Belajar Lagi

Pelantikan Pemuda Muhammadiyah di pendopo Tuban

Foto disek karo senior

Acara Pelantikan Pemuda Muhammadiyah Kab. Tuban.

Akhir Diklat Kokam

Duklat Kokam dan SAR Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Tuban.

RAKERDA PDPM DI MERAKURAK

rAPAT KERJA PIMPINAN DAERAH PEMUDA MUHAMMADIYAH.

BAB PCPM PALANG

Perkaderan Pemuda Muhammadiyah Palang

tanpa judul

pemandangan

MEMBACA ADALAH KUNCI UNTUK MENGETAHUI DUNIA

Kadang kala menunggu itu membosankan, akan tetapi berbeda kalau menunggunya sambil baca-baca

PANDANGAN MATA

Pandangan mata kadang kala, melabuhi hal-hal yang sebenarnya

Rabu, 27 November 2013

Kasih Sayang Allah Kepada Hamba-Nya

Loading




مَنْ عَرَفَ اللهَ بِأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ وَأَفْعَالِهِ أَحَبَّهُ لاَمَحَالَةَ
Barang siapa yang mengenal Allah melalui nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya, pasti dia akan mencintai-Nya!” (Ibnul Qayyim, Al-Jawabul Kafi)
Ada dua nama Allah yang begitu dekat di telinga kaum muslimin. Ada dua nama Allah yang begitu lekat di lisan kaum mukminin. Ada dua nama Allah yang tertera dalam lafal basmalah. Ada dua nama Allah yang menjadi bagian surat Al-Fatihah. Ada dua nama Allah yang begitu indah. Dua nama itu adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim.
Keduanya berhubungan dengan “rahmat” (kasih sayang) Allah
Ar-Rahman: yang memiliki rahmat yang luas meliputi seluruh makhluk-Nya; wazanفعلانdalam bahasa Arab menunjukkan keluasan dan cakupan menyeluruh. Sebagaimana jika ada seorang lelaki yang marah dalam hal apa pun, dia disebut:رجل غضبان(rojulun ghodhbanun).
Ar-Rahim: nama yang menunjukkan atas perbuatan, karenaفعيلbermaknaفاعل.
Sifat “rahmat” (kasih sayang) Allah yang terkandung dalam kedua nama tersebut sesuai dengan ketinggian dan kemuliaan Allah.
Perbedaan makna lafal “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahim”
Ada ulama yang mengatakan bahwa Ar-Rahman artinya Allah memberikan kasih sayang secara umum kepada seluruh makhluk-Nya di dunia, sedangkan Ar-Rahim artinya Allah memberikan kasih sayang secara khusus kepada orang-orang beriman saja di akhirat.
Selain pendapat tersebut, Syekh Khalil Harash menyebutkan pendapat lain tentang perbedaan antara makna lafal Ar-Rahman dan Ar-RahimAl-’Allamah Ibnul Qayyimrahimahullah telah membawakan pendapat bahwa Ar-Rahman menunjukkan sifat yang terkandung pada Dzat, sedangkan Ar-Rahim mennunjukkan atas keterkaitan sifat tersebut (rahmat) dengan makhluk yang dirahmati. Dengan demikian, lafal ‘Ar-Rahman’ tidak diungkapkan dalam bentuk muta’addi (perlu objek). Sementara lafal Ar-Rahim diungkapkan dengan menyebutkan objek. Allah berfirman,
وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيماً
‘… Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.’ (Q.s. Al-Ahzab: 43)
(Dalam ayat tersebut) tidak dikatakanرحمانا(Rahmanan), tetapi Allah nyatakan “رَحِيماً” (Rahimaa). Inilah pendapat terbaik tentang perbedaan makna kedua lafal tersebut.”
Kasih sayang terhadap seluruh makhluk-Nya
Ar-rahmah al-’ammah: Kasih sayang yang Allah berikan secara umum kepada seluruh makhluk-Nya tanpa terkecuali.
Sifat ini dikaitkan dengan sifat “al-’ilmu” dalam firman Allah berikut ini,
رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَّحْمَةً وَعِلْماً
Wahai Tuhan kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu ….” (Q.s. Ghafir/Al-Mu’min: 7)
Ilmu Allah meliputi segala sesuatu. Dengan demikian, rahmat (kasih sayang)-Nya juga dirasakan oleh segala sesuatu tersebut sebab Allah menggandengkan antara ilmu-Nya dan rahmat-Nya. Kasih sayang jenis ini dirasakan oleh badan selama di dunia, seperti: makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya.
Kasih sayang Allah terkhusus bagi orang-orang beriman
Ar-rahmah al-khashshah: Kasih sayang Allah yang khusus diberikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Kasih sayang jenis ini bersifat imaniah diniah duniawiah ukhrawiah, berupa taufik untuk mengerjakan ketaatan, kemudahan dalam beramal kebajikan, keteguhan di atas iman, petunjuk menuju jalan yang lurus, serta kemuliaan dengan dimasukkan ke dalam surga dan dibebaskan dari siksa neraka.
Di akhirat kelak
Rahmat Allah bagi orang-orang kafir hanya terbatas di dunia. Dengan kata lain, tak ada rahmat sejati bagi mereka. Lihatlah keadaan mereka nantinya di akhirat,
رَبَّنَا أَخْرِجْنَا مِنْهَا فَإِنْ عُدْنَا فَإِنَّا ظَالِمُونَ
Wahai Tuhan kami, keluarkanlah kami daripadanya (dan kembalikanlah kami ke dunia), maka jika kami kembali (juga kepada kekafiran), sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim.”
(Q.s. Al-Mu’minun: 107)
Tak ada rahmat bagi mereka pada hari itu. Yang ada hanya keadilan! Allah berfirman kepada mereka,
قَالَ اخْسَؤُوا فِيهَا وَلَا تُكَلِّمُونِ
Allah berfirman, ‘Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu berbicara dengan-Ku.’” (Q.s. Al-Mu’minun: 108)
Demikianlah kondisi orang kafir di akhirat. Lalu, bagaimana keadaan orang-orang beriman?
Di akhirat kelak, Allah akan mengkhususkan rahmat, keutamaan, dan kebaikan dari-Nya bagi orang-orang mukmin. Allah juga akan memuliakan mereka dengan ampunan dan penghapusan dosa. Saking luasnya segenap karunia itu, sampai-sampai lisan tak mampu menceritakannya dan pikiran tak mampu membayangkannya.
إن لله مائة رحمة أنزل منها رحمة واحدة بين الجن والإنس والبهائم والهوام، فيها يتعاطفون، وبها يتراحمون، وبها تعطف الوحش على ولدها، وأخر الله تسعا وتسعين رحمة يرحم بها عباده يوم القيامة
Sesungguhnya Allah memiliki 100 rahmat. Salah satu di antaranya diturunkannya kepada kaum jin, manusia, hewan, dan tetumbuhan. Dengan rahmat itulah mereka saling berbelas kasih dan menyayangi. Dengannya pula binatang liar mengasihi anaknya. Dan Allah mengakhirkan 99 rahmat untuk Dia curahkan kepada hamba-hamba-Nya pada hari kiamat.”
(Muttafaq ‘alaih; dalam Shahih Bukhari no. 6104 dan Shahih Muslim no. 2725; lafal hadits ini dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Bilamana kasih sayang Allah bertambah?
Jika seorang hamba memperbanyak ketaatan dan mendekatkan dirinya kepada Rabb-nya maka bagian rahmat Allah yang diperolehnya juga akan semakin bertambah banyak.
وَهَـذَا كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُواْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan Al Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.”
(Q.s. Al-An’am: 155)
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatilah rasul, supaya kamu diberi rahmat.”
(Q.s. An-Nur: 56)
إِنَّ رَحْمَتَ اللّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ
Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
(Q.s. Al-A’raf: 56)
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَـاةَ وَالَّذِينَ هُم بِآيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ
Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.”
(Q.s. Al-A’raf: 156)
Hanya kepada Allah kita memohon agar –dengan rahmat-Nya– kita termasuk dalam golongan orang-orang shalih. Semoga Allah juga mencurahkan kasih sayang kepada kita, sebagaimana yang Dia limpahkan kepada kekasih-kekasih-Nya yang beriman. Sungguh AllahSubhanahu wa Ta’ala Mahamulia lagi Maha Agung, rahmat-Nya begitu luas tak terbatas.
Maroji’:
  • Syarh Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah, Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi.
  • Syarh Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah, Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Dar Ibnul Jauzi.
  • Syarh Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah, Syekh Muhammad Khalih Harash, Dar Ibnul Jauzi.
  • Fiqhul Asmail Husna’, Syekh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr, Darut Tauhid lin Nasyr, Riyadh.
***
Artikel muslimah.or.id
Penulis: Ummu Asiyah Athirah
Muroja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits

TENTANG ALLAH

Loading




مَنْ عَرَفَ اللهَ بِأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ وَأَفْعَالِهِ أَحَبَّهُ لاَمَحَالَةَ
Barang siapa yang mengenal Allah melalui nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya, pasti dia akan mencintai-Nya!
(Ibnul Qayyim, Al-Jawabul Kafi)
Allah adalah Al-Ilah
“Allah” adalah nama untuk Dzat Allah ‘Azza wa Jalla. Tidak ada yang memiliki nama tersebut selain Dia. Lafal “Allah” berasal dari tashrifأَلِهَ-يَأْلَهُ-أُلُوْهَةٌ-إِلاَهَةٌ-أُلُوْهِيَّةٌ. Selanjutnya,إِلاَهَةٌ(Ilahah) bemaknaالمألوه(Al-Ma’luh), sedangkanالمألوه(Al-Ma’luh) bermaknaالمغبود(Al-Ma’bud), yaitu yang disembah karena rasa cinta dan pengagungan.
Ringkasnya, Allah = Al-Ilah (sesembahan) = Al-Ma’luh (yang disembah) = Al-Ma’bud (yang diibadahi)
Lafal jalalah ‘Allah’ adalah isim musytaq
Para ulama berbeda pendapat tentang asal lafal “Allah”; apakah lafal tersebut adalah isim jamid (bentuk tunggal/berdiri sendiri) atau isim musytaq (bentuk turunan).
  • Pendapat pertama: lafal jalalah ‘Allah’ merupakan isim jamid. Alasannya, kondisimusytaq (penurunan bentuk kata) mengharuskan isim tersebut memiliki penyusun sebelumnya, padahal nama Allah itu qadim (paling awal). Sesuatu yang qadim tidaklah memiliki unsur. Hal ini sebagaimana seluruh nama yang hanya sekadar nama namun tak memiliki hubungan dengan akar katanya. Contoh: seseorang bernama Nashir, namun belum tentu dia suka menolong; seseorang bernama Mahmud, namun belum tentu perangainya terpuji; seseorang bernama Syuja’, namun belum tentu dia pemberani.
  • Pendapat kedua: lafal jalalah ‘Allah’ merupakan isim musytaq. Dalilnya adalah firman Allah,
وَهُوَ اللّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَفِي الأَرْضِ يَعْلَمُ سِرَّكُمْ وَجَهرَكُمْ وَيَعْلَمُ مَا تَكْسِبُونَ
Dan Dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.” (Q.s. Al-An’am: 3)
Penggalan kataفِي السَّمَاوَاتِdikaitkan dengan lafal jalalah; maknanya:
وَهُوَ المألوه فِي السَّمَاوَاتِ وَفِي الأَرْضِ
“Dialah sesembahan di langit dan di bumi.”
Terkait makna lafal jalalah ‘Allah’, Ibnu ‘Abbas radhiallhu ‘anhuma menyebutkan,
الله ذو الألوهية والعبودية على خلقه أجمعين
”Allah adalah pemilik hak uluhiyyah (ketuhanan) dan ‘ubudiyyah (penghambaan) atas seluruh makhluk.”
Yang rajih dalam hal ini adalah pendapat bahwa lafal jalalah ‘Allah’ adalah isim musytaq. (Penjelasan ini terdapat dalam Syarh Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah, Syekh Muhammad Khalil Harash dan Syarh Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah, Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin)
Allah adalah Ar-Rabb
Ar-Rabb: Al-Murabbi (pemelihara) seluruh jagad raya beserta isinya. Segala sesuatu selain Allah adalah makhluk bagi-Nya. Dia melengkapi kehidupan makhluk-Nya dengan segala sarana dan prasarana. Dia curahkan nikmat berlimpah kepada mereka. Seandainya seluruh nikmat itu lenyap, niscaya makhluk-Nya tak ‘kan mampu bertahan hidup. Apa pun nikmat yang dirasakan (oleh setiap makhluk) maka itu datang hanya dari Allah. (Taisir Karimir Rahman)
Tarbiyah (pemeliharaan) Allah atas makhluk-Nya terdiri atas dua jenis:
  1. At-tarbiyah al-’ammah (pemeliharaan umum), berupa mencipta makhluk-makhluk, memberi mereka rezeki, dan menunjuki jalan-jalan yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup mereka di muka bumi.
  2. At-tarbiyah al-khashshah (pemeliharaan khusus), berupa penjagaan Allah terhadap para wali-Nya (orang yang dekat dengan-Nya). Allah memelihara mereka melalui karunia iman dan taufik. Allah pun menyempurnakan iman dan taufik itu bagi mereka. Allah juga menghilangkan penghambat dan penghalang antara diri mereka dan diri-Nya. Hakikat tarbiyah khusus ini adalah: (i) pemeliharaan di atas taufik menuju segala kebaikan; (ii) penjagaan dari segala keburukan. Barangkali ini adalah makna tersembunyi di balik sebagian besar doa para nabi yang menggunakan lafal “Ar-Rabb”; isi doa-doa mereka adalah meminta at-tarbiyah al-khashshah dari Allah. (Taisir Karimir Rahman)
Berhak disembah karena memiliki sifat rububiyyah
Yang mendapat keistimewaan hak uluhiyyah hanya Dzat yang memiliki sifat rububiyyah.
Yang berhak disembah hanya Dzat yang mampu mencipta jagad raya, seluruh makhluk hidup, gunung, laut, pohon, dan makhluk lainnya. Yang berhak disembah hanya Dzat yang mampu menurunkan hujan, mendatangkan kemarau berkepanjangan, menimpakan paceklik, mengguncangkan bumi dengan gempa, dan meluapkan air laut. Yang berhak disembah hanya Dzat yang mampu menerbitkan matahari di timur dan menenggelamkannya di barat.
Mustahil seseorang adalah tuhan sedangkan dirinya saja diciptakan. Tidak mungkin seseorang adalah tuhan jika dia tak mampu mendatangkan manfaat meski bagi dirinya sendiri. Tidak mungkin seseorang adalah tuhan jika dia sendiri tak bisa menyelamatkan dirinya dari bahaya. Tidak mungkin seseorang adalah tuhan jika dia tak bisa mengubah kondisi jagad raya dan isinya sekehendak dirinya.
Klaim tanpa bukti
Jika seseorang mengaku-aku sebagai tuhan yang berhak disembah maka cek dahulu apakah dia memiliki sifat rububiyyah.
Mari kita lihat kisah dua manusia biasa yang mengklaim dirinya sebagai tuhan. Sebuah klaim tanpa bukti nyata!
1. Raja Namrud yang hidup di masa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَآجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رِبِّهِ أَنْ آتَاهُ اللّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِـي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِـي وَأُمِيتُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan, ‘Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan.’ Orang itu berkata, ‘Saya dapat menghidupkan dan mematikan.’ Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,’ maka terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.” (Q.s. Al-Baqarah: 258)
Benarkah Namrud bisa menghidupkan dan mematikan?
Ternyata, maksud Namrud: dia mampu membiarkan seseorang tetap hidup dan dia mampu membunuhnya (mematikannya) jika dia ingin. Padahal yang dimaksud Nabi Ibrahim adalah kemampuan menciptakan makhluk hidup (dari tidak bernyawa menjadi bernyawa) dan mematikannya (dari bernyawa menjadi tidak bernyawa). Tampak sekali bahwa Namrud tak paham hakikat “menghidupkan dan mematikan”.
Untuk membungkam kesombongan Namrud, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam menggunakan hujjah lain. Beliau menantang Namrud untuk menerbitkan matahari dari barat. Namrud tak memiliki sifat rububiyyah, maka bagaimana mungkin dia mampu mengubah letak matahari?
Akhirnya Namrud kalah telak. Betapa bodoh dan celakanya Namrud! (Penjelasan ini bisa disimak di Taisir Karimir Rahman)
2. Fir’aun yang hidup di masa Nabi Musa ‘alaihis salam
Inilah kisah Fir’aun. Si kafir yang mengklaim dirinya sebagai tuhan, padahal dia sama sekali tak memiliki sifat rububiyyah. Ketika laut yang dibelah oleh Allah akhirnya tertutup kembali, dia tak dapat menyelamatkan dirinya maupun bala tentaranya!
Fir’aun mengklaim sifat rubbubiyah pada dirinya padahal sifat itu tidak ada padanya.
فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى
“Dia (Fir’aun) mengatakan: Saya Rab kalian yang paling tinggi.” (QS. An-Nazi’at: 24)
Ini terjadi ketika dia merasa sangat nyaman ketika disembah, kemudian kesombongannya bertambah. Akhirnya semakin parah dan mengaku sebagai Rab, yang artinya sang pemberi kehidupan bagi rakyatnya. Sehingga fir’aun mengklaim hak uluhiyah dan sekaligus sifat rububiyah. Sebagian ahli tafsir mengatakan, pengakuannya sebagai Rab dilakukan 40 tahun setelah dia minta disembah (mengaku sesembahan). Di awal kekuasaannya, fir’aun minta disembah, empat puluh tahun berikutnya, dia mengaku sang pemberi kehidupan mesir. (Aisar Tafasir, untuk ayat di atas).
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ مَا عَلِمْتُ لَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرِي فَأَوْقِدْ لِي يَا هَامَانُ عَلَى الطِّينِ فَاجْعَل لِّي صَرْحاً لَّعَلِّي أَطَّلِعُ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ مِنَ الْكَاذِبِينَ
Dan Fir’aun berkata, ‘Wahai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk pendusta.’” (Q.s. Al-Qashash: 38)
وَاسْتَكْبَرَ هُوَ وَجُنُودُهُ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ إِلَيْنَا لَا يُرْجَعُونَ
Dan berlaku angkuhlah Fir’aun dan bala tentaranya di bumi (Mesir) tanpa alasan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami.” (Q.s. Al-Qashash: 39)
فَأَخَذْنَاهُ وَجُنُودَهُ فَنَبَذْنَاهُمْ فِي الْيَمِّ فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الظَّالِمِينَ
Maka Kami hukum Fir’aun dan bala tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut. Maka lihatlah akibat yang dirasakan oleh orang-orang zalim.” (Q.s. Al-Qashash: 40)
Di akhir hayatnya, Fir’aun mengaku bersalah. Namun penyesalannya terlambat sudah.
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ بَغْياً وَعَدْواً حَتَّى إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنتُ أَنَّهُ لا إِلِـهَ إِلاَّ الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَاْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka). hingga bila Fir’aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia, ‘Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).’” (Q.s. Yunus: 90)
Demikianlah dua orang kafir dari kalangan kaum terdahulu. Sungguh ini adalah kisah nyata, bukan dongeng atau hikayat khayalan. Tidak menutup kemungkinan masih ada juga orang yang minta dipertuhankan di masa ini.
Hendaknya orang-orang yang berakal mengambil pelajaran. Sungguh, hanya Allah Ar-Rabb Al-Ilah. Tiada tandingan bagi-Nya!
Maroji’:
  • Syarh Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah, Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi.
  • Syarh Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah, Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Dar Ibnul Jauzi.
  • Syarh Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah, Syekh Muhammad Khalil Harash, Dar Ibnul Jauzi.
  • Taisir Karimir Rahman, Syekh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Muassasah Ar-Risalah, Beirut.
***
artikel muslimah.or.id
Penulis: Athirah Ummu Asiyah
Muroja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits

Sabtu, 13 April 2013

KOMUNIKASI EFEKTIF

Loading






Oleh: Drs. Immawan Samino, M.M.

I.                   PENDAHULUAN

Komunikasi merupakan inti kegiatan dalam sebuah gerakan atau organisasi, meskipun demikian tidak semua orang memperhatikan dengan sungguh-sungguh terhadap pentingnya komunikasi, bahkan ada sebagian orang yang mengecilkan arti dari komunikasi, sehingga program-program organisasi yang sudah tersusun dengan baik menjadi berantakan karena tidak mampu mengkomunikasikannya dengan pihak-pihak terkait (steackholder). Kiranya semua faham bahwa dalam organisasi agar visi, misi, dan tujuannya dapat perhasil diperlukan adanya manajemen yang baik, untuk memenej dengan baik diperlukan seorang pemimpin, dan pemimpin akan dapat berhasil dengan baik manakala mampu berkomunikasi dengan baik. Tanpa adanya kemampuan berkomunikasi yang baik mustahil akan mampu memimpin dengan baik, dan seterusnya dalam memenej dan menjalankan roda organisasi. Dalam Muhammadiyah Da’i dan atau Mubaligh memiliki posisi yang strategis dalam menyampaikan pesan-pesan Islam sesuai faham agama dalam Muhammadiyah sebagai organisasi geraakan islam, dan da’wah amar ma’ruf nahyi munkar. Untuk itu diperlukan komunikasi efektif, yaitu komunikasi yang tepat guna, memiliki dampak sebagai pengaruh pesan yang disampaikan. Dengan kata lain, dapat menyasar dan sesuai dengan target, sehingga Da’i atau Mubaligh dapat menjadi juru penerang, yang mampu mewujudkan kedamaian, ketenteraman dan kesejukan dalam mengamalkan ajaran islam secara kaffah.

Komunikasi berasal dari bahasa latin communicatio, dan perkataan ini bersumber pada kata Communis yang berarti sama, dalam arti sama makna, yaitu sama makna mengenai suatu hal (perkataan communis dalam pembahasan ini tidak ada hubungannya dengan partai komunis yang sering kita jumpai dalam kegiatan politik).



Komunikasi berlangsung apabila orang-orang yang terlibat terdapat kesamaan makna mengenai suatu hal yang dikomunikasikan. Jika seseorang mengerti tentang sesuatu yang dinyatakan orang lain kepadanya, maka komunikasi berlangsung (komunikatif), tetapi jika tidak dimengerti berarti komunikasi tidak berlangsung (tidak komunikatif).
Secara terminologis komunikasi berarti proses penyampaian suatu penyataan oleh seseorang kepada orang lain. Jadi yang terlibat dalam komunikasi disini adalah manusia, maka disebut komunikasi manusia atau human communication dan disebut pula komunikasi sosial atau social communication. Untuk itu dalam pembahasan ini tidak termasuk komunikasi hewan, komunikasi transendental, dan komunikasi fisik. Jadi yang menjadi pokok pembahasan disini adalah komunikasi manusia atau komunikasi sosial yang mengandung makna “proses penyampaian suatu pernyataan atau pesan oleh seseorang kepada orang lain.

Komunikasi dilakukan tidak sekedar ada hubungan timbal balik, akan tetapi dimaksudkan dapat memperoleh makna dan manfaat dari komunikasi tersebut. Dalam pengertian paradigmatis mengandung tujuan tertentu, sehingga dilakukan dengan bebagai cara, antara lain secara lisan, secara tetulis, secara tatap muka, atau melalui media, baik media cetak maupun elektronika, maupun media nonmassa seperti surat, telepon, papan pengumuman, poster, spanduk, dsb. Komunikasi secara paradigmatis tersebut dapat dimaknai sebagai proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap pendapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan maupun tak langsung melalui media. Hisam Al-Talib memberi penegasan bahwa “berkomunikasi berarti membiarkan orang lain mengenal Anda dan menjalin pengertian dengan Anda. Jika mereka lakukan, mereka akan menghormati Anda. Meskipun begitu proses ini menuntut Anda berbagi pemikiran dan perasaan Anda dengan orang lain secara jujur”.   





II.                PROSES KOMUNIKASI

Dalam praktek komunikasi ada beberapa bentuk dan model, antara lain (1) komunikasi antar individu yang terdiri dari komunikasi antar invidu sederhana dan komunikasi antar individu beralat, (2) komunikasi kelompok (group communication) yang terdiri dari kelompok kecil dan kelompok besar, (3) komunikasi massa, dan (4) komunikasi sosial. Apapun model dan bentuk yang digunakan dalam komunikasi tetap melalui proses komunikasi, yang merupakan proses penyampaian (pemindahan) dan penerimaan pesan atau pernyataan dari pemberi pesan kepada penerima pesan melalui media atau saluran tertentu untuk memperoleh hasil atau efek dari pesan tersebut. Menurut Effendi ada lima komponen dalam proses komunikasi yaitu: komunikator, pesan, komunikan, media, dan efek. Sedang Rousydiy menyebutkan unsur-unsur tersebut adalah: Who (siapa), Says what (berkata apa), In Which Channel (melalui saluran apa), To Whom (kepada siapa), Whith What effect (bagaimana hasilnya). Berarti Komponen atau unsur komunikasi terdiri dari:
  1. Unsur Who, yaitu unsur komunikator yang dalam proses komunikasi adalah yang melaksanakan pernyataan (yang menyampaikan isi pesan).
  2. Unsur Says What, yaitu unsur komunike atau isi pernyataan itu sendiri (ide yang disampaikan, information, opinion, message, attitude).
  3. Unsur In Which Channel, yaitu unsur media komunikasi atau saluran yang dipergunakan dalam melancarkan komunikasi (primary technique atau scondary technique, direct communication atau indirect communication).
  4. Unsur To Whom, yaitu unsur komunikan yang menjadi sasaran, kemana pernyataan atau pesan itu ditujukan (audience, massa atau public).
  5. Unsur With what effect, yaitu unsur effect atau hasil yang dicapai oleh usaha penyampaian pernyataan itu pada sasaran yang dituju (bisa juga disebut “feed back”). 




Berdasarkan uraian tersebut diatas dalam proses komunikasi intinya ada: (a) Komunikator (orang yang menyampaikan pesan), (b) Pesan (pernyataan yang didukung oleh lambang), (c) Komunikan (orang yang menerima pesan), (d) Media (sarana atau saluran yang mendukung pesan bila komunikan jauh  tempatnya atau banyak jumlahnya), dan (e) Efek (dampak sebagai pengaruh dari pesan).
Seluruh unsur-unsur dalam proses komunikasi pada dasarnya penting adanya, tanpa mengurangi yang lainnya, unsur terakhir (efek) merupakan tolok ukur keberhasilan komunikasi. Efek atau dampak dapat diklasifikasikan menurut kadarnya, yaitu dampak kognitif, afektif dan behavioral.
-          Dampak kognitif, adalah timbul pada komunikan yang menyebabkan dia menjadi tahu atau meningkat intelektualitasnya. Disini pesan yang disampaikan ditujukan kepada pikiran si komunikan, atau tujuannya hanya berkisar pada upaya mengubah pikiran diri komunikan.
-          Dampak afektif, lebih tinggi kadarnya dari pada dampak kognitif, yaitu untuk tergerak hatinya, menimbulkan perasaan tertentu, misal: perasaan iba, terharu, sedih, gembira, marah, dan sebagainya.
-          Dampat behaavioral, yang paling tinggi kadarnya, yakni timbul dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan.
Untuk contoh ketiga jenis dampak atau efek tersebut diatas, dapat dibaca dan direnungkan contoh dibawah ini:
Koran Yogya Pas memuat berita bahwa “Akibat Gempa bumi tektonik bulan Mei 2006 atau satu minggu yang lalu, Pondok Muhammadiyah Safina Bantul gedungnya roboh total, 10 santrinya meninggal, 20 santri lainnya luka parah, dan 15 santri lainnya luka ringan, santri yang sakit semuanya masih dirawat di Rumah Sakit Umum Bantul. Pimpinan Pondok menyampaikan sedang kekurangan dana untuk mengatasi musibah yang sedang dihadapinya”. Jika seorang pembaca hanya tertarik untuk membaca dan kemudian ia menjadi tahu maka dampaknya hanya berkadar kognitif. Apabila pembaca timbul rasa iba, susah, atau mungkin terharu berarti menimbulkan dampak afektif. Kemudian kalau pembaca


tersentuh hatinya kemudian tergerak untuk mengeluarkan sebagian hartanya atau menggerakkan dan mengorganisir untuk mengumpulkan dana dalam rangka membantu musibah Pondok Muhammadiyah tersebut berarti telah sampai pada dampak yang tertinggi kadarnya yaitu behavioral.
  
III.             KOMUNIKASI DAN DAKWAH YANG EFEKTIF

Komunikasi dan dakwah dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, unsur-unsur proses komunikasi pada dasarnya juga merupakan unsur-unsur dalam proses dakwah. Dakwah dapat didefinisikan “mengajak atau menyeru untuk melakukan kebajikan dan mencegah kemungkaran, merobah umat dari satu situasi kepada situasi yang lebih baik dalam segala bidang, merealisasikan ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari bagi seorang pribadi, keluarga, kelompok atau massa, serta bagi kehidupan masyarakat sebagai tata hidup bersama dalam rangka pembangunan bangsa dan umat manusia”.  Singkatnya dakwah adalah “mengajak orang masuk islam dan mengamalkan aajaran islam dalam segala aspek kehidupan manusia secara murni dan konsekwen”. Sebagaimana dikemukakan diatas bahwa unsur-unsur komunikasi pada dasarnya sama dengan unsur-unsur dakwah. Dalam dakwah berarti ada lima unsur, yaitu (1) Komunikator: Da’I (juru dakwah), (2) Pesan: Materi dakwah (isi dakwah), (3) Komunikan: Penerima Dakwah (audience, publik atau massa), (4) Channel: Media Dakwah (saluran dakwah: lisan, tulisan, auditive, dll), (5) Dampak: Efek Dakwah (hasil yang dapat dicapai). Dalam dakwah dikenal dakwah bil-lisan, dakwah bil-hal, dan dakwah bil-lisan wal hal, tergantung konsentrasinya, situasi dan kondisinya, itu semua akan berpengaruh terhadap proses dakwah yang dilakukan.

Khusus dakwah lisan (kebanyakan menggunakan rethorica), dapat dikatakan memiliki efek atau hasil yang sukses menurut Rousydiy apabila komunikan atau penerima dakwah memiliki ciri sebagai berikut;
  1. Telah merasa seperti yang dirasakan oleh pembicara.


  1. Telah berfikir dengan cara dan seperti pemikiran pembicara.
  2. Telah dapat memahami/mengerti dengan baik isi pesan (ide) yang dikemukakan oleh pembicara.
  3. Telah sepaham atau sependapat dan mendukung isi pesan yang disampaikan.
  4. Telah yakin akan kebenaran ide yang dikemukakan oleh pembicara.
  5. Telah bertindak mengamalkan atau melaksanakan isi pesan yang dimaksud.
  6. Dan last but and least, telah bersedia berjuang dan berkorban untuk membela atau mempertahankan kebenaran isi pesan (message) yang diungkapkan oleh pembicara.

Berkaitan dengan komunikasi, agar dapat berkomunikasi dengan baik Hisyam Al-Talib memberikan panduan sebagai berikut:
  1. Komunikasi yang ampuh datang dari kekuatan dalam. Jangan coba menguasai orang lain dengan paksa.
  2. Bergaullah dengan setiap orang dalam pekerjaan, perkemahan, atau kelompok Anda. Kurangnya waktu bukanlah alasan.
  3. Gunakan waktu istirahat Anda bertemu dengan orang yang berbeda. Rencanakan untuk makan bersama dengan orang lain. Anda akan membina hubungan yang sangat berarti dengan setiap orang dalam waktu yang singkat.
  4. Jangan menunggu orang yang lambat dalam suatu pertemuan. Jika anda lakukan, Anda mengajar mereka bahwa terlambat adalah boleh-boleh saja, demikian juga berarti menghukum orang yang datang lebih awal.
  5. Uraikan dengan kata-kata sendiri pesan yang Anda dengar itu untuk memastikan penyampaian dan penerimaan yang tepat.
  6. Ingatlah semakin banyak yang kita fahami, semakin banyak yang mampu kita atur. Semakin kurang kita memahami semakin banyak kita memanipulir.
  7. Ketika sampai ketahap penafsiran, Rasulullah Saw. mengajarkan kita supaya mencari tujuh puluh alasan perlakuan buruk orang lain, dan jika sekiranya tidak ada satu alasan pun yang betul, mungkin ada penafsiran yang belum kita ketahui. 

IV.             PENUTUP

Dalam sebuah tulisan disebutkan bahwa K.H.A. pernah mengutip tulisan Al-Ghozali yang isinya kurang lebih: “Pada dasarnya kebanyakan manusia dalam keadaan mati (jiwanya) kecuali ulama (orang yang berilmu), kebanyakan ulama akan mengalami kebingungan kecuali yang beramal, dan yang beramalpun akan khawatir kecuali yang ikhlas”.  Untuk itu pada umat islam, khususnya warga Muhammadiyah ilmu itu amaliah dan amal itu ilmiah, ilmu amaliah dan amal ilmiah itu akan membawa makna dan kebahagiaan dunia – akherat manakala dilakukan dengan ikhlas. Perlu ditekankan kembali bahwa Muhammadiyah menjadi besar, banyak amal usahanya karena berangkat dari ilmu yang benar dan dikomunikasikan secara benar, sehingga dapat mengamalkan secara benar dan hasilnya insya Allah juga benar. Mudah-mudahan hal yang demikian masih terhunjam dalam hati warga Muhammadiyah, lebih khusus lagi para Da’i dan calon Da’i atau Mubaligh dan calon Mubaligh Muhammadiyah (Huwallohu a’lam).
                                                                              Yogyakarta, 07 Desember 2006

DAFTAR PUSTAKA

Al-Talib, Hisyam. (1996). Panduan Latihan Bagi Juru Dakwah. Media Da’wah: Jakarta.

Effendi, Onong Uchjana., DRS. M.A. (1986). Dinamika Komunikasi. Remadja Karya: Bandung.

Panuju, Redi., Drs. MSI (2001). Komunikasi Organisasi, dari Konseptual Teoritis ke Empirik. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Rousydiy, Lathief., T.A., (1985). Dasar-dasar Rherorica, Komunikasi dan Informasi. Firma Rimbow: Medan.

Sensa, Muhammad Djarot. (2005). Komunikasi Qur’aniyah, Tadzabur Untuk Pensucian Jiwa. Pustaka Islamika: Bandung.











KOMUNIKASI DAN BERBICARA EFEKTIF

Berkaitan dengan komunikasi, agar dapat berkomunikasi dengan baik Hisyam Al-Talib memberikan panduan sebagai berikut:
  1. Komunikasi yang ampuh datang dari kekuatan dalam. Jangan coba menguasai orang lain dengan paksa.
  2. Bergaullah dengan setiap orang dalam pekerjaan, perkemahan, atau kelompok Anda. Kurangnya waktu bukanlah alasan.
  3. Gunakan waktu istirahat Anda bertemu dengan orang yang berbeda. Rencanakan untuk makan bersama dengan orang lain. Anda akan membina hubungan yang sangat berarti dengan setiap orang dalam waktu yang singkat.
  4. Jangan menunggu orang yang lambat dalam suatu pertemuan. Jika anda lakukan, Anda mengajar mereka bahwa terlambat adalah boleh-boleh saja, demikian juga berarti menghukum orang yang datang lebih awal.
  5. Uraikan dengan kata-kata sendiri pesan yang Anda dengar itu untuk memastikan penyampaian dan penerimaan yang tepat.
  6. Ingatlah semakin banyak yang kita fahami, semakin banyak yang mampu kita atur. Semakin kurang kita memahami semakin banyak kita memanipulir.
  7. Ketika sampai ketahap penafsiran, Rasulullah Saw. mengajarkan kita supaya mencari tujuh puluh alasan perlakuan buruk orang lain, dan jika sekiranya tidak ada satu alasan pun yang betul, mungkin ada penafsiran yang belum kita ketahui. 

Khusus komunikasi lisan (kebanyakan menggunakan rethorica), dapat dikatakan memiliki efek atau hasil yang sukses menurut Rousydiy apabila komunikan  memiliki ciri sebagai berikut;
  1. Telah merasa seperti yang dirasakan oleh pembicara.
  2. Telah berfikir dengan cara dan seperti pemikiran pembicara.
  3. Telah dapat memahami/mengerti dengan baik isi pesan (ide) yang dikemukakan oleh pembicara.
  4. Telah sepaham atau sependapat dan mendukung isi pesan yang disampaikan.
  5. Telah yakin akan kebenaran ide yang dikemukakan oleh pembicara.
  6. Telah bertindak mengamalkan atau melaksanakan isi pesan yang dimaksud.
  7. Dan last but and least, telah bersedia berjuang dan berkorban untuk membela atau mempertahankan kebenaran isi pesan (message) yang diungkapkan oleh pembicara.

FIKIH DAKWAH

Loading



FIKIH DAKWAH[1]
Fathurrahman Kamal, Lc., M.S.I.[2]


A. Pengertian, Hakekat, Fungsi dan Tujuan Dakwah
Secara etimologis, dakwah berasal dari bahasa Arab “دعوة” dari kata دعا- يدعو yang berarti “panggilan”, “ajakan” atau “seruan”. Ism Fail­-nya ialah dai/daiyah (mufrad) dan duat (jama).
Ibnu Manzhur dalam kamus Lisan Al-‘Arab mengatakan : duat adalah orang-orang yang mangajak manusia untuk bersumpah-setia (baiat) pada petunjuk atau kesesatan. Bentuk tunggalnya adalah dai atau daiyah, yang artinya orang yang mengajak kepada agama atau bidah. Dalam kata daiyah, huruf “ha” berfungsi sebagai mubalaghah (superlatif). Nabi SAW juga disebut sebagai dai Allah SWT. Demikian pula seorang muadzin disebut sebagai dai, dan Nabi SAW adalah dai umat atau yang mengajak mereka kepada tuhidullah dan taat kepadaNya.[3]
Atas dasar itulah kemudian, istilah dai dan daiyah bermakna orang yang mengajak kepada petunjuk atau kesesatan. Makna semacam ini dipertegas oleh hadis Nabi SAW berikut ini : (lihat fikih dakwah Jumah…26)
Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jawziyah menjelaskan bahwa setiap dai memiliki ciri khasnya sendiri, tergantung pada apa yang didakwahkannya. Ketika kata tersebut disandarkan kepada lafdz al-jalalah (الله) sehingga menjadi “داعي الله” maka ia mengandung spesifikasi makna dan aksentuasi tersendiri; yakni para daI yang khusus menyeru kepada agama Allah SWT, beribadah kepadanya, marifat serta mahabbah kepadaNya. Mereka itu adalah “khawwash khalqillah” (makhluk Allah SWT yang istimewa), termulia dan tertinggi kedudukan dan nilainya di sisi Allah SWT.[4]
Menurut Syaikh Jumah Amin Abdul Aziz, dai ilallah adalah orang yang berusaha untuk mengajak manusia, dengan perkataan dan perbuatannya, kepada Islam, menerapkan manhaj­nya, memeluk akidahnya serta melaksanakan syariatnya.[5]
Beberapa nash (teks) berikut ini menunjuk kepada makna (dawah) ; menyeru dan menganjurkan manusia untuk iltizam dan menggembirakan mereka dengan Islam serta mengarahkan mereka kepadanya dengan berbagai media dan metode yang sesuai dengan prinsip syariah.
Al-Ahzab ayat 45-46 :
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا. وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيرًا  ( بمعنى : داعيا إلى توحيد الله و طاعته)
Al-Ahqaf ayat 31 :
يَاقَوْمَنَا أَجِيبُوا دَاعِيَ اللَّهِ وَءَامِنُوا بِهِ يَغْفِرْ لَكُمْ مِنْ ذُنُوبِكُمْ وَيُجِرْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ (بمعنى : أطيعوا ماطلب منكم عمله والتزموا ماجاء به الرسول فى اللكتاب من الهداية)
Yunus ayat 25 :
وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلَامِ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ ( بمعنى : يوجه الإنسان إلى ما به يدخل الجنة، ويحثه على ذلك ويدفعه إليه بكل وسيلة تحقق هدايته، فهو سبحانه وتعالى لعلمه بضالة الدنيا أمام دار السلام رغب الناس فى الاهتمام بالدائم، وجعل الزائل فى خدمته وعدم الخطأ فى التقدير.)
An-Nahl ayat 125 :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Al-Hajj ayat 67 :
لِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا هُمْ نَاسِكُوهُ فَلَا يُنَازِعُنَّكَ فِي الْأَمْرِ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ إِنَّكَ لَعَلَى هُدًى مُسْتَقِيمٍ
Hadis Rasulullah SAW :
من دعا إلى هدى ؛ كان له من الأجر مثل أجور من تبعه ؛ لا ينقص ذلك من أجورهم شيئا ومن دعا إلى ضلالة ؛ كان عليه من الإثم مثل آثام من تبعه ؛ لا ينقص ذلك من آثامهم شيئا[6]
Dengan penjelasan etimologis ini, Thayyib Barghuts, dalam karyanya “Manhaj Al-Nabiy fi Himayat al-Dakwah” mendefinisikan “dakwah” sebagai berikut :
“Sebuah kerja keras yang sistematis dan terstruktur bertujuan untuk mengenalkan hakekat Islam kepada semua manusia; melakukan sebuah perubahan yang mendasar dan seimbang dalam kehidupan mereka dengan jalan menunaikan segala kewajiban kekhalifahan untuk mencari ridla Allah dan menggapai kemenangan yang dijanjikanNya kepada orang-orang yang shalih dalam kehidupan akherat.”[7]

Dalam perspektif tafsir maudluiy (tematik), Dr. Mohammad Ali Aziz, dalam bukunya “ Ilmu Dakwah” menjelaskan bahwa, dalam Al-Quran, kata “dawah” ditemukan sebanyak 46 kali; 39 kali dalam arti mengajak kepada Islam dan kebaikan, dan 7 kali mengajak kepada neraka atau kejahatan. Secara terminologis, setelah mendata seluruh kata “dawah”, dakwah Islam dapat didefinisikan sebagai kegiatan mengajak, mendorong, dan memotivasi orang lain berdasarkan bashirah untuk meniti jalan Allah SWT dan istiqamah di jalanNya serta berjuang bersama meninggikan agama Allah SWT.
Kata “mengajak”, “mendorong” dan “memotivasi” merupakan kegiatan dakwah yang berada dalam lingkup tabligh. Kata “bashirah” untuk menunjukkan bahwa dakwah harus dengan ilmu dan perencanaan yang baik. Kalimat “meniti jalan Allah SWT” untuk menunjukkan tujuan dakwah yaitu mardlatillah. Kalimat “istiqamah di jalanNya” untuk menunjukkan dakwah yang berkesinambungan. Sedangkan kalimat “berjuang bersama meninggikan agama Allah SWT” untuk menunjukkan bahwa dakwah bukan hanya untuk menciptakan kesalehan pribadi, tetapi juga harus menciptakan kesalehan sosial.[8]
 Syaikh Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya “Maallah” mengatakan bahwa dakwah adalah program pelengkap yang meliputi semua pengetahuan yang dibutuhkan manusia, untuk memberikan penjelasann tentang tujuan hidup serta menyingkap rambu-rambu kehidupan agar manusia mengetahui apa yang dibolehkan dan apa yang dilarang.
Menurut Prof. H M Amien Rais : Dakwah pada pokoknya berarti ajakan atau panggilan yang diarahkan pada masyarakat luas untuk menerima kebaikan dan meninggalkan keburukan. Dakwah merupakan usaha untuk menciptakan situasi yang lebih baik sesuai dengan ajaran Islam di semua bidang kehidupan. Dipandang dari kacamata dakwah, kehidupan manusia merupakan suatu kebulatan. Sekalipun kehidupan dapat dibedakan menjadi beberapa segi, tetapi dalam kenyataan kehidupan itu tidak dapat dipisah-pisahkan.[9]

Hakekat dan Sifat Dasar Dakwah Islam
1) Dakwah Islam adalah ajakan yang tujuannya dapat tercapai tanpa paksaan (persuasif).
لاإِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ[10]
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ[11]
إِنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ لِلنَّاسِ بِالْحَقِّ فَمَنِ اهْتَدَى فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَمَا أَنْتَ عَلَيْهِمْ بِوَكِيلٍ[12]
2) Dakwah Islam adalah seruan untuk berfikir, berdebat dan berargumen dengan kebenaran (rasional-intelektual). Dakwah bukan kegiatan indoktrinasi dan dogmatis.
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ[13]
3) Dakwah Islam adalah universal, diserukan kepada semua umat manusia.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ[14]
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ[15]
قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ[16]
4) Dakwah merupakan tugas mulia yang mesti dilaksaakan dengan sungguh-sungguh dan kontinyus.
قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلًا وَنَهَارًا. فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِي إِلَّا فِرَارًا. وَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوا أَصَابِعَهُمْ فِي ءَاذَانِهِمْ وَاسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَأَصَرُّوا وَاسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًا. ثُمَّ إِنِّي دَعَوْتُهُمْ جِهَارًا. ثُمَّ إِنِّي أَعْلَنْتُ لَهُمْ وَأَسْرَرْتُ لَهُمْ إِسْرَارًا. فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا[17]
5) Dakwah kepada al-haq akan selalu berhadapan dengan dakwah kepada al-bathil
وَيَا قَوْمِ مَا لِي أَدْعُوكُمْ إِلَى النَّجَاةِ وَتَدْعُونَنِي إِلَى النَّارِ. تَدْعُونَنِي لِأَكْفُرَ بِاللَّهِ وَأُشْرِكَ بِهِ مَا لَيْسَ لِي بِهِ عِلْمٌ وَأَنَا أَدْعُوكُمْ إِلَى الْعَزِيزِ الْغَفَّارِ[18]
6) Jalan dakwah tidak mulus, sarat dengan rintangan
أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَبَأُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ قَوْمِ نُوحٍ وَعَادٍ وَثَمُودَ وَالَّذِينَ مِنْ بَعْدِهِمْ لَا يَعْلَمُهُمْ إِلَّا اللَّهُ جَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَرَدُّوا أَيْدِيَهُمْ فِي أَفْوَاهِهِمْ وَقَالُوا إِنَّا كَفَرْنَا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ وَإِنَّا لَفِي شَكٍّ مِمَّا تَدْعُونَنَا إِلَيْهِ مُرِيبٍ[19]
7) Dakwah Islam bukan pemabawa psikotrapik.
Dakwah bukalah suatu pekerjaa magis, ilusi atau usaha untuk menyenangkan kesenangan atau bentuk-bentuk sikotepia lainnya. Atas dasar ini –dakwah Islam tidak dilakukan denga psikotrapik- maka, mengalihka agama seseorang yang sadar dengan cara-cara magic, mistis, atau kimiawi meruakan tindakan tidak bermoral.[20]



B. Fungsi dan Tujuan Dakwah Islam
Agar aktivitas dakwah yang kita lakukan selalu berada pada flatform yang semestinya, sebagaimana yang telah dipaparkan pada tinjauan terminologi sebelumya, fungsi dan tujuan dakwah perlu ditegaskan sebagai berikut :
1) Menyebarkan Islam dan ajaran tauhid kepada semua manusia, sebagai individu ataupun masyarakat, sehingga mereka merasakan Islam rahmatan lil-‘alamin.
2) Menumbuhkan kesadaran tentang kewajiban eksistensial manusia di dunia; menunaikan amanah kekhalifahan di bumi.
3) Menunaikan kewajiban mengamalkan perintah-perintah Allah dan mengikuti sunnah Rasul-nya, Nabi Muhammad saw., menjauhi segala larangan-larangan guna mendapat karunia dan ridha-nya di dunia dan akhirat, dan untuk mencapai masyarakat yang sentausa dan bahagia, disertai nikmat dan rahmat Allah yang melimpah-limpah, menuju baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
4) Melestarikan nilai-nilai Islam dari generasi ke generasi di kalangan umat Islam. Meluruskan akhlaq manusia, amar maruf dan nahi munkar, mengeluarkan manusia min al-dzulumat ila al-nur.
5) Menumbuhkan kesadaran tentang kehidupan akherat sebagai terminal akhir eksistensi kehidupan manusia di dunia. Pewarisan surga sebagai cita-cita tertinggi kehidupan mereka.

C. Perintah Dakwah dalam Al-Quran dan Sunnah
1) An-Nahl ayat 125
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
2) Alu Imran ayat 110
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
3) Al-Taubah ayat 71
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Pada Al-Taubah ayat 67, Allah SWT menerangkan sifat orang-orang munafiq sebagai berikut :
الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
4) Al-Maidah ayat 78-79
لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ. كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
5) Al-‘Ashr ayat 1-3
وَالْعَصْرِ. إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ. إِلَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
6) Hadis Riwayat Imam Bukhari rahimahullah
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ رَضِي اللَّه عَنْه قَالَ خَطَبَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ النَّحْرِ قَالَ أَتَدْرُونَ أَيُّ يَوْمٍ هَذَا قُلْنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ فَسَكَتَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ سَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ قَالَ أَلَيْسَ يَوْمَ النَّحْرِ قُلْنَا بَلَى قَالَ أَيُّ شَهْرٍ هَذَا قُلْنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ فَسَكَتَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ سَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ فَقَالَ أَلَيْسَ ذُو الْحَجَّةِ قُلْنَا بَلَى قَالَ أَيُّ بَلَدٍ هَذَا قُلْنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ فَسَكَتَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ سَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ قَالَ أَلَيْسَتْ بِالْبَلْدَةِ الْحَرَامِ قُلْنَا بَلَى قَالَ فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا إِلَى يَوْمِ تَلْقَوْنَ رَبَّكُمْ أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ قَالُوا نَعَمْ قَالَ اللَّهُمَّ اشْهَدْ فَلْيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ فَلَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ
7) Hadis riwayat Imam Muslim rahimahullah
قَالَ أَبُو سَعِيدٍ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
8) Hadis riwayat Imam Tirmidzi rahimahullah
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ

D. Keutamaan Dakwah dalam Al-Quran dan Sunnah
1)                    Fushshilat ayat 33
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
2)                    Al-Ahzab ayat 45-46; profesi yang sangat mulia pada diri Rasulullah SAW
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا. وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيرًا
3)                    Hadis riwayat Imam Muslim rahimahullah
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
4)                    Sabda Rasulullah SAW kepada Ali Bin Abi Thalib (Muttafaq ‘alaihi) :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فَوَاللَّهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ
5)                    Hadis riwayat Imam Tirmidzi rahimahullah
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ
E. Hukum Menunaikan Dakwah
Sejatinya menunaikan tugas dakwah merupakan kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah. Dakwah dapat dilaksanakan secara individu ataupun kolektif (jamaah). Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW :
قال الله تعالى : وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُون[21]
     قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ[22]
  Dr. Abdul Karim Zaidan memandang bahwa meaksanakan dakwah secara kolektif dan terorganisir merupakan satu keharusan (dlarury) ketika para dai menghadapi permasalahan dakwah yang lebih kompleks, karena jelas, kondisi semacam ini tidak dapat diselesaikan dengan daya juang perseorangan yang bercerai-berai. Penegasan ini terbaca ada sirah Nabawiyah, ketika beliau SAW memerintahkan setiap orang yang baru saja masuk Islam untuk bergabung dan berhijrah ke Darul Hijrah agar kerja keras mereka semakin solid dan berada dibawah arahan Rasulullah SAW secara langsung.[23] Hal ini diteguhkan pula oleh Firman Allah dalam Al-Maidah ayat 2 berikut ini :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
  Sebagian umat Islam berpendapat bahwa dakwah tidak wajib atas setiap muslim dan muslimah. Status hukum melaksanakan dakwah ialah wajib kifayah bagi para ulama dan agamawan. Mereka mengatakan, konteks perintah berdakwah dalam surat Alu Imran ayat 104 tidak menunjuk kepada keseluruhan umat Islam, tetapi bagi sebagian saja di antara mereka. Karena  منكم” di sini, bermakna ”تبعيض (menunjuk makna sebagian).
  Penjelasan dan bantahan atas pandangan tersebut, menurut Zaydan, dapat merujuk kepada pedapat Ibnu Katsir yang memaknai ayat tersebut sebagai “seyogyanya ada sekelompok di antara umat ini yang secara spesifik (meghadapi tatangan-tantangan dakwah yang lebih kompleks), meskipun ia bersifat wajib atas setia individu umat Islam sesuai dengan kemampuannya masing-masing.”
Al-Imam Al-Razy dalam tafsirnya megatakan bahwa kata ”منكم” yang terdapat dalam ayat 104 dari surah Alu Imran  menunjuk kepada makna ‘penjelasan (تبيـين) dan tidak bermakna sebagian (تبعيض), berdasarkan dua alasan; 1) bahwasanya Allah mewajibkan amar maruf nahi munkar kepada semua umat dalam surat Alu Imran ayat 110; dan 2) tidak ada seorang mukallafpun kecuali wajib atas diriya amar maruf nahi munkar, sesuai dengan kemampuan dan kafasitasnya, bi al-yad aw bi al-lisan aw bi al-qalb. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa makna ayat 104 dari surah Alu Imran tersebut ialah ”jadilah kalian sebagai umat yang menyeru kepada kebaikan, memerintahkan yang maruf dan mencegah yang munkar.”[24]
Dalam pandangan penulis, sebagai jalan tengah perbedaan pendapat tersebut, ada baiknya kita megambil makna yang tersirat dalam gagasan Imam Ibnu Katsir yang telah dikemukakan di atas. Artinya, dalam perkara-perkara dakwah yang mampu dilakukan oleh setiap individu umat maka dakwah menjadi kewajiban idividual (wajib ‘ainy). Sementara dalam berbagai permasalahan dakwah yang lebih rumit dan kompleks serta membutuhkan kerja kolektif dan sinergis antar individu dan jamaah umat atau juga membutuhkan media dan sarana yang lebih berat maka, dalam konteks ini, dakwah bersifat kifayah.

F. Tauhid Sebagai Grand Design  Dakwah Para Nabi dan Rasul ‘alaihimussalam
  Menurut para ahli Sosiologi Agama, masyarakat primitive hidup dalam kesederhanan dalam berbagai aspek; aspek materi maupun aspek keyakinan (teologis). Pada dasarnya hidup mereka sangat tergantung pada alam yang ada di sekitar mereka karena alamlah sebagai satu-satunya sumber penghidupan. Oleh karena itu bagi mereka alam merupakan factor yang sangat dominan. Namun kenyataan yang mereka alami kadangkala tidak bersahabat. Air yang diasumsikan sebagai sesuatu yang sangat vital dan bermanfaat menjelma sebagai sesuatu yang mengerikan; banjir longsor yang menelan korban. Tanah subur menghijau, tiba-tiba bergoyang dan menghancurkan harta benda mereka. Kenyataan tersebut menimbulkan sebuah keyakinan pada diri mereka bahwa alam memiliki kekuatan yang melebihi kekuatan mereka. Masing-masing masyarakat menanggulangi berbagai peristiwa tersebut dengan caranya masing-masing yang unik.
Pada zaman mesir kuno, sungai Nil yang banjir dianggap sebagai roh yang sedang marah. Untuk membujuk agar roh tersebut tidak marah, maka dikorbankanlah seorang anak gadis yang paling cantik. Dari sinilah muncul kepercayaan bahwa setiap benda di sekeliling manusia mempunyai kekuatan misterius. Kekuatan ghaib tersebut disebut orang jepang (kami), India (hari & shakti), Pigmi di Afrika (oudah), orang Indian Amerika (waken, orenda dan maniti). Dalam bahasa Indonesia (tuah, bertuah).[25]Kepercayaan ini dikenal sebagai dinamisme.
Kepercayaan pada kekuatan gaib tersebut di atas meningkat menjadi kepercayaan kepada roh, yang kemudian populer sebagai animisme. Kepercayaan ini mengalami tahapan perkembangan. Pada awalnya mereka meyakini bahwa semua benda alam memiliki roh. Dari sekian roh yang mereka yakini, terdapat roh yang kuat yang dapat menimbulkan pengaruh pada alam. Benda yang dianggap paling kuat itulah kemudian yang dijadikan symbol penyembahan dan peribadatan.[26]Pada masyarakat politeisme kepercayaan tersebut  tidak langsung kepada benda, tetapi abstraksi atau fungsi benda itu yang ditakuti dan disembah.[27]
Prof Dr Ismail Raji al-Faruqi, yang dikenal sebagai tokoh yang populer dengan gagasan “Islamisasi Ilmu Pengetahuan” yang kemudian dibunuh oleh agen Rahasia Yahudi Mossad menjelaskan bahwa, di Makkah, juga diseluruh jazirah Arabia sebelum kerasulan dan kenabian Muhammad SAW, “Allah” adalah dikenal sebagai  nama dewa yang paling sering disebut dan yakini sebgai “pencipta dari semua”, “penguasa langit dan bumi” Bahkan dalam al-quran dijelaskan dalam surat Al-‘Ankabut  ayat 61 :
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ[28]
 Tetapi, fungsi dan tugas operasional Allah tersebut didelegasikan dan diambil alih oleh dewa-dewa lain yang lebih kecil; pengaruhnya yang luar biasa dinyatakan dalam symbol Bulan dan matahari. Dengan demikian muncullah simbolisasi yang dapat mewakili sifat ketuhanan tersebut. Allatseorang dewi yang digambarkan sebagai anak perempuan Allah diidentifikasikan dengan symbol matahari, dan sebagian yang lain rembulan. “Al-‘Uzza” dimitoskan sebagai anak Tuhan yang kedua yang dihubungkan dengan planet Venus; “Manat”, anak perempuan ketiga, mewakili nasib yang dialami oleh manusia.”Wudd” dimitoskan sebagai lambang cinta Tuhan, “Yaghuts” lambang pertolongan Tuhan, “Yauq” lambang perlindungan Tuhan dan “Suwa” lambang penerapan siksa yang pedih. Bahkan Dewa “Hubal” yang paling menonjol disekitar Kabah pada masa Jahiliah mempunyai tangan yang terbuat dari emas.[29]
Selain bentuk kemusyrikan tersebut, dalam tradisi Arab dikenal pula keyakinan-keyakinan tertentu seperti; sihir, tanjim (perbintangan), nusyrah (melawan sihir dengan sihir), “tathayyur” (meramal nasib baik/buruk dengan media burung), “Tamaim” (jimat; sesuatu yang dikalungkan di leher anak-anak untuk menangkal penyakit, atau pengaruh jahat tertentu), “wadaah” (sesuatu yang diambil dari laut, menyerupai rumah karang dapat digunakan untuk menangkal penyakit) dll., kesemua hal ini diharamkan oleh Islam.
 Mencermati berbagai fenomena tersebut, tampak bahwa problema yang dihadapi oleh manusia dan akan selalu aktual sepanjang sejarah, di setiap waktu dan tempat, ialah permasalahan “kemusyrikan”/”politeisme” dan bukan permasalahan “Ateisme.” Oleh karena itulah yang menjadi ajaran/doktrin pokok para Nabi dan Rasul sepanjang sejarah ialah membebaskan manusia dari perbudakan kesyirikan. Inilah yang menjadi grand design dakwah mereka seperti yang dinyatakan oleh Allah dalam surat An-Nahl : 36
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ[30]
Prinsip tauhid itulah yang diformmulasikan oleh Rasulullah SAW dalam “kalimatut tauhid” : إلا الله    x لاإله. Kalimatut tauhid mengandung dua komponen utama yakni “menegasikan” (nafyu) dan “afirmasi” (itsbat), tiada yang berhak disembah kecuali Allah SWT.
Suatu ketika, di masa Rasulullah SAW, terjadi peristiwa gerhana yang kebetulan bersamaan dengan meninggalnya putera Rasulullah SAW, Ibrahim. Sebagian sahabat mengaitkan gerhana tersebut dengan kematian Ibrahim. Rasulullah SAW menjelaskan :
إن الشمس والقمر آيتان من آيات الله لايخشفان لموت أحد ولا لحياته فإذا رأيتم ذلك فادعواالله وكبروا وتصدقوا وصلوا [31]
 Dengan penalaran yang lain, dapat dijelaskan bahwa ajaran Islam yang didakwahkan oleh Rasulullah SAW adalah kelanjutan dari dakwah para nabi dan rasul sebelumnya; mengajak manusia untuk meninggalkan “fase mitologi” menuju fase yang lebih bermartabat yang berbasis pada ilmu dan pengetahuan.

G. Dakwah Muhammadiyah
Sebagaimana flatform dan grand design dakwah para Nabi dan Rasul tersebut di atas, Persyarikatan Muhammadiyah sebagai salah satu di antara jamaah-jamaah di Indonesia, juga mengikuti jejak mereka. Setidaknya, flatform dakwah Muhammadiyah tertuang dalam berbagai dokumen da keputusan resmi Persyarikatan; Mukadimah Anggaran Dasar, MKCH, Jati Dir, HPT, Pedoman Hidup Islami dan lain-lain.
Sebagai penyegaran ingatan kita semua, ada baiknya penulis tampilkan kembali  pernyataan jati diri dan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, untuk memperkokoh materi Fikih Dakwah ini.

      Jati diri Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah suatu Persyarikatan yang merupakan “Gerakan Islam”. Maksud gerakan ialah Dakwah Islam dan amar maruf dan nahi munkar yang ditujukan kepada dua bidang: perseorangan dan masyarakat
Dakwah dan amar maruf nahi munkar pada bidang pertama terbagi menjadi dua golongan :
a. Kepada yang telah Islam bersifat pembaruan (tajdid), yaitu mengembalikan kepada ajaran-ajaran Islam yang asli murni;
b. Kepada yang belum Islam, bersifat seruan dan ajakan untuk memeluk agama Islam.
 Adapun dakwah Islam dan amar maruf nahi munkar bidang kedua ialah kepada masyarakat, bersifat perbaikan, bimbingan dan peringatan.
Kesemuanya itu dilaksanakan dengan bermusyawarah atas dasar taqwa dan mengharap keridhaan Allah semata-mata.
Dengan melaksanakan dakwah Islam amar maruf nahi munkar dengan caranya masing-masing yang sesuai. Muhammadiyah menggerakkan masyarakat menuju tujuan ialah mewujudkan masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhai Allah subhanahu wataala.

Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH)[32]
1) Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan Dakwah Amar Maruf Nahi Munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Quran dan Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang diridhoi Allah s.w.t. untuk melaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khaifah Allah di muka bumi.
2) Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada RasulNya, sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad s.a.w. sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spiritual, duniawi dan ukhrawi.
3) Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan :
·        Al-Quran : Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w.
·        Sunnah Rasul : Penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Al-Quran yang diberikan oleh Nabi Muhammad s.a.w. ; dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.
4) Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang :
·         Aqidah
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya akidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bidah dan khurafat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam.
·         Akhlak
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlaq mulia dengan berpedoman ajaran-ajaran Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia.
·         Ibadah
Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW, tanpa tambahan dan perubahan dari manusia.
·         Muamalah Duniawiyah
Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya muamalat dunyawiyah (pengelolaan dunia dan pembinaan masyarakat) berdasarkan ajaran Agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah SWT.
5) Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan negara Republik Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,     untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur dan diridhoi Allah  SWT (Surah Saba ayat 15) :
H. Sistem Dakwah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘sistem berarti : perangkat unsure yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.[33]
Adapun system dakwah yang peulis maksud ialah, sejumlah unsur dan perangkat dalam kegiatan dakwah yang saling terkait (integral) untuk mencapai tujuan dan target dakwah. Beberapa unsur penting dalam kegiatan dakwah sebagi berikut :
1) Dai
a. Kompetensi dai.[34] Maksudnya ialah, sejumlah pemahaman, pengetahuan, penghayatan da perilaku serta keterampilan tertetu yang harus ada pada diri dai agar dia dapat melaksanakan fungsinya dengan baik.

1. Kompetensi subtantif: pemahaman Islam yang cukup, tepat dan benar; berakhlaq karimah; mengetahui perkembangan pengetahua umjum yang relative luas (tsaqafah); pemahaman hakekat dakwah; mencintai madu (mitra/peerima dakwah); mengenal kondisi lingkungan dakwah.

Diantara akhlak/kepribadian dai ialah : ikhlas; Amanah; Shidq/jujur dalam perkataan, iat dana kehedak, tekad, janji dan bekerja; rahmah, rifq dan hilm; Sabar; hirsh; tsiqah (kepercayaan yang teguh bahwa Allah SWT akan meampakan ebearan agamaNya); wayu (kesadaran untuk terus menambah bekal dakwah).

2. Kompetensi metodologis: kemampuan melakukan idetifikasi permasalahan dakwah yang dihadapi; kemampuan untuk mendapatkan iformasi mengenai cirri-ciri obyektif dan subyektif obyek dakwah serta kondisi lingkungannya; kemampua menyusun langkah perecanaan dakwah yang dapat menjadi problem solving bagi masyarakat; kemampuan untuk merealisasikan perencanaan dakwah.  

2) Maduw (mitra dakwah). Mereka terdiri dari berbagai macam golongan dan kelompok manusia. Ini berimplikasi pada model, metode, materi dakwah dll., yang variatif tergantung pada kondisi obyektif maduw. Di antaranya;
a. Segi sosiologis ; Masyarakat terasing, pedesaan, kota kecil dan kota besar, serta masyarakat marjinal dari kota besar.
b. Struktur kelembagaan negara; eksekutif, yudikatif, legislatif
c. Segi tingkatan ; anak-anak, remaja dan orang tua.
d. Segi kelamin; kelamin ; Laki-laki dan perempuan.
e. Segi agama; ; Islam dan kafir atau non muslim
f. Segi kultur keberagamaan; ; Islam dan kafir atau non muslim
g. Segi profesi da mata pencaharian ; mata pencaharian ; Petani, peternak, pedagang, nelayan, karyawan, buruh dll.
h. Struktur ekonomi; Golongan kaya, menegah, dan miskin
i. Segi khusus; khusus ; Golongan masyarakat tuna susila, tuna netra, tuna rungu, tuna wisma, tuna karya, dan narapidana.
j. Masyarakat seniman; Komunitas masyarakat seniman, baik seni musik, seni lukis, seni pahat, seni tari, artis, aktris dll.
3)  Materi Dakwah; sistematika Akidah, ibadah, muamalah dan akhlaq (tazkyatun Nufus).
4) Wasail (Media dakwah) : akhlaq dai, ini yang utama (perkataan yang hidup, actio speaks leader than a word); lisan (ceramah, peyuluhan, konsultasi dll), tulisan (buku, bulletin, majalah, koran dll) audio-visual (TV, internet, lcd dll.)
5) Thariqah (metode dakwah); hikmah, mawidzah hasaah, al-jadal bi al-ahsan.
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ[35]
6) Atsar (efek dakwah)
a. Kognitif, setelah menerima pesan dakwah, mitra dakwah (maduw) akan menyerap isi dakwah tersebut melalui proses berfikir, dan efek kogitif ini bisa terjadi apabila ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami, dan dimengerti oleh maduw tentang isi pesan yang diterimanya.
b. Apektif, efek ini adalah merupakan pengaruh dakwah berupa perubahan sikap, emosi dan tata nilai maduw setelah menerima pesan. Sikap adalah sama degan proses belajar dengan tiga variabel sebagai penunjangya, yaitu; perhatian, pengertian dan peerimaan.
c. Behavioral, efek ini merupakan suatu bentuk efek dakwah yang berkenaan dengan pola tingkah laku maduw secara nyata dalam merealisasikan materi dakwah yang telah diterima dalam pola tindakan, kegiatan, tindakan dan prilaku sehari-hari.[36] 
7) Pendekatan Dakwah (approach)[37]
a. Pendekatan Sosial, sebuah cara adang bahwa maduw sebagai makhluk sosial. Model pedekatannya; pendidikan, budaya, politik, ekonomi.
b. Pendekatan psikologis terdiri dari dua aspek pandangan :
1. Maduw diadag sebagai makhluk yang memiliki kelebihan dibanding degan makhluk lainnya. Oleh karena itu ia harus dihadai dengan pedekatan persuasif, hikmah da kasih sayang.
2.  Kenyataan bahwa, disamig maduw memiliki kelebihan ia juga memiliki kekurangan dan keterbatasan. Ia gagal mengkomunikasikan tentang diriya karena berbagai problema dan kesulitan hidup. Nah, pendekatan psikologis ini diperlukan oleh maduw yang membutuhkan pemecahan masalah rohani, baik dengan bimbingan, penyuluhan, curhat dll.
8) Sarana dan dana dakwah
        Agar dakwah kita mampu menciptakan / membangun kondisi yang kondusif, maka Muhammadiyah perlu meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana dan media dakwahnya. Misalnya dalam rangka penguatan SDI  perlu sarana untuk melakukan kaderisasi mubaligh seperti lembaga pendidikan kader dan pelatihan mubaligh (pesantren, fakultas agama, pusdiklat mubaligh, system kaderisasi mubaligh dsb.). Sarana transportasi untuk pengiriman mubaligh atau dai seperti mobil, motor, kapal jika mungkin pesawat. dsb. Sarana komunikasi dan penyiaran seperti majalah, bulletin, surat kabar, telepon, radio, tv, web site, internet. Sarana untuk pertemuan seperti masjid, gedung pertemuan dsb. .
        Dana, meskipun bukan yang terpenting, tetapi merupakan hal yang sangat penting. Keberhasilan dakwah Nabi dan para sahabat, para khulafaur rasyidin, para mubaligh yang menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia (termasuk ke Indonesia), para pendiri organisasi Islam),  dan dakwah Islam lainnya antara lain ditentukan oleh tersedianya dana. Jika dana cukup kemungkinan keberhasilan dakwah adalah lebih besar. Sebaliknya jika tidak tersedia  dana, biasanya dakwah menjadi tersendat. Dana diperlukan untuk menyiapkan kader dai / mubaligh, untuk pengiriman mubaligh ke berbagai daerah, untuk  biaya hidup / gaji mubaligh, untuk jaminan kesehatan mubaligh, untuk menyediakan sarana dan prasarana dan untuk membiayai operasional dakwah seperti penerbitan buku, majalah,  pendirian dan dana opersional radio, surat kabar dsb.[38]
9) Manajemen dakwah (Materi tersendiri)

I. Beberapa Kaidah Dakwah[39]
1) Memberi keteladanan sebelum berdakwah
2) Mengikat hati sebelum mejelaskan
3) Mengenalkan sebelum memberi beban
4) Bertahap dalam memberi beban
5) Memudahkan, bukan menyulitkan
6) Yang pokok (ushul) sebelum yang cabang (furu)
7) Membesarkan hati sebelum memberi ancaman (targhib qabla tarhib)
8) Kita mendidik maduw, bukan memamerkan kesalahanya.

والله أعلم بالصواب
Budi Mulia Bateng III, Kamis 19 Juli 2007



[1] Makalah dipresentasikan pada Pelatihan Muballighat Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah, di Hotel Dwi Warna Yogyakarta.
[2] Anggota Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Periode : 2005-2010 / Mudir Lembaga Bahasa Arab “Mahad Ali Bin Abi Thalib” Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
[3] Ibnu Manzhur, Lisan Al-Arab XIV, hlm. 259
[4] Ibnu Qayyim Al-Jawziyah, Miftah Dar Al-Saadah.
[5] Jumah Amin Abdul Aziz, Fiqih Dakwah : Studi atas Berbagai Prinsip dan Kaidah yang Harus Dijadikan  Acuan Dalam Dakwah Islamiyah, Terj. Abdus Salam Masykur (Solo: Intermedia, 2005), hlm. 27
[6] Al-Albany, Silsilah Al-Ahadits Al-Shahihah, Jilid II, hlm. 522. Hadis No. 865. Lihat al-Maktabah al-Syamilah
[7] Thayyib Barghuts, Manhaj Al-Nabiy fi Himayat al-Dakwah wa Al-Muhafadhah ‘ala Munjazatiha Khilal al-Fatrah al-Makkiyah (Virginia USA: IIIT, 1995), hlm. 64-67
[8] Dr. Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 3-4
[9] HM Amien Rais, “Dakwah Menghadapi Era Informasi” dalam Kata Pengantar pada “Dakwah Islam Kontemporer : Tantangan dan Harapan (Yogyakarta : MTDK-PPM, 2004), hlm. v
[10] Al-Baqarah : 256
[11] Al-Kahf : 29
[12] Al-Zumar : 41
[13] Al-Nahl : 125
[14] Saba: 28
[15] Al-Anbiya : 107
[16] Al-Araf : 158
[17] Nuh : 5-10
[18] Ghafir : 41-42
[19] Ibrahim : 9
[20] Beberapa permasalahan ini dianalisa dan dirangkum dari buku ”Ilmu Dakwah” karya Dr. Moh. Ali Aziz (sesuai dengan persepsi dan pemahaman penulis)
[21] Alu Imran : 104
[22] HR Muslim
[23] Abdul Karim Zaydan, Ushul al-Dakwah (Beirut: El-Risalah Publisher, 1420), hlm. 310-311
[24] Abdul Karim Zaydan, Ushul…hlm. 311-312
[25] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. II, hlm. 58-59
[26] Ibid. hlm. 66
[27] Ibid. hlm. 67
[28] Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah", maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)
[29] Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hlm. 76-77
[30] Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).
[31] HR Bukhary
[32]  Keputusan Tanwir 1969 di Ponorogo
[33] Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indoesia (Jakarta: Balaipustaka, 1995), hlm. 950
[34] Yunahar Ilyas, “Revitalisasi Dakwah Intern Muhammadiyah” dalam MTDK, Dakwah Islam Kontemporer...hlm.8-9
[35] An-Nahl : 125
[36] Dr. Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah…hlm. 141-142
[37] Ibid…hlm. 143-148
[38] M. Sukriyanto A.R., Strategi Dakwah Muhammadiyah (Makalah pada sekretariat MTDK-PPM 2005-2010)
[39] Jumah Amin Abdul Aziz, Fiqih Dakwah :…hlm. 175-381