MODUL
KULIAH 4
KONSEP HAJI
M. Mustaqim Fadhil, M.SI
Pendahuluan
Modul ini
merupakan modul Ke-4 dari 10 modul mata kuliah AIK-2. Haji (al-hajju) secara bahasa berarti al-qashdu (menyengaja, menu-
ju, maksud). Secara istilah, haji adalah pergi menuju Makkah dengan maksud mengerjakan ibadah thawaf, sai, wuquf di arafah, bermalam di Muzdalifah,
Mabit di Mina
dan ibadah-ibadah lain pada
waktu-waktu yang telah ditentukan
untuk memenuhi perintah Allah dan menghara- pkan
ridha-Nya. Umrah adalah mengunjungi Makkah untuk mengerja- kan thawaf, sai, kemudian tahallul untuk memenuhi perintah Allah dan mengharapkan keridhaan-Nya. Umrah haji
harus dilaksanakan pada musim haji
yang sudah ditentukan. Sedangkan umrah sunnah dapat dilakukan kapan saja sepanjang tahun. Ibadah Haji adalah salah
satu dari rukun Islam yang lima dan
wajib dilaksanakan oleh setiap muslim mukallaf
(baligh dan berakal) merdeka, dan mempunyai kesanggupan (istithaah).
Sejarah Haji dalam
Islam bermula dari ribuan tahun yang lalu. Pada masa Nabi Ibrahim
AS (1861 — 1686 SM), yang merupakan keturunan Sam Bin Nuh AS (3900 — 2900 SM). Literatur-literatur yang ada dalam
khasanah Islam menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim AS lahir di Ur-Kas- dim, sebuah kota penting di Mesopotamia,
selanjutnya Nabi Ibrahim tinggal di sebuah
lembah di negeri Syam.
Ibnu Kholawaih
berkata, “Haji mabrur adalah haji yang maqbul (haji yang diterima).” Ulama yang lainnya mengatakan, “Haji mabrur
adalah haji yang tidak tercampuri
dengan dosa.” Pendapat ini dipilih oleh An Nawawi.
Para pakar fiqh
mengatakan bahwa yang dimaksud haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori dengan kemaksiatan pada saat melaksanakan
rangkaian manasiknya. Sedangkan Al Faro berpendapat bah- wa haji mabrur adalah jika sepulang haji
tidak lagi hobi bermaksiat. Dua
pendapat ini disebutkan oleh Ibnul Arabi. Al Hasan Al Bashri rahi- mahullah mengatakan, “Haji mabrur adalah
jika sepulang haji menjadi orang yang zuhud dengan dunia dan merindukan
akherat.” Al Qurthubi rahimahullah menyimpulkan, “Haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori
oleh maksiat saat melaksanakan manasik
dan tidak lagi gemar bermaksiat setelah pulang haji.”
Masing-masing kajian ini akn dibahas tersendiri secara mendalam pada modul ini.
Dalam modul ini kita akan mengkaji hakekat, sejarah
dan Haji Mabrur
serta mengkaji hikmah dan makna spiritual haji. Setelah menguasai modul ini, mahasiswa dapat menjelaskan dan
memahami pengertian hakekat, sejarah
dan Haji Mabrur serta mengkaji hikmah dan makna spiritual haji. Secara lebih khusus setelah mempelajari modul ini
anda diharapkan dapat menjelaskan dan memahami:
• Hakekat Haji
• Sejarah Haji
• Haji Mabrur
•
Hikmah dan Makna Spiritual
Haji
Modul ini dibagi
dalam 2 Kegiatan Belajar (KB):
Kegiatan belajar 1 : Hakekat, Sejarah
dan Haji Mabrur Kegiatan belajar
2 : Hikmah dan Makna Spiritual Haji
Agar dapat
berhasil dengan baik dalam mmepelajari modul ini, ikuti- lah petunjuk belajar
sebagai berikut:
•
Bacalah dengan cermat
bagian pendahuluan modul ini sampai anda
memahami untuk mempelajari modul ini, dan bagaimana cara mempelajarinya
•
Bacalah modul ini
secara seksama dan kerjakan semua latihan yang ada
•
Perhatikan
contoh-contoh yang diberikan pada setiap kegiatan belajar
•
Mantapkan
pemahaman Anda melalui diskusi dengan kelompok belajar
anda.
Hakekat, Sejarah Dan Haji Mabrur
A.
Hakikat Haji
Haji (al-hajju) secara bahasa berarti al-qashdu
(menyengaja, menu- ju, maksud). Secara istilah, haji adalah
pergi menuju Makkah dengan maksud mengerjakan ibadah thawaf, sai, wuquf di arafah, bermalam di Muzdalifah,
Mabit di Mina
dan ibadah-ibadah lain pada
waktu-waktu yang telah ditentukan
untuk memenuhi perintah Allah dan mengharap-
kan ridha-Nya.
Umrah adalah mengunjungi Makkah
untuk mengerjakan thawaf, sai, kemudian tahallul untuk memenuhi perintah Allah dan mengharapkan keridhaan-Nya. Umrah haji harus
dilaksanakan pada musim haji yang sudah
ditentukan. Sedangkan umrah sunnah dapat dilakukan kapan saja sepanjang tahun.
Ibadah Haji adalah
salah satu dari rukun Islam yang lima dan wajib dilaksanakan oleh setiap muslim mukallaf (baligh dan berakal) merde- ka, dan mempunyai kesanggupan (istithaah), berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya: Padanya terdapat tanda-tanda
yang nyata, (diantaranya) ma- qam
Ibrahim; barangsiapa memasukinya (baitullah itu) menajdi aman- lah dia; mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu
(bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.
Barangsiapa
mengingkiari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu)
dari semesta alam(QS. Ali Im- ran 3:97)
Istithaah atau kesanggupan melaksanakan haji dinilai dari
berbagai macam aspek:
1. Finansial: Memiliki cukup uang untuk membayar biaya iba- dah haji, yang untuk kasus Indonesia
jumlahnya setiap tahun ditentukan
oleh Pemerintah berdasarkan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dalam biaya itu sudah termasuk living cost (biaya hidup selama melaksanakan ibadah haji). Bagi yang mempunyai tanggungan keluarga di tanah air, kesanggupan financial juga termasuk meninggalkan uang untuk biaya hidup keluarga selama ditinggalkan.
2. Kesehatan: Cukup sehat
untuk melaksanakan ibadah
haji. Tidak menjadi
syarat harus sehat secara sempurna,
yang penting tidak
memiliki halangan kesehatan untuk melaksanakan ibadah
haji.
3. Keamanan: terjamin keamanan baik dalam perjalanan maupun selama berada di makkah dan tempat-tempat
ibadah haji lainn- ya.
4. Transportasi: tersedia alat transportasi yang diperlukan, baik udara, laut ataupun
darat.
5. Kuota
: Karena jumlah calon jamaah haji dari seluruh
dunia su- dah melebihi kapasitas
tanah suci menampungnya maka kera- jaan
Arab Saudi menetapkan kuota 1/1000 bagi setiap Negara. Artinya dari setiap 1000 orang penduduk diberi jatah satu orang untuk melaksanakan ibadah haji. Jika
penduduk Muslim Indo- nesia 225juta
jiwa, maka kuota Indonesia adalah 225.000 jiwa
setiap tahun. Sekalipun syarat 1-4 sudah terpenuhi, tetapi jika tidak mendapatkan kuota seseorang belumlah
masuk kategori sanggup atau isthithaah.
6. Tidak ada halangan syari lainnya, misalnya ada
orang tua yang sudah uzur atau
keluarga sakit yang tidak bisa ditinggal atau
halangan lainnya yang dibenarkan oleh agama.
Kewajiban haji
bagi yang sanggup hany asatu kali seumur hidup, berdasar hadis dari abu Hurairah RA bahwa Rasullah SAW berkhutbah:
Artinya: “Wahai umat manusia,
Allah telah mewajibkan
haji atasmu, maka
tunaikanlah”. Seorang laki-laki bertanya:” Apakah setiap tahun wahai rasullah?” Nabi diam hingga orang
itu mengajukan pertanyaan- nya tiga
kali. Kemudian Nabi bersabda: “Andainya aku katakana ya maka akan menjadi wajib, sedang kalian tidak akan sanggup
melaku- kannya”. Lalu sabda Nabi lagi : “ Biarkanlah, jangan kalian minta-minta apa yang tidak aku sebutkan. Sesungguhnya yang membuat orang dahulu celaka adalah karena mereka banyak
bertanya dan berselisih dengan
nabi-nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu, lakukan sekuat tenagamu, jika aku larang maka
tinggalkanlah” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
B.
Sejarah Haji
Sejarah Haji dalam
Islam bermula dari ribuan tahun yang lalu. Pada masa Nabi Ibrahim
AS (1861 — 1686 SM), yang merupakan keturunan Sam Bin Nuh AS (3900 — 2900 SM). Literatur-literatur yang ada dalam
khasanah Islam menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim AS lahir di Ur-Kas- dim, sebuah kota penting di Mesopotamia,
selanjutnya Nabi Ibrahim tinggal di sebuah
lembah di negeri Syam.
Ketika sudah memasuki usia senja, Nabi Ibrahim belum juga dikaruniai keturunan. Sang istri (Sarah)
sangat sedih melihat keadaan ini dan
meminta Nabi Ibrahim untuk menikahi Hajar. dari Hajar inilah Allah mengkaruniai Ibrahim seorang anak
bernama Ismail. Dan Sar- ah tidak
mampu memendam rasa pilunya karena tidak mendapatkan keturunan sepanjang perkawinannya dengan Nabi Ibrahim
AS.
Nabi Ibrahim AS
kemudian mengadukan permasalahannya kepada Allah.
Lalu Allah perintahkan Nabi Ibrahim membawa Ismail bersama Hajar untuk menjauh dari Sarah. Nabi
Ibrahimpun bertanya : “Yaa Al- lah, kemana aku harus membawa keluargaku ?”
Allah berfirman :“Bawalah ke tanah
Haram-Ku dan pengawasan-Ku, yang merupakan daratan pertama Aku ciptakan di permukaan bumi yaitu Mekkah.”
Kemudian
Jibril membawa Hajar, Ismail dan Nabi Ibrahim
AS. Setiap kali Nabi Ibrahim AS melewati suatu
tempat yang memiliki ladang kur- ma
yang subur, ia selalu meminta Jibril untuk berhenti sejenak. Teta- pi Jibril selalu menjawab, “teruskan lagi”
dan “teruskan lagi”. Sehing- ga
akhirnya sampailah di Mekkah dan Jibril mereka di posisi Kabah, dibawah sebuah pohon yang cukup melindungi
Hajar dan anaknya Is- mail dari terik
matahari.
Selanjutnya Nabi
Ibrahim AS bermaksud pulang kembali ke negeri
Syam menemui Sarah istri pertamanya. Hajar merasa sedih karena akan ditinggalkan oleh suami tercintanya.
“Mengapa menempatkan kami disini.
Tempat yang sunyi dari manusia
, hanya gurun
pasir, tiada air dan tiada tumbuh-tumbuhan ?” tanya
Hajar sambil memeluk erat bayinya, Ismail.
Ibrahim menjawab:“Sesungguhnya Allah yang memerintahkanku menempatkan kalian di sini”.
Lalu Ibrahim
beranjak pergi meninggalkan mereka. Sehingga sam- pai di bukit Kuday yang mempunyai lembah, Ibrahim berhenti
sejenak dan melihat kepada keluarga
yang ditinggalkannya. Dia lalu berdoa, seperti yang diabadikan dalam Al Quran.
Allah berfirman mengulan- gi doa Nabi Ibrahim AS : ” Yaa Tuhan kami, sesungguhnya aku
telah menempatkan sebahagian
keturunanku di lembah yang tidak mempu- nyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Yaa Tuhan Kami (yang demikian itu) agar
mereka mendirikan shalat. Maka
jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rizki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS Ibrahim : 37).
Setelah Ibrahim
pergi, tinggal seorang diri Hajar bersama bayinya yang bernama Ismail. Hingga ketika sinar matahari mulai
menyengat Ismail, Ismail pun menangis
karena kehausan. Hajar pun panik untuk mencari
minum untuk Ismail. Nalurinya sebagai Ibu, sangatlah gigih dalam mencari air untuk bayinya. Ketika ia
ke bukit Shafa, ia tak men- emukan
air, pergi ke bukit Marwa pun juga tak menemukan air. Hajar mulai bertambah paniknya, sampai-sampai ia
tak sadar kalau sudah tujuh kali keliling bolak-balik antara bukit Shafa
dan bukit Marwa.
Tetap saja, ia tak
menemukan air juga.
Ketika Hajar
berada di bukit Marwa, ia heran melihat Ismail yang tiba-tiba berhenti menangis.
Ternyata, yang menyebabkan Ismail menangis adalah
air yang tiba-tiba muncul dan mengalir di bawah kaki Ismail. Hajar pun lari kegirangan karena melihat air itu, ia langsung ber-
lari ke arah Ismail. Karena terlalu senangnya, ia pun berusaha meng- gali pasir itu, membendung air yang
mengalir sambil melafazkan kali- mat, “Zam… Zam…” kalimat
tersebut yang artinya
adalah Menampung. Di sinilah
sejarah air zam-zam terjadi.
Hingga beberapa
waktu kemudian, lewatlah Kabilah Jurhum di seki- tar tempat tersebut. Saat mereka berjalan
ke bukit Arafah,
mereka me- lihat kerumunan burung terbang di atas
udara. Mereka meyakinkan bahwa itu tanda adanya
sumber air.
Setelah tiba di
tempat burung-burung beterbangan, mereka terkes- ima ketika melihat seorang wanita bersama bayinya di bawah pohon dengan aliran air yang begitu banyak. Tak
lain itu adalah Hajar dan Ismail. Mereka pun mendekati Hajar dan Ismail.
“Siapakah Anda dan
siapakah bayi mungil yang ada dalam gen- dongan Anda itu? Tanya kepala suku Jurhum kepada
Hajar. Hajar pun menjawab,
“Saya adalah Ibu dari bayi ini. Ia anak kandung dari Ibra- him as yang diperintahkan oleh Tuhannya
menempatkan kami di wadi ini.”
Dengan jawaban Hajar yang demikian, dan adanya sumber air di sekitar itu, kepala suku Jurhum pun
meminta izin kepada Hajar untuk tinggal
bersama rombongannya di seberang tempat Hajar bersinggah. “Tunggulah sampai Ibrahim datang. Saya
akan meminta izin kepadan- ya.” Hajar menjawab permohonan izin dari kepala
Suku Jurhum.
Tiga hari kemudian, nabi Ibrahim as pun datang.
Ia langsung melihat
kondisi Ismail dan Hajar. Dan Hajar pun tak lupa langsung meminta
izin kepada Ibrahim
as supaya para Kabilah Jurhum
untuk tinggal dan men- jadi tetangganya. Nabi Ibrahim as
mengizinkan Kabilah Jurhum untuk menjadi
tetangganya. Hingga berselang beberapa waktu, dan pada kesempatan berziarah selanjutnya, Ibrahim melihat kondisi
tempat itu, ternyata sudah
mulai ramai oleh keturunan bangsa Jurhum. Nabi
Ibrahim as pun merasa senang karena melihat perkembangan tempat tersebut. Hingga Ismail beranjak remaja,
Hajar pun hidup bertetangga dengan bangsa
Jurhum dengan tentram
dan rukun.
Hingga
Allah SWT memerintahkan kepada Ibrahim as untuk memba-
ngun Kabah di posisi Qubah yang
sudah diturunkan Allah kepada Nabi Adam
as pada masa dulu. Tapi, nabi Ibrahim tidak mengetahui posisi Qubah itu di mana. Karena,
pada masa nabi Nuh as, dan peristiwa ban- jir besar datang,
Allah telah mengangkat kembali Qubah tersebut.
Jadi, saat itu, Ibrahim
as tidak melihat
Qubah itu sama sekali. Allah SWT pun mengutus
malaikat Jibril untuk memberikan petunjuk kepada Ibrahim as di mana letak posisi Kabah harus dibangun. Dan Jibril
mematuhi perintah Allah, ia datang
dengan membawa beberapa bagian Kabah dari surga. Ismail yang saat itu berusia remaja
membantu ayahnya un- tuk
membangun Kabah.
1.
Kabah Dibangun
Setelah Kabah dibangun oleh Ismail dan Ibrahim hingga mencapai 7 hasta, Jibril memberikan petunjuk di
mana posisi Hajar Aswad dil- etakkan. Setelah Hajar Aswad diletakkan dengan benar, Ibrahim
pun melanjutkan pembangunan tersebut dengan membuat 2
pintu Kabah, yang mana pintu pertama
menghadap ke Timur dan pintu ke dua meng- hadap
ke Barat.
Waktu demi waktu
telah dilalui oleh Ismail dan Ibrahim dalam mem- bangun Kabah. Hingga pada akhirnya Kabah tersebut telah
rampung. Mereka pun melaksanakan
ibadah Haji. Di waktu inilah, ibadah Haji pertama kali dilakukan.
Pada tanggal 8
Dzulhijjah, Jibril kembali turun ke bumi untuk men- yampaikan pesan kepada Ibrahim as. Ibrahim diminta untuk mendis- tribusikan air zam-zam ke beberapa tempat
sekitarnya seperti Mina dan Arafah.
Sehingga, di sinilah hari tersebut dinamakan dengan hari Tarawiyyah. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah pendistribusian air.
Pembangunan Baitullah
dan Pendistribusian Air Zam-zam telah usai, Ibrahim
as pun berdoa kepada Allah
yang diabadikan ke dalam Al Quran
(QS. Al Baqarah;126).
Dan (ingatlah ketika Nabi Ibrahim
berdoa;
“Yaa Tuhanku,
jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada penduduknya yang
beriman di antara mereka kepada Allah dan
hari kemudian.
Allah berfirman;
“Dan
kepada orang yang kafir pun aku beri kesenangan sementara, kemu- dian aku paksa ia menjalani siksa neraka
dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.”
Sejak saat itulah,
Ibadah Haji mulai dilakukan oleh kaum Muslimin
dan Muslimah. Mereka berhaji dengan berziarah ke Kabah setiap ta- hunnya. Hal ini sebagai tanda cinta dan
hormat kepada risalah Nabi Ibrahim as
dan Nabi Ismail as, serta para Nabi dan Rasul setelah keduanya. Karena mereka
berdua terus melakukan
ibadah ini di setiap tahunnya. Namun, sayangnya pada periode
tokoh Mekkah yaitu Am- mar bin Luhay,
ibadah haji seperti dikotori dengan kehadiran patung dan berhala. Hal ini sangat disayangkan oleh para kaum Muslimin
dan Muslimah. Di masa Ammar bin Luhay,
Ibrahim as sudah
wafat.
2.
Keberadaan Berhala
di Sekitar Kabah
Tokoh Ammar bin Luhay merupakan orang yang pertama kali menye- barkan ajaran menyembah berhala di
seluruh Jazirah Arab. Dialah yang
bertanggung jawab merubah ajaran tauhid menjadi menyembah berhala. Sejak itu, orang-orang Arab
meletakkan patung dan berhala yang
mereka anggap sebagai tuhan di sekitar Kabah. Bahkan seba- gian kabilah Mekkah mempunyai mata
pencaharian sebagai pembuat patung dan berhala.
Mereka tetap
memperbolehkan kabilah atau kelompok lain untuk menunaikan haji ke Baitullah, tanpa membedakan agama dan keper- cayaan. Para pemeluk agama tauhid termasuk
agama Masehi, masih terus menjalankan
ritual haji ke Kabah. Saat itu, kondisi Kabah sangat memprihatinkan. Dindingnya dipenuhi puisi dan lukisan. Bahkan
lebih dari 360 berhala terdapat di sekitar Kabah.
Selama periode
haji itu, suasana di sekitar Kabah layaknya seperti sirkus. Laki-laki dan perempuan mengelilingi Kabah dengan
telanjang. Mereka menyatakan harus
menampilkan diri dihadapan Allah dalam kondisi
yang sama seperti saat lahir. Doa mereka menjadi bebas tak lagi tulus mengingat
Allah. Bahkan berubah
menjadi serangkaian tepuk
tangan,bersiul, dan meniup
terompet dari tanduk hewan.
Kalimat talbiah
(Labbaika Allahumma Labbaik) telah diselewengkan oleh mereka dengan kalimat tambahan yang berbeda maknanya.
Leb- ih parah lagi, darah hewan
kurban dituangkan ke dinding Kabah dan dagingnya
digantung di tiang sekitar Kabah. Mereka punya keyakinan bahwa Allah menuntuk daging dan darah tersebut. Mengenai hal ini Allah Swt
mengingatkan dengan firmannya:
“Daging-daging unta dan darahnya
itu sekali-kali tidak
dapat menca- pai (keridhaan) Allah, tetapi Ketaqwaan dari kamulah yang dapat men- capainya.”
(QS.Al-Hajj :37)
Para peziarah
bebas bernyanyi, minum arak, melakukan zina, dan perbuatan amoral lainnya.
Lomba puisi adalah bagian utama dari seluruh rangkaian haji. Dalam kompetisi ini,setiap penyair akan memu- ji keberanian dan kemegahan sukunya.
Mereka menyampaikan cerita yang
berlebihan,kepengecutan, dan kekikiran suku-suku lainnya. Ada juga kompetisi dalam “kemurahan hati”.
Masing-masing kepala suku akan
menyediakan kualibesar dan memberi makan para peziarah. Tu- juannya
agar bisa menjadi
terkenal karena kemurahan hati mereka.
Mereka telah meninggalkan, menodai
dan menyelewengkan aja-
ran suci Nabi Ibtahim as yang mengajak
menyembah Allah semata.
Keadaan menyedihkan itu berlangsung
selama kuarng lebih dua ribu tahun.
Ammar bin Luhay adalah orang yang mengotori sucinya
ibadah Haji, ia yang
menyebarkan pertama kali untuk menyembah berhala di seluruh Jazirah Arab. Yang awalnya penduduk Arab menganut ajaran tauhid, menjadi menyembah berhala,
dalangnya adalah Ammar. Maka dari itu, sejak itu penduduk Arab
berbondong-bondong meletakkan be- berapa
patung sebagai berhala yang dianggapnya sebagai Tuhan di sekitar Kabah. Bahkan
saat itu, ada beberapa orang
yang memutuskan untuk bekerja sebagai
pemahat patung.
Para pengikut
Ammar memperbolehkan pengikut
Ibrahim untuk tetap beribadah haji ke Baitullah tanpa
membedakan agama dan ke- percayaan. Hingga
para pemeluk agama tauhid dan juga agama Mase- hi tetap terus menjalankan ibadah Haji
ke Kabah. Pada masa itu pun, Kabah dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Di dinding-dindingnya tertempel beberapa puisi dan lukisan
bahkan terdapat lebih dari 360 berhala
terpasang di sekitar Kabah. Sungguh ironis! Sehingga, sekitar Kabah
seperti arena sirkus saat
itu.
Hingga beberapa
waktu kemudian, ritual haji menjadi amburadul.
Laki-laki dan perempuan mengelilingi Kabah dengan tanpa pakaian sehelai pun atau telanjang bulat. Mereka
berpikir bahwa menghadap ke Tuhan
Allah dengan menampilkan diri layaknya lahir di dunia ini. Bahkan doa mereka tak tulus seperti yang
dulu, hingga doa berubah menjadi
siulan, tepukan tangan, tiupan musik dan tari-tarian. Hal ini semua karena diselewengkan oleh umat Ammar.
Tak hanya itu,
mereka juga menyelewengkan kalimat talbiah (Lab- baika Allahumma Labbaik). Mereka
menyelewengkan dengan menam- bahkan
beberapa kalimat, hingga maknanya menjadi
berubah. Terlebih dari itu, mereka menuangkan darah kurban ke dinding Kabah dan bah- kan
beberapa daging kurban digantung-gantungkan ke tiang sekitar Kabah. Mereka berpikir bahwa dengan
melakukan hal demikian, Allah akan menerima pengurbanan mereka.
Dengan adanya
fenomena tersebut, akhirnya Allah berfirman untuk mengingatkan kepada
mereka. Firman Allah ini telah
diabadikan ke da- lam Al Quran yaitu Surah Al Haj
ayat 37,
“Daging-daging
unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi
Ketaqwaan dan kamulah
yang dapat mencapainya.”
Pada masa itu,
para peziarah bukannya berdoa kepada Allah, mer- eka malah asyik
bernyanyi, melakukan zina,
minum-minuman arak, hingga
melakukan perbuatan yang tercela lainnya. Dalam rangkaian haji saat itu, lomba puisi adalah acara
intinya. Dalam lomba tersebut, para
peziarah berusaha unjuk diri dengan memamerkan puisi-puisin- ya. Puisi-puisinya pun tak lain adalah pujian-pujian tentang keberanian dan kehebatan sukunya, dan cerita
berlebihan seperti kepengecutan, kekikiran suku lainnya.
Tak hanya lomba
puisi, dalam rangkaian kegiatan ritual haji pada masa itu, juga terdapat lomba murah hati, yang mana lomba
tersebut diwarnai dengan memberikan
kuali besar dan memberi makan kepada para peziarah,
agar mereka dikenal
sebagai orang yang murah hati.
Pada masa itu,
penduduk Arab benar-benar menodai dan menyele-
wengkan ajaran Nabi Ibrahim as yang semata-semata hanya menyem- bah Allah. Telah diketahui, bahwa fenomena menyedihkan tersebut
tel- ah berlangsung hingga dua ribu tahun lamanya.
3.
Haji dan Umrah Zaman
Rasulullah SAW
Tetapi setelah
periode panjang ini, terjawablah doa Nabi Ibrahim as yang tercantum
dalam Al-Quran :
Artinya:
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rosul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat- Mu dan mengajarkan kepada mereka Al
Kitab (Al Quran) dan Al Hik- mah (As
Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkau- lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Albaqarah : 129)
Nabi Muhammad
tidak hanya membersihkan Kabah dari segala ko-
toran, tetapi juga mengembalikan kemurnian ibadah haji sesuai tun- tunan Allah
sejak jaman Nabi Ibrahim
AS.
Allah SWT mengutus
Nabi Muhammad SAW sebagai jawaban atas doa Nabi Ibrahim
AS tersebut. Selama 23 tahun Nabi Muhammad
SAW menyebarkan pesan
Tauhid, pesan yang sama seperti yang dibawa Nabi
Ibrahim AS dan semua Nabi pendahulunya, untuk menegakkan hukum Allah dimuka bumi.
Terdapat perintah
khusus dalam Al Quran yang diturunkan dalam rangka
menghilangkan semua upacara palsu yang telah merajalela pada masa sebelum
Islam. Semua tindakan
tidak senonoh dan mema- lukan itu sangat dilarang sebagaimana
dalam pernyatan Allah dalam Al Quran
:
“Musim haji adalah
beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa menetapkan
niatnya dalam bualn itu akan mengerjakan haji, maka ti- dak diperbolehkan rafats
(mengeluarkan perkataan yang menimbulkan birahi yang tidak senonoh atau
bersetubuh), berbuat fasik dan berban- tah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.”
(QS Al Baqarah : 197)
Rasululloh SAW
memerintahkan para sahabat yang mampu teru- tama
kaum Anshar (pribumi Madinah) yang tidak dikenali oleh orang- orang Mekkah, untuk menunaikan ibadah haji
sesuai dengan manasik Nabi Ibrahim AS. Mereka tidak mengerjakan amalan-amalan yang berhubungan dengan penyembahan berhala.
Ketika kembali dari haji, kaum Anshar
melapor kepada Rasululloh SAW bahwa mereka
menger- jakan sai dengan keraguan. Ditengah masa (jalur
sai) antara Shafa dan Marwa terdapat dua berhala besar Asaf
dan Nailah. Oleh karena itu turunlah wahyu
Allah SWT yaitu :
Artinya: ”
Sesungguhnya Shafa dan Marwa itu sebagian dari sy- iar-syiar Allah. maka barangsiapa berhaji ke baitullah atau
berkunjung (umrah), tidak salah
baginya untuk bolak balik pada keduanya. Dan
barangsiapa menambah kebaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pembalas
Syukur lagi Maha Mengetahui. ” (QS. Al Baqarah
: 158)
Ayat inilah yang
akan sering dibaca oleh para jamaah haji ketika melakukan sai.
Pada bulan April 628 M (Dzulkaidah 6 H) Rasululloh bermimpi menunaikan
umrah ke Mekkah. Beliau mengajak para shahabat untuk mewujudkan mimpi tersebut. Rasululloh dengan disertai 1.500
shaha- bat berangkat menuju Mekkah,
mengenakan pakaian ihram dan mem- bawa hewan-hewan kurban.
Kaum musyrikin
Quraisy mengerahkan pasukan untuk menghalan-
gi, sehingga rombongan dari Madinah tertahan di Hudaibiyyah, 20 km disebelah
barat laut Mekkah.
Kaum Quraisy
mengutus Suhail Ibn Amr untuk berunding dengan
Rasululloh. Suhail mengusulkan antara lain kesepakatan genjatan sen- jata dan kaum muslimin harus menunda
Umrah dengan kembali ke Madinah.
Tetapi tahun depan akan diberikan kebebasan melakukan Umrah dan tinggal
selama 3 hari di Mekkah.
Rasululloh SAW menyetu-
jui perjanjian ini meskipun para shahabat banyak
yang kecewa.
Secara singkat isi
perjanjian tersebut kelihatannya merugikan kaum muslimin, tetapi sesungguhnya secara politis sangat menguntungkan bagi kaum
muslimin.
Perjanjian
Hudaibiyyah merupakan salah satu tonggak penting da- lam sejarah Islam karena untuk pertama kalinya
kaum Quraisy di Mekkah mengakui kedaulatan kaum Muslimin di Madinah.
Dalam perjalanan pulang ke Madinah,
turunlah wahyu Allah sebagai berikut :
“Sungguh Allah akan memenuhi mimpi RasulNya dengan sebe- nar-benarnya. , bahwa kamu akan memasuki
Masjidil Haram insya Allah dengan
aman. Kamu akan mencukur kepalamu atau menggu-
nting rambut (menyelesaikan umroh) dengan tidak merasa takut. Dia mengetahui apa yang tidak kau ketahui dan
DIA menjadikan selain itu sebagai kemenangan yang dekat.” (QS Al Fath
: 27)
Sesuai dengan
perjanjian Hudaibiyah, tahun berikutnya (Maret 629 Masehi atau Zulkaidah 7 Hijriyah) Rasullah
Saw. beserta para sahabat untuk pertama kalinya melakukan umrah ke
Baitullah. Ketika rombon- gan Rosulullah Saw yang berjumlah sekitar 2.000 orang
memasuki pe- lataran
Kabah untuk melakukan
tawaf, orang-orang Mekkah
berkumpul menonton di bukit
Qubais dengan berteriak bahwa kaum Muslimin ke- lihatan letih dan pasti tidak kuat berkeliling tujuh putaran.
Mendengar ejekan ini, Rasulullah Saw bersabda kepada para jamaahnya, “Marilah kitatunjukan
kepada mereka bahwa kita kuat. Bahu kanan kita terbuka dari kain ihram,
dan kita lakukan
tawaf sambil berlari!”
Sesudah mencium
hajar Aswad, Rasulullah Saw, dan para sahabat
memulai tawaf dengan berlari-lari mengelilingi Kabah sehingga para pengejek akhirnya bubar. Pada putaran
keempat setelah orang-orang usil
diatas bukit Qubai pergi, Rasulullah mengajak para sahabat ber- henti berlari dan berjalan seperti biasa.
Inilah latar belakang beberapa sunah tawaf di kemudian
hari : bahu kanan yang terbuka (idhthiba) ser- ta berlari-lari kecil pada tigaputaran pertamakhusus pada
tawaf yang pertama.
Selesai tujuh
putaran, Rasulullah Saw, Shalat dua rakaat di Makom Ibrahim, kemudian minum air Zamzam dan akhirnya melakukan
tahal- ul (menghalalkan kembali) atau membebaskan diri dari larangan-laran- gan ihram , dengan menyuruh Khirasy mencukur kepala beliau.
Ketika masuk waktu dzuhur,
Rasulullah Saw menyuruh Bilal ibn Rabah naik
ke atap Kabah untuk mengumandangkan azan.
Suara adzan Bilal
menggema ke segenap penjuru sehingga orang- orang
Mekkah berkumpul kearah “suara aneh” yang baru pertama kali mereka dengar. Kaum Musyrikin
menyaksikan betapa rapinya saf-saf kaum Muslimin
yang sedang shalat
berjamaah. Hari itu, 17 Zulkaidah 7 hijriyah (17 Maret
629M), untuk pertama kalinya azan berkumandang
di Mekkah dan Nabi Muhammad Saw. menjadi imam shalat di depan Kabah.
Sesuai dengan
isi Perjanjian Hudaibiyyah, Rasululloh SAW dan para shahabat yang hanya tiga hari berada di Mekkah, kembali ke Madi- nah. Tetapi Umrah tiga hari yang dilakukan
kaum Muslimin di Mekkah menimbulkan
kesan yang mendalam bagi orang-orang Quraisy. Tiga orang terkemuka Quraisy yaitu Khalid Bin Walid, Amru Bin Ash dan Utsman Bin Thalhah, menyusul ke Madinah
untuk mengucapkan ka- limat syahadat.
Di kemudian hari pada masa Kekhalifahan Umar Bin Khattab RA (634 — 644 M), Khalid Bin Walid RA memimpin pasukan Islam membebaskan Suriah dan Palestina,
serta Amru Bin Ash RA membebaskan Mesir dari kekuasaan
Romawi. Utsman Bin Thalhah RA dan
keturunannya kelak diberi kepercayaan oleh Rasululloh untuk me- megang kunci Kabah.
Sampai hari ini,
meskipun yang menguasai dan memelihara Kabah
berganti hingga Dinasti Saudi sekarang, kunci Kabah tetap dipegang oleh keturunan
Utsman Ibn Thalhah RA dari Bani Syaibah.
Beberapa bulan
sesudah Rasulullah SAW umrah, kaum Quraisy me- langgar
perjanjian gencatan senjata sehingga pada 20 Ramadhan 8 H (11 Januari 630 M) Rasululloh beserta
sekitar 10.000 pasukan menak- lukan Mekkah tanpa ada pertumpahan darah. Bahkan, Rasululloh memberikan amnesti kepada warga Mekkah yang dahulu memusuhi Muslimin.
“Tiada balas
dendam bagimu hari ini. Semoga Allah mengampuni kalian dan Dia Paling Penyayang diantara para penyayang“,
demikian sabda Rasululloh SAW
mengutip ucapan Nabi Yusuf AS yang tercan- tum
dalam Surat Yusuf ayat 92. Akibatnya, seluruh kaum Quraisy ma- suk Islam.
Kemudian turunlah Surat An Nashr :
“Tatkala datang
peretolongan Allah dan kemenangan, engkau meli- hat manusia masuk kedalam agama Allah berbondong-bondong. Maka
bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan memohon apunlah ke- padaNya.
Sesungguhnya Dia Maha Penerima Taubat”.
(QS An Nashr
: 1-3)
Dengan jatuhnya
kota Mekkah ke tangan Ummat Islam, kemudian Rasululloh SAW memerintahkan pemusnahan berhala-berhala diseke- liling Kabah, dan membersihkan Ibadah
Haji dari unsur-unsur kemusy- rikan serta
mengembalikannya kepada syariat
Nabi Ibrahim yang asli.
Pada tahun 8 H, Rasululloh SAW melakukan Umroh 2 kali yaitu keti-
ka menaklukan Mekkah serta ketika beliau pulang dari perang Hunain. Ditambah dengan umroh pada tahun
sebelumnya berarti Rasululloh sempat
melakukan Umroh 3 kali sebelum beliau mengerjakan ibadah Haji pada tahun 10
H.
Pada bulan
Dzulhijjah 9 H (Maret 631 M) Rasululloh mengutus sha- habat Abu Bakar Ash Shiddiq
untuk memimpin Ibadah
Haji. Rasululloh sendiri
tidak ikut karena
beliau sibuk dalam menghadapi perang
Tabuk melawan Pasukan Romawi.
Abu Bakar Ash
Siddiq mendapatkan perintah untuk mengumumkan
Dekrit yang baru saja diterima
oleh Rasuluuloh SAW. Dekrit terse-
but menyatakan bahwa mulai tahun depan kaum musyrikin dilarang mendekati
Masjidil Haram dan menunaikan ibadah
haji karena sesung-
guhnya mereka bukanlah
penganut ajaran nabi Ibrahim AS.
Dekrit tersebut dikeluarkan Rasululloh berdasarkan firman Allah :
“Wahai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya orang-orang mu-
syrik itu najis (kotor jiwa) karena itu janganlah mereka mendekati Mas- jidil Haram setelah tahun ini. Dan jika
kamu khawatir menjadi miskin (karena
orang kafir tidak datang) maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya jika
Dia menghendaki. Sesung- guhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana”. (QS At Taubah : 28)
4. Haji Wada Rasululloh Saw
Pada tahun 10 H
(632 M) Semenanjung Arabia telah dipersatukan
dibawah kekuasaan Nabi Muhammad SAW yang berpusat di Madinah dan seluruh penduduknya telah memeluk
agama Islam. Maka pada bulan Syawal
Rasululloh mengumumkan bahwa beliau sendiri yang akan memimpin Ibadah Haji tahun itu. Berita ini disambut hangat
oleh seluruh ummat dari segala
penjuru. Sebab mereka berkesempatan mendampingi
Rasululloh dan menyaksikan setiap langkah beliau da- lam melakukan manasik
(tata cara) haji.Setelah melewati periode yang
cukup panjang, doa Ibrahim as pun akhirnya terjawab di zaman Ra- sulullah SAW. Doanya telah diabadikan ke
dalam kitab Al Quran yaitu surah Al Baqarah ayat 129.
Artinya:
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalan- gan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayatMu dan menga- jarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran)
dan Al Hikmah (As Sunnah) serta mensucikan mereka.
Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.”
Di masa Muhammad SAW, beliau tidak hanya membersihkan Kabah dari
kotoran-kotoran daging dan darah kurban yang menempel, me- lainkan
beliau juga membersihkan noda dari ritual
haji dan memurnikan kembali ibadah haji seperti sediakala yaitu sesuai tuntutan
Allah SWA sejak jaman
Nabi Ibrahim as.
Allah SWT telah
mengutus Nabi Muhammad SAW untuk menjadi jawaban atas permohonan Nabi Ibrahim as. Hingga 23 tahun Nabi Mu- hammad SAW telah menyebarkan ajaran
Tauhid ke berbagai pelosok. Pesan
tauhid yang sama halnya dengan pesan yang telah disebarkan oleh nabi-nabi terdahulu untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi
ini.
Bahkan, juga
terdapat pesan khusus yang diturunkan untuk meng- hilangkan penyelewengan atau ajaran yang tidak benar mengenai
iba- dah haji. Pesan tersebut telah
termaktub dalal Al Quran yaitu Surah Al Baqarah ayat 197.
Artinya:
“Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsia- pa menetapkan niatnya dalam bulan itu
akan mengerjakan haji, maka tidak diperbolehkan rafats (mengeluarkan perkataan
yang menimbulkan birahi
yang tidak senonoh atau bersetubuh), berbuat fasik, dan
berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.”
Dengan bekal pesan
dari Allah SWT, Rasulullah SAW telah memer-
intahkan kepada para sahabatnya yang mampu (diutamakan adalah kaum Anshar atau pribumi Madinah dan tidak dikenali
orang-orang Me- kkah) untuk menunaikan ibadah haji sesuai
dengan ajaran Nabi Ibra- him as.
Mereka melakukan ibadah haji sesuai
dengan ajaran Ibrahim
as tan- pa menyembah berhala. Usai mengerjakan
ibadah Haji, para sahabat Rasulullah
SAW kembali dan melapor kepada Rasulullah SAW. Lapo- ran sahabat kepada Muhammad adalah bahwa mereka sudah mulai melakukan
sai, namun di dalam hati mereka masih ada keraguan
yang mengganjal ibadah
tersebut. Hal ini dikarenakan adanya
dua berha- la besar di antara masa (jalur sai)
yaitu di antara Shafa dan Marwa. Kedua
bukit tersebut adalah sejarah Hajar mencari air untuk Ismail pada zaman dulu. Dan dua berhala berhala
besar itu adalah Asaf dan Nailah.
Dengan adanya
pernyataan tersebut, maka Allah telah menurunkan wahyunya yang berbunyi: (Wahyu ini diabadikan ke dalam Al
Quran di dalam surah Al
Baqarah ayat 158.
Artinya:
“Sesungguhnya Shafa dan Marwa itu sebagian dari syiar-syiar Allah, maka barangsiapa berhaji ke
baitullah atau berkunjung (umrah), tidak salah baginya
untuk bolak-balik pada keduanya. Dan barangsiapa menambah
kebaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pembalas Syukur lagi Maha Men- getahui.”
Sehingga, dengan adanya wahyu tersebut, maka wahyu
tersebut sering
dibacakan oleh para jamaah haji hingga sekarang.
Rasulullah pernah
bermimpi di bulan April 628 M (Dzulkaidah 6H),
bahwa beliau bermimpi sedang menunaikan umrah ke Mekkah. Se- hingga, beliau ingin mewujudkan mimpi
tersebut bersama para saha- bat.
Hingga akhirnya, Muhammad bersama 1500 sahabat berangkat menuju Mekkah untuk melakukan Umrah
dengan pakaian ihram
mere- ka. Mereka juga telah
membawa beberapa hewan kurban untuk dikur-
bankan di sana.
Namun, perjalanan tak begitu mulus.
Di mana ada jalan lurus,
selalu ada rintangan yang
menghadang sebagai uji keimanan. Saat Rasu- lullah
SAW bersama 1500 sahabat berjalan menuju Mekkah, mereka tertahan oleh kaum musyrikin Quraisy di Hudaibiyyah (20km
sebelah Barat Laut Mekkah). Kaum
musyirikin Quraisy telah mengerahkan be- berapa pasukannya untuk menghalangi rombongan Rasulullah.
Dalam hadangan
tersebut, kaum Quraisy
telah mengutus Suhail
Ibn Amr untuk melakukan perundingan dengan Rasulullah. Dalam pe- rundingan tersebut, Suhail meminta untuk
gencatan senjata dan kaum muslimin harus
menunda pemberangkatannya, sehingga
diminta untuk kembali
ke Madinah, dengan
catatan kaum muslimin
bebas melakukan Umrah di tahun depan dan tinggal selama
3 hari di Mekkah. Dengan segala
kerendahan hati Rasulullah SAW, beliau pun menyetujui kes- epakatan tersebut, walaupun banyak sahabat
yang merasa kecewa dengan hasil
kesepakatan tersebut. Kesepakatan ini dikenal sebagai Perjanjian Hudaibiyyah.
5.
Perjanjian Hudaibiyyah
Perjanjian
Hudaibiyyah merupakan salah satu sejarah penting da- lam sejarah Islam. Karena, secara tidak langsung, dalam
perjanjian tersebut, bahwa kaum
Quraisy telah mengakui kedaulatan Muslimin di
Madinah untuk yang pertama kali.
Berikut ini adalah isi dari Perjanjian Hudaibiyyah yang diabadikan ke dalam Al Quran:
Artinya:
“Sungguh, Allah akan memenuhi mimpi RasulNya dengan se- benar-benarnya, bahwa kamu akan memasuki Masjidil Haram insya
Allah dengan aman. Kamu akan mencukur
kepalamu atau menggunting rambut (menyelesaikan
umrah) dengan tidak merasa takut. Dia mengetahui apa yang tidak kau ketahui
dan Dia menjadikan selain itu sebagai kemenangan yang dekat.” — Al Fath: 27 —
Perjanjian
tersebut pun berjalan lancar, sesuai janji kaum Quraisy, Rasulullah SAW dan para sahabat
pun dapat melakukan
umrah ke Bai- tullah
dengan lancar pada Maret 629 M (Zulkaidah 7 Hijriah). Pada tanggal tersebut merupakan pertama kalinya
umrah dilakukan oleh kaum Muslimin.
Di mana ada pohon
yang tinggi, selalu ada angin kencang. Begitu
pun juga dengan Rasulullah SAW dan para sahabat, ketika berhasil memasuki pelataran Kabah selalu ada yang
syirik. Ketika Rasulullah SAW beserta
2000 sahabatnya memasuki pelataran Kabah, kaum
Quraisy mengejek mereka dengan berteriak, “kamu Muslimin kelihatan letih dan pasti tidak kuat berkeliling tujuh putaran.”
Namun, kegigihan
Rasulullah tidak bisa dibantah, beliau tetap men- gajak para sahabatnya untuk berkeliling tujuh putaran dengan
bersab- da,
Artinya: “Marilah,
kutunjukkan kepada mereka
bahwa kita kuat. Bahu kanan kita terbuka dari kain ihram, dan
kita lakukan tawaf sambil ber- lari.”
Dengan adanya
motivasi dari Rasulullah, para sahabat dan kaum Muslimin tetap kuat menjalani ibadah haji. Hingga kini, kaum
Muslim- in tetap menjalani ibadah
Haji semampu mereka. Dengan penuh per- juangan
dan kegigihan untuk melaksanakan ibadah haji. Itulah sejarah singkat
mengenai haji yang perlu kita ketahui sebagai
wawasan kita
dan membuka khasanah
yang belum kita ketahui
sebelumnya.
C. Mencapai Haji Mabrur
Setiap orang sangat berkeinginan sekali untuk menginjakkan kaki di tanah haram.
Setiap jiwa yang beriman sungguh merindukan meli- hat kabah di Makkah Al Mukarromah. Setiap insan yang beriman pun ingin menyempurnakan rukun Islam yang
kelima, apalagi jika sudah memiliki
kemampuan harta dan fisik. Ketika keinginan ini tercapai dan telah menempuh ibadah haji, seharusnya
seseorang yang melakukan- nya menjadi
lebih baik selepas
itu. Padahal sebaik-baik haji adalah haji yang mabrur.
Balasan haji semacam
itu adalah surga.
Pasti semua pun menginginkan
kenikmatan luar biasa tersebut. Apakah yang dimaksud haji mabrur?
Dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda
“Orang yang
berperang di jalan Allah, orang yang
berhaji serta berumroh adalah tamu-tamu Allah. Allah memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu,
jika mereka meminta ke- pada Allah
pasti akan Allah beri” (HR. Ibnu Majah no 2893. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Dalam hadits Ibnu Umar yang lainnya disebutkan,
“Adapun keluarmu
dari rumah untuk berhaji ke Kabah maka setiap
langkah hewan
tungganganmu akan Allah
catat sebagai satu kebaikan dan menghapus satu kesalahan. Sedangkan
wukuf di Arafah maka pada saat itu
Allah turun ke langit dunia lalu Allah bangga-banggakan orang-orang yang berwukuf
di hadapan para malaikat.
Allah Taala
berfirman (yang artinya), Mereka adalah hamba-ham- baKu yang datang
dalam keadaan kusut berdebu dari segala penju-
ru dunia. Mereka mengharap kasih sayangKu, merasa takut dengan siksaKu padahal mereka belum pernah
melihatKu. Bagaimana andai mereka pernah
melihatKu?
Haji Mabrur, Jihad yang Paling Afdhol
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata,
Menggapai Haji Mabrur
Setiap orang
sangat berkeinginan sekali untuk menginjakkan kaki di tanah haram. Setiap jiwa yang beriman sungguh merindukan
melihat kabah di Makkah Al Mukarromah. Setiap insan yang beriman pun
ingin menyempurnakan rukun Islam
yang kelima, apalagi jika sudah memi- liki
kemampuan harta dan fisik. Ketika keinginan ini tercapai dan telah menempuh ibadah haji, seharusnya seseorang
yang melakukannya menjadi lebih baik
selepas itu. Namun tidak sedikit yang berhaji yang kondisinya sama saja atau bahkan imannya lebih “down” dari
sebel- umnya. Padahal sebaik-baik haji adalah haji yang mabrur.
Balasan haji semacam
itu adalah surga.
Pasti semua pun menginginkan kenikmatan luar biasa tersebut. Apakah yang dimaksud haji mabrur? Berikut
pen- jelasan sederhana yang moga
bermanfaat.
Keutamaan di Balik
Haji. Dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda
Artinya: “Orang
yang berperang di jalan Allah,
orang yang berha-
ji serta berumroh adalah tamu-tamu Allah. Allah memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena
itu, jika mereka me- minta kepada
Allah pasti akan Allah beri” (HR. Ibnu Majah no
2893. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Dalam hadits
Ibnu Umar yang lainnya disebutkan,
“Adapun keluarmu dari rumah untuk berhaji ke
Kabah maka setiap langkah
hewan tungganganmu akan Allah catat
sebagai satu kebaikan
dan menghapus satu kesalahan. Sedangkan wukuf di Arafah maka pada saat itu Allah turun ke langit dunia
lalu Allah bangga-banggakan orang-orang yang berwukuf di hadapan para malaikat.
Allah Taala berfirman
(yang artinya), Mereka
adalah hamba-ham-
baKu
yang datang dalam keadaan kusut berdebu dari segala penju-
ru dunia. Mereka mengharap kasih sayangKu, merasa takut dengan siksaKu padahal mereka belum pernah
melihatKu. Bagaimana andai mereka pernah
melihatKu?
Andai engkau
memiliki dosa sebanyak butir pasir di sebuah gundu- kan pasir atau sebanyak hari di dunia atau semisal
tetes air hujan maka seluruhnya akan Allah
bersihkan.
Lempar jumrohmu merupakan simpanan pahala. Ketika engkau menggundul kepalamu maka setiap helai rambut yang jatuh bernilai satu kebaikan. Jika engkau thawaf, mengelilingi Kabah maka engkau terbebas dari dosa-dosamu sebagaimana ketika kau terlahir dari rahim ibumu” (HR. Thobroni dalam Mujam Kabir no 1339o. Syaikh Al Alba- ni mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam Shahihul Jaami no. 1360).
1.
Haji Mabrur,
Jihad yang Paling Afdhol
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia
berkata,
Artinya: “Nabi shallallahu alaihi
wa sallam ditanya,
“Amalan apa yang paling afdhol?”
Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ada yang bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau shallallahu alaihi wa
sallam menjawab, “Jihad di jalan Al- lah.”
Ada yang bertanya kembali, “Kemudian apa lagi?” “Haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu alaihi wa sallam.”
(HR. Bukhari no. 1519)
Dari Aisyah—ummul Mukminin—radhiyallahu anha, ia berkata,
Artinya:
“Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhol. Apakah berarti kami harus berjihad?”
“Ti- dak. Jihad yang paling utama
adalah haji mabrur”, jawab Nabi shallal- lahu alaihi
wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1520)
Dari
Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar
Nabi shallallahu alaihi
wa sallam bersabda,
Artinya;
“Siapa yang berhaji ke Kabah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang
ke negerinya sebagaima- na ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521).
Ibnu Hajar Asy
Syafii rahimahullah mengatakan, “Haji disebut jihad karena di dalam amalan tersebut terdapat mujahadah (jihad)
terhadap jiwa.”
Ibnu Rajab Al
Hambali rahimahullah mengatakan, “Haji dan umroh termasuk jihad. Karena dalam amalan tersebut seseorang berjihad dengan harta, jiwa dan badan.
Sebagaimana Abusy Syatsa
berka- ta, Aku telah
memperhatikan pada amalan-amalan kebaikan. Dalam shalat, terdapat jihad
dengan badan, tidak
dengan harta. Begitu
halnya pula dengan
puasa. Sedangkan dalam haji, terdapat
jihad dengan har- ta dan badan. Ini menunjukkan bahwa
amalan haji lebih afdhol.
2.
Yang Dimaksud
Haji Mabrur
Ibnu Kholawaih
berkata, “Haji mabrur adalah haji yang maqbul (haji yang diterima).” Ulama yang lainnya mengatakan, “Haji mabrur
adalah haji yang tidak tercampuri
dengan dosa.” Pendapat ini dipilih oleh An Nawawi.
Para pakar fiqh
mengatakan bahwa yang dimaksud haji mabrur adalah
haji yang tidak dikotori dengan kemaksiatan pada saat melak- sanakan
rangkaian manasiknya. Sedangkan Al Faro berpendapat bah- wa haji mabrur adalah jika sepulang haji
tidak lagi hobi bermaksiat. Dua pendapat
ini disebutkan oleh Ibnul Arabi.
Al Hasan Al Bashri
rahimahullah mengatakan, “Haji mabrur adalah
jika sepulang haji menjadi orang yang zuhud dengan dunia dan merin- dukan
akherat.”
Al Qurthubi rahimahullah menyimpulkan, “Haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori oleh maksiat saat melaksanakan manasik
dan tidak lagi gemar bermaksiat setelah pulang haji.”
An Nawawi
rahimahullah berkata, “Pendapat yang paling kuat dan yang paling terkenal, haji mabrur adalah haji yang tidak ternodai oleh
dosa, diambil dari kata -kata birr yang bermakna ketaatan. Ada juga yang berpendapat bahwa haji mabrur
adalah haji yang diterima. Di antara
tanda diterimanya haji seseorang adalah adanya perubahan menuju yang lebih baik setelah pulang dari pergi haji dan
tidak mem- biasakan diri melakukan berbagai maksiat. Ada pula yang mengatakan bahwa
haji mabrur adalah
haji yang tidak tercampuri unsur riya. Ulama yang
lain berpendapat bahwa haji mabrur adalah jika sepulang haji ti- dak lagi bermaksiat. Dua pendapat yang
terakhir telah tercakup dalam pendapat-pendapat sebelumnya.”
3.
Kriteria haji mabrur.
Kriteria penting
pada haji mabrur adalah haji tersebut dilakukan dengan ikhlas dan bukan atas dasar riya, hanya ingin mencari
pujian, seperti ingin disebut “Pak
Haji”. Ketika melakukan haji pun menempuh jalan
yang benar, bukan dengan berbuat curang atau menggunakan harta yang haram, dan ketika melakukan manasik haji pun harus
men- jauhi maksiat, ini juga
termasuk kriteria mabrur. Begitu pula disebut
mabrur adalah sesudah menunaikan haji tidak hobi lagi berbuat mak- siat dan berusaha menjadi yang lebih baik.
Sehingga menjadi tanda tanya besar jika seseorang
selepas haji malah masih memelihara maksiat
yang dulu sering
ia lakukan, seperti
seringnya bolong shalat lima waktu, masih senang mengisap
rokok atau malah masih senang
berkumpul untuk berjudi. Jika demikian
keadaannya, maka sungguh sia-sia haji yang ia lakukan.
Biaya puluhan juta dan tenaga yang terkuras
selama haji, jadi sia-sia
belaka.
Tidak ada daya dan
kekuatan kecuali dari-Nya. Oleh karenanya, senantiasalah
memohon kepada Allah agar kita yang telah berhaji dimudahkan untuk meraih predikat haji mabrur. Yang tentu saja
ini bu- tuh usaha, dengan
senantiasa memohon pertolongan Allah agar tetap taat dan menjauhi maksiat. Semoga Allah menganugerahi kita
haji yang mabrur. Amin Yaa Mujibas Saailin.
RANGKUMAN
Haji (al-hajju) secara bahasa berarti
al-qashdu (menyengaja, menu-
ju, maksud). Secara istilah, haji adalah pergi menuju Makkah dengan
maksud
mengerjakan ibadah thawaf, sai, wuquf di arafah, bermalam di Muzdalifah,
Mabit di Mina dan ibadah-ibadah
lain pada waktu-waktu yang telah
ditentukan untuk memenuhi perintah Allah dan mengharap- kan ridha-Nya.
Umrah adalah mengunjungi Makkah
untuk mengerjakan thawaf, sai, kemudian tahallul untuk memenuhi perintah Allah dan mengharapkan keridhaan-Nya. Umrah haji harus
dilaksanakan pada musim haji yang sudah
ditentukan. Sedangkan umrah sunnah dapat dilakukan kapan saja sepanjang tahun.
Ibadah Haji adalah salah satu dari rukun
Islam yang lima dan wajib dilaksanakan
oleh setiap muslim mukallaf (baligh
dan berakal) merde- ka, dan mempunyai kesanggupan (istithaah)
Sejarah Haji dalam
Islam bermula dari ribuan tahun yang lalu. Pada masa Nabi Ibrahim
AS (1861 — 1686 SM), yang merupakan keturunan Sam Bin Nuh AS (3900 — 2900 SM). Literatur-literatur yang ada dalam
khasanah Islam menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim AS lahir di Ur-Kas- dim, sebuah kota penting di Mesopotamia,
selanjutnya Nabi Ibrahim tinggal di sebuah
lembah di negeri Syam.
Kabah dibangun
oleh Ismail dan Ibrahim hingga mencapai 7 hasta, Jibril memberikan petunjuk di mana posisi Hajar Aswad
diletakkan. Setelah Hajar Aswad
diletakkan dengan benar, Ibrahim pun melan- jutkan
pembangunan tersebut dengan membuat 2 pintu Kabah, yang mana pintu pertama menghadap ke Timur dan pintu ke dua menghadap ke Barat. Waktu demi waktu telah dilalui
oleh Ismail dan Ibrahim dalam
membangun Kabah. Hingga pada akhirnya Kabah tersebut telah ram- pung. Mereka pun melaksanakan ibadah Haji.
Di waktu inilah, ibadah Haji pertama
kali dilakukan. Pada tahun 10 H (632 M) Semenanjung Arabia telah dipersatukan dibawah kekuasaan Nabi Muhammad SAW yang berpusat di Madinah dan seluruh
penduduknya telah memeluk agama
Islam. Maka pada bulan Syawal Rasululloh mengumumkan bahwa beliau sendiri
yang akan memimpin
Ibadah Haji tahun
itu. Berita ini disambut hangat oleh seluruh ummat
dari segala penjuru. Sebab mereka
berkesempatan mendampingi Rasululloh dan menyaksikan setiap langkah beliau dalam melakukan manasik (tata cara) haji.
Se- karang in setiap orang sangat
berkeinginan sekali untuk menginjakkan kaki
di tanah haram. Setiap jiwa yang beriman sungguh merindukan melihat kabah di Makkah Al Mukarromah.
Setiap insan yang beriman pun ingin
menyempurnakan rukun Islam yang kelima, apalagi jika su- dah memiliki kemampuan harta dan fisik. Ketika keinginan ini
tercapai dan telah menempuh ibadah
haji, seharusnya seseorang
yang melaku- kannya
menjadi lebih baik selepas itu.
A. Hikmah Haji Ditinjau dari Berbagai Aspek
1.
Haji Ditinjau
dari Aspek Psikologis
Psikologis merupakan
factor yang berasal
dari dalam individu
seseo- rang dan unsur-unsur
psikologis meliputi motivasi, persepsi, pembela- jaran, kepribadian, memori,
emosi, kepercayaan dan sikap atau segala hal yang berkenaan dengan kejiwaan.
Hikmah ibadah haji yang lain adalah
untuk memperoleh ketenangan batin. Kita mengenal beberapa orang yang selalu stress, emosional atau
tidak stabil jiwanya, ketika menuanaikan ibadah
haji menjadi tenang.
Siapa pun, apabila
berada di dekat
orang yang dikasihinya atau melindunginya akan merasa tenang.
Rukun pertama
ibadah haji adalah ihram sekaligus meniatkan diri memasuki rangkaian ibadah haji. Dengan niat itu, ihram dianggap
sah dalam rangka syariat islam.
Menurut imam syafii, niat ihram dalam haji
adalah rukun yang apabila ditinggalkan dapat mengakibatkan tidak sah nya haji. Ketika seseorang menjalankan ritual haji sampai
pada tempat yang
ditentukan oleh nabi untuk memulai
ihram (miqat makani),
dia ha- rus segera meniatkan dalam hati akan
menjalankan haji. Niat di miqat makani
dengan mengenakan pakaian yang serba putih menandakan dimulainya perjalanan menemui
Allah SWT.
Selama menjalankan
ihram, bagi laki-laki diwajibkan untuk tidak
memakai penutup kepala dan pakaian berjahit dan bagi perempuan dilarang memakai perhiasan. Hikmahnya
adalah upaya pelaku ibadah haji
berada dalam puncak ketundukan dan kerendahan dihadapan Al- lah SWT. Dengan hanya berbalutkan kain tak
berjahit, seorang hamba akan merasa
seperti bayi yang baru dilahirkan. Pada saat itulah, kita menyadari
bahwa kita tidak memiliki apa-apa
yang bisa kita banggakan sebagai
bekal dihadapan Allah SWT, kecuali
iman dan amal shaleh.
Dua
hal itu yang akan senantiasa melekat dalam diri kita di dunia hing-
ga alam kubur. Jadi dengan ihram kita menetapkan diri menghadap Allah SWT dengan meninggalkan berbagai
perhiasan duniawi dan mengistirahatkan diri dengan meninggalkan segala bentuk materi
yang merampas kemerdekaan
jati diri kita, karena secara alamiah kita me-
mang menyukainya.
Pakaian apa saja,
warna apa saja, dan buatan apa saja harus dit-
inggalkan dan diganti dengan pakaian ihram yang berwarna putih dan tidak dijahit. Hal ini melambangkan bahwa semua pakaian,
termasuk di dlamnya
kedudukan, status social, kekuasaan dan kehormatan ha- rus ditinggalkan. Pakaian
polos berwarna putih itu persis sama dengan
pakaian yang kelak akan kita pakai saat masuk kubur meninngalkan dunia yang
fana ini untuk pergi menghadap sang khalik.
Pesan utama dari
ihram adalah jangan terperdaya oleh dunia, jan- gan mengandalkan perhiasan dunia sebagai bekal utama hidup, jan- gan memilikisikap sombong, tinggi hati,
hasud dan aneka sifat hati yang buruk.
Ya, akhir dari perjalanan hidup di dunia, mau tidak
mau kita hanya berhiasakan beberpa meter kain
kafan, bahkan tubuh kita di- kubur, semua meninggalkan kita termasuk keluarga,
teman-teman, dan tetangga. Rumah yang diberikan untuk
kita hanya sekitar 1x2 meter dan itu
pun tidak akan lama menjadi milik kita. Kerena beberapa tahun kemudian bisa jadi aka nada orang lain yang ditempatkan di kubur kita.
Dalam haji kita
tahu banyak rintangan, cobaan dan ujian baik mas- alah fisik maupun hati. Kesemuanya itu akan melatih kita untuk
pandai menguasai diri dan
mengendalikan emosi. Selain itu, ibadah haji men- jadikan kita pandai melakukan muhasabah atau proses intropeksi
diri. Ketika menghadapi situasi di
tanah air, kita isa menjadi lebih dewasa karena pernah mengalami ujian yang lebih
berat ketika di tanah suci.
2.
Haji Ditinjau
dari Aspek Politik
Sejalan dengan
pandangan negatif terhadap
masyarakat dunia arab
secara umum, maka pemerintah kolonial belanda melihat ibadah haji sebagai salah satu sumber persoalan
terhadap agenda-agenda politik pemerintah
colonial. Mekkah tidak hanya dipahami sebagai pusat in- telektual islam, tetapi sekaligus juga pusat konspirasi internasional
un- tuk gerakan-gerakan anti
kekuasaan politik barat di dunia muslim, ter-
masuk politik kolonial belanda di Indonesia.
Kekhawatiran pihak kolonial
terhadap bahaya politik
ibadah haji memang bukan tanpa alasan kuat. Semakin
menguatnya wacana islam yang
berorientasi di shariah dalam proses transmisi intelektual islam dari mekah ke nusantara abad ke-19
memiliki beberapa implikasi so- sial-politik.
Salah satu yang terpenting adalah dimensi aktivisme, yang antara lain mengambil bentuk usaha
rekonstruksi itu melahirkan se- mangat
gerakan protes anti-kolonial. Dalam catatan sejarah, gera- kan-gerakan protes muslim Indonesia
terhadap penjajahan selalu melibatkan
para haji. Mereka tidak hanya terlibat, tetapi tidak jarang berperan
sebagai pengagas yang berada di garis depan.
Berkaitan dengan
wacana yang berorientasi shariah, mekkah me-
mang tidak pernah menampilkan diri dengan corak gerakan demiki- an. Pada akhir abad ke-18, mekkah menjadi
basis satu gerakan islam puritan yang
disebut dengan gerakan wahabiyah. Di bawah pimpinan Muhammad ibn abdul wahab , dan beraliansi dengan dianasti Saudi
di Najd, gerakan islam ini memaksakan pelaksanaan shariah islam dalam
kehidupan muslim secara keras. Mereka memberantas segala bentuk keyakinan
dan praktik keagamaan yang mereka pandang
tidak sejalan dengan teks Al-Quran. Mereka antara lain
menentang praktik-praktik seperti
ziarah kubur dan tarekat. Dengan kekuasaan politik yang mer- eka raih dan semakin besarnya
jumlah jamaah haji, gerakan wahabiah
ini selanjutnya memiliki
pengaruh besar di dunia islam.
Kasus lain di
Indonesia yaitu pemberontakan Banten yang terjadi pada tahun 1888. Pemberontakan yang muncul di kalangan petani banten terseebut tidak juga dapat
dilepaskan dari peranan ulama haji di wilayah
banten. Kasus-kasus tersebut
semakin memperkuat kekha-
watiran pihak pemerintah colonial Belanda terhadap
bahaya politik iba-
dah haji. Para ulama terkemuka banten berada dibalik pemberontakan tersebut yang memiliki pengalaman
belajar di Mekkah. Pengalaman belajar
di Mekkah terseebut selajutnya memberikan
bekal pengeta- huan untuk memaknai
pemberontakan rakyat banten dalam rangka ji-
had melawan kekuatan kolonial. Dengan istilah jihad, maka partisipasi msayarakat muslim terhadap gerakan yang
mereka canagkan cukup besar. Beberapa
peristiwa sejarah tersebut membuktikan bahwa men- guatnya jaringan antara ulama Indonesia dan mekkah berlangsung parallel dengan tumbuhnya gerakan
anti-kolonial di Indonesia. Secara ringkas
dapat dikatakan bahwa haji berkaitann erat dengan gerakan anti-penjajahan.
3. Haji Ditinjau dalam Aspek Historis-Sosiologis
Bagi kaum muslim,
khususnya di Indonesia, ibadah haji memiliki
makna sangat penting. Ibadah haji
dilihat tidak hanya sebagai salah satu
rukun Islam yang wajib dilaksanakan kaum Muslim (khususnya mereka yang mampu), tapi juga memiliki
arti sosiologis dan historis sangat berarti.
Perkembangan islam di Indonesia, tidak bisa dipaha-
mi lepas dari ibadah haji. Bahkan, sebagaimana akan dijelaskan, per- an sentral ibadah haji dalam kehidupan kaum Muslim telah membuat pemerintah kolonial Belanda dan kemudian
diteruskan pemerintah In- donesia
terlibat dalam proses penyelenggaraan berikut aturan-aturan yang ditetapkan tentang
pelaksanaan ibadah haji.
Makna sosio-historis ibadah hajj berkaitan
sangat erat dengan persepsi kaum Muslim Indonesia tentang Mekkah dan Madinah M. Se- bagaimana ditunjukkan banyak kajian para
sarjana, muslim Indonesia telah lama
melihat Mekkah sebagai pusat islam, baik secara sosial-in- telektual, keagamaan dan politik.
Oleh karenanya, segala
sesuatu yang datang
dari kota suci tersebut diakui
memiliki nilai keislaman lebih kuat dibanding praktik-praktik keagamaan kaum muslim di wilayah lain khu- susnya di Nusantara dan kemudian
Indonesia. Mekkah diakui sebagai pemegang
otoritas keagamaan tertinggi yang menjadi acuan Muslim Indonesia.
Meski kerap kali
berlebihan seperti sikap beberapa kalangan kaum Muslim Indonesia terhadap masyarakat arab persepsi muslim Indo- nesia terhadap Mekkah seperti dijelaskan
diatas bukan tidak memiliki landasan
kuat. Jaringan intelektual antara ulama Nusantara dan Timur Tengah pada abad ke-17 dan 18 merupakan
sati bukti penting yang menunjukan
secara tegas pentingnya posisi Mekkah dan Madinah da- lam perkembangan Islam Indonesia. Tiga orang ulama di Timur Tengah. Bersama
dengan itu, wacana keislaman yang berkembang juga mengi- kuti pemikiran yang menjadi pokok pikiran para ulama timur
tengah.
4.
Haji Ditinjau
dari Aspek Historis
Rumah ini (kabah) dengan kenangan-kenangannya, dan negeri yang aman ini (mekkah), dengan
peninggalan-peninggalannya, mem- buat
seorang mukmin mengingat sejarahnya yang panjang dan meng- ingat
pendahulu-pendahulu mereka yang melewati jalan ini, mengingat
perjalanan dakwah yang abadi, dan mengingat panji tauhid, sejak dari Nabi Nuh a.s sampai Nabi Muhammad SAW
kemudian para dai yang jujur yang membawa panji ini. dengan
demikian, orang yang bertauhid bertaut dengan gelombang iman yang panjang
yang akarnya tertancap
didalam sejarah. Perjalanan
tauhid dan dakwah kepada baitullah
adalah selama perjalanan kemanusiaan. Seseorang, dengan mendatangi baitullah, seolah-olah memastikan
perjalanan yang panjang, dalam, kuat,
dan diberkahi, “Katakanlah, inilah jalanku (agamaku) aku dan orang-orang yang mengikuti aku, mengajak
kepada Allah dengan
hujjah yang nyata.
Maha suci Allah dan aku tidak termasuk
orang-orang yang musyrik” (QS. Yusuf:
108).
Jadi hikmah lain
yang dapat dipetik dari ibadah haji adalah untuk dapat menghayati perjalanan hidup perjuangan para Nabi dan Rasul Allah khusus nya Nabi Ibrahim,
Nabi Ismail, dan Nabi Muhammad,
juga nabi adam a.s, kita akan
menapak tilas perjalanan para Rasul terda- hulu
terutaama saat berziarah ke tempat-tempat bersejarah. Hasilnya kita akan tambah
kuat iman dan mental ketika
menghadapi persoa- lan ditanah air. Kita bisa mengahayati
secara langsung cobaan yang menimpa para Rasul terdahulu
sehingga cobaan yang kita alami terasa belum seberapa. Disitulah gunanya kita
melihat langsung tempat-tem- pat
bersejarah dan menghayati perjuangan mereka.hal ini merupakan perwujudan kebersamaan hidup dan melaith hidup bertaawun
(tu- long-menolong).
5. Haji Ditnjau dari Aspek Ekonomi
Dalam surat
al-Hajj ayat 28 Allah menyebutkan bahwa di antara maksud dan tujuan penyelenggaraan ibadah haji adalah agar umat manusia menyaksikan berbagai manfaat bagi
mereka. Para ulama taf- sir
menyebutkan di antara manfaat yang disaksikan dalam ibadah haji adalah manfaat perniagaan yang terjadi
dalam musim haji. Akan teta- pi Ibnu
Jarir at-Thabari berpendapat bahwa manfaat yang dimaksud al-Quran tidak terbatas
pada perniagaan saja. Jika kita memperhatikan secara dalam, kita menyaksikan bahwa
manfaat yang ada dalam iba- dah haji
memang manfaat yang tanpa batas. Bahkan banyak persoa- lan yang sulit dipecahkan di hari-hari biasa,
dapat diselesaikan dengan
mudah pada musim haji.
Secara ekonomi,
haji memberikan manfaat
kepada umat Islam,
bah- kan sebelum haji itu
sendiri dilaksanakan. Tanpa haji seorang muslim tidak akan berpikir
dan berusaha untuk mengumpulkan uang yang cuk-
up untuk melakukan perjalanan yang relatif
mahal itu. Haji memberikan motivasi yang kuat bagi umat Islam untuk
mengerahkan berbagai po- tensinya untuk
lebih berdaya secara
ekonomi.
Dengan demikian
kita melihat bahwa haji adalah stimulan yang baik bagi pemberdayaan ekonomi bangsa. Bagi seseorang yang tinggal
di kota, hidup dalam suasana
keterbukaan informasi dan kehidupan kos- mopolitan
barang kali ada banyak dorongan untuk melakukan perjala- nan ke luar negeri dengan berbagai tujuan. Tetapi penduduk desa yang tinggal jauh di pedalaman tidak ada
pikiran dia harus bepergian jauh ke
negeri orang kalau bukan ada kepentingan yang sangat kuat dan motivasi yang serius.
6.
Haji Ditinjau
dari Aspek Perilaku
Haji mabrur
merupakan dambaan setiap muslim yang menunaikan ibadah haji, dan dambaan haji mabrur itu hanya dituntut untuk
lebih mendekatkan diri kepada Allah
SWT dalam bentuk pengalaman iba- dah
sesuai dengan syariah dan tanggungjawab sosial yang lebih dari sebelum berkeinginan dan sepulangnya
berhaji. Transformasi budaya prilaku
dan budaya ke arah yang lebih baik dan berkualitas dari sebel- umnya ini merupakan asset abstrak yang
dapat mengubah tanatanan kehidupan ke
arah yang sejahtera baik untuk membangun diri seu- tuhnya, orang lain, dan lingkungannya. Keluarga yang sejahtera
ber- landaskan nilai-ilai ajaran
agama akan membangun lingkungan yang sejahtera
dan melahirkan tatanan masyarakat yang shaleh, pemerin- tahan yang adil dan sentosa.
Jemaah haji dan
orang yang telah menunaikan haji merupaka salah satu modal besar pembangunan nasional yang potensial untuk
mewu- judkan masyarakat yang berakhlak
mulia, beretika, bermoral, berudaya dan beradab
sesuai dengan amanat UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Tahun 2005-2025.
Orang melakukan
prilaku yang tidak diridhai Allah, melakukan dosa terus menerus akan memunculkan bintik hitam di dalam hatinya.
Dan apabila dilakukan berulang-ulang
maka hati yang penyakitan akan mengeras, membatu, tertutup dan kemudian terkunci.
Namun dalam pelaksanaan ibadah haji
setiap orang akan membia- sakan dirinya
dengan akhlak — akhlak yang mulia dan berprilaku baik,
sebagaimana firman Allah: “Haji
adalah pada bulan-bulan yang sudah diketahui,
barangsiapa niat berhaji pada bulan-bulan ini, maka tidak boleh berbicara jelek, berbuat fasik dan
berdebat (yang tidak perlu) dalam haji. (QS. Al-baqarah ayat: 197)
Barang siapa melakukan ibadah haji ke baitullah dan tidak berbicara jelek dan berbuat fasik, maka dia akan bebas dari dosa-dosanya se- bagaiman ketika dia di lahirkan oleh ibunya. Dalam haji, manusia dilatih untuk bersabar, menahan diri, menjaga ucapan, dan mengekang naf- su amarah.seseorang akan meninggalkan keluarganya, orang-orang yang dicintainya, dan mengorbankan waktu istirahatnya serta hartanya demi mencari ridha Allah SWT pada saat berhaji.
7.
Haji Ditinjau
dari Aspek Spiritual
Sesungguhnya Tanah Suci dengan berbagai kenangannya, syiar-sy- iar haji dengan berbagai pengaruhnya di
jiwa, dan kekuatan jamaah dan
kesan-kesannya, meninggalkan kesan mendalam di dalam hati seorang muslim dan menanamkan kecintaan
seorang muslim kepada Allah, Rasul-Nya, agamanya, orang yang mengagungkan agama,
yang menolong agama
dan yang mengikuti agama.
Ketika seseorang
mengetahui bahwa Allah menjanjikan ampunan dosa-dosanya,
maka itu akan mendorong dan menguatkannya untuk beribadah dan membuka pintu-pintu harapan orang-orang yang ber- juang untuk beribadah.
Pengalaman
spiritual dalam berhaji juga memberikan kesan yang mendalam yang sanggup mengubah orientasi spiritual mereka yang mengikutinya ketika kembali ke negaranya
masing-masing. Banyak di- antaranya
yanag berhenti menggunakan obat-obatan terlanrang dan lebih rajin melakukan shalat dan kewajiban religious lainnya.
Dalam beberapa masyarakat muslim,
titel “Haji” atau “Hajjah” yang dipergu- nakan
oleh orang yang telah melakukan ritual ini, dapat memberikan tanggungjawab pribadi bagi dirinya. Mereka
dituntut lebih untuk mela- lukan perbuatan yang lebih baik dan menjauhi
perbuatan yang dilarang
oleh Allah. Dengan demikian, mereka dapat melakukan kebaikan atau perilaku yang dilarang Allah. Dengan
demikian, mereka dapat melaku- kan kebiasaan
atau perilaku sehat dengan gaya hidup islami.
Seseorang yang
melakukan ibadah haji masing-masing akan mem-
perolah kenikmatan tersendiri dalam taqarrub, ibadah dan bertaubat kepada Allah SWT. Perjalanan ibadah haji,
mulai dari manasik hingga kepulangan
ditanah air menyimpan kenangan beribu kenangan indah. Sebuah kepuasan ritual bagi seorang anak manusia yang mendekat- kan diri kepada-Nya. Dan hasilnya, Allah
memberikan kenikmatan in- dah tersebut
kepada sang hamba.
Setiap jamaah haji yang pulang
dari tanah suci rata-rata
menyatakan keinginannya suatu saat kembali lagi menunaikan rukun
islam yang kelima itu.
Adapun hikamah
terbasar dalam ibadah haji adalah untuk lebih me- mantapkan aqidah dan keyakinan terhadap
kebesaran dan keagungan Allah SWT. Dengan menyaksikan semua kebesaran Allah maka iman dan aqidah kita menjadi kuat, insya Allah
kedepan aqidah yang kuat tersebut akan menjadi bekal utama kita menjalani hidup makin bertam-
bah baik di tanah
air.
Dan dalam haji
terdapat kalimat talbiyah Setiap jamaah haji memb- aca talbiyah berkali
kali sampai maknanya
betul-betul masuk ke dalam relung
hati. Kalimat tersebut
yaitu “labaika allahuma
labbayka. Labbay- ka la syarika laka labbayka. Inna
al-hamda wa al-nimata laka wa al- mulk,
la sayrika lak” (Ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Tiada
sekutu bagi-Mu. Segala puji, nikmat,
dan kekuasaan adalah milik-Mu).
Kalimat yang indah dan enak didengar,
kalimat talbiyah ini memil- ki daya sentuh yang sangat lembut
sehingga membangkitkan yang tersembunyi
dalam jiwa dan hubungannya dengan sang pencipta, tal- biyah adalah symbol tauhid dan keikhlasan dalam beribadah.
Tauhid adalah sifat muslim, baik
sebagai pribadi maupun kelompok. Tauhid adalah
kesatuan dalam kaidah dan pikiran, kesatuan barisan, dan ke- satuan tujuan.
Penyataan tauhid
dalam yang terdapat dalam talbiyah yang diucap- kan berkali kali menghubungkan setiap amal seseorang dengan
bala- san ukhrawi yang jauh lebih
besar dari pada balasan duniawi. Selain itu,
tauhid dapat memperbaiki perilaku dan menjadikan orang bersikap amanah dan ikhlas dalam menghadapi
segala sesuatu. Itulah kesem- purnaan kondisi batin yang senantiasa diawasi tuhan.
8) Haji Ditinjau dari Filsafat Hukum Islam
Allah SWT mensyariatkan ibadah
haji, sehingga umat islam berkum-
pul disuatu tempat dengan berbagai jenis suku dan bangsa, suku atau ras yang berjauhan asal Negara dan
daerahnya. Mereka datang dari delapan penjuru
mata angin, mereka
berjuta-juta membanjiri tanah ha- ram.
Jika dikaji secara
filosofis, dengan perkumpulan yang berasal dari berbagai Negara dan bangsa yang jauh itu sudah barang tentu
terjadi perkenalan yang jauh dan persahabatan. Misalnya
bangsa arab berke-
nalan dengan bangsa Indonesia, bangsa mesir, bangsa
Pakistan, ang- sa turki, bangsa cina dan bangsa iran, bangsa india, begitu setarusnya dan sebaliknya.
Menurut syeh ali ahmad al-Jurjawi bahwa dengan pertemuan dan perkenalan ini mereka menjalin
persaudaraan seagama bagaikan
saudara kandung seayah dan seibu tanpa ada perbedaan suku atau pun ras. Karena dalam pertemuan ini Allah
melarang antara mereka saling berdebat
yang mendorong terjadinya permusuhan dan pertump-
ahan darah. Allah berfirman dalam Al-Quran yang artinya “barangsia- pa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu
akan mengerjakan haji, maka tidak boleh mengucapkan kata-kata kotor, berbuat
fasik dan ber- bantah-bantahan dalam masa
mengerjakan haji”
Ibadah haji,
dengan berihram akan melahirkan musawah (persa- maan) umat islam seluruh dunia tanpa pandang bulu. Apakah ia
ber- pangkat sebagai kepala Negara,
sebagai menteri, gubernur
atau rakyat biasa. Ditmpat
yang suci ini, seluruh umat Islam yang menun-
aikan ibadah haji ditunjukan bahwa dalam islam status sosial, harta kekayaan, jabatan dan lain-lain dihadapan
Allah SWT merupakan ses- uatu yang
tidak bermakna. Dari sebab itu Islam meletakan ajaran-aja- rannya
bahwa status sosial,
jabatan dan lain-lain
tidak boleh mengges-
er prinsip persamaan
yang diajarkannya.
Kecuali kesamaan
status dan kesatuan hati, pertemuan itu merupa- kan Muktamar ilahi yang agung. Karena dalam pertemuan haji
dihadiri oleh ahli-ahli
ilmu pengetahuan dan kaum cerdik cendikiwan, ahli-ah-
li pendidikan dan kebudayaan, ahli-ahli
usaha dan administrasi, ahli
—ahli keuangan dan ekonomi, ahli-ahli
perundang-undangan dan ag-
ama, serta ahli-ahli
peperangan dan strategi.
9.
Haji Ditinjau
dari Aspek sosial
Ibadah haji merupakan usaha untuk mewujudkan persaudaraan yang
sungguh-sungguh sesama kaum muslimin. Tidak pernah terjadi dalam agama manapun dalam satu waktu satu
umat berkumpul untuk mengerjakan satu ibadah selain
agama islam dalam
urusan haji. Ham-
per 4 juta manusia berkumpul di satu tempat untuk melakasanakan ibadah.
Kebersamaan itulah
harus di pupuk untuk menumbuhkan rasa per- saudaraan
sesama muslim. Haji adalah momen penting untuk rapat akbar bagi kaum muslimin untuk
membicarakan nasib dan keadaannya di berbagai belahan
dunia.
Dalam
pelaksanaannya, ketika berada di pesawat, di pemondokan, di masjid dan tempat-tempat lainnya dalam ibadah haji akan
timbul rasa kebersamaan dengan sesama
jamaah. Kebersamaan dalam per- saudaraan
itu dapat dirasakan dimana saja, seperti ketika ngantri di kamar mandi, makan makanan ketering
bersama, thawaf atau lempar jumrah bersama
dan lain sebagainya. Tidak jarang setelah
pulang haji, terbentuk keakraban dengansesama jamaah
dimana sebelumnya be- lum pernah
terjadi.
Siapapun yang
melaksanakan ibadah haji, mengerjakan ritual-rit- ualnya akan merasakan sebuah kesederhanaan , kesucian dan ke- bersihan diri. Bagi orang kaya yang biasa
mengenakan baju baus dan bermerk,
saat ibadah haji harus ditinggalkan untuk mengenakan kain ihram. Semuanya serba putih. Sederhana dan
suci, pakaian dan iba- dah-ibadah
dalam haji akan membersihkan dan menyucikan kita. Sep- ulang di tanah air akan menyingkirkan rasa sombong berganti
menjadi kesederhanan.
Adapun makna
kemanusian dan pengamalan nilai-nilainya adalah persamaan yang mencakup
seperangkat nilai-nilai luhur yang seharus-
nya menghiasi jiwa pemiliknya. Kemanusiaan menjadikan seseorang bermoral, mampu memimpin mahluk lain dalam
mencapai tujuan pen- ciptaan,
menyadari bahwa ia adalah mahluk dwi dimensi yang harus melanjutkan revolusinya hingga mencapai titik akhir. Makna-makna tersbut
di praktekan di dalam pelaksanaan ibadah haji yang mencakup berbagai amalannya.
Menurut kenyataan
pakaian merupakan pembeda
antara seseorang dengan yang lainnya. Pembedaan tersebut
dapat membawa antara lain kepada
perbedaan status sosial, ekonomi atau profesi. Pakaian juga dapat memberi pengaruh kepada pemakainya. Dngan demikian pengaruh-pengaruh psikologis yang negatif
dari pakaian pun harus dit- inggalkan
sehingga semua merasa satu dalam kesatuan dan persa- maan.
Hadirnya lembaga
atau organisasi pasca haji, seperti IPHI (Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia) dan KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji), merupakan salah satu parameter
dalam mewujudkan pemba- ngunan
tersebut. Pendirian Rumah Sakit Islam (RSI) di klaten, jawa tengah, SMU unggulan di Bogor, Jawa Barat,
Koperasi Haji di Jawa Timur, BPR di Jakarta
dan lainnya merupakan
kerja nyata para jemaah haji yang melembagakan diri melalui IPHI dan KBIH serta lembaga
se- jenis lainnya untuk
kegiatan-kegiatan bermotif sosial. Kegiatan ini ter- us dikembangkan olrh lrmbaga-lembaga pasca pelakasanaan haji dan kedepan
diharapkan mampu merealisasikan mobilisasi pendanaan so- sial melalui wakf tunai berbentuk uang.
Indonesia adalah
Negara dengan jumlah penganut islam terbasar di dunia. Jumlah umat islam yang besar itu merupakan potensi
yang san- gat besar
pula dalam menggali sumber dana
umat, baik melalui zakat, infak, sedekah, maupun wakaf. Sumber dana itu
dapat digunakan un- tuk meningkatkan kesejahteraan sekaligus berpotensi memberdayakan umat.
Sejarah mencatat, dalam membangun peradaban baru di madi- nah, Rasulullah SAW juga menghimpun zakat, infak, dan sedekah, ser-
ta wakaf dlam berbagai bentuknya. Tujuannya adalah memberdayakan umat mengentaskan kemiskinan dan mengambangkan dakwah islam. Rasulullah SAW mewajibkan kaum agniya
(orang kaya), yakni orang- orang yang memiliki
kelebihan harta, untuk mewakafkan sebgian
harta miliknya. Kewajiban
ini menjadi salah satu motivasi bagi kaum muslim untuk meningkatkan
solideritas dan kesolehan sosial.
10.
Haji Ditinjau
dari Aspek Ibadah
Ibadah ahaji merupakan kesempatan langka untuk doa kepada dan memohon banyak dikabulkan Allah SWT.
Kita tahu banyak tem- pat dan waktu
dimana doa dikabul saat menunaikan ibadah haji. Pada saat itulah kesempatan yang tepat bagi kita untuk memanjatkan
doa dan keinginan. Ibarat sekali
merenkuh dayung, dua tiga pulau terlam- paui.
Menunaikan ibadah haji, selain memenuhi panggilan Allah juga mendapatkan sesuatu dari apa yang kita
minta. Dan selain doa, tidak ketinggalan pula hikmah untuk memohon ampunan
dan bertobat kepa-
da Allah SWT.
Dalam ibadah
haji jamaah dilatih
untuk mendisiplinkan diri untuk me- matuhi berbagai
macam peraturan. Mulai
dari ibadah yang dilakukann- ya, seperti mengenakan kain ihram hingga
tata aturan berada
di negeri orang. Kita akan selalu
dilatih shalat lima waktu tepat waktu berjamaah. Kita juga disiplin untuk berada di atas kendaraan sebelum
waktunya agar tidak tertinggal ketika
mengenakan kain ihram, meskipun tidak ada
yang tahu seorang pria mengenakan pakaian dalam atau tidak, tetap larangan pakaian berjahit
ditaatinya. Ditanah air yang memiliki kebiasaan jorok
akan dipaksa tertib di tanah suci.
Kehidupan baru dimulai sejak
meninggalkan kabah. Jiwa ini berubah
meuju kondisi yang lebih baik. Anggota tubuh menjadi lebih taat dan menjaga
diri karena telah mengikat
janji.
Disinilah jamaah haji mengerti hakikat
ketaatan dan ibadah. Selain itu, ia
juga mengenal makna kemulian seperti disampaikan dalam fir- man Allah “padahal kalianlah ornag-orang yang paling tinggi (derajatn- ya) jika kalian beriman. (ali Imran: 139)
Ia yakin bahwa
sumber dirinya paling tinggi. Ajaran yang ia jalani berasal dari tuhan alam semesta. Pedoman yang ia pegang berasal dari sang pencipta
segala seseatu. Dialah
yang paling tinggi
sanda rannya. Karena
penjaminannya adalah Allah, pencipta
langit dan bumi. Kepadanya ia tawakkal.
Perasaan mulia dan
tekad untuk meneruskan jiwa dalam mencapai sang
pencipta ketika melaksanakan ibadah haji merupakan tanda haji yang mabrur. Dengan tawakkal kepada Allah
, ia bulatkan tekad untuk menggunakan usia yang tersisa
dengan bersih seperti
kala menjalank- an ibadah haji. Impian jiwa berpadu
dengan harapan rohani di setiap tempat
di bumi yang baik. Ia memutuskan untuk menyerukan persat- uan umat dan kemuliaannya seperti yang ia
lihat di tanah suci. Inilah rahasia dan janji baru untuk membangun kehidupan selanjutnya.
B.
Makna Spiritual Haji Bagi Kehidupan
Sosial
Haji adalah ibadah
yang sangat monumental dalam kehidupan seo-
rang muslim. Sebab tidak semua muslim bisa melaksanakannya. Se- bagai ibadah yang paripurna, Haji
melibatkan semua aspek, mulai dari materi, fisik maupun psikis.
Orang yang tidak memiliki
tiga hal tersebut
tidak bisa melakukan iba- dah haji.
Betapa banyak orang yang dari segi fisik mampu tapi materi tidak cukup. Atau punya harta yang cukup
tapi fisik tak mendukung. Bahkan, ada
orang yang memiliki kemampuan finansial dan fisik tapi psikisnya terganggu, juga tidak bisa melaksanakan ibadah
haji.
Sebuah simbol Ali Syariati dalam bukunya Hajj: Reflection on its Rit- uals memberikan refleksi bahwa Haji adalah sebuah “simbol”.
Semakin dalam engkau
menyelami lautan ini, semakin jauh engkau dari tepiann- ya. Haji adalah samudera tak bertepi.
Artinya haji sarat dengan makna spiritual yang mendalam di balik ritual
simboliknya.
Pertama, Thawaf,
yakni mengitari Kakbah sebanyak tujuh kali mel- awan arah jarum jam. Thawaf adalah simbol bahwa alam ini tidak
ber- henti bergerak.
Ini dilambangkan dengan
mengelilingi Kakbah. Manusia
yang ingin eksis adalah yang manusia yang selalu bergerak. Maknan- ya, bergerak adalah entitas kehidupan,
sebab berhenti bergerak sama dengan
kematian. Kualitas seseorang ditentukan oleh bergeraknya ia ke arah yang memberi
gerak. Bergerak ke pusat orbitnya.
Dalam konteks
kehidupan kita, seseorang yang haji adalah pribadi yang bergerak dalam mengejewantahkan nilai-nilai ketuhanan di muka bumi.
Bergerak dari perilaku yang penuh dengan maksiat menuju per- ilaku
yang penuh rahmat.
Karena dengan bergerak
ke arah ketuhanan- lah kita akan selamat dalam kehidupan ini. Sebab berhenti
bergerak adalah statis
dan itu sejatinya mati,walau tanpa
dikebumi.
Kedua, Sai yaitu
berlari-lari kecil antara bukit Safa dan Marwa. Hal ini dilakukan ketika Siti Hajar sangat membutuhkan air di padang
yang tandus. Berdua dengan anak
yang masih kecil di tempat yang tidak dikenal dan tidak ada sumber kehidupan. Sebuah tantangan kehidupan yang teramat berat. Berkali-kali Siti Hajar berlari-lari
mencari sumber kehidupan. Ketika
sampai di Marwa, ia melihat air di Safa, ketika sam- pai di Safa, ia melihat air di Marwa. Ternyata gambaran air
itu adalah fatamorgana. Tanpa
disangkanya muncullah air di kaki Ismail, air yang dikenal
dengan nama air Zam-Zam.
Perilaku Siti Hajar itu memberikan gambaran
kepada kita bahwa
un- tuk hidup perlu usaha,
usaha yang sungguh-sungguh dan maksimal. Kendati
ia isteri nabi tapi Siti Hajar tidak ujug-ujug minta kepada Allah Swt sebelum berusaha. Kendatipun usaha
telah maksimal, keputusan akhir ada
di tangan Allah Swt. Terkadang dalam kehidupan kita mera- sakan bagaimana usaha telah maksimal
tapi hasil tak memuaskan. Se- jatinya
itu menunjukkan bahwa yang menentukan hasil adalah Allah. Manusia
tak satupun yang punya kuasa.
Ketiga, Melontar
jumrah. Sebuah ibadah yang didasarkan kepada
perilaku Nabi Ibrahim as yang melempar setan ketika ia ingin menun- aikan perintah Allah Swt. Setan
adalah simbol menggagalkan manusia untuk
mentaati Allah. Dan itu harus dilawan dan dikeluarkan dari diri manusia.
Setan di dalam
diri manusia terkadang muncul dengan berbagai
personifikasi. Bagi orang yang kaya setannya adalah perilaku Qarun. Orang yang memiliki kekuasaan adalah sifat
Firaun dan bagi yang in- telektual
adalah perilaku Balam. Untuk menjadi orang yang selamat bergerak dalam kehidupan mesti setan-setan itu dilempar dari ke- hidupan
kita. Dan ini harus dimiliki
seorang yang haji.
Keempat, Wukuf di
Padang Arafah. Dalam Islam di daerah inilah dipertemukannnya Nabi Adam as dan Siti Hawa, yang kemudian melakukan taubat kepada Allah Swt
sebagaimana firman-Nya dalam Alquran:
“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri dan jika engkau tidak
mengampuni kami dan memberi rahmat
kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk
orang-orang yang merugi.” (QS. Al- Araf: 23)
Padang Arafah
dikenal sebagai miniaturnya padang Mahsyar. Juta- an jamaah haji dari seluruh dunia berkumpul di tempat ini. Tak
ada beda antara pejabat dan rakyat, antara yang kaya dan miskin,
dan tak ada sekat-sekat
negara bangsa, yang ada hanya manusia sebagi
makhluk Allah.
Kita sadar bahwa
kita tidak ada apa-apanya di hadapan Allah. Ti- dak ada yang perlu disombongkan. Kita diajak untuk lebih
mengenal diri kita sebagaimana asal
kata Arafah yang bermakna mengenal diri. Dalil
yang terkenal di kalangan sufi: “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafah robbahu” (Siapa yang kenal
dirinya akan kenal
siapa tuhannya). Wukuf
hakekatnya untuk menyadarkan, siapa, dari mana, dan akan kemana kita.
Makna spiritual
Sebagai sebuah ibadah yang sarat dengan simbol
dan makna spiritual, sejatinya harus dipahami dengan benar oleh ja- maah haji. Sebab dengan mengerti, memahami
dan menghayati mak- na tersirat
dari yang tersiratlah ibadah haji akan bermakna. Berhaji dengan ritual fisik tanpa memahami makna sama dengan ritual
ulan- gan yang jauh dari nilai
religiusitas. Dan itu adalah ibadah yang kering dengan makna. Seorang yang bergelar haji diharapkan menjadi
agen perubahan untuk membawa manusia
ke arah yang baik. Seorang
yang bergelar haji adalah
seorang yang telah memahami makna hidup den-
gan benar. Tentu
perilaku dan tindak
tanduknya secara kualitatif-kuan- titatif menjadi baik. Akan menjadi antiklimaks apabila haji
hanya dipa- hami sebagai ibadah
simbol dan itu tidak termanifestasi dalam realitas kehidupan di masyarakat.
Haji memang dilakukan di tanah suci tapi sejatinya
haji itu adalah
di tanah air. Rukun dan syaratnya dilakukan di Mekkah, tapi aplikasi haji itu adalah di Indonesia. Haji yang
penuh dengan makna paripurna itulah sesungguhnya makna spiritual ibadah
haji. Bukan hanya
sekedar
bergelar haji atau hajjah. Wallahu
alam.
RANGKUMAN
Hikmah Haji dapat
ditinjau dari Berbagai Aspek, diantaranya : Haji Ditinjau dari Aspek Psikologis, Haji Ditinjau dari Aspek
Politik, Haji Dit- injau dalam Aspek Historis-Sosiologis, Haji Ditinjau
dari Aspek Historis, Haji Ditnjau dari Aspek Ekonomi, Haji Ditinjau
dari Aspek Perilaku, Haji Ditinjau
dari Aspek Spiritual, Haji Ditinjau dari Filsafat Hukum Islam, Haji Ditinjau dari Aspek sosial,
Haji Ditinjau dari Aspek Ibadah
DAFTAR PUSTAKA
Syarifudin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqih, Jakarta: Kencana, 2003 Syihab, M. Quraisy, M. Quraisy Syihab Menjawab 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui, Jakarta: Lentera Hati, 2008
Al manar, Abduh, Ibadah Dan Syariah, Surabaya: PT. pamator, 1999 Daradjat, Zakiyah, Ilmu Fiqih, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf,1995
Qardhawi, Yusuf. Konsep Ibadah
Dalam Islam, Bandung:
Mizan, 2002
Hidayat Syamsul, Aly Abdullah, (2011), al Ubudiyah, Surakarta, LPID UM Surakarta
Jamaluddin Syakir, (2011), Kuliah
Fiqh Ibadah, Yogyakarta, LPPI UMY
Kamal, Pasha, Musthafa, (2009), Fiqh Islam Sesuai dengan Putusan Majelis Tarjih, Yogyakarta, PT. Cipta Karsa Mandiri