Rabu, 20 Februari 2013

AGENDA “TAJDID AL-AFKAR” DI MUHAMMADIYAH

Loading

(Menggugat Konservatisme, Mengusung Progresivisme)
Kelahiran Muhammadiyah tidak bisa dipisahkan dengan agenda tajdid (pembaharuan) yang ia lakukan. Sehinggga Muhamadiyah pun diakui sebagai gerakan tajdid baik dalam tingkat pemikiran maupun aksi. Agenda tajdid paling fundamental yang pernah dilakukan Muhammadiyah di level pemikiran antara lain menawarkan bentuk pemikiran keagamaan yang responsif dengan perubahan jaman tanpa harus meninggalkan pedoman utama umat beragama, al-Qur’an dan Sunnah. Dengan kata lain, Muhammadiyah telah menjadikan dua sumber ajaran Islam itu sebagai warisan suci yang selalu hidup (Living Qur’an and Sunnah).
Cerita Kyai Dahlan tentang pengajaran surat al-Ma’un kepada muridnya memberi contoh bagaimana al-Qur’an yang kala itu secara luas hanya dipakai sebagai “jampi-jampi” dan “doa kuburan”, oleh sang Kyai dijadikan sebagai kekuatan normatif untuk reformasi sosial. Kemudian berangkat dari sinilah berbagai macam amal sosial Muhammadiyah tumbuh berkembang. Belum lagi dengan agenda pembaharuan yang terkait dengan purifikasi pada wilayah ibadah mahdlah (ibadah khusus) yang pesan substantifnya adalah demistifikasi hal-hal yang memang bersifat duniawi dan mengembalikan kemurnian tata aturan ritual Islam. Berbagai ritual yang bersumber pada tradisi lokal, yang kental aroma mistiknya, didekonstruksi, sehingga umat tidak terjebak pada perilaku absorditas keyakinan (tahayul dan khurafat) yang membelenggu potensi rasionalitas dalam melihat dan menyelesaikan persoalan-persoalan dunia. Singkat kata, jika ingin sukses, maka harus tekun dan ulet serta penuh dengan pertimbangan (planning) bukan lantas menyebar sesaji di Laut Selatan, misalnya.
Pengalaman pembaharuan yang dilakukan Muhammadiyah ternyata tidak cukup membawa Muhammadiyah saat ini untuk senantiasa dalam barisan paling depan mengusung agenda tajdid, khususnya dalam bidang pemikiran keagamaan. Secara hampir mayoritas, di lingkungan Muhammadiyah masih cukup enjoy dengan warisan pembaharuan masa silamnya yang sungguh boleh dikatakan untuk saat ini layak dikatakan sebagai barang rongsokan. Mengapa tidak? Itu kan produk masa lampau yang terikat dengan semangat jamannya, sehingga ketika jaman telah berubah, tantangannya juga telah berubah, maka sudah selayaknya formulasi pemikiran yang ditawarkan untuk menjawab problem jaman pun harus berubah, tidak bertahan kepada sesuatu yang mapan, status quo.
Konservatisme pemikiran di Muhammdiyah adalah biang dari segala kebekuan pemikiran saat ini. Lebih parah lagi ketika menganggap konservatisme itulah yang otentik, yang paling Qur’ani, yang paling nyunnah. Sehingga ketika muncul pemikiran yang sedikit liberal, maka timbul perlawanan yang seolah-oleh itu adalah virus yang harus segera dimusnahkan, sehingga tidak menimbulkan “demam” berkepanjangan di Muhammadiyah. Konservatisme dipandang sebagai sesuatu yang menyelamatkan ketimbang masalah serius yang mengganggu agenda tajdid Muhammadiyah di usianya yang kian tua ini. Padahal sangat mustahil kyai Dahlan mendobrak tradisi lama yang kontra produktif dengan semangat pembebasan Islam dengan menawarkan ajaran baru yang sejalan dengan semangat jaman, melakukan itu dengan pemikiran konservatif. Pemikiran Kyai Dahlan bukan berangkat dari konservatisme, tetapi lebih didorong oleh semangat pembaharuan yang berbasis pada progresifisme yang transformatif. Ciri dari progresivisme pemikiran Kyai Dahlan adalah timbulnya resistensi akibat dari pemikiran yang melawan maintreen (arus utama) alias pemikiran Kyai Dahlan kala itu memiliki bobot kontroversi yang kuat. Kontroversi ini yang menandai pemikiran progresif di manapun.
Maka sangat menyedihkan jika Muhammadiyah saat ini alergi dengan hal-hal yang bersifat progresif. Progresivitas memang kontroversial, tetapi bukankan pembaharuan itu pasti memunculnya pro-kontra sebagai asal mula kontroversi muncul? Lantas mau di bawa ke mana Muhammadiyah menjelang satu abad kelahirannya jika masih terus-terusan emoh terhadap new paradigm (cara berfikir baru) dan masih bersikukuh terhadap sesuatu yang lama yang sudang usang? Di mana peran pembaharuan Muhammadiyah untuk masa kini dan masa mendatang? Atau cukup di sini saja sejarah panjang Muhammadiyah?
Tentu berputus asa adalah tidak patut dipelihara karena jelas dibenci oleh Tuhan. Bentuk ketidakputusasaan dalam hal ini perlu duwujudkan dengan senantiasa mendorong Muhammadiyah agar tidak semakin jauh terseret arus konservatisme dan meninggalkan semangat pembaharuan yang mestinya include dalam gerak nafasnya. Dorongan-dorongan yang bersifat sporadis yang dilakukan oleh kelompok kreatif (creative group) perlu dilakukan lebih sistemik dan solutif, tidak malah menciptakan problem baru, konservatisme baru.
Kuntowijoyo pernah berujar : “Kala kelompok elit Islam (ulama atau cendekiawan) dirasa kurang peduli dengan nasib rakyat, bukan berarti mereka orang-orang yang sengaja mengabaikan perintah agama, bisa jadi problemnya ada pada sistem pengetahuan mereka”. Pernyataan pak Kunto ini bisa dijadikan sebagai pijakan awal dalam mengurai benang kusut kemapanan pemikiran Islam di Muhammadiyah. Banyak orang pasti akan bilang bahwa buat apa terlalu banyak berteori, kalau yang penting adalah amal. Tetapi orang semacam itu perlu juga diingatkan dengan firman Allah Q.S. al-Isra’:36 : “Dan janganlah kamu ikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui ilmunya…”. Amal nyata ternyata harus berbasis pada ilmu yang menjadi panduan baik normatif maupun praksis atas amaliah itu. Dengan kata lain sistem pengetahuan itu sangat penting untuk memberi bobot nilai sekaligus petunjuk (guidance) bagaimana amal dapat dilakukan, kapan, dan di mana.
Tajdid al-Afkar di Muhammdiyah dimulai dengan merubah sistem pengetahuan (system of knowledge) yang selama ini cenderung atomistic approach (pendekatan terpilah-pilah) lebih ke arah holistic approach (pendekatan menyeluruh) dalam mencandra pensoalan. Adagium “ar-ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah” harus lebih dimaknai sebagai “back to the principles of the Qur’anic ethical values” yang lebih substatif-kontekstual ketimbang kembali kepada aspek-aspek formal melulu. Majlis Tarjih Muhammadiyah harus merevitalisasi teori kunci (manhaj) dalam ijtihadnya sehingga memungkinkan produk pemikirannya lebih memihak kepada problem real umat. Majlis Tarjih jangan melulu melihat persoalan dari kaca mata fiqh (fiqh oriented) tetapi harus lebih melihat itu sebagai masalah komplek yang harus didekati dengan inter atau multi-disiplin.
Sehingga al-Tajdid al-Afkar tentu tidak bisa dilepaskan dari proyek revitalisasi – khususnya – Majlis Tarjih dan pengembangan Pemikiran Islam, baik dari aspek metodologi dan pendekatan sampai aspek kelembagaan dan menejemen isunya. Aspek metodologi yang perlu direvitalisasi dimulai dengan membongkar (recontruction) metodologi lama, khususnya yang masih berbasis ushul fiqh klasik, dan perlu dicoba untuk digagas metodologi dan pendekatan baru yang mempertimbangkan perkembangan pemikiran yang terjadi di era kontemporer ini, baik di Timur maupun di Barat. Membongkar metodologi lama tidak berarti meninggalkan sama sekali metodologi itu. Prinsip al-muhafadhatu ‘ala qadim al-shalih, wa al-akhdzu li al-jadid al-ashlah (menjaga warisan lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik), perlu diterapkan dalam hal ini. Sebagai bentuk kongkret, misalnya, meramu sedemikian rupa antara qiyas-nya al-Syafi’i dengan teori batas (nadhariyah hududiyah) Muhammad Syahrur, antara mashlahat-nya at-Thufi dengan al-yasar al-Islami-nya Hasan hanafi, dan sebagainya.
Aspek kelembagaan juga penting direvitalisasi. Sebagaimana kebiasaan lembaga manapun, sebuah lembaga perlu disuplai dengan sumber daya manusia yang capable dan memiliki responsibility untuk melaksanakan -dengan profesional- misi lembaga itu. Seorang anggota Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam harus seorang faqih atau paling tidak scholar di bidang pemikiran Islam tentu sebuah keniscayaan, sebagainama sebuah rumah sakit yang mayoritas pimpinannya seorang dokter. Tetapi satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah komposisi keanggotaan yang merupakan representasi dari ragam masalah yang dihadapi, khususnya ketika menggunakan pendekatan inter atau multi-disipliner, yakni dengan melibatkan pula ahli-ahli di bidang lain di luar Islamic studies. Dan agar tidak bias gender, sebagaimana banyak dituduhkan oleh aktivis feminis, atas produk pemikiran Majlis Tarjih maka wajib hukumnya untuk melibatkan perempuan, dalam rangka melihat sisi-sisi persoalan dari kepentingan perempuan, agar prinsip keadilan gender terpenuhi dan tidak male bias (bias kelelakian).
Terakhir yang tidak kalah penting dalam proyek revitalisasi adalah menejemen isu. Banyak hal apa yang digagas dalam majlis adalah sesuatu yang sudah out of date, sudah tidak memiliki bobot actulity alias kadaluwarsa, sehingga tidak marketable. Perlu dipikirkan bagaimana menjembatani itu dengan terus-menerus melakukan kajian dan penelitian yang serius dan mendalam sehingga temuan-temuan pemikiran yang benar-benar baru dan dibutuhkan umat dapat terus terproduksi, bak air yang senantiasa mengalir dari mata air, tanpa henti dan menyegarkan. Dan tak lupa pula proses sosialisasi pemikiran (campaign of thinking) yang harus diatur secara cedas. Mulai dari kemasan bahasa yang tidak “melangit” sampai penggunaan media yang dapat diakses secara mudah oleh umat yang paling pelosok dan paling bawah.
Berbagai agenda itu diharapkan dapat menjadi sesuatu yang bisa mengawali langkah-langkah kongkret tajdid selanjutnya. Sungguh sayang jika Muhammadiyah yang sudah kadung dicap pembaharu ini lantas menjadi pro-status quo yang tidak bisa berbicara apa-apa di tengah-tengah problem keummatan sekaligus kebangsaan yang kian komplek. Sudah saatnya Muhammadiyah untuk goodbey terhadap konservatisme dan mengucapkan selamat datang (kembali) kepada progresivisme yang dulu pernah dimiliki Muhammadiyah. Wallhua'lam.

0 Comments:

Posting Komentar

Silahkan di tanyakan