Rabu, 20 Februari 2013

DAKWAH KULTURAL : SEBUAH DISKRIPSI IDEOGRAFIS

Loading

Oleh: Muhadjir Effendy

Pendahuluan
Tulisan pendek ini akan bertitik tolak dari sebuah ilustrasi kasus di Universitas Muhammadiyah Malang. Di mana sebagian besar perhatian saya, bahkan mungkin sebagian besar perjalanan umur saya, tercurah di lembaga ini. Katakanlah ini sebuah pendekatan ideografis dalam mencoba memahami dakwah kultural. Hasil pendekatannya memang menjadi sangat partikularistik bahkan unik. Namun cara melihat secara ideografis semacam ini ada baiknya, untuk membuat sebuah diskripsi bagaimana suatu spirit  dan gagasan dakwah kultural yang di “awang-awang” itu  ”mendarat” di alam nyata, menjadi sebuah  praksis. Meskipun sesungguhnya saya bukan satu-satunya individu yang memiliki peran dominan di lembaga ini, namun-setidak-tidaknya apa yang terjadi di UMM sedikit banyak juga merupakan penerapan atas pemahaman saya tentang bagaimana ber-Muhammadiyah di dunia nyata, bukan hanya ditataran ide atau pun wacana.
          Acap orang mempertanyakan, kena apa di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) tidak mewajibkan para mahasiswinya mengenakan jilbab?. Saya selalu jawab bahwa karena pada dasarnya UMM itu adalah lembaga dakwah. Dan itulah  missi utama dan spirit yang mendasari  Muhammadiyah sebagai  gerakan keagamaan. Sebagai gerakan Islam.  Adapun lembaga-lembaga yang dibuat oleh warga Muhammadiyah berupa pendidikan, sosial, kesehatan yang jumlahnya ribuan, ataupun  lembaga yang lainnya,  yang ada di bawah   Muhammadiyah itu adalah media dan sarana dakwah belaka.
           Dus, kalau UMM jauh-jauh hari mematok “harga” yang masuk UMM wajib berjilbab, itu jelas tidak sinkron dengan status  UMM sebagai salah satu diantara ribuan lembaga  pengemban missi dakwah Muhammadiyah tersebut. Kalau wajib jilbab itu  diberlakukan, ibarat UMM sebagai mesin penggiling padi, telah menjadikan beras, bukan gabah, sebagai in-putnya. Dalam kaitannya dengan urusan jilbab ini (kalau jilbab bisa dianggap sebagai indikator tingginya apresiasi ke-Islaman seseorang), UMM bukanlah lembaga penampung mahasiswi yang sudah berjilbab. Bahkan, yang sudah berjilbab, sebaiknya tidak usah masuk perguruan tinggi seperti  UMM . Tapi masuk saja perguruan tinggi umum barangkali lebih berfaedah untuk  melakukan  dakwah di sana.
           UMM  juga bukan lembaga yang membuat orang mengenakan berjilbab karena terpaksa atau setengah terpaksa, misalnya dengan paraturan. Barangkali yang lebi pantas dilakukan UMM adalah berusaha keras bagaimana menciptakan atmosfir yang membuat orang yang semula tidak berjilbab menjadi berjilbab. Dan “menjadinya” itu bukan karena dipaksa tapi maunya sendiri, atau karena kesadarannya. Bukan karena dibentuk, tapi melalui proses pembentukan diri sendiri.
              Pendekatan seperti tersebut di atas itulah yang  menurut saya yang disebut dakwah kultural, sebagai pembeda dengan dakwah struktural. Oleh sebab itu dakwah kultural sebetulnya sama dengan dakwah dengan pendekatan  penyadaran atau konsientasi.   Namun sebelum sampai pada tahap sadar, orang harus paham. Proses pemahaman (verstehen) yang bisa membuat  orang sadar, dan lantas secara mental bersedia mengadopsi ide dan pesan dakwah, kemudian “mendarah-daging” inilah menurut saya menjadi topik utama manakala kita memperbincangkan  dakwah kultural.
        Pengertian dakwah kultural memang sering dimaknai dengan sangat dangkal. Karena kata kultur telah dimaknai sebagai budaya dalam arti sempit menjadi kesenian, dan lebih sempit lagi sebagai seni tradisional-lokalit.
Dis-orientasi gerakan dakwah        
Agaknya spirit dakwah di Muhammadiyah memang patut dipertanyakan keberadaannya saat ini. Apa benar Muhammadiyah sekarang ini masih merupakan gerakan dakwah?. Setidak-tidaknya telah tidak memberi bobot yang signifikan di dalam usaha-usahanya di bidang dakwah ini. Jangan-jangan sudah mandeg menjadi gerakan amal.
             Salah satu indikator untuk membuktikan  dugaan di atas adalah dari segi penataan kelembagaan, di Muhammadiyah sekarang ini  tidak ada majlis dakwah. Yang ada lembaga dakwah khusus. Mungkin kata “khusus” ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa seluruh potensi yang ada dan usaha yang dilakukan oleh Muhammadiyah  adalah memiliki fungsi dan maksud untuk  dakwah. Sehingga fungsi kolektif ini disebut dakwah umum, disamping ada dakwah khusus yang dilakukan oleh lembaga khusus tersebut. Tapi apa memang demikian kenyataanya?. Dugaan saya, fungsi utama (dakwah umum) tersebut telah berjalan tidak sebagaimana yang diharapkan karena telah  mengalami reduksi dan deviasi.
               Memang di Muhammadiyah terdapat majelis tabligh tapi saya rasa peranannya sebatas dibidang tabligh, yang secara terminologi memang berbeda dengan dakwah. Majlis ini fungsinya lebih diarahkan  untuk mengurusi segala hal yang berkaitan dengan fungsi sebagai “penyampai”, bukan “pengajak”. Dalam prakteknya gerakannya berkisar pada penyampaian pesan-pesan dalam kegiatan  pengajian-pengajian dan sebagai khotib dalam kegiatan sholat Jum’at dan solat hari raya.
                 Di kalang Muhammadiyah telah terjadi pemahaman umum (yang keliru) bahwa yang melaksanakan fungsi dakwah adalah majlis tabligh ini, plus lembaga dakwah khusus. Sehingga lembaga-lembaga lain secara parsial dan kompartemental juga menjalankan fungsi yang lain sama sekali. Misalnya lembaga-lembaga pendidikan hanya menjalankan fungsi penyelenggara dan pelayanan dibidang pendidikan, lembaga kesehatan juga hanya menjalankan fungsi pelayanan kesehatan dan seterusnya. Hal semacam inilah yang saya maksud telah terjadi reduksi atas pemahaman dan pelaksanaan dakwah yang padahal seharusnya semua komponen dan daya yang ada di Muhammadiyah itu secara  sentripetal (bergerak memusat)  kearah satu fungsi yaitu dakwah dalam arti aam maupun khos.
           Dari sisi lain, tanpa benar-benar disadari gerakan Muhammadiyah hanya terhenti (mandeg) sampai sebatas sebagai gerakan amal. Karena itu dalam setiap pembicaraan  diforum resmi di semua tingkatan, yang jadi fokus pasti masalah amal usaha. Bahkan soal amal usaha ini urgensinya mengalahkan masalah konsolidasi organisasi misalnya soal tertib administrasi keanggotaan Muhammadiyah. Untuk bisa mendirikan sebuah ranting, syarat utamanya harus memiliki amal usaha..Gerakan Muhammadiyah saat ini sangat diasyikkan oleh kesibukan beramal-usaha: membangun sekolah-sekolah, rumah-sumah sakit, panti-panti suhan, toko-toko swalayan, dan tempat-tempat ibadah. Bahkan untuk yang terakhir ini, dibeberapa tempat, sering akhirnya  dikuasai pihak lain.
            Memang amal-amal usaha itu penting dan menjadi “brand image” Muhammadiyah. Tapi maksud terakhir dari didirikannnya amal-amal usaha tersebut adalah untuk media dan sarana dakwah.  Yang kadang memprihatinkan adalah sering terjadi salah  niat. Jangankan untuk media dakwah, tidak jarang amal usaha yang seharusya untuk dakwah,  berubah menjadi  menjadi tempat  konflik yang berkepanjangan. Akibatnya para pengurus sibuk “meng-amar ma’ruf nahi munkar-i”  warganya sendiri. Fenomena inilah yang saya sebut bahwa dakwah di Muhammadiyah telah terdeviasi itu.

0 Comments:

Posting Komentar

Silahkan di tanyakan