Oleh : Prof Dr H Haedar Nashir, MSi.
Muhammadiyah pada dekade mutakhir sungguh menghadapi dinamika kehidupan keagamaan dan kebangsaan yang luar biasa kompleks. Sejak reformasi berkembang-luas organisasi dan aliran keagamaan di lingkungan umat Islam dengan berbagai kecenderungan paham yang heterogen. Di dalamnya terdapat orientasi paham yang kontras antara yang bercorak “fundamentalistik” atau “konservatif” hingga yang “liberal-sekuler”, di samping yang “moderat”.
Bertumbuh pula kesadaran politik Islam yang menguatkan Islamisme dengan beragam artikulasi melalui partai politik Islam maupun gerakan politik non-partai, yang sering oleh Olivier Roy disebut “neofunfamentalisme” seperti Front Pembela Islam dan Hizbut Tahrir. Perkembangan baru tersebut selama sekitar 19 tahun telah memberi pengaruh tertentu pada alam pikiran umat Islam Indonesia, termasuk di lingkungan organisasi-organisasi Islam yang dikenal arus utama seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam, Nahdlatul Ulama, dan lain-lain dengan coraknya masing-masing.
Perkembangan terakhir ialah lahirnya gerakan massa yang dikenal Aksi Bela Islam 212 dengan segala rangkaiannya sebagai “fenomena baru” dalam kancah kehidupan umat Islam Indonesia. Aksi 212 plus Pilkada DKI Jakarta 2017 dengan kasus penodaan agama yang masuk ke proses hukum yang melibatkan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) telah memberikan opini dan pengaruh tertentu terhadap alam pikiran umat Islam dan bangsa Indonesia, baik yang bersifat konstruktif maupun stigmatik. Di satu pihak ada muara artikulasi aspirasi umat Islam secara luas dari banyak hal yang dirasakan tidak akomodatif terhadap Islam, di pihak lain menyeruak sikap dan pandangan keagamaan yang cenderung mengeras, yang bagi sebagian pihak menimbulkan kecemasan tertentu dan mengundang reaksi balik.
Peristiwa mutakhir tersebut semakin menguatkan proses sosial-politik dan keagamaan umat Islam pasca reformasi yang kian kompleks dan majemuk, yang membuat kehidupan keumatan dan kebangsaan semakin sarat dinamika dan dialektika. Situasi dan relasi keumatan maupun kebangsaan semakin sarat muatan paham, pandangan, kepentingan, dan tarik-menarik di tubuh umat Islam maupun bangsa Indonesia pasca 212 dan Pilkada 2017 tersebut.
Berbagai pandangan ekstrem bahkan mencuat ke permukaan, dengan oposisi biner antara paham “kanan” dan “kiri”, radikal versus liberal, akomodatif lawan konfrontatif, dan berbagai posisi saling berseberangan lainnya. Berkembang pula beragam penilaian mana yang “pro Islam” dan atau pro-pihak lain, sehingga makin menguatkan polarisasi sosial-politik maupun keagamaan. Keadaan makin tampak semakin kompleks atau rumit jika dikaitkan dengan dinamika kehidupan kebangsaan dengan segala permasalahan dan dinamikanya sebagaimana lumrahnya hidup suatu bangsa. Menarik benang merah dan posisi diri yang utuh dan tepat di balik dinamika kehidupan umat Islam dan bangsa Indonesia mutakhir tersebut sungguh tidaklah mudah.
PENTINGNYA MANHAJ
Di tengah dinamika dan dialektika keumatan dan kebangsaan yang sarat muatan pandangan, sikap, dan kepentingan dari berbagai pihak di tubuh umat Islam dan bangsa Indonesia yang rumit itu, berkembang pendapat dan penilaian tentang Muhammadiyah baik dari kalangan luar maupun dari internal anggota Persyarikatan sendiri. Sebagian besar menilai Muhammadiyah sudah berada dalam posisi dan peran yang tepat. Sebagian lagi ada yang menilai Muhammadiyah masih kurang “militan”, sedangkan lainnya menilai sebaliknya Muhammadiyah dipandang ikut “irama pihak lain”.
Pandangan yang beragam tersebut tentu terbuka di alam demokrasi, lebih-lebih dalam tradisi Muhammadiyah yang egaliter dan terbuka. Di tubuh Muhammadiyah sendiri beragam anggota hadir dengan segala latarbelakang, pandangan, dan relasinya yang jika tidak ditarik ke garis dan koridor organisasi tentu akan menjadi permasalahan sendiri bagi Persyarikatan. Beragam penilaian terhadap Muhammadiyah tersebut belum tentu menggambarkan fakta yang sebenarnya, karena sejauh koridornya kelembagaan Muhammadiyah dalam memposisikan dan memainkan perannya memiliki dasar berpikir dan pertimbangan sendiri sesuai prinsip dan mekanisme gerakannya, yang tentu saja tidak selamanya harus selalu diketahui dan sejalan dengan alam pikiran pihak lain.
Namun demikian Muhammadiyah secara institusi atau organisasi tidak boleh membiarkan keragaman pandangan itu menjadi “energi negatif” atau “stigma”, sebab akan melemahkan kekuatan pergerakan ini. Muhammadiyah penting untuk menentukan posisi dan peranannya sesuai dengan keberadaan dirinya selaku Gerakan Islam yang telah berusia lebih satu abad dan yang paling penting memiliki jatidiri yang diikat oleh sejarah dan prinsip gerakannya selama ini, yang membuat organisasi ini mampu bertahan dan berkembang di tengah hempasan zaman.
Muhammadiyah sebagai organisasi memiliki eksistensi diri sebagaimana terrepresentasikan dalam Identitas sebagai “Gerakan Islam, Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada Al-Qur’an dan AsSunnah” serta “Muhammadiyah berasas Islam” sebagaimana termaktub dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah pasal 4. Lebih mendasar, Muhammadiyah memiliki “Manhaj Gerakan” yang menjadi fondasi atau dasar prinsip pergerakannya sebagaimana terkandung dalam berbagai pemikiran resmi organisasi yang telah dikodifikasikan dari periode-periode dari paham agama dan ideologi sampai pandangan, strategi, dan langkah gerakan dalam bermacam formulasinya.
Manhaj Muhammadiyah direprsentasikan dalam rumusan - rumusan resmi seperti Manhaj Tarjih, Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Kepribadian, Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup, Khittah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, Pernyataan Pikiran Abad Kedua, Negara Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah, dan keputusan-keputusan organisasi lainnya yang mengandung prinsip, strategi, dan acuan langkah pergerakan. Di dalamnya terkandung nilai-nilai dasar pergerakan yang menjadi fondasi, pedoman, acuan, bingkai, dan arah gerakan Muhammadiyah. Dengan manhaj itulah Muhammadiyah tetap kokoh sebagai gerakan Islam yang menjalankan misi dakwah dam tajdid hingga berhasil memasuki abad kedua dalam perjuangannya.
MEMERLUKAN KOMITMEN
Manhaj gerakan yang terkandung dalam pikiran-pikiran resmi organisasi semestinya dipahami, dipegang, dan dijadikan rujukan utama dalam menentukan posisi dan peran Muhammadiyah dalam konteks keumatan, kebangsaan, dan perkembangan global; termasuk yang harus dipedomani oleh seluruh anggota Muhammadiyah tanpa kecuali. Manhaj-lah yang menjadi koridor berpikir dan bertindak, sedangkan anggota menyesuaikan diri dan harus berada dalam bingkai Manhaj Muhammadiyah tersebut.
Siapapun anggota Muhammadiyah, lebih-lebih kader dan pimpinan, harus memberi contoh untuk berada dalam frame Manhaj, bukan Manhaj yang menyesuaikan dan menuruti pandangan orang-perorang di tubuh persyarikatan Muhammadiyah. Manakala terjadi perbedaan dalam pemahaman atas Manhaj, maka tersedia ruang musyawarah dalam Muhammadiyah dan kebijakan pimpinan secara organisasi, bukan mengikuti pandangan atau sikap dan langkah orang-perorang. Di situlah keberadaan sekaligus kekuatan Muhammadiyah sebagai organisasi atau persyarikatan yang selama ini telah mendarah-daging dan bahkan dikenal luas oleh masyarakat, yang menjadikan gerakan Islam ini mampu bertahan hingga satu abad lebih sampai saat ini dan ke depan.
Perkembangan kehidupan keagamaan dan kebangsaan yang beragam sebenarnya tidak akan menjadi faktor negatif dan bahkan dapat dijadikan penguat agar semakin matang bagi gerakan Muhammadiyah manakala segenap anggota dan pimpinan di seluruh lingkungan Persyarikatan memiliki komitmen yang kuat dalam Bermuhammadiyah. Artinya semua pihak di tubuh Persyarikatan benar-benar menyadari, menghayati, memahami, dan memiliki kemauan yang tinggi untuk menjadikan nilai-nilai dasar dalam Muhammadiyah sebagai pedoman dan acuan utama. Semuanya berpikir, bersikap, dan bertindak berdasarkan manhaj Muhammadiyah sebagaimama terkandung dalam seluruh pikiran-pikiran resmi gerakan Islam ini.
Setiap anggota, termasuk kader dan pimpinan, menjadikan manhaj Muhammadiyah sebagai dasar pijakan, bingkai, dan orientasi dalam bermuhammadiyah, termasuk mereka yang berada di amal usaha. Mereka tidak berpikir dan bertindak sendiri-sendiri berdasarkan persepsi, alam pikir, dan kepentingan individual tetapi berdasarkan manhaj gerakan secara institusional. Organisasilah yang menentukan pola pikir dan tindakan seluruh anggota Muhammadiyah, bukan orang yang menentukan sikap organisasi. Muhammadiyah yang menjadi penentu sikap anggota, kader, dan pimpinan.
Jika organisasi yang menentukan pola pikir dan bertindak anggota maka Muhammadiyah benar-benar menjadi sistem yang objektif sebagai jam’iyah sebagaimana keberadaan Persyarikatan sebagai perhimpunan. Karenanya jangan berpikir dan bertindak sendiri-sendiri atasnama organisasi, lebih-lebih jika bertentangan dengan prinsip-prinsip atau manhaj Muhammadiyah.
Manakala bergerak sendiri-sendiri maka bukan organisasi namanya, tetapi sekadar perkumpulan orang minus manhaj dengan segala nilai dan koridornya. Kekuatan Muhammadiyah selama ini pada organisasinya, sehingga siapapun orang yang berada di dalamnya menyesuaikan dan bersandarkan diri pada sistem organisasi demgan nilai-nilai dasar pergerakannya. Di sinilah komitmen setiap anggota Muhammadiyah pada manhaj gerakan Islam ini sungguh diuji sekaligus menuntut pembuktian dan pengkhidmatan!
Sumber : Majalah SM Edisi 13 Tahun 2017