Pertama: Orang inilah yang sangat merugi, karena tidak ingat kematian,
tak
terbayang-bayang dalam fikirannya, seakan-akan telah tetap dalam otak bahwa mati itu tak ada.
Orang ini
tidak akan merasa hakikat mati sebelum menyaksikan sendiri. Orang ini
baru dapat mengingat mati lantaran mengingat anak atau harta.
Dia payah
memikirkan bagaimanakah
hartaku kelak,
siapakah yang akan
menjadi suami isteriku kalau
aku wafat. Bagaimanakah
jadinya
anakku
kalau aku
telah
menutup mata.
Kalau mayat dipikul orang di hadapan rumahnya,
dibacanya "Inna Lillahi wa Innailaihi
Raji'un" karena sudah
teradat demikian. Manusia begini bukan mengingati kematian
untuk dirinya,
tetapi memikirkan orang lain.
Ada
juga dia
mengaku ingat akan
mati, cuma
dengan mulutnya,
tidak sejak dari
hatinya. Dibawanya lengah saja perasaan takut
mati yang ada dalam batinnya.
Kedua: Orang yang senantiasa takut saja mengingat mati,
takut akan
mati, takut
kalau-kalau mati datang sehingga gementar
tubuhnya dan berkunang-kunang penglihatannya.
Dia ingat perkara ini kalau dia telah
duduk termenung-menung seorang
diri, sehingga lama-lama fikirannya morat-marit, pekerjaannya tak menentu lagi,
pencemas, penggigil, putus harap. Bagi orang begini nikmat Tuhan jadi
kecelakaan. Sebab
tiap-tiap perniagaannya beruntung
atau gajinya naik
anaknya bertambah,
rumahnya
indah dan
lain-lain, semuanya menambah
takutnya
menghadapi mati.
Dia takut kena angin, karena angin itu menurut keterangan dokter membawa baksil penyakit.
Takut bergaul dengan orang, karena barangkali orang itu ada menyimpan
bibit T.B.C. (penyakit
berjangkit) kelak dibawa angin bertambah kembang biak, dan
pindah pula ke dadanya sendiri. Kadang-kadang ada orang takut makan, kalau
makanan itu tidak diperiksa dokter terlebih dahulu, barangkali beracun. Sultan Abdul Hamid menggaji seorang tukang cicip (kinyam) makanan yang akan baginda
makan, haruslah dimakan oleh tukang cicip itu
lebih dahulu. Akhirnya
tukang cicip
makanan
itu
kaya
raya lantaran
gajinya.
Ia tidak
mati kena racun,
melainkan kemudian Sultan Abdul Hamid, mati di tanah buangan.
Penyakit demikian kalau dibiarkan, tidak ditangkis dengan kekuatan jiwa atau
kekuatan iman kepada Tuhan, akan membahayakan diri, yang
perlu kepada rawatan
Dokter mengeluarkan uang beribu-ribu. Kalau dokter itu tidak ingat akan sumpah dan
kemanusiaan, orang yang seperti ini boleh dijadikan permainan,
penambah kekayaan pula bagi si dokter.
Ketiga: Orang yang ingat kematian
dengan akal budi dan
hikmat. Tak ubahnya dengan
orang yang naik haji ke Makkah. Selama di dalam perjalanannya tidak lupa
dia
bahwa dia akan
naik haji. Di dalam perjalanan
selalu
dihafalya manasik.
Dicukupkannya uang, dilengkapkannya bekal, jangan sampai hajinya tidak sah.
Yang demikian adalah
lantaran dia
yakin bahwa ingat mati menghapuskan
angan- angan yang tak menentu,
menghabiskan was-was dan mengenang barang yang akan
menghabiskan umur. Dari inat akan kematian, manusia menjadi sabar menerima
bagian yang sedikit,
tidak tamak akan harta benda, lebih dari mesti,
dan
tidak menolak berapapun diberi, tidak tercengang dan gamang jika harta itu habis.
Ingat mati menyegerakan tobat, khianat, loba dan tamak. Ingat mati menghindarkan
ujub. Ingat mati menghindarkan takabbur. Tiap-tiap sehari
melangkah dalam hidup,ingatlah mati
sekali, supaya bekal ke
sana bertambah banyak
disediakan.
Jangan
sampai kejadian,
sedang terlengah-lengah menghadapi yang lain, malaikat maut
datang
tiba-tiba. Sebab mati itu mungkin datang secara mendadak.
Hendaklah
laksana
juru tulis pejabat yang berkerja secara rapi. Bersedia memperlihatkan buku, apabila tukang periksa datang.
Sumber: buku tasawuf Modern prof. Dr.
hamka