasa diawasi tuhan.

 

8) Haji Ditinjau dari Filsafat Hukum Islam

Allah SWT mensyariatkan ibadah haji, sehingga umat islam berkum- pul disuatu tempat dengan berbagai jenis suku dan bangsa, suku atau ras yang berjauhan asal Negara dan daerahnya. Mereka datang dari delapan penjuru mata angin, mereka berjuta-juta membanjiri tanah ha- ram.

Jika dikaji secara filosofis, dengan perkumpulan yang berasal dari berbagai Negara dan bangsa yang jauh itu sudah barang tentu terjadi perkenalan yang jauh dan persahabatan. Misalnya bangsa arab berke- nalan dengan bangsa Indonesia, bangsa mesir, bangsa Pakistan, ang- sa turki, bangsa cina dan bangsa iran, bangsa india, begitu setarusnya dan sebaliknya.

Menurut syeh ali ahmad al-Jurjawi bahwa dengan pertemuan dan perkenalan ini mereka menjalin persaudaraan seagama bagaikan saudara kandung seayah dan seibu tanpa ada perbedaan suku atau pun ras. Karena dalam pertemuan ini Allah melarang antara mereka saling berdebat yang mendorong terjadinya permusuhan dan pertump- ahan darah. Allah berfirman dalam Al-Quran yang artinya “barangsia- pa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh mengucapkan kata-kata kotor, berbuat fasik dan ber- bantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji”

Ibadah haji, dengan berihram akan melahirkan musawah (persa- maan) umat islam seluruh dunia tanpa pandang bulu. Apakah ia ber- pangkat sebagai kepala Negara, sebagai menteri, gubernur atau rakyat biasa. Ditmpat yang suci ini, seluruh umat Islam yang menun- aikan ibadah haji ditunjukan bahwa dalam islam status sosial, harta kekayaan, jabatan dan lain-lain dihadapan Allah SWT merupakan ses- uatu yang tidak bermakna. Dari sebab itu Islam meletakan ajaran-aja- rannya bahwa status sosial, jabatan dan lain-lain tidak boleh mengges- er prinsip persamaan yang diajarkannya.

Kecuali kesamaan status dan kesatuan hati, pertemuan itu merupa- kan Muktamar ilahi yang agung. Karena dalam pertemuan haji dihadiri oleh ahli-ahli ilmu pengetahuan dan kaum cerdik cendikiwan, ahli-ah- li pendidikan dan kebudayaan, ahli-ahli usaha dan administrasi, ahli

—ahli keuangan dan ekonomi, ahli-ahli perundang-undangan dan ag-

ama, serta ahli-ahli peperangan dan strategi.

 

9.  Haji Ditinjau dari Aspek sosial

Ibadah haji merupakan usaha untuk mewujudkan persaudaraan yang sungguh-sungguh sesama kaum muslimin. Tidak pernah terjadi dalam agama manapun dalam satu waktu satu umat berkumpul untuk mengerjakan satu ibadah selain agama islam dalam urusan haji. Ham- per 4 juta manusia berkumpul di satu tempat untuk melakasanakan ibadah.

Kebersamaan itulah harus di pupuk untuk menumbuhkan rasa per- saudaraan sesama muslim. Haji adalah momen penting untuk rapat akbar bagi kaum muslimin untuk membicarakan nasib dan keadaannya di berbagai belahan dunia.

Dalam pelaksanaannya, ketika berada di pesawat, di pemondokan, di masjid dan tempat-tempat lainnya dalam ibadah haji akan timbul rasa kebersamaan dengan sesama jamaah. Kebersamaan dalam per- saudaraan itu dapat dirasakan dimana saja, seperti ketika ngantri di kamar mandi, makan makanan ketering bersama, thawaf atau lempar jumrah bersama dan lain sebagainya. Tidak jarang setelah pulang haji, terbentuk keakraban dengansesama jamaah dimana sebelumnya be- lum pernah terjadi.

Siapapun yang melaksanakan ibadah haji, mengerjakan ritual-rit- ualnya akan merasakan sebuah kesederhanaan , kesucian dan ke- bersihan diri. Bagi orang kaya yang biasa mengenakan baju baus dan bermerk, saat ibadah haji harus ditinggalkan untuk mengenakan kain ihram. Semuanya serba putih. Sederhana dan suci, pakaian dan iba- dah-ibadah dalam haji akan membersihkan dan menyucikan kita. Sep- ulang di tanah air akan menyingkirkan rasa sombong berganti menjadi kesederhanan.

Adapun makna kemanusian dan pengamalan nilai-nilainya adalah persamaan yang mencakup seperangkat nilai-nilai luhur yang seharus- nya menghiasi jiwa pemiliknya. Kemanusiaan menjadikan seseorang bermoral, mampu memimpin mahluk lain dalam mencapai tujuan pen- ciptaan, menyadari bahwa ia adalah mahluk dwi dimensi yang harus melanjutkan revolusinya hingga mencapai titik akhir. Makna-makna tersbut di praktekan di dalam pelaksanaan ibadah haji yang mencakup berbagai amalannya.

Menurut kenyataan pakaian merupakan pembeda antara seseorang dengan yang lainnya. Pembedaan tersebut dapat membawa antara lain kepada perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian juga dapat memberi pengaruh kepada pemakainya. Dngan demikian pengaruh-pengaruh psikologis yang negatif dari pakaian pun harus dit- inggalkan sehingga semua merasa satu dalam kesatuan dan persa- maan.

Hadirnya lembaga atau organisasi pasca haji, seperti IPHI (Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia) dan KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji), merupakan salah satu parameter dalam mewujudkan pemba- ngunan tersebut. Pendirian Rumah Sakit Islam (RSI) di klaten, jawa tengah, SMU unggulan di Bogor, Jawa Barat, Koperasi Haji di Jawa Timur, BPR di Jakarta dan lainnya merupakan kerja nyata para jemaah haji yang melembagakan diri melalui IPHI dan KBIH serta lembaga se- jenis lainnya untuk kegiatan-kegiatan bermotif sosial. Kegiatan ini ter- us dikembangkan olrh lrmbaga-lembaga pasca pelakasanaan haji dan kedepan diharapkan mampu merealisasikan mobilisasi pendanaan so- sial melalui wakf tunai berbentuk uang.

Indonesia adalah Negara dengan jumlah penganut islam terbasar di dunia. Jumlah umat islam yang besar itu merupakan potensi yang san- gat besar pula dalam menggali sumber dana umat, baik melalui zakat, infak, sedekah, maupun wakaf. Sumber dana itu dapat digunakan un- tuk meningkatkan kesejahteraan sekaligus berpotensi memberdayakan umat. Sejarah mencatat, dalam membangun peradaban baru di madi- nah, Rasulullah SAW juga menghimpun zakat, infak, dan sedekah, ser- ta wakaf dlam berbagai bentuknya. Tujuannya adalah memberdayakan umat mengentaskan kemiskinan dan mengambangkan dakwah islam. Rasulullah SAW mewajibkan kaum agniya (orang kaya), yakni orang- orang yang memiliki kelebihan harta, untuk mewakafkan sebgian harta miliknya. Kewajiban ini menjadi salah satu motivasi bagi kaum muslim untuk meningkatkan solideritas dan kesolehan sosial.

 

10.  Haji Ditinjau dari Aspek Ibadah

Ibadah ahaji merupakan kesempatan langka untuk doa kepada dan memohon banyak dikabulkan Allah SWT. Kita tahu banyak tem- pat dan waktu dimana doa dikabul saat menunaikan ibadah haji. Pada saat itulah kesempatan yang tepat bagi kita untuk memanjatkan doa dan keinginan. Ibarat sekali merenkuh dayung, dua tiga pulau terlam- paui. Menunaikan ibadah haji, selain memenuhi panggilan Allah juga mendapatkan sesuatu dari apa yang kita minta. Dan selain doa, tidak ketinggalan pula hikmah untuk memohon ampunan dan bertobat kepa- da Allah SWT.

Dalam ibadah haji jamaah dilatih untuk mendisiplinkan diri untuk me- matuhi berbagai macam peraturan. Mulai dari ibadah yang dilakukann- ya, seperti mengenakan kain ihram hingga tata aturan berada di negeri orang. Kita akan selalu dilatih shalat lima waktu tepat waktu berjamaah. Kita juga disiplin untuk berada di atas kendaraan sebelum waktunya agar tidak tertinggal ketika mengenakan kain ihram, meskipun tidak ada yang tahu seorang pria mengenakan pakaian dalam atau tidak, tetap larangan pakaian berjahit ditaatinya. Ditanah air yang memiliki kebiasaan jorok akan dipaksa tertib di tanah suci.

Kehidupan baru dimulai sejak meninggalkan kabah. Jiwa ini berubah meuju kondisi yang lebih baik. Anggota tubuh menjadi lebih taat dan menjaga diri karena telah mengikat janji.

Disinilah jamaah haji mengerti hakikat ketaatan dan ibadah. Selain itu, ia juga mengenal makna kemulian seperti disampaikan dalam fir- man Allah “padahal kalianlah ornag-orang yang paling tinggi (derajatn- ya) jika kalian beriman. (ali Imran: 139)

Ia yakin bahwa sumber dirinya paling tinggi. Ajaran yang ia jalani berasal dari tuhan alam semesta. Pedoman yang ia pegang berasal dari sang pencipta segala seseatu. Dialah yang paling tinggi sanda rannya. Karena penjaminannya adalah Allah, pencipta langit dan bumi. Kepadanya ia tawakkal.

Perasaan mulia dan tekad untuk meneruskan jiwa dalam mencapai sang pencipta ketika melaksanakan ibadah haji merupakan tanda haji yang mabrur. Dengan tawakkal kepada Allah , ia bulatkan tekad untuk menggunakan usia yang tersisa dengan bersih seperti kala menjalank- an ibadah haji. Impian jiwa berpadu dengan harapan rohani di setiap tempat di bumi yang baik. Ia memutuskan untuk menyerukan persat- uan umat dan kemuliaannya seperti yang ia lihat di tanah suci. Inilah rahasia dan janji baru untuk membangun kehidupan selanjutnya.

 

B.  Makna Spiritual Haji Bagi Kehidupan Sosial

 

Haji adalah ibadah yang sangat monumental dalam kehidupan seo- rang muslim. Sebab tidak semua muslim bisa melaksanakannya. Se- bagai ibadah yang paripurna, Haji melibatkan semua aspek, mulai dari materi, fisik maupun psikis.

Orang yang tidak memiliki tiga hal tersebut tidak bisa melakukan iba- dah haji. Betapa banyak orang yang dari segi fisik mampu tapi materi tidak cukup. Atau punya harta yang cukup tapi fisik tak mendukung. Bahkan, ada orang yang memiliki kemampuan finansial dan fisik tapi psikisnya terganggu, juga tidak bisa melaksanakan ibadah haji.

Sebuah simbol Ali Syariati dalam bukunya Hajj: Reflection on its Rit- uals memberikan refleksi bahwa Haji adalah sebuah “simbol”. Semakin dalam engkau menyelami lautan ini, semakin jauh engkau dari tepiann- ya. Haji adalah samudera tak bertepi. Artinya haji sarat dengan makna spiritual yang mendalam di balik ritual simboliknya.

Pertama, Thawaf, yakni mengitari Kakbah sebanyak tujuh kali mel- awan arah jarum jam. Thawaf adalah simbol bahwa alam ini tidak ber- henti bergerak. Ini dilambangkan dengan mengelilingi Kakbah. Manusia yang ingin eksis adalah yang manusia yang selalu bergerak. Maknan- ya, bergerak adalah entitas kehidupan, sebab berhenti bergerak sama dengan kematian. Kualitas seseorang ditentukan oleh bergeraknya ia ke arah yang memberi gerak. Bergerak ke pusat orbitnya.

Dalam konteks kehidupan kita, seseorang yang haji adalah pribadi yang bergerak dalam mengejewantahkan nilai-nilai ketuhanan di muka bumi. Bergerak dari perilaku yang penuh dengan maksiat menuju per- ilaku yang penuh rahmat. Karena dengan bergerak ke arah ketuhanan- lah kita akan selamat dalam kehidupan ini. Sebab berhenti bergerak adalah statis dan itu sejatinya mati,walau tanpa dikebumi.

Kedua, Sai yaitu berlari-lari kecil antara bukit Safa dan Marwa. Hal ini dilakukan ketika Siti Hajar sangat membutuhkan air di padang yang tandus. Berdua dengan anak yang masih kecil di tempat yang tidak dikenal dan tidak ada sumber kehidupan. Sebuah tantangan kehidupan yang teramat berat. Berkali-kali Siti Hajar berlari-lari mencari sumber kehidupan. Ketika sampai di Marwa, ia melihat air di Safa, ketika sam- pai di Safa, ia melihat air di Marwa. Ternyata gambaran air itu adalah fatamorgana. Tanpa disangkanya muncullah air di kaki Ismail, air yang dikenal dengan nama air Zam-Zam.

Perilaku Siti Hajar itu memberikan gambaran kepada kita bahwa un- tuk hidup perlu usaha, usaha yang sungguh-sungguh dan maksimal. Kendati ia isteri nabi tapi Siti Hajar tidak ujug-ujug minta kepada Allah Swt sebelum berusaha. Kendatipun usaha telah maksimal, keputusan akhir ada di tangan Allah Swt. Terkadang dalam kehidupan kita mera- sakan bagaimana usaha telah maksimal tapi hasil tak memuaskan. Se- jatinya itu menunjukkan bahwa yang menentukan hasil adalah Allah. Manusia tak satupun yang punya kuasa.

Ketiga, Melontar jumrah. Sebuah ibadah yang didasarkan kepada perilaku Nabi Ibrahim as yang melempar setan ketika ia ingin menun- aikan perintah Allah Swt. Setan adalah simbol menggagalkan manusia untuk mentaati Allah. Dan itu harus dilawan dan dikeluarkan dari diri manusia.

Setan di dalam diri manusia terkadang muncul dengan berbagai personifikasi. Bagi orang yang kaya setannya adalah perilaku Qarun. Orang yang memiliki kekuasaan adalah sifat Firaun dan bagi yang in- telektual adalah perilaku Balam. Untuk menjadi orang yang selamat bergerak dalam kehidupan mesti setan-setan itu dilempar dari ke- hidupan kita. Dan ini harus dimiliki seorang yang haji.

Keempat, Wukuf di Padang Arafah. Dalam Islam di daerah inilah dipertemukannnya Nabi Adam as dan Siti Hawa, yang kemudian melakukan taubat kepada Allah Swt sebagaimana firman-Nya dalam Alquran: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri dan jika engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al- Araf: 23)

Padang Arafah dikenal sebagai miniaturnya padang Mahsyar. Juta- an jamaah haji dari seluruh dunia berkumpul di tempat ini. Tak ada beda antara pejabat dan rakyat, antara yang kaya dan miskin, dan tak ada sekat-sekat negara bangsa, yang ada hanya manusia sebagi makhluk Allah.

Kita sadar bahwa kita tidak ada apa-apanya di hadapan Allah. Ti- dak ada yang perlu disombongkan. Kita diajak untuk lebih mengenal diri kita sebagaimana asal kata Arafah yang bermakna mengenal diri. Dalil yang terkenal di kalangan sufi: “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafah robbahu” (Siapa yang kenal dirinya akan kenal siapa tuhannya). Wukuf hakekatnya untuk menyadarkan, siapa, dari mana, dan akan kemana kita.

Makna spiritual Sebagai sebuah ibadah yang sarat dengan simbol dan makna spiritual, sejatinya harus dipahami dengan benar oleh ja- maah haji. Sebab dengan mengerti, memahami dan menghayati mak- na tersirat dari yang tersiratlah ibadah haji akan bermakna. Berhaji dengan ritual fisik tanpa memahami makna sama dengan ritual ulan- gan yang jauh dari nilai religiusitas. Dan itu adalah ibadah yang kering dengan makna. Seorang yang bergelar haji diharapkan menjadi agen perubahan untuk membawa manusia ke arah yang baik. Seorang yang bergelar haji adalah seorang yang telah memahami makna hidup den- gan benar. Tentu perilaku dan tindak tanduknya secara kualitatif-kuan- titatif menjadi baik. Akan menjadi antiklimaks apabila haji hanya dipa- hami sebagai ibadah simbol dan itu tidak termanifestasi dalam realitas kehidupan di masyarakat.

Haji memang dilakukan di tanah suci tapi sejatinya haji itu adalah di tanah air. Rukun dan syaratnya dilakukan di Mekkah, tapi aplikasi haji itu adalah di Indonesia. Haji yang penuh dengan makna paripurna itulah sesungguhnya makna spiritual ibadah haji. Bukan hanya sekedar

bergelar haji atau hajjah. Wallahu alam.

 

RANGKUMAN

Hikmah Haji dapat ditinjau dari Berbagai Aspek, diantaranya : Haji Ditinjau dari Aspek Psikologis, Haji Ditinjau dari Aspek Politik, Haji Dit- injau dalam Aspek Historis-Sosiologis, Haji Ditinjau dari Aspek Historis, Haji Ditnjau dari Aspek Ekonomi, Haji Ditinjau dari Aspek Perilaku, Haji Ditinjau dari Aspek Spiritual, Haji Ditinjau dari Filsafat Hukum Islam, Haji Ditinjau dari Aspek sosial, Haji Ditinjau dari Aspek Ibadah

 

DAFTAR PUSTAKA

Syarifudin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqih, Jakarta: Kencana, 2003 Syihab, M. Quraisy, M. Quraisy Syihab Menjawab 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui, Jakarta: Lentera Hati, 2008

Al manar, Abduh, Ibadah Dan Syariah, Surabaya: PT. pamator, 1999 Daradjat, Zakiyah, Ilmu Fiqih, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf,1995

Qardhawi, Yusuf. Konsep Ibadah Dalam Islam, Bandung: Mizan, 2002

Hidayat Syamsul, Aly Abdullah, (2011), al Ubudiyah, Surakarta, LPID UM Surakarta

Jamaluddin Syakir, (2011), Kuliah Fiqh Ibadah, Yogyakarta, LPPI UMY

Kamal, Pasha, Musthafa, (2009), Fiqh Islam Sesuai dengan Putusan Majelis Tarjih, Yogyakarta, PT. Cipta Karsa Mandiri