Belajar Lagi

Pelantikan Pemuda Muhammadiyah di pendopo Tuban

Foto disek karo senior

Acara Pelantikan Pemuda Muhammadiyah Kab. Tuban.

Akhir Diklat Kokam

Duklat Kokam dan SAR Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Tuban.

RAKERDA PDPM DI MERAKURAK

rAPAT KERJA PIMPINAN DAERAH PEMUDA MUHAMMADIYAH.

BAB PCPM PALANG

Perkaderan Pemuda Muhammadiyah Palang

tanpa judul

pemandangan

MEMBACA ADALAH KUNCI UNTUK MENGETAHUI DUNIA

Kadang kala menunggu itu membosankan, akan tetapi berbeda kalau menunggunya sambil baca-baca

PANDANGAN MATA

Pandangan mata kadang kala, melabuhi hal-hal yang sebenarnya

Minggu, 18 Desember 2022

MAKNA JAHILIYAH DALAM AL-QURAN

Loading

*MAKNA JAHILIYAH DALAM AL-QURAN* Oleh : Ustadz Faturahman kamal ( Ketua Majlis Tabligh PP Muhammadiyah ) Al Quran lah yang mengenalkan istilah Jahiliyyah. Sehingga kita harus bertanya kepada Al Quran langsung tentang pembahasan ini. Agar terang bagi kita, analisa penyakit diri, keluarga dan masyarakat ini. Al Quran menyebutkan Jahiliyyah dalam berbagai bentuk kata. Ada fi’il(kata kerja), ada mashdar dan ada isim fa’il; baik tunggal ataupun jama’. Tetapi kata Jahiliyyah (الجاهلية) sendiri tersebutkan 4 kali dalam Al Quran. Masing-masing kata Jahiliyyah, mewakili bidang kehidupan besar yang dirusak oleh kejahiliyyahan. Sementara, jahiliyyah yang hadir dalam bentuk fi’il (kata kerja) dan isim fa’il (kata subyek) bicara tentang contoh-contoh kejahiliyyahan di masyarakat sehari-hari. Berikut ini kata Jahiliyyah yang tersebut 4 kali dalam Al Quran: *Prasangka (keyakinan) Jahiliyyah* ثُمَّ أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ بَعْدِ الْغَمِّ أَمَنَةً نُعَاسًا يَغْشَى طَائِفَةً مِنْكُمْ وَطَائِفَةٌ قَدْ أَهَمَّتْهُمْ أَنْفُسُهُمْ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ مِنْ شَيْءٍ قُلْ إِنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ يُخْفُونَ فِي أَنْفُسِهِمْ مَا لَا يُبْدُونَ لَكَ يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ مَا قُتِلْنَا هَاهُنَا قُلْ لَوْ كُنْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحِّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ Kemudian setelah kamu berdukacita, Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari pada kamu, sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri, mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata: “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?.” Katakanlah: “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah.” Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata: “Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.” Katakanlah: “Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh.” Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati. (Qs. Ali Imron: 154) Al Quran menyebut keyakinan orang-orang kafir dan musyrik sebagai prasangka (Dzon), seperti dalam ayat, سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آَبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ “Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun.” Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: “Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?” Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta.” (Qs. Al An’am: 148) Ayat ini bahwa orang-orang musyrik yang sangat meyakini tuhan-tuhan mereka dan sangat taat kepada tuhan-tuhan itu, kemudian berkata tentang Allah sesuai dengan pengetahuan mereka. Kesemua itu hanyalah persangkaan belaka. Bukan ilmu. Itu artinya, Dzon Jahiliyyah bisa berarti keyakinan, bukan hanya prasangka. Apapun keyakinan yang salah tentang Allah maka masuk dalam poin ini. Berbagai bentuk keyakinan kemusyrikan dari patung hingga mendewakan manusia, atau meyakini sial dan keberuntungan berdasarkan benda atau peristiwa, menyematkan sifat negatif untuk Allah Sang Maha Sempurna. Semua ini adalah Dzon Jahiliyyah. Tentu saja, hal ini tidak mati. Masih terus hidup, karena guru besarnya; Iblis pun masih hidup. *Hukum Jahiliyyah* أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Qs. Al Maidah: 50) Semua aturan, perundangan, tata tertib, keputusan, perjanjian yang bertentangan dengan wahyu adalah merupakan hukum jahiliyyah. Termasuk di dalamnya, aturan ibadah. Masyarakat Jahiliyyah memiliki aturan jahiliyyah sendiri. Romawi dan Persia umpamanya, mempunyai aturan tentang ekonomi yang mendzalimi masyarakat dengan cekikan pajak yang digunakan untuk pesta para penguasa. Demikian juga kedzaliman ekonomi yang terjadi di tanah Arab dan tempat lain. Yang kuat memakan yang lemah. Wanita adalah makhluk yang terdzalimi pada masa jahiliyyah. Kedzaliman itu bisa ‘tidak diorangkannya’ wanita sehingga menjadi masyarakat nomer dua. Tetapi kedzaliman juga bisa hadir dalam bentuk lain. Di belahan dunia lain, wanita diangkat bahkan dianggap keturunan dewi. Sehingga tidak ada yang berani menyentuhnya. Tentu ini menyiksa wanita dengan fitrahnya sebagai wanita. Dalam masalah ibadah, masyarakat Arab masih memahami prosesi ibadah haji. Tetapi mereka telah mengubahnya sedemikian rupa, sesuai dengan keinginan mereka sendiri dan tidak jauh dari kepentingan uang. Istilah pernikahan bukan hanya untuk mereka yang menikah dengan hukum Islam. Tetapi pelacuran, tukar pasangan dan semua praktik zina, dianggap legal oleh masyarakat sebagai pernikahan yang sah. Begitulah contoh hukum jahiliyyah. Semua hal yang mengatur hidup ini, jika tidak dalam koridor wahyu maka pasti memasuki wilayah gulita jahiliyyah. *Penampilan dan Tingkah Laku Jahiliyyah* وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآَتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Qs. Al Ahzab: 33) Berpenampilan dan tingkah laku ternyata sesuatu yang sangat besar. Bukan sesederhana kita membahasakan dengan kebebasan ekspresi. Karena Al Quran memisahkan sisi ini sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Berpenampilan dan bertingkah laku Jahiliyyah. Semakin besar jahiliyyah memasuki wilayah keluarga atau masyarakat, maka penampilan akan semakin seronok dan telanjang. Hal ini sesuai dengan ilmu guru besar mereka; Iblis, يَا بَنِي آَدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآَتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ “Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya ‘auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman.” (Qs. Al A’raf: 27) Salah satu target besar Iblis adalah menelanjangi anak cucu Adam. Maka semakin senang dengan penampilan telanjang, menunjukkan betapa semakin dalamnya seseorang tergulung arus jahiliyyah. Itulah mengapa Islam mengatur dengan sangat baik cara seseorang berpenampilan. Jelas bukan untuk membatasi gerak dan ekspresi, tetapi Allah Maha Mengetahui bahwa rusaknya penampilan akan merusak moral dan tatanan masyarakat yang baik dan nyaman. *Kesombongan (fanatisme) Jahiliyyah* إِذْ جَعَلَ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوَى وَكَانُوا أَحَقَّ بِهَا وَأَهْلَهَا وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا “Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. Al Fath: 26) (حمية) mempunyai beberapa arti. Al Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud adalah (أنفة): tinggi hati atau kesombongan. Untuk menjelaskan hal ini, Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya memberikan contoh, “Yaitu ketika mereka tidak mau menulis: بسم الله الرحمن الرحيم Mereka juga menolak untuk menulis: Ini perjanjian yang dibuat oleh Muhammad Rasulullah.” Kisah yang dicontohkan oleh Ibnu Katsir ini adalah kisah dalam perjanjian damai Hudaibiyyah tahun 6 H, antara muslimin dan Quraisy. Mereka menolak asmaul husna Ar Rahman dan Ar Rahim serta kata Rasulullah. Kesombongan dan fanatisme jahiliyyah lah yang membuat mereka tetap menolak semua kebenaran yang semakin hari semakin terbukti itu. Kata (حمية) juga digunakan Nabi untuk menjelaskan amal jihad yang tertolak jika niatnya hal tersebut, عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الرَّجُلِ يُقَاتِلُ شَجَاعَةً وَيُقَاتِلُ حَمِيَّةً وَيُقَاتِلُ رِيَاءً أَيُّ ذَلِكَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ Dari Abu Musa berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya tentang seseorang yang berperang karena ingin menunjukkan keberanian, berperang karena hamiyyah (fanatisme dan kesombongan) dan berperang karena riya’. Manakah dari kesemua itu yang fi sabilillah (di jalan Allah)?Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab: Siapa yang berperang dengan tujuan agar kalimat Allah menjadi tinggi, maka itulah yang fi sabilillah. (HR. Bukhari dan Muslim) Imam Nawawi menjelaskan kata berperang karena hamiyyah, Yaitu kesombongan, kemarahan dan perlindungan terhadap keluarganya. Sayyid Quthub dalam Dzilal berkata, Hamiyyah bukan karena aqidah bukan juga karena manhaj. Tetapi hamiyyah kesombongan, kebanggaan, kebencian dan perlawanan. Inilah pembagian jahiliyyah menurut Al Quran. Di mana kejahiliyyahan seperti ini akan bisa terus terulang di zaman manapun. Termasuk zaman kita. Prasangka/keyakinan, hukum, penampilan dan fanatisme/kesombongan jahiliyyah. Jika kita amati, keempat jenis jahiliyyah dalam ayat tersebut menyertakan jenis pelakunya juga. Prasangka/keyakinan (Ali Imron) : Munafik Hukum ((Al Maidah) : Yahudi Nasrani Penampilan (Al Ahzab) : Muslimin/Muslimah Fanatisme/kesombongan (Al Fath) : Orang-orang Kafir/Musyrik zaman Nabi Dari sini, kita kembali bisa membaca bahwa sumber kejahiliyahan bisa dari seorang munafik yang menyusup di tubuh muslimin. Atau Yahudi dan Nasrani yang menyebarkan ajaran mereka kepada muslimin. Atau orang-orang kafir dan musyrik yang menyekutukan Allah. Bahkan bisa seorang muslim atau muslimah yang tergoda oleh rayuan kejahiliyahan. Satu lagi pelajaran bagi kita, keempat kata Jahiliyyah tersebut diletakkan dalam surat-surat Madaniyyah. Padahal kita sering menyebut Jahiliyyah dan langsung terbayang jahiliyyah Mekah (musyrik Quraisy). Mengapa ayat-ayat tersebut justru diturunkan baru di Madinah, saat beliau telah berhasil memiliki satu wilayah Islami dan bisa menerapkan seluruh konsep Islam di lingkungan Madinah. Karena ternyata, keempat ayat tersebut jika dilihat dari sisi pelakunya baru dihadapi muslimin di Madinah. Munafik baru muncul sebagai musuh Nabi di kota Madinah. Yahudi dan Nasrani juga tidak ada di Mekah. Hanya ada sedikit sekali orang-orang Mekah yang pindah agama Nasrani. Tetapi Yahudi ada di Madinah tidak di Mekah. Adapun Surat al Fath tentang orang-orang musyrik Mekah, peristiwa yang disampaikan oleh surat ini terjadinya selepas Hudaibiyyah, di Madinah. Sedangkan tentang penampilan, ayat dalam Al Ahzab sesungguhnya secara khusus berbicara tentang ummahatul mukminin dalam sebuah peristiwa di keluarga Nabi di Kota Madinah. Jadi, kesemuanya, terjadi saat Nabi di Madinah. itu artinya, dari sejak Nabi di Mekah hingga Nabi mempunyai kota iman; Madinah, kejahiliyyahan tetap menjadi virus di masyarakat muslim yang terus diingatkan oleh Allah agar tidak menyusupi hati dan kehidupan muslimin. Jika, kehidupan yang langsung dikawal Nabi dan dalam bimbingan wahyu masih harus diingatkan dengan keempat kejahiliyahan tersebut, maka hari ini yang jauh dari Al Quran dan Nabi harus lebih serius mencermati dan lebih berhati-hati lagi. Diri kita. Keluarga kita. Masyarakat kita. Sumber : ustadzfathur.com

Jumat, 16 Desember 2022

ARTI MUHAMMADIYAH

Loading


 











 

ARTI MUHAMMADIYAH

Kata Muhammadiyah secara bahasa berarti 'pengikut Nabi Muhammad'. Ketika kelahirannya memakai ejaan lama, Moehammadijah, dalam keputusan Kongres ke-19 tahun 1930 di Minangkabau-dengan merujuk pada Kongres ke-14-disebutkan bahwa "ejaan lafadz perhimpunan kita ialah Moehammadijah". Setelah kemerdekaan dengan menggunakan ejaan baru yang disempurnakan kemudian berubah menjadi Muhammadiyah sebagaimana kini berlaku secara baku. Kata Muhammadijah sejak awal di bagian akhiran suku katanya memang hanya memakai satu huruf "j" atau "y", tidak Moehammadijjah atau Muhammadiyyah, tetapi Moehammadijah atau kini Muhammadiyah. Penggunaan satu huruf "ja" atau "ya" nisbah itu karena sudah dipungut menjadi bahasa Indonesia dan bahasa lisan yang memang demikian, tentu bukan karena Kiai Dahlan dan sahabat-sahabatnya waktu itu tidak paham bahasa Arab sebab pendiri Muhammadiyah tersebut sangat mahir bahasa Arab dan bahkan dua kali bermukim di Makkah. Dengan demikian, pemakaian kata Moehammadijah atau Muhammadiyah telah menjadi istilah dan pungutan bahasa Indonesia dan bernuansa keindonesiaan yang sejak awal demikian adanya.

Karena itu, kini tidak perlu dipersoalkan dan harus diucapkan menjadi Muhammadiyyah, sebab aslinya memang demikian dan sudah dibakukan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah sejak berdiri hingga saat ini. Perbedaan atau perubahan hanya terdapat pada ejaan bahasa Indonesia dari ejaan lama Moehammadijah menjadi ejaan baru Bahasa Indonesia yang telah disempurnakan yaitu Muhammadiyah. Pemilihan nama dan penulisan sudah menyatu dengan rasa keindonesiaan, sehingga telah menjadi nama baku. Jika ingin mewacanakan sesuatu lebih baik yang menyangkut persoalan spirit, gagasan, dan hal-hal yang lebih mendasar dalam Muhammadiyah.

Penggunaan kata Muhammadiyah dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad. Pemilihan nama Muhammadiyah menurut keterangan Kiai Soedja' (2009: 77) sudah dipikirkan dan diputuskan oleh Kiai Dahlan sendiri setelah shalat istikharah ketika merenungkan usulan murid dan sahabatnya agar membentuk organisasi yang dapat me memayungi dan mewujudkan gagasan-gagasan perjuangannya. Dalam pandangan Kiai Dahlan sebagaimana dinukilkan oleh Kiai Soedja' selaku sahabat dekatnya, penentuan nama Muhammadiyah didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut: "Nama itu memang diambil dari nama Nabi ikutan kita, Nabi Muhammad SAW., yang menjadi nabi dan rasul akhir zaman. Karena, kami ingin mentafaulkan nama itu dengan nama Nabi Panutan kita. Harapan kami mudah-mudahan Muhammadiyah menjadi jamiah akhir zaman, sebagaimana Nabi Muhammad SAW, menjadi nabi dan rasul akhir zaman. Adapun ditambah dengan ya' nisbah, maksud kami hendaknya barangsiapa yang menjadi anggota Muhammadiyah dapat menyesuaikan diri dengan pribadinya Nabi Muhammad SAW".

Kendati dalam kata Muhammadiyah (Muhammadiyyat) digunakan ta marbuthah yang dipakai untuk menunjukkan mu'anats (kata penunjuk untuk perempuan), tetapi menurut Kiai Dahlan ketika menjawab pertanyaan Kiai Soedja' kenapa menggunakan kata Muhammadiyah seperti untuk petunjuk kata perempuan? Pertanyaan tersebut dijawab oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan, Muhammadiyah itu bukanlah nama perempuan, melainkan artinya umat Nabi Muhammad, pengikut Muhammad, Nabi Muhammad utusan Tuhan yang menghabisan" (Salam, 1968: 11). Penisbahan Muhammadiyah kepada nama Nabi Muhammad SAW tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma (t.t.: 7) mengandung pengertian sebagai berikut:

"Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad SAW, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang diajarkan serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya".

Dalam tafsir Ibnu Katsir, terdapat penyebutan istilah al-'ummat al-Muhammadiyyah, ketika mufasir klasik ini menjelaskan tentang Al Qur'an Surat Ali Imran ayat 110 "Kamu adalah umat yang terbaik (khaira ummah) yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiramya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik". Dalam menerangkan ayat tersebut, Ibnu Katsir menyatakan sebagai berikut: "yahbaru ta'ala 'an hazdihi al-ummât al-Muhammadiyah bi anna-hum khairâ al-ummâm (bahwa Allah mengkhabarkan dengan ayat ini tentang umat Nabi Muhammad, yaitu mereka sebagai umat yang terbaik) (Katsir, Juz I: 391). Artinya, penggunaan nama Muhammadiyah sendiri jika dikaitkan dengan khazanah Islam klasik dalam ilmu pengetahuan keislaman (tafsir) memiliki rujukan yang objektif. Apakah Kiai Dahlan memperoleh inspirasi atau tidak dari Tafsir Ibnu Katsir itu, tetapi secara keilmuan nama Muhammadiyah memiliki rujukan pada pembendaharaan keislaman.

Dalam ranah sosiologis, Kiai Dahlan menamai dan memilih istilah Muhammadiyah tidak dimaksudkan untuk mengembangkan 'ashabiyyah atau 'orientasi pada golongan yang mempersempit keislaman'. Dengan nama Muhammadiyah tersebut sesungguhnya tidak terkandung konotasi 'ashabiyyah karena siapa pun yang mengikuti jejak Nabi Muhammad secara umum berarti Muhammadiyah atau pengikut Nabi Muhammad. Kendati begitu, ketika nama Muhammadiyah dipilih dan kemudian menjadi organisasi gerakan Islam, maka penamaan dan pendirian Muhammadiyah pun tidak dimaksudkan untuk membesar-besarkan 'ashabiyyah maupun perpecahan di kalangan umat Islam, karena Muhammadiyah diposisikan dan difungsikan sebagai sarana atau alat untuk mencapai tujuan Islam, yakni mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Karena itu, menjadi tidak relevan jika tumbuh pandangan pada sebagian kalangan bahwa bagi umat Islam tidak perlu memberi nama atau wadah tertentu selain nama Islam. Muhammadiyah pun secara substantif dan konotatif adalah Islam dan dilahirkan untuk pergerakan serta kepentingan Islam. Dengan demikian, baik suatu organisasi atau pergerakan itu menggunakan nama Muhammadiyah atau nama lain jika kehadirannya diniati, dilandasi, diproyeksikan, dibingkai, dan ditujukan untuk kepentingan Islam serta umat Islam, maka menjadi sah adanya dan tidak berarti merupakan pemagaran atau pemecahbelahan Islam. Apabila sebuah organisasi pun diberi nama Islam sebutlah nama harakah Islamiyyah atau yayasan berlabel Islam lainnya, maka organisasi tersebut baik dari kepengurusan maupun pergerakannya tentu memiliki pembatasan diri, sehingga yang diperlukan bukan nama atau labelnya tetapi hakikat dan orientasi gerakannya untuk dan demi kepentingan Islam.

Hal yang melekat dengan arti dan ciri Muhammadiyah sebagai organisasi atau gerakan ialah lambang atau simbol Muhammadiyah. Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah Bab II pasal 5 tahun 2005 disebutkan bahwa "Lambang Muhammadiyah adalah matahari bersinar utama dua belas, di tengah bertuliskan (Muhammadiyah) dan dilingkari kalimat (Asyhadu an la ilaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan Rasul Allah)". Dalam Anggaran Rumah Tangga pasal 2 dijelaskan tentang arti lambang dan bendera Muhammadiyah sebagai berikut:

(1) Lambang Muhammadiyah sebagai tersebut dalam Anggaran Dasar pasal 5 adalah seperti berikut:

(2) Bendera Muhammadiyah berbentuk persegi panjang berukuran dua berbanding tiga bergambar lambang Muhammadiyah di tengah dan tulisan Muhammadiyah di bawahnya, berwarna dasar hijau dengan tulisan dan gambar berwarna putih, seperti berikut:

Ketentuan lain tentang lambang dan bendera ditetapkan oleh Pimpinan Pusat.

Dengan lambang, termasuk bendera, sebagaimana dilukiskan atau digambarkan tersebut tampak jelas ciri Muhammadiyah yang membedakannya dari gerakan Islam yang lain, yang memberi nafas dan spirit bagi gerakan ini. Lambang sebagai pertanda dan sekaligus penanda memberi arti simbolik bagi anggota Muhammadiyah, yang menjadikannya sebagai bagian dari identifikasi gerakan. Di seluruh Tanah Air Indonesia dari perkotaan hingga ke pelosok-pelosok pedesaan baik melalui gedung-gedung maupun papan nama Muhammadiyah bersama seluruh organisasi otonom dan lembaga-lembaga yang dimilikinya terpampang dengan jelas ada atau tidak adanya Muhammadiyah di daerah setempat. Lambang juga menjadi bagian dari semangat Kemuhammadiyahan seluruh anggota Muhammadiyah.

Selain lambang, Muhammadiyah juga memiliki seperangkat instrumen pengikat gerakan, antara lain lagu. Kendati lagu itu dibuat belakangan dan tidak ada sewaktu awal berdiri, tetapi lagu menjadi perekat psikologi kolektif warga Muhammadiyah. Lagu "Sang Surya" misalnya, menjadi sangat populer dan melekat dengan benak pikiran dan perasaan warga Muhammadiyah, sekaligus menjadi bagian dari semangat Kemuhammadiyahan. Lagu tersebut mengandung isi yang demikian menggelora, yang melambangkan semangat atau spirit gerakan Islam yang dinamis, sebagai bagian dari spirit pembaruan Muhammadiyah yang tidak kenal lelah menyinari kehidupan laksana sang surya atau matahari mencerahkan bumi dan semesta.

Pada awal berdirinya, yaitu pada 18 November 1912, dirumuskanlah tujuan Muhammadiyah yaitu: "Maka perhimpoenan itoe maksoednja:

(a) Menjebarloeaskan pengadjaran Igama Kangjeng Nabi Moehammad Shallallahoe 'Alaihi Wassalam kepada pendoedoek Bumipoetera di dalam Residensi Djokjakarta, dan

(b) Memajoekan hal Igama kepada anggautaanggautanja" (Statuten Moehammadijah tahun 1912).

Kendati Muhammadiyah berdiri tanggal tersebut dan dideklarasikan dalam rapat terbuka umum pada 20 Desember 1912 di Gedoeng Loodge Gebauw Malioboro Yogyakarta, tetapi tidak dengan sendirinya memperoleh pengakuan sah dari pemerintah Hindia-Belanda yang sangat hati-hati dan penuh kecurigaan untuk memberikan izin. Dengan bantuan Boedi Oetomo dan melalui proses panjang yang berliku-liku akhirnya Muhammadiyah memperoleh pengesahan dari pemerintah Hindia-Belanda berdasarkan Besluit Nomor 81 tanggal 22 Agustus 1914 sebagai Badan Hukum yang melaksanakan kegiatan di kalangan umat Islam di wilayah Residensi Yogyakarta (Majelis Pustaka dan Dokumentasi PP Muhammadiyah, 1995: 22). Adapun rumusan tujuan Muhammadiyah yang disebut "Maksud Persyarikatan" hasil pengesahan Hindia-Belanda itu tercantum sebagai berikut:

(a) memadjoekan dan menggembirakan pengadjaran dan peladjaran Igama Islam di Hindia Nederland, dan

(b) Memadjoekan dan menggembirakan kehidoepan (cara hidoep) sepandjang kemaoean Agama Islam kepada lid-lidnja (Statuten Moehammadijah tahun 1914).

Kandungan isi atau subtansi tujuan Muhammadiyah tersebut tidak mengalami perubahan sampai Kiai Dahlan wafat tahun 1923, begitu juga sesudahnya sampai tahun 1943 pada masa pendudukan Jepang dan pada masa awal kemerdekaan tahun 1946. Pada masa Jepang tujuan Muhammadiyah ialah: "Sesuai dengan kepercayaan untuk mendirikan kemakmuran bersama seluruh Asia Raya, di bawah pimpinan Dai Nippon, dan memang diperintahkan oleh Tuhan Allah, maka perkumpulan ini:

(a) hendak menyiarkan agama Islam, serta melatihkan hidup yang selaras dengan tuntunannya,

(b) hendak melakukan pekerjaan kebaikan kebaikan umum,

(c) hendak memajukan pengetahuan dan kepandaian serta budi pekerti yang baik kepada anggauta-anggautanya; kesemuanya itu ditujukan untuk berjasa mendidik masyarakat ramai." Sedangkan pada masa kemerdekaan, tahun 1946, dirumuskan tujuan sebagai berikut: Maksud dan tujuan Persyarikatan ini akan menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya" (Badawi, 1998).

Pada zaman Jepang melakukan penyesuaian isi dan redaksi, mengingatkan pengalaman Muhammadiyah di kemudian hari pada waktu asas Pancasila tahun 1985, yang juga melakukan penyesuaian karena kebijakan rezim pemerintah. Pada 1946, yang kemudian dikukuhkan pada Muktamar tahun 1952, Muhammadiyah untuk pertama kalinya mencantumkan tujuan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Konsep tersebut berlangsung hingga saat ini kecuali pada tahun Muktamar tahun 1985 diganti dengan sebutan masyarakat utama yang adil dan makmur yang diridlai Allah SWT, yang substansinya sama. Dari perubahan-perubahan formulasi tujuan tersebut tampak dinamika Muhammadiyah dalam menghadapi kebijakan rezim kekuasaan dan kondisi sosiologis yang berkembang pada masanya, yang menunjukkan fleksibilitas sekaligus kecerdasan Muhammadiyah dalam menyikapi keadaan yang penuh tekanan.

Jika ditelaah secara saksama terdapat hal menarik, bahwa kata memajukan selain kata menyebarluaskan, yang sejak 1914 ditambah dengan kata menggembirakan dalam pasal maksud dan tujuan Muhammadiyah, merupakan kata-kunci yang selalu dicantumkan dalam Statuten Muhammadiyah pada periode Kiai Dahlan hingga tahun 1946 yakni pada Statuten Muhammadiyah Tahun 1912, Tahun 1914, Tahun 1921, Tahun 1931, Tahun 1931, dan Tahun 1941. Dalam pandangan Djarnawi Hadikusuma, kata-kata yang sederhana tersebut mengandung arti yang sangat dalam dan luas, yaitu ketika umat Islam sedang dalam kelemahan dan kemunduran akibat tidak mengerti kepada ajaran Islam yang sesungguhnya, maka Muhammadiyah mengungkap dan mengetengahkan ajaran Islam yang murni itu serta menganjurkan kepada umat Islam pada umumnya untuk mempelajarinya, dan kepada para ulama untuk mengajarkannya, dalam suasana yang maju dan menggembirakan. Kata memajukan mengingatkan pada makna tajdid atau pembaruan, yang mengandung semangat kemajuan. Adapun kata menyebarluaskan jelas sekali mengandung semangat ekspansi atau penyebarluasan, yang memiliki konotasi atau substansi yang sama dengan dakwah.

Sumber : kuliah kemuhammadiyahan ( prof  DR Haedar Nashir Msi )

┈┈┈◎❅❀❦🌹❦❀❅◎┈┈┈