Oleh: Muhadjir Effendy
Pendahuluan
Tulisan pendek ini akan bertitik tolak dari sebuah ilustrasi kasus di Universitas Muhammadiyah Malang. Di mana sebagian besar perhatian saya, bahkan mungkin sebagian besar perjalanan umur saya, tercurah di lembaga ini. Katakanlah ini sebuah pendekatan ideografis dalam mencoba memahami dakwah kultural. Hasil pendekatannya memang menjadi sangat partikularistik bahkan unik. Namun cara melihat secara ideografis semacam ini ada baiknya, untuk membuat sebuah diskripsi bagaimana suatu spirit dan gagasan dakwah kultural yang di “awang-awang” itu ”mendarat” di alam nyata, menjadi sebuah praksis. Meskipun sesungguhnya saya bukan satu-satunya individu yang memiliki peran dominan di lembaga ini, namun-setidak-tidaknya apa yang terjadi di UMM sedikit banyak juga merupakan penerapan atas pemahaman saya tentang bagaimana ber-Muhammadiyah di dunia nyata, bukan hanya ditataran ide atau pun wacana.
Acap orang mempertanyakan, kena apa di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) tidak mewajibkan para mahasiswinya mengenakan jilbab?. Saya selalu jawab bahwa karena pada dasarnya UMM itu adalah lembaga dakwah. Dan itulah missi utama dan spirit yang mendasari Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan. Sebagai gerakan Islam. Adapun lembaga-lembaga yang dibuat oleh warga Muhammadiyah berupa pendidikan, sosial, kesehatan yang jumlahnya ribuan, ataupun lembaga yang lainnya, yang ada di bawah Muhammadiyah itu adalah media dan sarana dakwah belaka.
Dus, kalau UMM jauh-jauh hari mematok “harga” yang masuk UMM wajib berjilbab, itu jelas tidak sinkron dengan status UMM sebagai salah satu diantara ribuan lembaga pengemban missi dakwah Muhammadiyah tersebut. Kalau wajib jilbab itu diberlakukan, ibarat UMM sebagai mesin penggiling padi, telah menjadikan beras, bukan gabah, sebagai in-putnya. Dalam kaitannya dengan urusan jilbab ini (kalau jilbab bisa dianggap sebagai indikator tingginya apresiasi ke-Islaman seseorang), UMM bukanlah lembaga penampung mahasiswi yang sudah berjilbab. Bahkan, yang sudah berjilbab, sebaiknya tidak usah masuk perguruan tinggi seperti UMM . Tapi masuk saja perguruan tinggi umum barangkali lebih berfaedah untuk melakukan dakwah di sana.
UMM juga bukan lembaga yang membuat orang mengenakan berjilbab karena terpaksa atau setengah terpaksa, misalnya dengan paraturan. Barangkali yang lebi pantas dilakukan UMM adalah berusaha keras bagaimana menciptakan atmosfir yang membuat orang yang semula tidak berjilbab menjadi berjilbab. Dan “menjadinya” itu bukan karena dipaksa tapi maunya sendiri, atau karena kesadarannya. Bukan karena dibentuk, tapi melalui proses pembentukan diri sendiri.
Pendekatan seperti tersebut di atas itulah yang menurut saya yang disebut dakwah kultural, sebagai pembeda dengan dakwah struktural. Oleh sebab itu dakwah kultural sebetulnya sama dengan dakwah dengan pendekatan penyadaran atau konsientasi. Namun sebelum sampai pada tahap sadar, orang harus paham. Proses pemahaman (verstehen) yang bisa membuat orang sadar, dan lantas secara mental bersedia mengadopsi ide dan pesan dakwah, kemudian “mendarah-daging” inilah menurut saya menjadi topik utama manakala kita memperbincangkan dakwah kultural.
Pengertian dakwah kultural memang sering dimaknai dengan sangat dangkal. Karena kata kultur telah dimaknai sebagai budaya dalam arti sempit menjadi kesenian, dan lebih sempit lagi sebagai seni tradisional-lokalit.
Dis-orientasi gerakan dakwah
Agaknya spirit dakwah di Muhammadiyah memang patut dipertanyakan keberadaannya saat ini. Apa benar Muhammadiyah sekarang ini masih merupakan gerakan dakwah?. Setidak-tidaknya telah tidak memberi bobot yang signifikan di dalam usaha-usahanya di bidang dakwah ini. Jangan-jangan sudah mandeg menjadi gerakan amal.
Salah satu indikator untuk membuktikan dugaan di atas adalah dari segi penataan kelembagaan, di Muhammadiyah sekarang ini tidak ada majlis dakwah. Yang ada lembaga dakwah khusus. Mungkin kata “khusus” ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa seluruh potensi yang ada dan usaha yang dilakukan oleh Muhammadiyah adalah memiliki fungsi dan maksud untuk dakwah. Sehingga fungsi kolektif ini disebut dakwah umum, disamping ada dakwah khusus yang dilakukan oleh lembaga khusus tersebut. Tapi apa memang demikian kenyataanya?. Dugaan saya, fungsi utama (dakwah umum) tersebut telah berjalan tidak sebagaimana yang diharapkan karena telah mengalami reduksi dan deviasi.
Memang di Muhammadiyah terdapat majelis tabligh tapi saya rasa peranannya sebatas dibidang tabligh, yang secara terminologi memang berbeda dengan dakwah. Majlis ini fungsinya lebih diarahkan untuk mengurusi segala hal yang berkaitan dengan fungsi sebagai “penyampai”, bukan “pengajak”. Dalam prakteknya gerakannya berkisar pada penyampaian pesan-pesan dalam kegiatan pengajian-pengajian dan sebagai khotib dalam kegiatan sholat Jum’at dan solat hari raya.
Di kalang Muhammadiyah telah terjadi pemahaman umum (yang keliru) bahwa yang melaksanakan fungsi dakwah adalah majlis tabligh ini, plus lembaga dakwah khusus. Sehingga lembaga-lembaga lain secara parsial dan kompartemental juga menjalankan fungsi yang lain sama sekali. Misalnya lembaga-lembaga pendidikan hanya menjalankan fungsi penyelenggara dan pelayanan dibidang pendidikan, lembaga kesehatan juga hanya menjalankan fungsi pelayanan kesehatan dan seterusnya. Hal semacam inilah yang saya maksud telah terjadi reduksi atas pemahaman dan pelaksanaan dakwah yang padahal seharusnya semua komponen dan daya yang ada di Muhammadiyah itu secara sentripetal (bergerak memusat) kearah satu fungsi yaitu dakwah dalam arti aam maupun khos.
Dari sisi lain, tanpa benar-benar disadari gerakan Muhammadiyah hanya terhenti (mandeg) sampai sebatas sebagai gerakan amal. Karena itu dalam setiap pembicaraan diforum resmi di semua tingkatan, yang jadi fokus pasti masalah amal usaha. Bahkan soal amal usaha ini urgensinya mengalahkan masalah konsolidasi organisasi misalnya soal tertib administrasi keanggotaan Muhammadiyah. Untuk bisa mendirikan sebuah ranting, syarat utamanya harus memiliki amal usaha..Gerakan Muhammadiyah saat ini sangat diasyikkan oleh kesibukan beramal-usaha: membangun sekolah-sekolah, rumah-sumah sakit, panti-panti suhan, toko-toko swalayan, dan tempat-tempat ibadah. Bahkan untuk yang terakhir ini, dibeberapa tempat, sering akhirnya dikuasai pihak lain.
Memang amal-amal usaha itu penting dan menjadi “brand image” Muhammadiyah. Tapi maksud terakhir dari didirikannnya amal-amal usaha tersebut adalah untuk media dan sarana dakwah. Yang kadang memprihatinkan adalah sering terjadi salah niat. Jangankan untuk media dakwah, tidak jarang amal usaha yang seharusya untuk dakwah, berubah menjadi menjadi tempat konflik yang berkepanjangan. Akibatnya para pengurus sibuk “meng-amar ma’ruf nahi munkar-i” warganya sendiri. Fenomena inilah yang saya sebut bahwa dakwah di Muhammadiyah telah terdeviasi itu.
0 Comments:
Posting Komentar
Silahkan di tanyakan